Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday, 30 September 2011

Bidikan Yang Tepat : “Craniotomy” of Neurointervention"

Dalam “Practical Neuroangiography,”Pearse Morris mengatakan bahwa “the most common error among beginners is to perform the pucture too high, above the inguinal ligament.” Namun, pengalaman mengatakan sebaliknya. Adanya ketakutan akan komplikasi high pucture yang berlebihan, pemula justru melakukannya terlalu rendah. Pungsi yang terlalu rendah tentu lebih sulit membidikkan jarum ke dalam arteri karena akan mengarah pada superficial femoral artery bukan pada common femoral artery, disamping itu, pulsasi yang dirasakan saat palpasi juga berkurang, sehingga lebih sering gagal.

Setelah melakukan sekian banyak pungsi, operator akan menemukan beberapa kasus sulit. Misalnya, saat pungsi, insersi jarum hanya mengeluarkan darah vena, meskipun pungsi diulang beberapa kali. Atau saat insersi jarum, darah yang keluar arterial, namun tidak ada pulsasi yang muncul, darah hanya mengalir lambat seperti saat jarum masuk ke pembuluh darah vena, dan jika J-wire tetap diinsersikan hampir selalu gagal. Dalam kasus tertentu, pungsi pada femoral kanan selalu gagal, dan baru berhasil dengan melakukannya pada femoral kontra lateral. Belum lagi pada kasus pediatrik yang memang memerlukan kesabaran ekstra, disamping pembuluh darahnya yang superficial, juga pulsasinya yang lemah.

Kegagalan dalam pungsi akan memberikan pengalaman berharga pada pemula. Seorang fellow yang baru saja hands-on bisa sampai beberapa kali gagal saat pungsi, terutama pada pasien dengan obesitas dan pada pasien wanita yang memang lebih fatty.

Ada tiga marker yang biasanya digunakan oleh operator, yaitu skin creast, maximal pulsation dan bony landmark. Diantara ketiganya yang paling aman adalah bony landmark ( SIAS, Femoral head). Namun, dalam prakteknya kombinasi ketiganya membantu kesuksesan pungsi femoral. Skin creast merupakan marker yang paling banyak dipakai oleh operator. Marker ini biasanya akan menghasilkan low puncture, yaitu pada superficial femoral artery. Namun demikian, insersi sheat pada superficial femoral artery cukup aman, dan ini juga dilakukan pada saat dimana ada kondisi tertentu yang tidak memungkinkan insersi pada common femoral artery, semisal adanya infeksi pada kulit.

Sudut jarum saat diinsersikan juga penting dalam keberhasilan pungsi. Sebagian besar mengatakan 45 derajad, sebagian lain menggunakan 60 derajad, bahkan seorang yang kepakarannya tidak diragukan lagi melakukannya hampir pada sudut 90 derajad. Berapapun sudut yang diambil, sangat tergantung pada pengalaman dan kenyamanan masing-masing operator. Sudut 45 derajad merupakan penanda pungsi ideal, karena saat insersi sheat dan kateter sangat kecil kemungkinan untuk kingking, ada kasus dimana jika sheat tegak lurus, saat navigasi kateter tidak bisa bergerak dengan smooth.

Dalam kasus J tip tidak dapat masuk secara sempurna, menggunakan bagian yang lurus kadang membantu, namun sebaiknya tidak dilakukan tanpa guiding dari fluoroscopy. Menggunakan wire dengan ujung lurus sebaiknya tidak dilakukan pada pasien tua, dimana pembuluh darahnya lebih rapuh dan kemungkinan terjadi diseksi dan trombosis lebih besar.

Anastesi lokal diperlukan saat memulai pungsi. Sebagian operator juga melakukannya pada pasien dengan general anastesi dengan alasan menghindari vasospasme saat pungsi. Vasospasme merupakan salah satu faktor kegagalan pungsi. Apabila insersi needle saat pemberian anastesi lokal sudah menusuk arteri, mungkin ini marker yang baik untuk mengarahkan jarum pungsi, namun disisi lain juga akan memicu vasospasme.

Pemeriksaan pulsasi arteri perifer sangat penting sebelum maupun setelah pungsi. Arteri yang rutin di evaluasi adalah dorsalis pedis, tibialis posterior dan poplitea. Terkadang didapatkan pulsasi perifer yang lemah dan ini mungkin berkaitan dengan penyakit arterosclerosis yang menyeluruh. Terkadang juga diperlukan bantuan doppler untuk mendeteksinya. Namun, apabila pulsasi yang lemah ini terjadi setelah pungsi, maka harus waspada akan terjadinya trombosis pasca pungsi/prosedur.

Dalam situasi pungsi yang sulit dan terkadang sampai beberapa kali tusukan, sempatkan untuk menginjeksikan kontras setelah sheat diinsersikan sebelum tindakan dimulai, mungkin ada kelainan/ variasi pada anatomi pembuluh darah femoral. Satu kasus menjelaskan kepada kita, adanya trombosis atau vasospasme hebat mungkin tidak diikuti oleh keluhan penderita, hal ini karena adanya fungsi kolateral yang baik, namun penting untuk diketahui karena akan membantu kita melakukan manajemen pasca tindakan semisal pemberian LMWH untuk mencegah progresifitas trombus.

Apabila saat insersi, J wire dapat masuk namun dengan tahanan yang “tidak biasanya” (biasanya ada tahanan ringan), perlu diwaspadai, J-wire masuk dalam pembuluh darah cabang, atau wire tertekuk melingkar. Lakukan fluoroscopy sebelum insersi sheat dilakukan.

Terkadang terjadi pula, darah terus keluar dari tempat pungsi setelah prosedur dan sheat dikeluarkan, hal ini mungkin berkaitan dengan faal hemostasis, mungkin berkaitan dengan pemakaian heparin. Evaluasi ACT sebelum dan ditengah dan setelah tindakan merupakan sesuatu yang selayaknya dilakukan. Dalam kondisi ACT diatas 250 dan perdarahan tidak mau berhenti, bisa dipertimbangkan pemberian protamin sulfat (10 mg untuk setiap 1000 U Heparin, 1 cc/ampul=10 mg). Obat ini bekerja sangat cepat sekitar 2-3 menit, dan biasanya membantu menghentikan perdarahan.

STROKE : CUCI OTAK ("Brain Wash"), BENARKAH BERMANFAAT ?

