Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Tuesday 29 August 2017

Sayonara Neuroprotektan ?

Sayonara merupakan ungkapan dalam bahasa Jepang yang memiliki arti selamat tinggal. Namun, makna Sayonara ternyata tidak sekedar “selamat tinggal” saja, karena itu orang Jepang sendiri jarang atau enggan menggunakan kata Sayonara. Mereka memilih menggunakan kata-kata lain untuk menyampaiakan salam perpisahan atau selamat tinggal. Makna sebenarnya Sayonara bukanlah sampai berjumpa pula. Sayonara berarti salam perpisahan selamanya, saat seseorang mungkin tidak akan bertemu kembali, seperti seseorang yang sakit berat dan akan meninggalkan keluarganya. Demikianlah menurut beberapa ahli bahasa.

Ada apa dengan neuroprotektan ? mengapa Sayonara pada neuroprotektan ? bukankah neuroprotektan merupakan obat yang sehari-hari kita resepkan pada pasien stroke ? mungkinkah neurolog meninggalkannya ?

Studi-studi tentang  neuroprotektan pada stroke tampaknya telah memasuki babak akhir, setelah studi ICTUS  dengan subyek penelitian cukup besar gagal menunjukkan efektifitas citicolin pada stroke iskemik (The Lancet, Juli 2012), kini meta analisis terbaru juga mengungkapkan hal yang sama tentang Cerebrolysin (Stroke, Ziganshina et.al, 2017).  Sehingga, Cochrane reviews dan berbagai guideline terbaru tidak merekomendasikan penggunaan neuroprotektan pada stroke.

Cerebrolysin merupakan suatu mixture of low molecular weight peptides and amino acid yang berasal dari otak babi, dengan properti yang diduga memiliki potensi neurotropik dan neuroprotektif. Cerebrolysin telah digunakan secara luas di Rusia, Eropa Timur, Cina dan sebagian Negara Asia serta Negara-negara bekas Uni Soviet.

Pertanyaanya, setelah adanya Cochrane Review yang menyatakan bahwa neuroprotektan ini tidak bermanfaat, adakah penggunaan obat ini akan tetap berlangsung ? Pertanyaan yang sama untuk kita, neurolog Indonesia, adakah kita akan terus menggunakan neuroprotektan yang tidak direkomendasikan oleh guideline dan tidak memiliki evidence ilmiah yang kuat ? Siapkah kita menyampaikan “ Sayonara Neuroprotektan” ?

Neurointervention on Brain AVM : To be Sniper or Bomber ?

Bagi neurointerventionis, BAVM sangat unik, menarik sekaligus menantang. Dengan duduk di pojok ruangan, melakukan analisa angioarsitektur BAVM ternyata cukup membuat kita terlena. Sebelum memulai embolisasi, rekostruksi dapat memerlukan waktu cukup lama. Mulai dengan identifikasi lokasi, feeder, draining vein, tipe AVM secara anatomis (sulcal, gyral, mixed), secara angioarsitektur (plexiform, fistolus, mixed), identifikasi rupture site, kompartemen dan target embolisasi.

Sehingga, embolisasi AVM hampir selalu didahului DSA diagnostik secara terpisah. Hal ini berbeda dengan SAH akibat aneurisma misalnya, dimana dapat dilakukan secara ad hoc, yaitu DSA dapat disusul dengan coiling dalam waktu bersamaan.

Setelah melakukan rekonstruksi, maka akan diputuskan tindakan endovaskuler beserta strategi yang akan digunakan. Adakah menggunakan liquid embolan secara tersendiri atau kombinasi dengan coil pada kasus fistoulous dan high flow. Liquid embolan yang saat ini tersedia di Indonesia adalah Glue (NBCA:Lipiodol) dan Onyx. Kedua liquid embolan ini memiliki karasteristik dan kenyamanan tersendiri bagi masing-masing operator.

