Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday 1 December 2017

Berangkat dari manakah sang dokter ?

Saat seorang ingin menjadi dokter, tanyalah dia,  mengapa ? karena niat dan motivasi dalam hati akan menentukan bentuk aktivitas dan perilakunya suatu saat nanti.

Tatkala dia sudah menjadi, maka dokter adalah seorang yang senantiasa membawa neraca timbangan saat berhadapan dengan pasien. Di tengah kondisi kapitalisasi yang merasuk ke berbagai sektor, maka dokter dapat menjadi bagian penting dalam berbagai prosesnya. Neraca itu menjadi bagian krusial, adakah seorang dokter akan adil, sebagaimana seorang hakim dalam memutuskan perkara.

Di tengah kapitalisasi yang masif, neraca keadilan seorang dokter diuji. Dokter bisa berperan sebagai pemodal (pengusaha) sekaligus sebagai pelaksana (buruh intelektual ?). Apabila berada pada posisi pengusaha, maka obyektivitasnya diuji, antara keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya, atau kebaikan sebanyak-banyaknya bagi si pasien. Apabila berada pada posisi pelaksana pelayanan, makan obyektivitasnya juga diuji, setidaknya dalam beberapa situasi.

Pertama, saat memutuskan melakukan terapi, apakah dia mampu menanganinya sendiri, harus rawat bersama atau perlu dirujuk ke sejawat yang lebih kompeten ? ada kalanya sang dokter takut kehilangan pasien, dia lakukan perawatan dalam kondisi dimana seorang pasien lebih layak dirujuk ke spesialis yang lebih kompeten. Atau, dalam kondisi sang dokter tertekan oleh regulasi asuransi, rujukan hanya dilakukan saat sang pasien sudah dalam kondisi tak tertangani setelah beberapa kali terapi, dan ternyata tidak membantu pemulihan.

Kedua, saat melakukan prosedur diagostik. Untuk pilihan modalitas diagnostik yang dipilih, adakah benar memberikan keuntungan bagi penderita atau keuntungan bagi dirinya sendiri. Peluang bias akan semakin besar, apabila seorang dokter mampu melakukan prosedur diagnostik yang mampu memberikan keuntungan bagi dirinya secara finansial. Misalnya seorang dokter yang dapat melakukan prosedur angiografi, kecenderungan untuk melakukan tindakan angiografi pada semua kasus yang datang kepadanya merupakan bias, di saat masih ada pilihan modalitas lain yang mungkin lebih murah dan non- invasif. Adanya referral fee pada beberapa kasus juga akan menurunkan derajad obyektivitas seorang dokter dalam mengirimkan pasien untuk prosedur diagnostik.

Ketiga, saat memilih modalitas terapi. Disinilah tampaknya ujian paling berat itu nyata. Dia dapat memilihkan terapi yang menguntungkan pasien saja, menguntungkan dokter saja, atau menguntungkan kedua-duanya. Pertanyaanya, adakah dokter yang melakukan terapi pada pasien hanya menguntungkan dirinya sendiri dan tidak menguntungkan pasiennya ? ternyata jawabannya ada !!!. Lihatlah banyaknya prosedur atau terapi yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan guideline yang jelas, namun meski mahal dengan harga puluhan juta tetap diberikan dan dilakukan pada pasien, dengan dalih “siapa tahu” membaik.

Kebebasan seorang dokter untuk ber”ijtihad” medis terkadangan disalah gunakan. Namun, tepat tidaknya indikasi suatu pengobatan dapat ditimbang dan dibenturkan dengan guideline yang ada. Apabila tidak ada dalam guideline atau bahkan berbenturan dengan guideline, maka keputusan sang dokter perlu ditanyakan dengan tanda tanya besar. Meskipun, tidak selalu yang diluar guideline salah, ada perkecualian pada beberapa kasus dengan kriteria ketat, dan dapat dijelaskan secara akademis/ilmiah.

Maka, pasien sebagai bagian transaksi kesehatan ini, perlu kritis dan setidaknya menanyakan pada dokter dengan pertanyaan yang dengan garis tebal, Apakah prosedur diagnostik/terapi yang dokter lakukan memang sudah sesuai dengan guideline yang ada ? Jika tidak mengapakah prosedur ini harus dilakukan ?