Kalau kita googling dengan password “cuci otak,” maka akan muncul dari majalah Tempo tulisan pada halaman Kesehatan sebagai berikut :

Sehat dengan Cuci Otak. Telah dikembangkan teknik cuci otak berbasis radiologi intervensi. Pasien stroke menahun dan lumpuh bisa kembali jalan.
Jika dibuka artikelnya, ada pengantar sebagai berikut (artikel lengkap tidak bisa diakses) :

Potongan lagu lawas Terlambat Sudah itu dinyanyikan Benny Panjaitan, dengan sedikit modifikasi, di atas ranjang rumah sakit. Suaranya lepas. Wajahnya cerah. Mengenakan kaus-T putih dan celana pendek hitam, vokalis grup zaman baheula, Panbers, itu tak lelah mengumbar senyum.
"Saya bahagia sekali karena sudah bisa mengeluarkan suara yang asli," kata Benny saat ditemui Tempo di Paviliun Kartika, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa pekan lalu. Maklum, sejak dia mengalami stroke-pembuluh darah di otak kanannya pecah-Juni tahun lalu, suaranya tak bisa bebas keluar. "Mau keluarkan suara, tapi tertahan. Kesal," kata pria 64 tahun ini. (Tempo 27 Juni 2011).

Tak ayal, berita ini menyebar secara luas, informasi ini dibaca oleh kalangan awam maupun dokter. Bagi kalangan medis, informasi ini menjadi tanda tanya besar, benarkah pengobatan pasien stroke dengan cuci otak ini begitu hebatnya ? namun mengapa hanya ada di Indonesia dan tidak pernah dirilis dalam jurnal-jurnal ilmiah ? Bagi kalangan awam yang memiliki keluarga dengan stroke, ini merupakan angin segar, mereka segera mencari informasi atau bahkan langsung datang ke tempat bersangkutan.

Berdasarkan informasi yang menyebar dalam beberapa mailing list, dokter yang melakukan prosedur “brain wash” ini menggunakan Heparin dan Integrilin (Eptifibatide) dalam prosedur cerebral DSA. Prosedur DSA dengan menggunakan heparin jamak dilakukan diseluruh belahan dunia, interventionist menggunakan dosis antara 3000-5000 U (40-60 U/kg). Sedangkan Eptifibatide adalah antiplatelet injeksi semacam Abciximab dan Tirofiban, dan memang banyak laporan diberikan untuk kasus stroke akut.
Bagaimana sesungguhnya pengobatan a la “Brain wash” ini dari sudut pandang dunia kedokteran dan neurointervensi ?

Telah disebutkan, bahwa penggunaan heparin dalam dunia neurointervensi merupakan sesuatu yang rutin dilakukan, hal ini dikarenakan saat tindakan dokter menggunakan kateter dan guidewire serte material lainnya (sesuai penyakit pasien) kedalam pembuluh darah. Heparin biasanya diberikan berupa flushing pada awal prosedur diagnostic, dan dapat dilanjutkan dengan continous infusion (heparinized saline) pada prosedur intervensi terapeutik. Sedangkan penggunaannya bersama antiplatelet injeksi secara bersamaan diberikan oleh operator dalam kondisi yang sangat khusus, biasanya pada kasus emergensi, misalnya terjadi komplikasi trombosis berulang saat tindakan dilakukan. Penggunaan kombinasi heparin dan antiplatelet injeksi tidak diberikan secara rutin dalam prosedur neurointervensi. Penggunaan kombinasi kedua obat ini pada prosedur intervensi dilaporkan memiliki komplikasi perdarahan intracranial yang fatal (Qureshi et.al, Journal Stroke 2002). Namun penggunaan masing-masing obat ini tanpa dikombinasi memberikan manfaat pada pasien.

Kutipan dari majalah Tempo diatas perlu dilihat kembali dengan dasar ilmiah yang memadai. Kutipan bahwa dengan “brain wash” pasien stroke menahun dan lumpuh bisa berjalan kembali adalah menyesatkan. Ditambah lagi ungkapan bahwa Benny Panjaitan mengalami stroke berupa pecahnya pembuluh darah otak sebelah kanan. Apabila faktanya memang demikian (karena apa yang sesungguhnya dilakukan pada “brain wash” tidak pernah dipublikasikan secara ilmiah), ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, pemberian heparin dan antiplatelet injeksi tidak dapat mengobati stroke yang sudah lama terjadi, apalagi megembalikan kelumpuhan. Heparin dan antiplatelet bekerja untuk mencegah terjadinya penyumbatan baru, bukan menghancurkan penyumbatan pada pembuluh darah. Jadi sifatnya preventif bukan kuratif. Kedua, penggunaannya pada kasus stroke perdarahan tidak pada tempatnya, kombinasi keduanya malah akan meningkatkan resiko perdaran otak, apa yang terjadi pada Benny Panjaitan mungkin hanyalah tindakan cerebral DSA (digital substraction angiography) rutin yang biasa dilakukan untuk mengetahui kelainan/ penyebab dari perdarahannya.

Namun, apapun, adanya isu ini harus disikapi secara bijak. Memang dalam dunia kedokteran selalu ada inovasi-inovasi yang terus dikembangkan untuk kepentingan perbaikan kualitas hidup, tetapi inovasi itu dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tanpa mengikuti kaidah ilmiah, pengobatan baru yang dianggap fenomenal tidak ubahnya seperti pengobatan “alternatif” yang banyak beredar di masyarakat.

Diakui atau tidak, pengobatan stroke masih merupakan tantangan bagi dunia kedokteran. Banyak sekali neuro-intervensionist dunia yang saat ini konsen pada penatalaksanaan penyakit ini. Belum ada satupun laporan (setidaknya sampai saat ini) mengenai efektifitas kombinasi terapi diatas untuk stroke, yang ada justru laporan negatif tentang efek sampingnya.
Tulisan ini setidaknya dapat memberikan tambahan informasi bagi siapapun yang ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya “brain wash” yang fenomenal itu, terutama bagi masyarakat, yang awam akan dunia kedokteran.

Sunday, 25 September 2011

OBROLAN RINGAN SEPUTAR SAMMPRIS

Dokter yang berkecimpung dalam bidang neurointervensi tentu akan terus mengikuti perkembangan ilmu ini yang semakin lama semakin menggeliat. Adanya studi-studi terbaru mengenai manfaat suatu prosedur adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sebagaimana CREST untuk carotid stenting , hasil SAMMPRIS (the Stenting and Aggressive Medical Management for Preventing Recurrent stroke in Intracranial Stenosis) juga ditunggu oleh ratusan neurointervensionist di dunia. SAMMPRIS dipublikasikan secara online pertama kali oleh NEJM pada 7 September 2011.