Glue, bagi yang biasa menggunakannya, sangat nyaman, aman dan tepat sasaran. Namun, bagi yang baru saja mencoba, dapat merupakan bumerang apabila tidak berhati-hati. Kepekatan, penempatan microcatheter dan kekuatan injeksi merupakan kunci keberhasilan embolisasi menggunakan glue.  Sehingga, seringkali, intervensionis memerlukan waktu lama untuk mencari posisi sebelum melakukan injeksi glue secara tepat dan memuaskan. Serupa dengan SNIPER, sasaran yang ditembak sangat spesifik dengan area kecil (satu atau dua kompartemen saja) dan jika dimaksudkan untuk mematikan area yang cukup luas, maka tidaklah cukup hanya sekali bidik. Dalam kondisi demikian, perlu melakukan beberapa kali tindakan kateterisasi, karena pada penggunaan glue, microchateter yang dipakai tidak dapat digunakan lagi. Begitu arah aliran glue refluks mengenai mikrokateter, maka kateter harus segera ditarik keluar, jika tidak, polimerisasi akan menyebabkan kateter stagnant dalam pembuluh darah, dan apabila ditarik secara paksa akan menyebabkan perdarahan.

Onyx, memiliki waktu polimerisasi yang cukup lama. Bahan ini perlu dipersiapkan dengan shaking minimal 20 menit. Konsentrasi Onyx tidak dapat diatur, konsentrasi telah ditetapkan, misalnya Onyx -18. Sebagai pengganti cairan dextrose yang digunakan untuk flusing pada glue, digunakanlah DMSO, dan ini terdapat satu paket kemasan bersama onyx. Penggunaan onyx juga memerlukan pengalaman spesifik. Karena onyx merupakan embolan yang non- adhesive (tapi kohesive), intervensionis punya banyak waktu untuk melakukan injeksi, kemudian menunggu beberapa saat, dan kemudian melakukan injeksi lagi. Onyx dapat menutup area nidus yang luas dan multikompartemental. Karena area jangkaunya luas, maka ada resiko pembuluh darah kecil yang tak terlihat akan ikut tertutup. Sehingga, meskipun angka embolisasi kuratif cukup tinggi dengan onyx, namun angka komplikasi yang terjadi juga lebih tinggi dari glue. Intervensionalis seolah menghancurkan target dengan bom. Ini juga merupakan alasan substansial mengapa embolisasi pada kasus spinal AVM hampir tidak pernah menggunakan onyx.

Melihat karakteristik yang demikian, maka, tehnik dan pilihan bahan embolisasi berpulang pada operator. Apakah operator akan menjadi sniper atau bomber. Tentu saja onyx dapat digunakan untuk AVM kecil dan cukup aman, namun harga onyx lebih mahal dari glue. Hal ini seperti membidik sasaran tunggal yang sebenarnya dapat dilumpuhkan dengan satu tembakan, namun jika menghancurkannya dengan bom, tentu memiliki resiko dan efek terhadap struktur sekitarnya.

Umumnya masing-masing operator akan cenderung lebih memilih salah satu embolan sebagai kegemarannya. Maka tepatlah ungkapan “There was no dangerous device but there was dangerous operator.”

Wednesday 23 August 2017

Konsep NNT dan Konsep “siapa tahu ?”

Melihat sang suami menderita stroke, seorang ibu muda tampak bingung. Dia galau akan hiruk-pikuk masukan dan saran tentang bagaimana suaminya seharusnya di terapi. Seorang kerabat menganjurkan agar dilakukan “DSA terapeutik” saja, meskipun tak tahu maksud dan tujuan-nya, konon banyak tokoh negara telah melakukannya. Kerabat yang lain menganjurkan agar dilakukan terapi stemcell, konon banyak yang telah sukses dan sedang menjadi trending treatment. Ada pula yang menawarkan berbagai suplemen dari luar negeri, sekali lagi, dengan janji akan angka perbaikan pasca stroke yang tinggi. 

Ibu ini akhirnya datang ke seorang neurolog, dan bertanya “ Apabila beberapa pasien di lakukan terapi di atas, apakah semuanya membaik dokter ? kalaupun tidak semua, berapa orang yang akan membaik dokter ?” 

