Dokter yang berkecimpung dalam bidang neurointervensi tentu akan terus mengikuti perkembangan ilmu ini yang semakin lama semakin menggeliat. Adanya studi-studi terbaru mengenai manfaat suatu prosedur adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sebagaimana CREST untuk carotid stenting , hasil SAMMPRIS (the Stenting and Aggressive Medical Management for Preventing Recurrent stroke in Intracranial Stenosis) juga ditunggu oleh ratusan neurointervensionist di dunia. SAMMPRIS dipublikasikan secara online pertama kali oleh NEJM pada 7 September 2011.
SAMMPRIS memberikan kesimpulan bahwa “ aggresive medical therapy” lebih superior dibanding stenting pada intracranial stenosis atau dikenal dengan PTAS (percutaneus transluminal angioplasty and stenting). Hasil ini tak ayal membuat para dokter menyampaikan komentar yang berbeda. Sebagian Neurologist menyebut hasil ini dengan suatu pertanyaan retoris “ is intracranial stenting dead ?”, sedangkan sebagian lain berusaha menganalisa, apa yang sesungguhnya terjadi dengan hasil studi ini, mengapa hasil studi ini lebih buruk dari studi-studi sebelumnya berkenaan dengan intracranial stenting.
SAMMPRIS dimulai pada November 2008 dan the trial’s independent data and safety monitoring board merekomendasikan menghentikan studi ini pada 5 April 2011, dengan pertimbangan cukup tingginya resiko periprocedural stroke dan kematian pada kelompok PTAS. Hasil SAMMPRIS saat dihentikan menunjukkan angka kematian dan stroke pada 30 hari pertama sebesar 14.7% pada PTAS dan 5.8% pada medical management group, perbedaan yang cukup signifikan (p=0.002).
Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya, SAMMPRIS memberikan rapor merah pada intracranial stenting. Studi yang dilakukan oleh Jiang yang dipublikasikan juni 2011 (setelah SAMMPRIS dihentikan), menyatakan resiko stroke dan kematian dalam 30 hari pertama dan 1 tahun pasca stenting sebesar 7.3% dan ini lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada pasien yang hanya dilakukan “medical therapy” pada WASID (the Warfarin and Aspirin for Symptomatic Intracranial Atherosclerotic Disease) sebesar 18%. Atau jika dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya, yaitu SSYLVIA (Stenting of Symptomatic Atherosclerotic Lesions in the Vertebral or Intracranial Arteries) dan Wingspan Study, yang menyatakan morbiditas dan mortalitas intracranial stenting dalam 30 hari pertama sebesar 6.6% dan 4.5%. Sedangkan untuk medical therapy, angka pada SAMMPRIS jelas menunjukkan perbaikan fenomenal, dari angka 22.5% resiko kematian dan stroke dalam 1 tahun menjadi hanya 5.8% dalam 30 hari pertama.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa pada SAMMPRIS angka morbiditas dan mortalitasnya sampai lebih dari dua kali lipat (2.8 kali) penelitian sebelumnya ? Adakan ini berhubungan dengan operator, dengan device, dengan seleksi pasien ataukah ada faktor lain ? Diskusi semakin hangat dengan celotehan sana-sini yang menyinggung adanya faktor politis dan bisnis dalam suatu studi, ditambah lagi dengan komentar yang menyebut salah seorang anggota peneliti studi ini yang selalu memberikan laporan hasil studi negatif pada beberapa penelitiannya. Namun apapun, studi ini adalah studi yang well designed dan muatan ilmiahnya bisa dipertanggung jawabkan.
Menarik untuk mengikuti ulasan yang diberikan oleh Alex Abou-Chebl (Stroke, 2 juni 2011) yang memberikan catatan penting sebagai berikut :
1. Melihat dari hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh Fiorella (USA) dan Jiang (China), Wingspan stent merupakan device yang highly deliverable dan associated with low risk of perioperative complication, namun bagaimanapun device ini berhubungan dengan angka restenosis sebesar 30% dalam 1 tahun pertama, sebagian besar terjadi dalam 6 bulan pertama dan berhubungan dangan penghentian dual terapi antiplatelet pada 3 bulan pertama.
2. Studi yang dilakukan oleh Jiang lebih favorable karena memiliki kriteria yang tidak disebutkan dalam studi Fiorella, misalnya memberikan kriteria eksklusi pada lesi yang panjangnya > 15 mm, diameternya < 2 mm dan adanya sumber emboli jantung. Dalam protocol intervensionalnya, Jiang juga memberikan IV nimodipin periprocedural dan memberikana fraxiparen pasca prosedur.