Sunday 12 November 2017

To Delhi I Come Back

Not sure what wind
Has brought this heart back here
Despite what many have said
What reason do I have coming here again

They might not understand
The meaning of longing to the Guru
A strong figure who has inspired
The painter of a new face of neurology

We breath the air of Delhi
We learn the knowledge again with all our heart
We convey our respectful regards
To the Guru who is full of wisdom

Our Guru is no longer in Delhi
But the beautiful memories still stay strongly
Once upon a time, the road is so empty with no friend around
Now, everyone wants to be here and be friends

We came with two purposes in mind
Seeking new knowledge is surely our aim
However,
Giving our respect for the last time to our Guru in Delhi
Is what's in our heart


WFITN course Functional Neurovascular Anatomy, New Delhi, 1-5th November 2017

Sunday 22 October 2017

"Maksud Agung" prosedur medis

"Maksud Agung" suatu prosedur medis adalah memberikan tatalaksana optimal demi meringankan beban penderita, berupa kuratif maupun paliatif.

Maka, jika ada suatu prosedur medis, baik diagnostik maupun terapeutik, ternyata malah menambah beban pasien dan keluarga, maka sungguh hal tersebut telah menyalahi " maksud agung' yang sebenarnya.

Dalam setiap prosedur medis hanya ada 3 kemungkinan, menguntungkan pasien saja, menguntungkan dokter saja, atau menguntungkan keduanya.

Maka marilah bertanya lagi pada nurani, prosedur semacam "brain wash" pada stroke, stemcell pada berbagai kasus medis klinis saat ini, atau pengobatan apapun yang dilakukan di luar guideline yang ada, sebenarnya menguntungkan siapa ?

Tuesday 29 August 2017

Sayonara Neuroprotektan ?

Sayonara merupakan ungkapan dalam bahasa Jepang yang memiliki arti selamat tinggal. Namun, makna Sayonara ternyata tidak sekedar “selamat tinggal” saja, karena itu orang Jepang sendiri jarang atau enggan menggunakan kata Sayonara. Mereka memilih menggunakan kata-kata lain untuk menyampaiakan salam perpisahan atau selamat tinggal. Makna sebenarnya Sayonara bukanlah sampai berjumpa pula. Sayonara berarti salam perpisahan selamanya, saat seseorang mungkin tidak akan bertemu kembali, seperti seseorang yang sakit berat dan akan meninggalkan keluarganya. Demikianlah menurut beberapa ahli bahasa.

Ada apa dengan neuroprotektan ? mengapa Sayonara pada neuroprotektan ? bukankah neuroprotektan merupakan obat yang sehari-hari kita resepkan pada pasien stroke ? mungkinkah neurolog meninggalkannya ?

Studi-studi tentang  neuroprotektan pada stroke tampaknya telah memasuki babak akhir, setelah studi ICTUS  dengan subyek penelitian cukup besar gagal menunjukkan efektifitas citicolin pada stroke iskemik (The Lancet, Juli 2012), kini meta analisis terbaru juga mengungkapkan hal yang sama tentang Cerebrolysin (Stroke, Ziganshina et.al, 2017).  Sehingga, Cochrane reviews dan berbagai guideline terbaru tidak merekomendasikan penggunaan neuroprotektan pada stroke.

Cerebrolysin merupakan suatu mixture of low molecular weight peptides and amino acid yang berasal dari otak babi, dengan properti yang diduga memiliki potensi neurotropik dan neuroprotektif. Cerebrolysin telah digunakan secara luas di Rusia, Eropa Timur, Cina dan sebagian Negara Asia serta Negara-negara bekas Uni Soviet.

Pertanyaanya, setelah adanya Cochrane Review yang menyatakan bahwa neuroprotektan ini tidak bermanfaat, adakah penggunaan obat ini akan tetap berlangsung ? Pertanyaan yang sama untuk kita, neurolog Indonesia, adakah kita akan terus menggunakan neuroprotektan yang tidak direkomendasikan oleh guideline dan tidak memiliki evidence ilmiah yang kuat ? Siapkah kita menyampaikan “ Sayonara Neuroprotektan” ?

Neurointervention on Brain AVM : To be Sniper or Bomber ?

Bagi neurointerventionis, BAVM sangat unik, menarik sekaligus menantang. Dengan duduk di pojok ruangan, melakukan analisa angioarsitektur BAVM ternyata cukup membuat kita terlena. Sebelum memulai embolisasi, rekostruksi dapat memerlukan waktu cukup lama. Mulai dengan identifikasi lokasi, feeder, draining vein, tipe AVM secara anatomis (sulcal, gyral, mixed), secara angioarsitektur (plexiform, fistolus, mixed), identifikasi rupture site, kompartemen dan target embolisasi.

Sehingga, embolisasi AVM hampir selalu didahului DSA diagnostik secara terpisah. Hal ini berbeda dengan SAH akibat aneurisma misalnya, dimana dapat dilakukan secara ad hoc, yaitu DSA dapat disusul dengan coiling dalam waktu bersamaan.