Pertanyaan Ibu muda ini mengingatkan kita akan konsep NNT (number needed to treat). NNT merupakan sarana (epidemiologis) untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan tentang efektivitas intervensi medis, khususnya dalam pengobatan. NNT menjelaskan satu pasien diantara beberapa pasien yang memerlukan dan mendapat manfaat terapi dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi terkini, misalnya trombektomi pada stroke dalam waktu 6 sampai 24 jam setelah serangan (DAWN Trial). Pada studi ini, NNT pada trombektomi 2.8, artinya jika dilakukan trombektomi pada 2-3 pasien, maka 1 pasien akan mengalami perbaikan. 

Nilai NNT mulai dari 1 sampai tak terhingga. NNT ideal adalah 1, dimana setiap orang yang diberikan terapi akan membaik, sedang kontrol tidak membaik. Semakin tinggi NNT, maka semakin tidak efektif terapi tersebut. NNT dengan nilai 1, merupakan terapi sempurna (perfect drug). Sedangkan NNT dengan nilai negatif berarti terapi tersebut berbahaya, disebut sebagai NNH (number needed to harm)

Maka marilah kita lihat efektivitas terapi yang kita berikan pada pasien stroke berdasarkan NNT. Pada stroke iskemik akut, pemberian IV rTPA (0-3 jam) memiliki NNT 9.1, sedangkan perawatan stroke akut di Stroke Unit memiliki NNT 19.3. Obat Acetosal (ASA), yang diberikan dalam waktu 48 jam memiliki NNT 81.1. 

Kalau kita lihat terapi pada penyakit neurologi yang lain, bisa kita bandingkan terapi untuk diabetic neuropatic pain, dimana Carbamazepine memiliki NNT 3.0, sedang Gabapentin 3.8, dan Tricyclic antidepressant memiliki NNT 3.0. 

Atau marilah kita bandingkan terapi pada Alzeimer’s disease, dimana Donepezil memiliki NNT 8.4, Galantamine dengan NNT 7.4 dan Rivastigmin dengan NNT 14.3. 

Alhasil, sang neurolog kebingungan menjawab pertanyaan ibu muda tersebut. Setelah keduanya lama terdiam, ibu muda akhirnya bercerita tentang orang tuanya yang juga menderita stroke, dan sudah dilakukan salah satu terapi di atas, namun tidak juga membaik. Menurut informasi dari dokter yang melakukan terapi, banyak sekali pasien yang membaik pasca terapi. Namun, saat ibu muda bertanya kembali pada sang dokter, “Pak dokter, mengapa orang tua saya tidak membaik ?” Sang dokter menjawab, ini salah satu pilihan terapi saja bu, “siapa tahu” orang tua ibu membaik ???  

Maka demikianlah, konsep “siapa tahu” telah menjelma menjadi konsep epidemiologis baru. Jangan-jangan ini merupakan khazanah kekayaan budaya kita, suatu kearifan lokal yang layak dikembangkan ?...*:) senang*:D tersenyum lebar.

Wednesday 16 August 2017

Entahlah, Apakah Aku Merdeka ?

Entahlah, apakah Aku sekuat Bung Hatta
Yang menolak fasilitas Negara, saat hendak pergi menunaikan Haji
Beliau bilang, itu urusan hamba dengan Tuhannya
Yang menolak dikuburkan di Taman Makan Pahlawan
Karena ingin dekat dengan rakyat-nya

Entahlah, apakah Aku setegar Buya Hamka
Yang meski terpenjara, tetap bersuara dan melahirkan banyak karya
Jeruji besi, hanya membatasi raga, tidak jiwa dan idealisme-nya

Entahlah, apakah Aku setulus Ki Hajar Dewantara
Yang mencerdaskan anak-anak negeri tanpa henti
Memberikan teladan dan filosofi sepenuh hati

Mereka orang-orang Merdeka…
Bukan hanya pekik membahana dan kepal tangan ke udara

Aku merenungi diriku sendiri,

Adakah Aku Merdeka….?
Sedang nafsu angkara masih sepenuh dada
Adakah Aku Merdeka…?
Sedang gemerlap dunia masih menjadi tujuan utama
Sedang hati masih mendamba puji dan puja

Aku takut .....,
ternyata aku belum Merdeka….