SAMMPRIS memberikan kesimpulan bahwa “ aggresive medical therapy” lebih superior dibanding stenting pada intracranial stenosis atau dikenal dengan PTAS (percutaneus transluminal angioplasty and stenting). Hasil ini tak ayal membuat para dokter menyampaikan komentar yang berbeda. Sebagian Neurologist menyebut hasil ini dengan suatu pertanyaan retoris “ is intracranial stenting dead ?”, sedangkan sebagian lain berusaha menganalisa, apa yang sesungguhnya terjadi dengan hasil studi ini, mengapa hasil studi ini lebih buruk dari studi-studi sebelumnya berkenaan dengan intracranial stenting.

SAMMPRIS dimulai pada November 2008 dan the trial’s independent data and safety monitoring board merekomendasikan menghentikan studi ini pada 5 April 2011, dengan pertimbangan cukup tingginya resiko periprocedural stroke dan kematian pada kelompok PTAS. Hasil SAMMPRIS saat dihentikan menunjukkan angka kematian dan stroke pada 30 hari pertama sebesar 14.7% pada PTAS dan 5.8% pada medical management group, perbedaan yang cukup signifikan (p=0.002).

Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya, SAMMPRIS memberikan rapor merah pada intracranial stenting. Studi yang dilakukan oleh Jiang yang dipublikasikan juni 2011 (setelah SAMMPRIS dihentikan), menyatakan resiko stroke dan kematian dalam 30 hari pertama dan 1 tahun pasca stenting sebesar 7.3% dan ini lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada pasien yang hanya dilakukan “medical therapy” pada WASID (the Warfarin and Aspirin for Symptomatic Intracranial Atherosclerotic Disease) sebesar 18%. Atau jika dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya, yaitu SSYLVIA (Stenting of Symptomatic Atherosclerotic Lesions in the Vertebral or Intracranial Arteries) dan Wingspan Study, yang menyatakan morbiditas dan mortalitas intracranial stenting dalam 30 hari pertama sebesar 6.6% dan 4.5%. Sedangkan untuk medical therapy, angka pada SAMMPRIS jelas menunjukkan perbaikan fenomenal, dari angka 22.5% resiko kematian dan stroke dalam 1 tahun menjadi hanya 5.8% dalam 30 hari pertama.

Kemudian muncul pertanyaan, mengapa pada SAMMPRIS angka morbiditas dan mortalitasnya sampai lebih dari dua kali lipat (2.8 kali) penelitian sebelumnya ? Adakan ini berhubungan dengan operator, dengan device, dengan seleksi pasien ataukah ada faktor lain ? Diskusi semakin hangat dengan celotehan sana-sini yang menyinggung adanya faktor politis dan bisnis dalam suatu studi, ditambah lagi dengan komentar yang menyebut salah seorang anggota peneliti studi ini yang selalu memberikan laporan hasil studi negatif pada beberapa penelitiannya. Namun apapun, studi ini adalah studi yang well designed dan muatan ilmiahnya bisa dipertanggung jawabkan.

Menarik untuk mengikuti ulasan yang diberikan oleh Alex Abou-Chebl (Stroke, 2 juni 2011) yang memberikan catatan penting sebagai berikut :

1. Melihat dari hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh Fiorella (USA) dan Jiang (China), Wingspan stent merupakan device yang highly deliverable dan associated with low risk of perioperative complication, namun bagaimanapun device ini berhubungan dengan angka restenosis sebesar 30% dalam 1 tahun pertama, sebagian besar terjadi dalam 6 bulan pertama dan berhubungan dangan penghentian dual terapi antiplatelet pada 3 bulan pertama.
2. Studi yang dilakukan oleh Jiang lebih favorable karena memiliki kriteria yang tidak disebutkan dalam studi Fiorella, misalnya memberikan kriteria eksklusi pada lesi yang panjangnya > 15 mm, diameternya < 2 mm dan adanya sumber emboli jantung. Dalam protocol intervensionalnya, Jiang juga memberikan IV nimodipin periprocedural dan memberikana fraxiparen pasca prosedur.
3. Banyaknya operator juga berpengaruh pada hasil studi ini, studi Fiorella dilakukan oleh 13 operator (168 lesi) dan Jiang oleh 2 operator (105 lesi).
4. Anastesi saat prosedur juga mungkin berpengaruh, dimana Jiang menggunakan anastesi local sedang Fiorella tidak mengungkapkan jenis anastesi dalam laporannya, namun tampaknya menggunakan general anastesi. Penggunaan general anastesi selama prosedur juga memberikan pengaruh pada outcome, dua laporan sebelumnya yang berkaitan dengan trombolisis pada stroke menguatkan hal ini (Abou-Chebl A, Lin R, Hussain MS, Jovin TG, Levy EI, Liebeskind DS, et al. Conscious sedation versus general anesthesia during endovascular therapy for acute anterior circulation stroke: preliminary results from a retrospective, multicenter study. Stroke. 2010;41:1175–1179, dan dalam tulisan Mazighi M, Yadav JS, Abou-Chebl A. Durability of endovascular therapy for symptomatic intracranial atherosclerosis. Stroke. 2008;39:1766 –1769.)
5. Adanya ketidakcocokan hasil dalam penelitian sebelumya dengan SAMMPRIS haruslah menjadi pertanyaan besar dan dilakukan analisa mendalam, ditambah lagi selama ini penatalaksanaan ICAD (intracranial artery sclerosis disease) baik secara endovascular maupun medical sama-sama tidak memuaskan.
6. Data yang tidak tersedia/didapatkan dalam laporan tentang intracranial stenting adalah tentang definisi yang sama tentang TIA dan status simtomatik, seleksi pasien apakah termasuk yang hipoperfusi ataukah artery to artery emboli dan keduanya, yang terakhir ini penting untuk dibedakan dimana artery to artery emboli atau keduanya, cara terbaik adalah dengan medical theraphy sedangkan hipoperfusi (“pressure dependent”) dengan stenting. Demikian juga dengan kasus dimana stroke disebabkan oleh perforator stroke yang secara kebetulan diikuti oleh adanya stenosis pada parent arterinya, misalnya stroke pada pontine perforator atau lenticulostriate artery yang kebetulan terdapat stenosis pada basiler atau MCA, ini bukanlah kandidat ideal untuk stenting. Kriteria eksklusi diatas tidak disebutkan dalam penelitian Jiang, Fiorella maupun SAMMPRIS.
7. Dari sudut prosedur catatan yang perlu diberikan adalah tentang dilatasi dengan menggunakan balloon post stenting. Wingspan adalah self expandable stent dan dalam instruksinya diminta menghindari dilatasi pasca stent untuk menghindari rupture stent dan terjadinya oclusi/restenosis. Namun dalam laporan prosedur ini tetap dilakukan. Jika belajar dari cardiologist yang sudah kenyang dengan kasus dan literature, mereka menggunakan stent mounted balloon dalam tindakannya.
8. Literatur cardiology juga menganalisa respon pasien terhadap pemberian aspirin dan clopidogrel karena berhubungan dengan restenosis, sedang dalam SAMMPRIS hal ini tidak dilakukan.