3. Banyaknya operator juga berpengaruh pada hasil studi ini, studi Fiorella dilakukan oleh 13 operator (168 lesi) dan Jiang oleh 2 operator (105 lesi).
4. Anastesi saat prosedur juga mungkin berpengaruh, dimana Jiang menggunakan anastesi local sedang Fiorella tidak mengungkapkan jenis anastesi dalam laporannya, namun tampaknya menggunakan general anastesi. Penggunaan general anastesi selama prosedur juga memberikan pengaruh pada outcome, dua laporan sebelumnya yang berkaitan dengan trombolisis pada stroke menguatkan hal ini (Abou-Chebl A, Lin R, Hussain MS, Jovin TG, Levy EI, Liebeskind DS, et al. Conscious sedation versus general anesthesia during endovascular therapy for acute anterior circulation stroke: preliminary results from a retrospective, multicenter study. Stroke. 2010;41:1175–1179, dan dalam tulisan Mazighi M, Yadav JS, Abou-Chebl A. Durability of endovascular therapy for symptomatic intracranial atherosclerosis. Stroke. 2008;39:1766 –1769.)
5. Adanya ketidakcocokan hasil dalam penelitian sebelumya dengan SAMMPRIS haruslah menjadi pertanyaan besar dan dilakukan analisa mendalam, ditambah lagi selama ini penatalaksanaan ICAD (intracranial artery sclerosis disease) baik secara endovascular maupun medical sama-sama tidak memuaskan.
6. Data yang tidak tersedia/didapatkan dalam laporan tentang intracranial stenting adalah tentang definisi yang sama tentang TIA dan status simtomatik, seleksi pasien apakah termasuk yang hipoperfusi ataukah artery to artery emboli dan keduanya, yang terakhir ini penting untuk dibedakan dimana artery to artery emboli atau keduanya, cara terbaik adalah dengan medical theraphy sedangkan hipoperfusi (“pressure dependent”) dengan stenting. Demikian juga dengan kasus dimana stroke disebabkan oleh perforator stroke yang secara kebetulan diikuti oleh adanya stenosis pada parent arterinya, misalnya stroke pada pontine perforator atau lenticulostriate artery yang kebetulan terdapat stenosis pada basiler atau MCA, ini bukanlah kandidat ideal untuk stenting. Kriteria eksklusi diatas tidak disebutkan dalam penelitian Jiang, Fiorella maupun SAMMPRIS.
7. Dari sudut prosedur catatan yang perlu diberikan adalah tentang dilatasi dengan menggunakan balloon post stenting. Wingspan adalah self expandable stent dan dalam instruksinya diminta menghindari dilatasi pasca stent untuk menghindari rupture stent dan terjadinya oclusi/restenosis. Namun dalam laporan prosedur ini tetap dilakukan. Jika belajar dari cardiologist yang sudah kenyang dengan kasus dan literature, mereka menggunakan stent mounted balloon dalam tindakannya.
8. Literatur cardiology juga menganalisa respon pasien terhadap pemberian aspirin dan clopidogrel karena berhubungan dengan restenosis, sedang dalam SAMMPRIS hal ini tidak dilakukan.
Pada akhirnya, SAMMPRIS mungkin memberikan hasil negatif bagi para neurointervenstionist, namun sesungguhnya justru memberikan pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana intracranial stenting dilakukan secara aman dan dalam koridor yang tepat. Tindakan endovaskuler tentunya tidak dilakukan secara membabi buta pada semua pasien, namun dengan dasar ilmiah yang memadai, pasien berhak mendapatkan terapi yang memang baik atau jauh lebih baik baginya.
salam kenal dr.ahsan... Nice blog.. Smg dunia neuro-intervensi indonesia lbh maju, sampai2 lahan ini jd rebutan neurologi, radiologi intervensi dan neurosurgeon.
ReplyDeleteVery nice blog doc....maju terus neuro intervensi indonesia! Saya dukung sepenuhnya kemajuan neuro intervensi Indonesia
ReplyDeleteSalam kenal sy Suryadi dari RS Kariadi, Bolg yg bermanfaat wahana nambah ilmu dan wawasan, sosialisasi, diskusi konsultasi, selamat sukses.. maju terus dukung pelayanan neurologi yg paripurna neuro intervensi Indonesia bersama dr. Fritz dan TS lainnya
ReplyDelete