Aku merenungi diriku sediri, lagi…dan lagi…
Ternyata,
Aku memang belum Merdeka….
Aku masih menjadi hamba nafsu dengan ego persona
Aku masih belajar Merdeka….


Kamis, 17 Agustus 2017

Tahun ke-72 Indonesia Merdeka

Friday 4 August 2017

Spiritualitas dan Keluh Kesah Seorang Doktor…..

Teman saya, seorang doktor, berkeluh kesah tentang kegalauan hidupnya. Dia merasa, makin dalam bidang ilmu yang ia pelajari, makin kering dan limbung spiritualitas-nya.

Teman saya, dia bukan hanya seorang dokter spesialis, namun juga doktor dan ilmuwan, sebentar lagi bergelar Profesor. Dia merasa, semakin banyak membaca dan meneliti, makin gelisah jiwa-nya. Kepercayaan akan ajaran agama makin kabur. Makin kebelakang, dominasi rasionalitas-nya, semakin menggerus keimanannya.

Dalam perjalanan keilmuan-nya, semua pernyataan ilmiah haruslah memiliki bukti, semua ungkapan ilmiah memerlukan penalaran yang logis. Ungkapan ilmiah apapun, harus dalam kerangka metodologis yang dapat dipertanggung jawabkan. Lambat-laun, secara sadar atau tersamar, mulailah muncul pertanyaan dalam batin, yaitu menimbang keyakinan agama dengan sudut pandang sains dan rasionalitas yang dimiliki-nya.

Pertanyaan itu berkembang demikian rupa, pertanyaan yang mungkin dia sendiri tak akan pernah mampu menjawab dan menguraikannya.” Apakah malaikat itu benar-benar ada ? Bagaimana sebenarnya malaikat itu berbentuk.” Bagaimana sains bisa membuktikannya ?”…..pertanyaan ini disusul oleh banyak pertanyaan lain yang malah semakin membuat galau jiwanya. Akhirnya, ibadahnya tidak lagi khusyuk dan memberikan-nya ketenangan. Studi bertahun-tahun, pendidikan yang tinggi, dan dominasi rasionalitas-nya hampir melepaskan dia dari agama dan keyakinannya.

Saat ini, dia duduk terpaku. Di tengah gelombang manusia di kota suci Makkah. Persis di depan pintu masjid, di tanah tempat turunnya wahyu Ilahi, matanya menatap pada semua orang yang keluar-masuk Masjidil Haram. Dilihatnya,  mereka melakukan ibadah sepenuh hati, menengadahkan tangan, tampak dihadapannya bagaimana pusaran manusia mengelilingi Baitullah. Dia juga menyaksikan bagaimana air mata tumpah di wajah-wajah para jamaah, dan dia hanya menatap dan masih bertanya, “mengapa dan mengapa ?”

Seorang pemuda berwajah cerah menghampirinya, menyapa dan mengajak berjabatan tangan, dan dengan sabar mulai mendengar kisah sang Bapak, teman akrab saya.

Menanggapi kegalauan sang bapak, pemuda ini berkata pelan dan perlahan.
“Ketika kita memikirkan alam yang lebih besar dari kita, dengan sudut pandang ilmiah dan rasionalitas kita, dengan segala usaha dan daya upaya kita, nyatanya, hanya sedikit saja yang kita ketahui, sungguh, yang ada, malah ternyata kita tak mampu menguraikannya lebih dalam. Saat kita memikirkan alam yang lebih molekuler dan tak terlihat, nyatanya, sangat sedikit saja yang kita ketahui, segala daya upaya kita ternyata terbatas.”