Pada akhirnya, SAMMPRIS mungkin memberikan hasil negatif bagi para neurointervenstionist, namun sesungguhnya justru memberikan pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana intracranial stenting dilakukan secara aman dan dalam koridor yang tepat. Tindakan endovaskuler tentunya tidak dilakukan secara membabi buta pada semua pasien, namun dengan dasar ilmiah yang memadai, pasien berhak mendapatkan terapi yang memang baik atau jauh lebih baik baginya.

Wednesday, 10 August 2011

FILOSOFI NEUROINTERVENSI

Saat berkecimpung dengan dunia neurointervensi, mula-mula seorang neurologist akan disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya tehnik-praktis, misalnya bagaimana tehnik femoral access, bagaimana anatomi normal pembuluh darah serebral saat angiografi dilakukan, bagaimana tehnik navigasi kateter dan sebagainya. Lambat laun, ketertarikan sang dokter akan beralih pada begitu banyaknya variasi anatomis dari pembuluh darah otak, dan juga pada gambaran penyakit vascular yang terlihat secara angiografis.

Kekaguman akan variasi anatomis akan membawa sang dokter asyik membaca dan mempelajari embriologi neurovascular, bagaimana misalnya otak yang mula-mula hanya terdiri dari tiga buah bentukan semacam balon berkembang, perkembangannya diikuti perubahan sistem vaskulernya, bagaimana persistent trigeminal artery muncul, bagaimana pula superior cerebellar artery (SCA) tidak pernah absen, meskipun sirkulasi posterior merupakan tempat pembuluh darah dengan paling banyak variasi.

Embriologi neurovaskular juga mempertajam pemahaman sang dokter terhadap anastomosis intra dan ekstra kranial yang sangat berguna saat terjadi stenosis pada salah satu jalur, misalnya stenosis pada karotis komunis atau pada arteri basilaris. Pemahaman akan anastomosis ini juga membuat sang dokter lebih aware akan adanya dangerous anastomosis saat melakukan embolisasi pada kasus head and neck tumor.

Kemudian, ditengah asyiknya mempelajari embriologi neurovascular, sang dokter melompat pada ketertarikan akan konsep perjalanan alamiah penyakit (natural history). Perjalanan alamiah penyakit ini kemudian menuntun pada suatu keputusan klinis penting, misalnya, mengapa AVM dengan ukuran sama pada satu individu di lakukan embolisasi, sedang pada individu lainnya tidak. Misalnya juga mengapa unrupture aneurysma pada satu pasien dilakukan coiling, sedang pada pasien lain tidak.

Tidak berhenti disini, sang dokter kemudian semakin intens mengamati bagaimana keputusan klinis harus di serahkan pada pasien dengan keterangan yang berimbang. Misalnya pada kasus aneurysmal bleeding pada MCA bifurcation, apakah dilakukan coiling ataukah clipping ? Berbagai aspek yang dijadikan bahan renungan adalah seberapa besarkah ukuran aneurismanya, berapa coil yang dibutuhkan, mana lebih efisien secara ekonomis diantara dua prosedur tersebut. Apabila dipilih salah satu dari dua tindakan tersebut, manakah yang memiliki outcome dan komplikasi paling acceptable bagi pasien.

Dalam kasus AVM, sang dokter yang mula-mula tertarik dengan konsep high risk dan low risk AVM beralih pada ketertarikan akan modalitas terapeutik mana yang paling optimal untuk pasien. Apakah embolisasi, surgery atau Gamma Knife. Cara berfikir yang mula-mula hanya satu sisi : embolisasi, embolisasi, embolisasi ! saat ini sudah mulai beranjak pada pilihan ideal yang bermuara pada kebaikan pasien.

Sampai disini, sang dokter semakin memiliki ketajaman analisis akan suatu kondisi bahwa PASIEN MEMILIKI KARAKTERISTIK SECARA INDIVIDUAL. Suatu tindakan intervensi pada kasus yang sama persis secara diagnostik angiografik, namun terjadi pada individu berbeda, akan memiliki karakter dan implikasi yang berbeda secara terapeutik.
Akhirnya, setelah mempelajari sekian banyak kasus, sang dokter mampu meramalkan terjadinya komplikasi pada tiap tindakan, sambil juga bersiap-siap meramalkan tindakan penyelamatan yang perlu dilakukan apabila komplikasi tersebut terjadi.

‘Ala kulli haal, sang dokter hanya mampu menundukkan kepala akan dahsyatnya kuasa Allah SWT. Tidak seorang dokterpun ternyata yang pintar tanpa bimbinganNya. Kemampuannya melakukan tindakan diagnostik dan terapeutik tidak lebih mengikuti sunnatullah (hukum alam) yang merupakan kreasi Sang Pencipta. Kata akhir dari perjalan ini adalah semakin bertambahnya keimanan akan konsep Takdir. Berapa banyak kasus yang tampaknya mudah dan merupakan tindakan sehari-hari yang rutin dilakukan, menimbulkan komplikasi hebat dan outcome buruk. Berapa banyak juga kasus yang sangat sulit, dan diprediksi akan menimbulkan komplikasi saat prosedur, berhasil dengan gemilang.

Dipojok Cathlab sebuah Rumah Sakit terkemuka, masih dengan Lead Apron yang melekat ditubuhnya, sang dokter terpekur dan semakin menghikmati sebuah Hadits yang dulu sempat dibacanya dari sebuah kitab kecil karya Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah , yang berbunyi : “ Manizdaada ilman, walam yazdad Hudan, Walam yazdad minAllah illa bu’dan.“Barangsiapa bertambah ilmunya, namun tidak bertambah petunjuk pada dirinya, dan tidaklah bertambah (apapun), kecuali semakin jauh dari Allah”

TEMUKAN, DELAPAN PERBEDAAN !

Neurointervensi berbeda dengan cardio-intervensi bukan hanya pada organ, prosedur dan device-nya, justru yang lebih mendasar adalah perbedaan anatomi pembuluh darah otak dan pembuluh darah jantung. Dengan alasan inilah, arteri intrakranial lebih cenderung terjadi vasospasme dan ruptur akibat prosedur, yang bahkan, dengan manipulasi jauh lebih ringan dibanding arteri korener dengan ukuran yang sama.