Setelah melakukan rekonstruksi, maka akan diputuskan tindakan endovaskuler beserta strategi yang akan digunakan. Adakah menggunakan liquid embolan secara tersendiri atau kombinasi dengan coil pada kasus fistoulous dan high flow. Liquid embolan yang saat ini tersedia di Indonesia adalah Glue (NBCA:Lipiodol) dan Onyx. Kedua liquid embolan ini memiliki karasteristik dan kenyamanan tersendiri bagi masing-masing operator.

Glue, bagi yang biasa menggunakannya, sangat nyaman, aman dan tepat sasaran. Namun, bagi yang baru saja mencoba, dapat merupakan bumerang apabila tidak berhati-hati. Kepekatan, penempatan microcatheter dan kekuatan injeksi merupakan kunci keberhasilan embolisasi menggunakan glue.  Sehingga, seringkali, intervensionis memerlukan waktu lama untuk mencari posisi sebelum melakukan injeksi glue secara tepat dan memuaskan. Serupa dengan SNIPER, sasaran yang ditembak sangat spesifik dengan area kecil (satu atau dua kompartemen saja) dan jika dimaksudkan untuk mematikan area yang cukup luas, maka tidaklah cukup hanya sekali bidik. Dalam kondisi demikian, perlu melakukan beberapa kali tindakan kateterisasi, karena pada penggunaan glue, microchateter yang dipakai tidak dapat digunakan lagi. Begitu arah aliran glue refluks mengenai mikrokateter, maka kateter harus segera ditarik keluar, jika tidak, polimerisasi akan menyebabkan kateter stagnant dalam pembuluh darah, dan apabila ditarik secara paksa akan menyebabkan perdarahan.

Onyx, memiliki waktu polimerisasi yang cukup lama. Bahan ini perlu dipersiapkan dengan shaking minimal 20 menit. Konsentrasi Onyx tidak dapat diatur, konsentrasi telah ditetapkan, misalnya Onyx -18. Sebagai pengganti cairan dextrose yang digunakan untuk flusing pada glue, digunakanlah DMSO, dan ini terdapat satu paket kemasan bersama onyx. Penggunaan onyx juga memerlukan pengalaman spesifik. Karena onyx merupakan embolan yang non- adhesive (tapi kohesive), intervensionis punya banyak waktu untuk melakukan injeksi, kemudian menunggu beberapa saat, dan kemudian melakukan injeksi lagi. Onyx dapat menutup area nidus yang luas dan multikompartemental. Karena area jangkaunya luas, maka ada resiko pembuluh darah kecil yang tak terlihat akan ikut tertutup. Sehingga, meskipun angka embolisasi kuratif cukup tinggi dengan onyx, namun angka komplikasi yang terjadi juga lebih tinggi dari glue. Intervensionalis seolah menghancurkan target dengan bom. Ini juga merupakan alasan substansial mengapa embolisasi pada kasus spinal AVM hampir tidak pernah menggunakan onyx.

Melihat karakteristik yang demikian, maka, tehnik dan pilihan bahan embolisasi berpulang pada operator. Apakah operator akan menjadi sniper atau bomber. Tentu saja onyx dapat digunakan untuk AVM kecil dan cukup aman, namun harga onyx lebih mahal dari glue. Hal ini seperti membidik sasaran tunggal yang sebenarnya dapat dilumpuhkan dengan satu tembakan, namun jika menghancurkannya dengan bom, tentu memiliki resiko dan efek terhadap struktur sekitarnya.

Umumnya masing-masing operator akan cenderung lebih memilih salah satu embolan sebagai kegemarannya. Maka tepatlah ungkapan “There was no dangerous device but there was dangerous operator.”

Wednesday 23 August 2017

Konsep NNT dan Konsep “siapa tahu ?”

Melihat sang suami menderita stroke, seorang ibu muda tampak bingung. Dia galau akan hiruk-pikuk masukan dan saran tentang bagaimana suaminya seharusnya di terapi. Seorang kerabat menganjurkan agar dilakukan “DSA terapeutik” saja, meskipun tak tahu maksud dan tujuan-nya, konon banyak tokoh negara telah melakukannya. Kerabat yang lain menganjurkan agar dilakukan terapi stemcell, konon banyak yang telah sukses dan sedang menjadi trending treatment. Ada pula yang menawarkan berbagai suplemen dari luar negeri, sekali lagi, dengan janji akan angka perbaikan pasca stroke yang tinggi. 

Ibu ini akhirnya datang ke seorang neurolog, dan bertanya “ Apabila beberapa pasien di lakukan terapi di atas, apakah semuanya membaik dokter ? kalaupun tidak semua, berapa orang yang akan membaik dokter ?” 