“Apa yang dapat di ungkap oleh otak manusia, sesungguhnya adalah hanya secuil ciptaan Tuhan yang berhasil dijelaskan. Sedang otak yang digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena, juga merupakan ciptaan sang Maha. Maka, lihatlah, bagaimana suatu ciptaan tak mampu secara menyeluruh mengungkapkan dan menjelaskan suatu ciptaan juga. Ilmu pengetahuan telah dengan gamblang menjelaskan bahwa sistem dan ciptaan ternyata memiliki keterbatasan. Bagaimana mungkin makhluk yang penuh keterbatasan dapat mengungkapkan seluruh rahasia Tuhan yang tak terbatas ?”

“Ketika manusia merasa pintar, merasa dapat mengungkap rahasia alam dan pengetahuan, sesungguhnya dia bukanlah penemu, karena apa yang dikatakan “penemuan” sebenarnya fenomena yang sudah ada dan tersedia. Yang disebut-sebut sebagai “Penemu,” ternyata mereka hanya menjelaskan bagaimana fenomena yang secara kebetulan belum pernah diketahui orang lain. “Penemu” sesungguhnya hanya menjelaskan bagaimana hukum alam berlangsung, hukum yang merupakan kreasi Sang Maha Pencipta.”

“Setelah sekian panjang perjalanan penelitian, dengan ratusan bahkan ribuan bukti, maka mungkin akan muncul suatu dogma ilmu pengetahuan, sebagaimana Dogma Sentral dalam ilmu genetika. Dogma dianggap sesuatu yang sudah tak terbantahkan. Maka lihatlah, untuk sebuah dogma saja, tidak dapat diungkap oleh hanya satu ilmuwan, ia memerlukan banyak ilmuwan, bahkan mungkin ilmuwan dari generasi ke generasi berikutnya.”

“Disertasi doktor, yang sangat dibanggakan, ternyata hanya mampu mengungkap satu jalur panah, diantara trilyunan dari trilyunan lagi jalur yang sesungguhnya sudah ada. Namun, alangkah naïf-nya, tatkala banyak manusia demikian angkuhnya merasa pintar dan berusaha merasionalkan semua ajaran agamanya yang bersumber dari Sang Maha.”

“Ajaran agama Islam itu rasional, namun untuk memeluk-nya, tidak dimulai dari rasionalitas. Islam dapat dipahami dan dimengerti dengan keimanan. Keimanan tidak mensyaratkan daya cerna otak. Iman tidak mensyaratkan manusia terlebih dahulu mampu merasionalkan ajaran agamanya.”

“Salah satu komponen keimanan dan ciri orang bertaqwa adalah percaya pada yang ghaib. Ghaib berarti pancaindera manusia tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana mungkin otak yang mampu bekerja dengan sistem indera mampu menjangkau dan menjelaskan hal yang ghaib ?”  

Di akhir penjelasannya, Sang pemuda membuat teman saya terperanjat. Teman saya seolah telah lama mengenalnya. Benar, sosok pemuda itu adalah dirinya sendiri, dirinya sebelum menjadi doktor sebentar lagi Profesor, dirinya sebelum memiliki popularitas, dirinya yang masih polos dan rendah hati, dirinya yang masih berhati jernih dan jauh dari rasa angkuh dan sombong. Jabat tangan itu  ternyata terjadi dalam kontemplasi alam bawah sadarnya. Teman saya mulai memahaminya, dia menemukan dirinya yang dulu.                                                                                                                
Sesungguhnya, kegelisahan teman saya ini, juga dialami oleh seorang Al-Ghazali pada abad ke-11 (lahir di Thus, dekat Iran, pada 1058 M). Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa, “ Apakah pengetahuan yang meyakinkan itu ? Apakah pengetahuan indrawi dapat kita percayai ? Apakah pengetahuan rasional adalah pengetahuan tertinggi ? Apakah seorang muslim harus menolak filsafat ? Bagaimanakah pengetahuan ke-Nabian dan Wahyu itu ?” Bermula dari kegelisahannya, Al-Ghazali kemudian melakukan kontemplasi, melakukan perenungan mendalam atas semua pertanyaan-pertenyaan tersebut, kemudian lahirlah sebuah karya beliau berjudul “ al-Munqidz min adh-Dhalal” yang berarti “ Pembebas dari Kesesatan.”