Arteri serebral berbeda dengan arteri muskuler pada seluruh tubuh termasuk arteri koroner sedikitnya karena 8 aspek (Schumacer HC et.al, J Vasc Interv radiol 2009 :20:S451-S473):

 


1. Arteri intrakranial memiliki jumlah external elastic membrane yang sedikit, dimana lapisan terluarnya terdiri dari peralihan antara tunika media dan adventisia


2. Arteri serebral lebih kecil diameternya dibanding arteri koroner bagian proksimal, diameter terluar dari MCA sekitar 2.4 sampai 4.92 mm, dibandingkan dengan arteri koroner proksimal sekitar 4.5 mm.


3. Arteri intracranial secara signifikan lebih tipis (rata-rata 0.094 mm) dibanding dengan arteri koroner (rata-rata 0.87 mm). Ada sedikit perbedaan antara MCA, arteri Basiler dan Vertebral.


4. Tunika media mendominasi komponen dinding arteri intrakranial, sementara tunika adventisia sangat tipis. Rasio intima, media, adventisia adalah 0.17 : 0.52 : 0.31 mm, dibandingkan dengan middle segment dari left decending coronary artery 0.27: 0.36:0.4 mm.


5. Arteri serebral kemampuan meregangnya sangat rendah dibanding dengan arteri lain, karena arteri ini lebih kaku baik secara sirkumferensial maupun longitudinal.


6. Karena arteri intrakranial diselimuti oleh cairan serebrospinal, maka arteri ini hanya memiliki sedikit support dari jaringan perivaskular, sangat berbeda dengan arteri koroner.


7. Arteri intrakranial juga terdiri dari cabang-cabang kecil yang tidak tampak secara angiografi

 

8. Ciri anatomis yang berkelok-kelok, menjadikan arteri intrakranial lebih sulit dan memberikan tantangan lebih saat prosedur endovascular dilakukan

 

Perbedaan-perbedaan ini membuat prosedur neurointervensi lebih kompleks dan merupakan prosedur dengan resiko tinggi ditangan yang tidak kompeten. Cardiac stenting sangatlah berbeda dengan intracranial stenting dalam prosedur maupun resiko komplikasinya. Seorang neurointervensionist yang baik bukan hanya seseorang yang mampu melakukan berbagai macam prosedur dengan takaran keamanan yang tinggi, namun juga yang mampu melakukan tindakan tepat saat komplikasi terjadi.

 

Wednesday, 27 July 2011

SAAT PREVENSI DENGAN INTERVENSI MEMANG DIPERLUKAN

Melakukan penatalaksanaan stroke ternyata memerlukan bukan hanya pengetahuan yang cukup, namun juga teknologi kedokteran yang memadai. Neurologist yang bekerja di daerah perifer tentu memerlukan “energi ekstra” untuk mendapat diagnose yang tepat bagi pasien-pasiennya. Apalagi jika daerah bersangkutan tidak memiliki CT Scan sekalipun !!!.
Berikut adalah contoh kasus, dimana dengan CT Scan dan MRI-pun, dokter masih sering melewatkan tatalaksana seharusnya bagi pasien.
Seorang wanita, 75 tahun datang dengan keluhan kelemahan tubuh kiri. Dilakukan CT Scan kepala dengan hasil sebagai berikut :


CT Scan diatas menunjukkan adanya stroke pada teritori MCA kanan. Pasien di rawat dengan perawatan medicinal. Pasien membaik dan dipulangkan. Beberapa bulan kemudian pasien datang kembali dengan serangan berulang juga pada sisi kiri. Dilakukan MRI dengan hasil (DWI & FLAIR) sebagai berikut :




Pada gambaran DWI didapatkan gambaran stroke akute pada MCA kanan, namun juga didapatkan gambaran deep watershed infaction pada hemisfer kanan, yang artinya terjadi hipoperfusi, sangat mungkin berasal dari stenosis carotid kanan. Apabila dicermati lagi hasil CT scan pada serangan pertama, sebenarnya sudah ada gambaran deep watershed infarction, artinya saat itu stroke yang terjadi juga merupakan hemodynamic stroke dan hal ini di dapat terlihat pada MRI-FLAIR di atas. Pasien ini kembali dilakukan penatalaksanan medicinal, dan membaik.
Beberapa hari kemudian pasien mengalami gangguan keseimbangan, giddiness dan terjatuh. Akhirnya pasien datang ke sebuah rumah sakit dan dilakukan serebral DSA dengan hasil yang cukup mengejutkan, sebagai berikut :



Tampak terjadi stenosis pada subclavia kanan dengan vascularisasi arteri vertebralis kanan yang hipoplastik. Tampak pula stenosis carotid kanan yang hampir total (>95%), sedangkan carotid kiri juga mengalami stenosis berat. Namun yang lebih mengejutkan adalah gambaran DSA berikut :


Tampak stenosis pada ostium arteri vertebralis kiri sekitar 80%. Dan ini merupakan critical stenosis, mengingat arteri vertebralis inilah satu-satunya yang memberikan vaskularisasi untuk sirkulasi posterior, dimana P.Com bilateral juga tidak memberikan suplai optimal.
Akhirnya, dilakukan stenting pada arteri Carotis kanan dan arteri vertebralis kiri sebagai prevensi skunder. Hasilnya adalah sebagai berikut :



Direncanakan pula stenting pada arteri carotis kiri jika ada keluhan dikemudian hari. Stenting pada carotis kiri belum dilakukan saat ini dengan pertimbangan adanya suplai optimal dari kanan ke kiri melalui A.com pasca stenting.
Kasus ini kembali memberikan gambaran bahwa perawatan pasien stroke memerlukan pengetahuan yang cukup, terutama tentang neurovascular dan dinamikanya, lebih dari itu, juga memerlukan teknologi kedokteran yang memadai. Apabila pasien ini tetap dilakukan perawatan medicinal tanpa prevensi intervensi, dapat diramalkan akan mengalami stroke berat akibat penyumbatan arteri carotis interna kanan dan arteri vertebralis kiri dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Friday, 22 July 2011

JANGAN AMBIL JALAN PINTAS

Istilah “Jalan Pintas” dalam kehidupan keseharian memiliki konotasi kurang baik. Istilah tersebut sering dipakai untuk seseorang yang ingin mencapai tujuan namun dengan cara cepat tanpa proses normal. Seseorang yang mengambil jalan ini berorientasi hasil, bukan orientasi proses. Padahal proses itulah yang akan membuat seseorang menjadi kuat dan liat. “Jalan Pintas” semacam ini akan membuat kehidupan menjadi abnormal. Generasi yang akan dihasilkanpun adalah generasi rapuh dan mudah menyerah.