Pertanyaan Ibu muda ini mengingatkan kita akan konsep NNT (number needed to treat). NNT merupakan sarana (epidemiologis) untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan tentang efektivitas intervensi medis, khususnya dalam pengobatan. NNT menjelaskan satu pasien diantara beberapa pasien yang memerlukan dan mendapat manfaat terapi dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi terkini, misalnya trombektomi pada stroke dalam waktu 6 sampai 24 jam setelah serangan (DAWN Trial). Pada studi ini, NNT pada trombektomi 2.8, artinya jika dilakukan trombektomi pada 2-3 pasien, maka 1 pasien akan mengalami perbaikan. 

Nilai NNT mulai dari 1 sampai tak terhingga. NNT ideal adalah 1, dimana setiap orang yang diberikan terapi akan membaik, sedang kontrol tidak membaik. Semakin tinggi NNT, maka semakin tidak efektif terapi tersebut. NNT dengan nilai 1, merupakan terapi sempurna (perfect drug). Sedangkan NNT dengan nilai negatif berarti terapi tersebut berbahaya, disebut sebagai NNH (number needed to harm)

Maka marilah kita lihat efektivitas terapi yang kita berikan pada pasien stroke berdasarkan NNT. Pada stroke iskemik akut, pemberian IV rTPA (0-3 jam) memiliki NNT 9.1, sedangkan perawatan stroke akut di Stroke Unit memiliki NNT 19.3. Obat Acetosal (ASA), yang diberikan dalam waktu 48 jam memiliki NNT 81.1. 

Kalau kita lihat terapi pada penyakit neurologi yang lain, bisa kita bandingkan terapi untuk diabetic neuropatic pain, dimana Carbamazepine memiliki NNT 3.0, sedang Gabapentin 3.8, dan Tricyclic antidepressant memiliki NNT 3.0. 

Atau marilah kita bandingkan terapi pada Alzeimer’s disease, dimana Donepezil memiliki NNT 8.4, Galantamine dengan NNT 7.4 dan Rivastigmin dengan NNT 14.3. 

Alhasil, sang neurolog kebingungan menjawab pertanyaan ibu muda tersebut. Setelah keduanya lama terdiam, ibu muda akhirnya bercerita tentang orang tuanya yang juga menderita stroke, dan sudah dilakukan salah satu terapi di atas, namun tidak juga membaik. Menurut informasi dari dokter yang melakukan terapi, banyak sekali pasien yang membaik pasca terapi. Namun, saat ibu muda bertanya kembali pada sang dokter, “Pak dokter, mengapa orang tua saya tidak membaik ?” Sang dokter menjawab, ini salah satu pilihan terapi saja bu, “siapa tahu” orang tua ibu membaik ???  

Maka demikianlah, konsep “siapa tahu” telah menjelma menjadi konsep epidemiologis baru. Jangan-jangan ini merupakan khazanah kekayaan budaya kita, suatu kearifan lokal yang layak dikembangkan ?...*:) senang*:D tersenyum lebar.

Wednesday 16 August 2017

Entahlah, Apakah Aku Merdeka ?

Entahlah, apakah Aku sekuat Bung Hatta
Yang menolak fasilitas Negara, saat hendak pergi menunaikan Haji
Beliau bilang, itu urusan hamba dengan Tuhannya
Yang menolak dikuburkan di Taman Makan Pahlawan
Karena ingin dekat dengan rakyat-nya

Entahlah, apakah Aku setegar Buya Hamka
Yang meski terpenjara, tetap bersuara dan melahirkan banyak karya
Jeruji besi, hanya membatasi raga, tidak jiwa dan idealisme-nya

Entahlah, apakah Aku setulus Ki Hajar Dewantara
Yang mencerdaskan anak-anak negeri tanpa henti
Memberikan teladan dan filosofi sepenuh hati

Mereka orang-orang Merdeka…
Bukan hanya pekik membahana dan kepal tangan ke udara

Aku merenungi diriku sendiri,

Adakah Aku Merdeka….?
Sedang nafsu angkara masih sepenuh dada
Adakah Aku Merdeka…?
Sedang gemerlap dunia masih menjadi tujuan utama
Sedang hati masih mendamba puji dan puja

Aku takut .....,
ternyata aku belum Merdeka….

Aku merenungi diriku sediri, lagi…dan lagi…
Ternyata,
Aku memang belum Merdeka….
Aku masih menjadi hamba nafsu dengan ego persona
Aku masih belajar Merdeka….


Kamis, 17 Agustus 2017

Tahun ke-72 Indonesia Merdeka

Friday 4 August 2017

Spiritualitas dan Keluh Kesah Seorang Doktor…..