Saat mempelajari neurovaskular akan ditemukan pula abnormalitas akibat “Jalan Pintas”. Vaskularisasi otak maupun medula spinalis akan berjalan baik apabila fase arteri diikuti oleh fase vena secara berurutan. Fase vena akan muncul begitu fase arteri selesai. Namun, adakalanya fase vena muncul sebelum fase arteri berakhir. Ada “Jalan Pintas” yang dilewati oleh aliran darah yang langsung masuk ke sistem vena. Hal ini akan menimbulakan suatu keluhan dan tanda, tentu tergantung di area mana kelainan itu berada.

Ambillah contoh seorang laki-laki,57 tahun yang mengeluh vertigo dan mengalami gangguan keseimbangan saat berjalan. Dia juga mengeluhkan adanya suara di belakang telinga kana-kiri. MRI pada pasien ini normal. Pemeriksaan serebral DSA ditemukan gambaran sebagai berikut :




Pada injeksi dengan kontras arteri vertebralis (gambar atas), tampak fase vena yang muncul sangat dini sebelum fase arteri berakhir. Ini mengakibatkan sebagian aliran darah tidak mencapai target seharusnya. Pada injeksi selektif eksternal carotid, tampak fase vena yang sangat dini muncul melalui arteri occipitalis. “Jalan Pintas” ektracranial ke intracranial ini menimbulakan keluhan “bruit” pada penderita, dan dapat terdengar melalui stetoskop. “Jalan Pintas” ini dikenal dengan Arterio-Venous Fistula (AVF).

AVF juga dapat terjadi pada medulla spinalis. Lihatlah gambar MRI yang terjadi pada laki-laki, 18 tahun di bawah ini :



Pada potongan T2 axial tampak adanya ektasis vena. Dan pada potongan T2 sagital tampak pula lintasan vena yang berjalan dari atas ke bawah. Pada Spinal DSA akan tampak jelas fase arteri-vena, injeksi yang dilakukan selektif pada arteri segmental juga akan menunjukkan pada tingkat mana kelainan itu terjadi. Perhatikan hasil spinal DSA berikut ini :


Modalitas diagnostik dengan DSA ini akan sangat membantu menuntut ke arah terapi. Embolisasi pada AVF masih merupakan pilihan utama. Pasien diatas datang dengan keluhan paraplegia, setelah embolisasi keluhannya berangsur membaik, dan evaluasi motorik terdapat perubahan yang bermakna.

Sunday, 17 July 2011

MEMANDANG DENGAN SEBELAH MATA

Judul diatas bukanlah sebuah peribahasa, namun nyata terjadi pada pasien wanita, 66 tahun. Wanita ini tidak mengeluhkan apapun kecuali bola mata kirinya tidak bisa di gerakkan dan kelopak mata kirinya menutup sama sekali. Praktis pasien hanya memandang dengan sebelah mata.
Keluhan ini merupakan opthalmoplegia yang mengenai N III kiri akibat kompresi dari PCom aneurysma. Keluhan ini bisa merupakan satu-satunya keluhan pasien, namun bisa juga disertai dengan SAH. Opthalmoplegia yang mengenai N III akibat kompresi aneurysma sudah umum di ketahui. Keluhan pasien dapat mendadak ataupun memberat secara gradual akibat efek massa. Berikut adalah Gambaran DSA pasien dengan PCom aneurysma :


Ada kontroversi mengenai tindakan yang akan dilakukan, apakah sebaiknya pembedahan atau coiling ? Recovery setelah tindakan bedah telah banyak dilaporkan pada sebagian besar pasien, namun apakah recovery akan terjadi setelah tindakan coiling ?
Pasien diatas akhirnya dilakukan coiling, perhatikan gambar berikut :


Pasien membaik dan mengalami recovery gradual dalam beberapa minggu. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa coiling memberikan perbaikan pada sebagian besar pasien, namun ini juga dipengaruhi oleh disfungsi N III saat pasien dilakukan coiling, apakah disfungsinya hanya parsial atau komplit. Perbaikan dilaporkan rata-rata 4-14 hari setelah tindakan. Secara umum, baik setelah pembedahan ataupun coiling,yang pertama kali mengalami recovery fungsional adalah muskulus levator palpebrae, diikuti oleh muskulus rektus medialis, muskulus rektus superior, muskulus konstriktor iris, dan muskulus ciliaris (Hanse MCJ et al.,2008; Am J Neuroradiol 29:988–90).

Pesan yang ingin disampaikan sebenarnya adalah jangan memandang sebelah mata (underestimate) pasien dengan keluhan opthalmoplegia, baik parsial maupun total. Pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan serebral DSA untuk menyingkirkan adanya PCom Aneurysma.

MENYAKSIKAN, BUKAN HANYA MEYAKINI

Membaca kehidupan para Sufi, bisa didapatkan dari berbagai kitab klasik pesantren. Kitab klasik ini lebih di kenal dengan nama “kitab kuning”, karena memang kertasnya berwarna kuning dan menjadikan lebih sejuk bagi mata yang membacanya. Dalam kitab tersebut dijelaskan bagaimana para Sufi mencari dan mencintai Tuhan. Tingkatan yang tertinggi dari kecintaan itu adalah tatkala para Sufi bukan hanya meyakini keberadaan Tuhan, namun juga “menyaksikan” keberadaan-Nya. Tingkatan ini disebut tingkatan Ma'rifat.

Dalam praktek klinis neurologis, seringkali dokter berhadapan dengan pasien SAH yang diyakini mengalami vasospasme. Namun dalam banyak kasus, dokter bersangkutan tidak meyaksikan secara langsung bagaimana vasospasme terjadi. Terjadinya vasospasme dapat diketahui melalui kondisi klinis pasien, misalnya terjadi defisit fokal neurologis setelah SAH, karena memang vasospasme akan menyebabkan infark pada area bersangkutan. Atau vasospasme dapat diketahui secara tidak langsung menggunakan Transcranial Doppler (TCD) dengan pengukuran melalui bone window, kemudian didapatkan nilai (Peak, Mean, P.I, R.I) pada ICA, MCA, ACA maupun PCA. Pengukuran dengan TCD sangat tergantung pada operator. Pengalaman klinis membuktikan bahwa dalam beberapa kasus didapatkan pemeriksaan TCD yang normal meskipun didapatkan vasospasme.

Menyaksikan vasospasme yang sesungguhnya hanya mungkin melaui serebral DSA. Akan tampak pembuluh darah yang menyempit (spasme), terutama pada lokasi dengan jumlah darah yang cukup tebal pada rongga subarachnoid sesuai gambaran CT Scan kepala. Apabila terlihat adanya vasospasme yang cukup signifikan, seorang neurointervensionist akan melakukan pemberian intra arterial (IA) nimodipin, atau dengan melakukan ballooning. Perhatikanlah gambaran serebral DSA berikut :


Gambar diatas adalah pasien dengan A.Com aneurysma. Tampak adanya vasospasme yang signifikan pada distal ICA, MCA dan ACA. Lalu bandingkanlah dengan Gambaran DSA berikut yang dilakukan beberapa minggu setelah coiling dilakukan :


Tampak adanya perbedaan yang nyata antara gambaran serebral DSA pertama dan kedua. Gambaran DSA ini juga sesuai dengan klinis pasien. Pasien yang mulanya datang dengan nyeri kepala hebat dan disorientasi,kemudian membaik tanpa keluhan apapun.