Teman saya, seorang doktor, berkeluh kesah tentang kegalauan hidupnya. Dia merasa, makin dalam bidang ilmu yang ia pelajari, makin kering dan limbung spiritualitas-nya.

Teman saya, dia bukan hanya seorang dokter spesialis, namun juga doktor dan ilmuwan, sebentar lagi bergelar Profesor. Dia merasa, semakin banyak membaca dan meneliti, makin gelisah jiwa-nya. Kepercayaan akan ajaran agama makin kabur. Makin kebelakang, dominasi rasionalitas-nya, semakin menggerus keimanannya.

Dalam perjalanan keilmuan-nya, semua pernyataan ilmiah haruslah memiliki bukti, semua ungkapan ilmiah memerlukan penalaran yang logis. Ungkapan ilmiah apapun, harus dalam kerangka metodologis yang dapat dipertanggung jawabkan. Lambat-laun, secara sadar atau tersamar, mulailah muncul pertanyaan dalam batin, yaitu menimbang keyakinan agama dengan sudut pandang sains dan rasionalitas yang dimiliki-nya.

Pertanyaan itu berkembang demikian rupa, pertanyaan yang mungkin dia sendiri tak akan pernah mampu menjawab dan menguraikannya.” Apakah malaikat itu benar-benar ada ? Bagaimana sebenarnya malaikat itu berbentuk.” Bagaimana sains bisa membuktikannya ?”…..pertanyaan ini disusul oleh banyak pertanyaan lain yang malah semakin membuat galau jiwanya. Akhirnya, ibadahnya tidak lagi khusyuk dan memberikan-nya ketenangan. Studi bertahun-tahun, pendidikan yang tinggi, dan dominasi rasionalitas-nya hampir melepaskan dia dari agama dan keyakinannya.

Saat ini, dia duduk terpaku. Di tengah gelombang manusia di kota suci Makkah. Persis di depan pintu masjid, di tanah tempat turunnya wahyu Ilahi, matanya menatap pada semua orang yang keluar-masuk Masjidil Haram. Dilihatnya,  mereka melakukan ibadah sepenuh hati, menengadahkan tangan, tampak dihadapannya bagaimana pusaran manusia mengelilingi Baitullah. Dia juga menyaksikan bagaimana air mata tumpah di wajah-wajah para jamaah, dan dia hanya menatap dan masih bertanya, “mengapa dan mengapa ?”

Seorang pemuda berwajah cerah menghampirinya, menyapa dan mengajak berjabatan tangan, dan dengan sabar mulai mendengar kisah sang Bapak, teman akrab saya.

Menanggapi kegalauan sang bapak, pemuda ini berkata pelan dan perlahan.
“Ketika kita memikirkan alam yang lebih besar dari kita, dengan sudut pandang ilmiah dan rasionalitas kita, dengan segala usaha dan daya upaya kita, nyatanya, hanya sedikit saja yang kita ketahui, sungguh, yang ada, malah ternyata kita tak mampu menguraikannya lebih dalam. Saat kita memikirkan alam yang lebih molekuler dan tak terlihat, nyatanya, sangat sedikit saja yang kita ketahui, segala daya upaya kita ternyata terbatas.”

“Apa yang dapat di ungkap oleh otak manusia, sesungguhnya adalah hanya secuil ciptaan Tuhan yang berhasil dijelaskan. Sedang otak yang digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena, juga merupakan ciptaan sang Maha. Maka, lihatlah, bagaimana suatu ciptaan tak mampu secara menyeluruh mengungkapkan dan menjelaskan suatu ciptaan juga. Ilmu pengetahuan telah dengan gamblang menjelaskan bahwa sistem dan ciptaan ternyata memiliki keterbatasan. Bagaimana mungkin makhluk yang penuh keterbatasan dapat mengungkapkan seluruh rahasia Tuhan yang tak terbatas ?”

“Ketika manusia merasa pintar, merasa dapat mengungkap rahasia alam dan pengetahuan, sesungguhnya dia bukanlah penemu, karena apa yang dikatakan “penemuan” sebenarnya fenomena yang sudah ada dan tersedia. Yang disebut-sebut sebagai “Penemu,” ternyata mereka hanya menjelaskan bagaimana fenomena yang secara kebetulan belum pernah diketahui orang lain. “Penemu” sesungguhnya hanya menjelaskan bagaimana hukum alam berlangsung, hukum yang merupakan kreasi Sang Maha Pencipta.”

“Setelah sekian panjang perjalanan penelitian, dengan ratusan bahkan ribuan bukti, maka mungkin akan muncul suatu dogma ilmu pengetahuan, sebagaimana Dogma Sentral dalam ilmu genetika. Dogma dianggap sesuatu yang sudah tak terbantahkan. Maka lihatlah, untuk sebuah dogma saja, tidak dapat diungkap oleh hanya satu ilmuwan, ia memerlukan banyak ilmuwan, bahkan mungkin ilmuwan dari generasi ke generasi berikutnya.”

“Disertasi doktor, yang sangat dibanggakan, ternyata hanya mampu mengungkap satu jalur panah, diantara trilyunan dari trilyunan lagi jalur yang sesungguhnya sudah ada. Namun, alangkah naïf-nya, tatkala banyak manusia demikian angkuhnya merasa pintar dan berusaha merasionalkan semua ajaran agamanya yang bersumber dari Sang Maha.”

“Ajaran agama Islam itu rasional, namun untuk memeluk-nya, tidak dimulai dari rasionalitas. Islam dapat dipahami dan dimengerti dengan keimanan. Keimanan tidak mensyaratkan daya cerna otak. Iman tidak mensyaratkan manusia terlebih dahulu mampu merasionalkan ajaran agamanya.”

“Salah satu komponen keimanan dan ciri orang bertaqwa adalah percaya pada yang ghaib. Ghaib berarti pancaindera manusia tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana mungkin otak yang mampu bekerja dengan sistem indera mampu menjangkau dan menjelaskan hal yang ghaib ?”  

Di akhir penjelasannya, Sang pemuda membuat teman saya terperanjat. Teman saya seolah telah lama mengenalnya. Benar, sosok pemuda itu adalah dirinya sendiri, dirinya sebelum menjadi doktor sebentar lagi Profesor, dirinya sebelum memiliki popularitas, dirinya yang masih polos dan rendah hati, dirinya yang masih berhati jernih dan jauh dari rasa angkuh dan sombong. Jabat tangan itu  ternyata terjadi dalam kontemplasi alam bawah sadarnya. Teman saya mulai memahaminya, dia menemukan dirinya yang dulu.                                                                                                                
Sesungguhnya, kegelisahan teman saya ini, juga dialami oleh seorang Al-Ghazali pada abad ke-11 (lahir di Thus, dekat Iran, pada 1058 M). Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa, “ Apakah pengetahuan yang meyakinkan itu ? Apakah pengetahuan indrawi dapat kita percayai ? Apakah pengetahuan rasional adalah pengetahuan tertinggi ? Apakah seorang muslim harus menolak filsafat ? Bagaimanakah pengetahuan ke-Nabian dan Wahyu itu ?” Bermula dari kegelisahannya, Al-Ghazali kemudian melakukan kontemplasi, melakukan perenungan mendalam atas semua pertanyaan-pertenyaan tersebut, kemudian lahirlah sebuah karya beliau berjudul “ al-Munqidz min adh-Dhalal” yang berarti “ Pembebas dari Kesesatan.”

Friday 9 June 2017

“Pintu Nasib” di Sudut Rumah Sakit

Ada mata menatap sayu, pada sebuah pintu. Cukup lama, wanita tua itu tertegun dalam ketidakmengertian, tentang nasib putri-nya yang tak menentu, ini berbeda, dengan nasib pasien-pasien yang berada di balik pintu.

Sudah hampir dua bulan ia meninggalkan desa, mengantar anaknya untuk berobat ke kota, dokter di daerahnya menyebut, inilah rumah sakit paling terkemuka, yang akan meringankan sakit putrinya. Sang putri memerlukan operasi, namun sampai saat ini tak kunjung terjadi, betapa panjangnya antrian, demikianlah menurut informasi yang didapatkan.

Genap dua bulan,  dikunjunginya kembali pintu itu. Konon, dari sesama keluarga pasien dia mendengar cerita, bahwa pintu itu adalah “Pintu Nasib,” pintu yang memisahkan dua area rumah sakit, satu bagian dibalik pintu adalah gedung megah kokoh berdiri, tempat orang berkelas secara ekonomi, sedang di tempatnya berdiri, tempat  putrinya dirawat, adalah tempat kebanyakan rakyat.

Masih menurut cerita, jika Anda berada dibalik pintu itu, Anda akan dilayani sepenuh hati, untuk operasi, tak perlu menunggu sampai berhari-hari. Antrian bisa di geser, jadwalpun bisa diatur secara lentur, tidak lagi sampai mundar-mundur.

Wanita tua itu, sudah lelah berkeluh kesah, tak tahu pada siapa lagi akan mengadu. Bekal dari desa sudah habis, bekal yang didapatnya dari berjualan di pasar setiap hari, dan kini harus terhenti. Namun jika memaksa pulang, tak terbayang nasib putri semata wayang.