Ternyata “menyaksikan” bukan hanya memperteguh “keyakinan,” namun juga memberikan kepuasan dan penghayatan yang demikian dalam.

SAAT MATA TAK DAPAT MELIHAT

Apa yang terlihat oleh mata dhohir memiliki keterbatasan. Apalagi kalau fakta tersebut berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya politik praktis, pastilah terdapat banyak tafsir disana. Bagi pemain sepakbola, menendang bola ke arah belakang, samping kanan atau kiri, sebenarnya tujuannya adalah ke arah gawang. Melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang dhohir adalah absurd, namun meninggalkan sama sekali penglihatan dhohir dan hanya berpegang pada kekuatan asumsi dan interpretasi juga sebuah kesalahan.

Dalam melakukan diagnose klinis, seorang neurologist tidak hanya berpegang pada imejing, atau temuan laboratoris. Pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis memiliki nilai yang tinggi. Melakukan interpretasi terhadap beberapa fakta dan memformulasikannya dalam bentuk diagnosis, kemudian menjadikan interpretasi tersebut sebagai sebuah dasar terapi adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Sudah umum dikenal dikalangan klinisi ungkapan “Don’t treat the figure”, dokter tidak boleh memutuskan terapi hanya berdasar CT Scan, EEG, ECG dll tanpa mengkorelasikan dengan data klinis lainnya.
Perhatikanlah hasil CT Scan kepala berikut ini :


Hasil CT Scan diatas menunjukkan suatu gambaran hiperdensitas arteri basilaris, namun MCA sebelah kanan juga menunjukkan hiperdensitas. Adakah ini merupakan thrombosis pada arteri basilaris ? ataukan ini merupakan gambaran “ Hyperdense MCA sign” yang banyak terlihat pada thrombosis cabang MCA pada stroke < 6 jam ? Namun, kedua gambaran ini mungkin saja merupakan sesuatu yang normal. Dan pada pasien ini dokter melihatnya sebagai “normal”. Perhatikanlah CT Scan 24 Jam setelah CT Scan pertama :




Pada CT Scan kedua ini tampak suatu area infark luas. Kalau dianalisa lebih lanjut, infarknya meliputi area PCA dan arteri serebellar. Namun, dimana kira-kira lokasi persis infarknya ? Lokasinya adalah pada arteri basilaris dibawah AICA. Pada CT Scan masih terlihat bagian serebellum inferior yang normal, dan ini mendapat vaskularisasi dari PICA. PICA sendiri merupakan cabang arteri vertebralis intracranial, jika bukan pada arteri basilaris di bawah AICA, tentulah penyumbatan itu pada arteri vertebralis bilateral di atas PICA, kemungkinan ini sangat kecil terjadi.
Andai saja gambaran ini bisa terlihat sebelumnya, masih mungkin dilakukan intra arterial (IA) trombolysis dengan “window period” 12 jam setelah onset. Waktu 12 jam ini berdasarkan pertimbangan bahwa stroke pada sirkulasi posterior mengancam jiwa dan manfaat IA trombolysis lebih besar di banding madharat-nya. Sedang pada sirkulasi anterior, “window period” hanya 6 jam.

Sunday, 10 July 2011

BUKAN HANYA PILOT YANG BUTUH JAM TERBANG

Dunia neurointervensi tidak hanya memerlukan skill saat prosedur dilakukan, namun juga memerlukan kejelian memahami angiografi dan analisa klinis yang tajam. Seorang neurointervensionist yang mengandalkan skill saja, akan melewatkan suatu temuan yang penting dan sebenarnya merupakan problem klinis pasien bersangkutan. Sebaliknya, tanpa skill memadai, hasil angiografi yang didapat tidak maksimal, dalam beberapa kasus malah menimbulkan komplikasi pasca prosedur. Perhatikanlah gambar berikut, dan kira-kira apa yang sesungguhnya kita lihat ?


Ini merupakan gambar angiografi ICA kiri. Apakah yang terjadi dengan ICA ini ? Apakah ini merupakan vascular diseases ? Ataukah ini suatu stenosis ? Yang sebenarnya terjadi adalah suatu vasospasme akibat manipulasi wire atau kateter. Vasospasme ini hanya terjadi sementara dan akan menghilang dalam beberapa saat dan tidak memerlukan terapi sebagaimana vasospasme pada SAH. Dalam derajad yang lebih berat, akibat mekanik dari tindakan akan menyebabkan dissecting artery. Karena itu diperlukan periode waktu tertentu untuk menjadi seorang neurointervensionist sehingga relatif aman dalam melakukan tindakan.

Untuk gambaran angiografi berikut dibawah ini, apa kira-kira yang kita dapatkan ? Ini adalah Injeksi ICA kiri pada seorang remaja, 17 tahun yang datang dengan perdarahan intraserebral berulang pada hemisfer kiri. 



Gambaran angiografi ini tampaknya normal. Namung mengapa bisa terjadi dua kali serangan perdarahan intraserebral ? Apabila kita bisa mengkorelasikan antara temuan pada CT Scan/MRI dan gejala klinis pasien, kita akan melihat satu gambaran AVM yang sangat kecil pada cabang temporo-occipital dari MCA kiri, marilah kita perhatikan dan kita cermati kembali gambar diatas. Nah, kita sudah menemukannya ! Dengan melakukan magnifikasi saat DSA gambaran itu akan semakin jelas terlihat, DSA juga perlu dari beberapa posisi untuk mendapat gambar dengan kualitas maksimal.
Ternyata, bukan hanya Pilot Pesawat yang memerlukan jam terbang, Pilot yang bekerja di Cathlab-pun memerlukannya........

Saturday, 9 July 2011

DARI KERAGUAN MENUJU KEYAKINAN

Dalam praktek klinis sehari-hari sebagai Neurologist, seringkali  ada  kasus dimana kita ragu dalam menentukan diagnosis hanya dari satu modalitas diagnostik. Kasus berikut mungkin salah satu contohnya. Seorang wanita, 53 tahun dengan Nyeri kepala mendadak dan penurunan kesadaran. Lihatlah hasil CT scan kepala berikut ini :


Kita bisa memastikan ini adalah SAH. Pertanyaan berikutnya, apakah penyebab SAH pada kasus ini ? Sebagian besar kasus SAH (sekitar 80-85%) diakibatkan oleh pecahnya aneurysma. Kalaupun ini merupakan aneurysmal SAH, dimana kira-kira lokasi aneurysma-nya ? Dengan menganalisis CT Scan kepala ini kita bisa memperkirakan lokasi aneurysma berdasar skor Hijdra (Hijdra et. al,1990. Stroke 21: 1156–1161.). Skor ini menganalisa lokasi penyebaran perdarahan pada masing-masing sisterna, sebagaimana berikut :

A : frontal interhemispheric fissure;
B : sylvian fissure, lateral parts
C : sylvian fissure, basal parts
D : suprasellar cistern
E : ambient cisterns
F : quadrigeminal cistern

Kita tidak membahas bagaimana menghitungnya, namun dari skor ini bisa diprediksi dimana lokasi aneurysma berada. Sayangnya, skor ini memiliki nilai prediksi paling tinggi 80%, itupun untuk lokasi aneurysma pada Acom atau ICA bifurcation.
Setelah melihat gambaran CT Scan diatas, kita sebagaian besar akan menebak lokasi aneurysma pada ICA bifurcation kanan, dengan alasan tampak darah mengumpul disebagian besar cisterna sebelah kanan, terdapat bentukan menyerupai aneurysma pada lokasi ICA bifurcation kanan. Namun, benarkah itu aneurysma nya ? Dan benarkah lokasinya disana ?
Sebagai klinisi, kita melangkah dari sesuatu yang masih meragukan menuju keyakinan. Gold standard pada SAH adalah DSA serebral. Beberapa dokter hanya berhenti pada CT Scan, merawat pasien dengan perawatan medical, dan saat pasien membaik dipulangkan. Sesungguhnya, dokter tersebut telah membiarkan bom waktu untuk kembali meledak kedua kalinya, dan tanpa berusaha mengetahui dimana letak aneurysma dan mengatasinya. Yang terjadi kemudian adalah pasien datang kembali dalam waktu beberapa bulan kedepan dengan kondisi klinis yang jauh lebih berat dari serangan pertama.
Baiklah, adakah asumsi kita tentang aneurysma dan lokasinya sudah tepat ? Lihatlah gambaran DSA berikut :


Injeksi kontras pada RICA menunjukkan adanya A1 yang aplastik. Gambaran ini semakin meyakinkan kita adanya aneurysma, mengapa ? Hampir dapat dipastikan teritori ACA kanan mendapat vaskularisasi dari kontralateral melui Acom. Kondisi yang demikian akan mengakibatkan terbentuknya aneurysma pada Acom. Dan pada injeksi kontras LICA tampak gambaran berikut :


Tampak gambaran aneurysma pada Acom sesuai analisa sebelumnya. Maka, saat ini kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa SAH tersebut disebabkan oleh aneurysma. Kesimpulan kedua, lokasi aneurysma bukanlah pada ICA bifurcation kanan sesusai perkiraan pada CT Scan, namun pada Acom. Kesimpulan ini membawa kita pada keputusan klinis penting yaitu bahwa aneurysmal SAH ini perlu dilakukan tindakan. Tindakan tersebut berupa coiling oleh Interventional Neurologist atau clipping oleh Neurosurgeon. Diskusi tentang Coiling Vs Clipping akan menjadi topik yang semakin menarik, dan tentu tidak pada halaman ini.

Tentang KERAGUAN dan KEYAKINAN, mengingatkan kita pada satu kaidah Ushul Fiqh berbahasa arab yang sangat populer dikalangan pesantren : "Al Yaqiinu Laa Yuzaalu Bissyak", Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya Keraguan, meskipun kaidah ini tidak sepenuhnya relevan di aplikasikan pada kasus ini.

Friday, 8 July 2011

INDAHNYA HIDUP BERTETANGGA


Siapakah yang akan membantu kita saat tiba-tiba saja rumah kita terbakar atau kita jatuh pingsan ? Tentu tetangga terdekat kita. Teman terbaik kita di kantor, saudara, sahabat atau siapapun yang kita anggap spesial mungkin hanya akan datang kemudian. Karena itu berbuat baik terhadap tetangga sangat dianjurkan. Deskripsi ini akan mengantar kita pada satu kasus menarik. Seorang wanita 37 tahun yang mengeluhkan kelemahan tubuh sebelah kanan (hemiparesis) namun membaik sempurna setelah satu minggu.

Hasil MRI kepala (FLAIR) didapatkan lesi kecil pada teritori MCA kiri, perhatikan gambar berikut : 


Pada gambaran MRA ditemukan stenosis yang cukup signifikan pada MCA kiri, tepatnya pada M1, namun masih ditemukan cabang anterior temporal MCA kiri, perhatikan gambar berikut :



Membandingkan gambaran MRI dan MRA ini memunculkan suatu pertanyaan, mengapa gambaran stenosis cukup berat pada MRA hanya menimbulkan lesi kecil pada MRI, dan yang lebih penting mengapa gejala klinis yang muncul membaik hampir sempurna ? Jawabannya ternyata jelas setelah dilakukan DSA (Digital Subtraction Angiography) serebral. Injeksi kontras pada LICA tampak suatu anastomose kortiko-kortikal antara MCA-PCA kiri, juga menunjukkan adanya angiomatous change  pada perforator (lenticulostriate artery) yang jelas bila dilihat pada posisi AP. Perhatikan gambar berikut :

 

Vaskularisasi pada MCA kiri juga mendapat bantuan dari P.Com kiri, perhatikan gambar berikut ini dan bandingkan sisi kiri dan kanan :



Akhirnya, injeksi kontras pada LECA menunjukkan gambaran yang sangat indah, yaitu anastomose antara Middle Meningeal Artery (MMA) dengan cabang MCA, tepatnya pada segmen anterior parietal kiri. Perhatikan dua gambar berikut :





Karena memiliki anastomosis yang baik, gejala klinis pada wanita ini menjadi tidak signifikan. Teritori MCA yang hilang mendapat bantuan dari tetangganya, yaitu PCA, perforator, PCom dan bahkan, kasus yang jarang terjadi, dari MMA.

Maka, dari pendekatan neurointervensi, pasien ini tidak memerlukan stenting intracranial meskipun dengan stenosis MCA kiri yang signifikan. Pembuluh darah tetangganya sudah dapat  membantu memberikan vaskularisasi pada area yang terganggu. Tindakan medis yang perlu diberikan adalah best medical mangement dan closed evaluation. Stenting intracranial mungkin diperlukan jika manajemen ini gagal.

Ternyata hidup bertetangga demikian indahnya.