Saat mendung bergelanyut di atas atap Rumah Sakit, dihampiri-nya pintu itu, disentuhnya daun pintunya dengan tangan dan bibir yang bergetar. “ Wahai pintu, begitu hebatnya dirimu, mampu memisahkan nasib manusia, yang sakit disekitarmu.”

“Wahai Pintu, pada siapa Aku mengadu…...
Apakah pada Presiden atau pada Gubernur Aku mengadu, mungkin beliau menjawab, itu bukan urusanku….
Apakah pada Direktur Aku bertanya, mungkin beliau menjawab, masing-masing sudah ada tugasnya….
Apakah pada Dokter Aku berkeluh, beliau akan berkata, kami hanyalah petugas pelaksana….
Aku tahu......, ini salahku saja, kenapa menjadi miskin papa....."

“Wahai Pintu, rasanya Aku sudah tidak mampu, lidahku kelu….kini Putriku sudah berpulang, dia memang tidak mampu memasuki pintu-mu, biarlah dia memasuki pintu sorga bersama seluruh kesabaran jiwa-nya.”

“ Wahai Pintu, sampaikan salamku untuk semua yang melalui-mu, ceritakanlah pada mereka, Aku seorang ibu tua, bermimpi melihat taman sorga, dan taman itu berada di bangsal para penderita, yang berisi rakyat jelata.”

Wednesday 7 June 2017

Dokter Dunia, Dokter Akhirat.......

Usianya sudah tidak muda lagi. Sudah hampir memasuki dekade ke-enam. Seorang dokter senior dengan popularitas yang tak terbantahkan. Dengan gelar akademis panjang serta pasien antri berjajar tiap malam, tak perlu ditanya sebarapa banyak pemasukan yang beliau dapatkan.

Malam itu beliau begitu gelisah, seolah baru tersadar bahwa perjalannya telah demikian panjang. Mulai muncul pertanyaan dalam dirinya, apakah rutinitas yang menghabiskan waktunya puluhan tahun, siang-malam, memiliki nilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya.

Ingatannya kembali berputar, betapa beliau habiskan banyak masa dan tenaga untuk menuntut ilmu, akhirnya tersandanglah gelar berjajar-jajar, bukan hanya dari dalam negeri, namun juga gelas prestisius dari luar negeri. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Terbayang betapa banyak pasien yang telah beliau tangani, hari-harinya habis untuk praktek dan visite di berbagai rumah sakit, tenaga dan waktunya  didedikasikan untuk penderita. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Dilihatnya, tumpukan karya ilmiah dan disertasi para mahasiswa yang telah ia bimbing, tak terkira banyak waktu yang beliau habiskan untuk mengajar dan mengarahkan, dan tak terhitung banyaknya mahasiswa yang telah berhasil, di bawah asuhan tangan dinginnya. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Sang dokter tak mampu menjawab kegelisahannya selama berhari-hari. Dan malam ini adalah puncaknya. Akhirnya, datanglah sang dokter menemui seorang Guru Sufi, yang sungguh hanya dari memandang wajahnya saja, sejuk rasa menusuk hati.

Sang dokter bercerita panjang tentang kisah perjalanan hidupnya, dan diakhiri dengan pertanyaan, “ Apakah semua amalan yang telah saya lakukan adalah  amalan dunia, apakah amalan tersebut memiliki nilai di akhirat kelak ?”

Sang Guru memandang wajah gelisah itu, dan kemudian menjawab, “ Ada amalan yang tampaknya merupakan amalan dunia, tapi sebenarnya merupakan amalan akhirat.” Namun, “Ada pula amalan yang tampaknya merupakan amalan akhirat, tapi sebenarnya hanya sekedar amalan dunia.” Sang dokter tertegun, beliau masih belum sepenuhnya mengerti.

Sang Guru Sufi melanjutkan, “ Amalan apapun yang dapat mendekatkan Anda kepada Allah, itulah amalan akhirat”. “Amalan apapun yang dapat menjauhkan Anda dari Allah, itulah amalan dunia”

“Sehingga, hanya Anda sajalah yang tahu nilai amalan Anda, apakah amalan dan kegiatan Anda menjadikan Anda lebih dekat kepada Allah, ataukah semakin menjauhkan Anda dari-Nya. Itulah batas amalan dunia dan akhirat.” Demikian sang Guru Sufi mengakhiri.

Sang dokter duduk terpekur, menundukkan kepala, beliau menyadari, sebagian besar amalan yang beliau kerjakan berpuluh-puluh tahun, menghabiskan waktu siang malam, nyatanya, tidak menjadikan beliau lebih dekat pada Allah, namun sering melupakan-Nya. Tak terbilang betapa sholatnya amat singkat dan sering lalai, karena terburu kesibukan dan tugas yang tak terbatas. Betapa gelar yang panjang berderet-deret tidak membuatnya lebih dekat ke tempat sujud, namun lebih sering membuatnya mendongakkan kepala, dan berbangga- bangga di hadapan manusia.

Air mata mengalir deras di wajah sang dokter, sungguh waktu siang malam merawat pasien, tidak menjadikannya ingat dan bersyukur, hingga semakin dekat dengan Allah. Motivasinya semata, lebih hanya untuk mengumpulkan harta dunia. Masih terbayang basah dalam ingatannya, bagaimana hatinya enggan merawat pasien dari kalangan bawah, karena tak mampu memberikan jasa medis layak untuk dokter sekaliber dirinya. Namun, dengan serta merta dengan senang hati merawat pasien kelas atas, dengan asuransi tak terbatas.

Suasana sesaat hening, kemudian Sang Guru Sufi meraih tangannya, membimbingnya untuk berdoa berulang-ulang, “ Ya Allah, jadikanlah seluruh amalan kami, menjadi amal sholih yang Engkau terima, dan bukan amalan yang sia-sia, yang Engkau lemparkan kembali ke wajah-wajah kami pada hari perhitungan, hanya Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang.”




Wednesday 24 May 2017

Time is (no longer) Brain ?

Desember 1995, wajah neurologi dunia berubah cerah, publikasi di NEJM tentang efektivitas IV-thrombolysis < 3 jam pada stroke, sontak menjadikan suasana hangat, bahkan sedikit panas. Istilah Time is Brain mengemuka, semakin cepat pasien datang, makin banyak sel otak yang terselamatkan. 

NEJM September 2008. Berita dari Eropa, hanya untuk memperpanjang waktu 1.5 jam (menjadi < 4.5 jam), memerlukan waktu sekitar 13 tahun. Konon, tambahan 1.5 jam ini, mendapat banyak applause dan standing ovation cukup lama saat pertama kali dipresentasiakan. Lagi-lagi Time is Brain menjadi mantra utama. 

Sekitar 20 tahun kemudian, yaitu pada 2015, time windows menjadi 6 jam. Diawali dengan beberapa studi yang sangat meyakinkan tentang tindakan neurointervensi, yaitu tindakah thrombectomy pada large vessel acute ischemic stroke, AHA/ASA memberikan rekomendasi Class I, Level A.

Kemudian timbul banyak pertanyaan di kalangan neurolog dunia, apakah mungkin waktu untuk thrombectomy diperpanjang lebih dari 6 jam. Suatu pertanyaan yang sangat rasional, hal ini didasari betapa perkembangan neuroimejing telah dapat menunjukkan pada klinisi, berapa luas core dan berapa luas area penumbra yang masih tersisa. 

Saat ini, hanya beberapa hari yang lalu, 16 Mei 2017, dua orang interventional neurologist (Tudor Jovin dan Raul Nogueire), mempresentasikan DAWN trial di ESOC (European Stroke Organization Conference). Dan kesimpulan dari trial ini sungguh mencengangkan, terutama bagi neurointerventionist, ternyata pasien masih bisa mendapat manfaat dengan thrombectomy meskipun stroke terjadi telah melebihi 6 jam (tepatnya 6-24 jam). Dengan clinical independency dalam 90 hari, dibandingkan antara thrombectomy dan medical management, 48.6% : 13.1%, dengan number needed to treat (NNT) 2.8.

Pertanyaannya, apakah berarti Time is no longer a Brain ?
Yang jelas neurointerventionist memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan tindakan. Hal yang perlu dicatat adalah penentuan core dan penumbra dilakukan dengan CT atau MR perfusion, yang tentu saja memerlukan software dan adanya neuroradiolog yang siap dan berjaga. Dan yang tidak boleh dilupakan juga, penelitian ini menyatakan bahwa meskipun lebih dari 6 jam, semakin awal pasien datang, semakin baik keluaran klinisnya. Waktu lebih dari 6 jam tidak berlaku untuk semua individu, hanya berlaku pada individu tertentu dengan kolateral yang baik yang masih mampu mempertahakan area penumbra yang cukup luas meskipun telah melebihi 6 jam.

Akhirnya, Time is Brain adalah mantra yang masih harus diucapkan oleh semua neurolog, untuk mendorong pasien stroke segera datang ke rumah sakit. 


Pertanyaan terakhir, dengan makin efektifnya thrombectomy dan makin panjangnya waktu, sudah adakah neurointerventionist di tempat kita bekerja ? tampaknya duplikasi jumlah neurointervensionist sangat diperlukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.