Dalam “Practical Neuroangiography,”Pearse Morris mengatakan bahwa “the most common error among beginners is to perform the pucture too high, above the inguinal ligament.” Namun, pengalaman mengatakan sebaliknya. Adanya ketakutan akan komplikasi high pucture yang berlebihan, pemula justru melakukannya terlalu rendah. Pungsi yang terlalu rendah tentu lebih sulit membidikkan jarum ke dalam arteri karena akan mengarah pada superficial femoral artery bukan pada common femoral artery, disamping itu, pulsasi yang dirasakan saat palpasi juga berkurang, sehingga lebih sering gagal.
Setelah melakukan sekian banyak pungsi, operator akan menemukan beberapa kasus sulit. Misalnya, saat pungsi, insersi jarum hanya mengeluarkan darah vena, meskipun pungsi diulang beberapa kali. Atau saat insersi jarum, darah yang keluar arterial, namun tidak ada pulsasi yang muncul, darah hanya mengalir lambat seperti saat jarum masuk ke pembuluh darah vena, dan jika J-wire tetap diinsersikan hampir selalu gagal. Dalam kasus tertentu, pungsi pada femoral kanan selalu gagal, dan baru berhasil dengan melakukannya pada femoral kontra lateral. Belum lagi pada kasus pediatrik yang memang memerlukan kesabaran ekstra, disamping pembuluh darahnya yang superficial, juga pulsasinya yang lemah.
Kegagalan dalam pungsi akan memberikan pengalaman berharga pada pemula. Seorang fellow yang baru saja hands-on bisa sampai beberapa kali gagal saat pungsi, terutama pada pasien dengan obesitas dan pada pasien wanita yang memang lebih fatty.
Ada tiga marker yang biasanya digunakan oleh operator, yaitu skin creast, maximal pulsation dan bony landmark. Diantara ketiganya yang paling aman adalah bony landmark ( SIAS, Femoral head). Namun, dalam prakteknya kombinasi ketiganya membantu kesuksesan pungsi femoral. Skin creast merupakan marker yang paling banyak dipakai oleh operator. Marker ini biasanya akan menghasilkan low puncture, yaitu pada superficial femoral artery. Namun demikian, insersi sheat pada superficial femoral artery cukup aman, dan ini juga dilakukan pada saat dimana ada kondisi tertentu yang tidak memungkinkan insersi pada common femoral artery, semisal adanya infeksi pada kulit.
Sudut jarum saat diinsersikan juga penting dalam keberhasilan pungsi. Sebagian besar mengatakan 45 derajad, sebagian lain menggunakan 60 derajad, bahkan seorang yang kepakarannya tidak diragukan lagi melakukannya hampir pada sudut 90 derajad. Berapapun sudut yang diambil, sangat tergantung pada pengalaman dan kenyamanan masing-masing operator. Sudut 45 derajad merupakan penanda pungsi ideal, karena saat insersi sheat dan kateter sangat kecil kemungkinan untuk kingking, ada kasus dimana jika sheat tegak lurus, saat navigasi kateter tidak bisa bergerak dengan smooth.
Dalam kasus J tip tidak dapat masuk secara sempurna, menggunakan bagian yang lurus kadang membantu, namun sebaiknya tidak dilakukan tanpa guiding dari fluoroscopy. Menggunakan wire dengan ujung lurus sebaiknya tidak dilakukan pada pasien tua, dimana pembuluh darahnya lebih rapuh dan kemungkinan terjadi diseksi dan trombosis lebih besar.
Anastesi lokal diperlukan saat memulai pungsi. Sebagian operator juga melakukannya pada pasien dengan general anastesi dengan alasan menghindari vasospasme saat pungsi. Vasospasme merupakan salah satu faktor kegagalan pungsi. Apabila insersi needle saat pemberian anastesi lokal sudah menusuk arteri, mungkin ini marker yang baik untuk mengarahkan jarum pungsi, namun disisi lain juga akan memicu vasospasme.
Pemeriksaan pulsasi arteri perifer sangat penting sebelum maupun setelah pungsi. Arteri yang rutin di evaluasi adalah dorsalis pedis, tibialis posterior dan poplitea. Terkadang didapatkan pulsasi perifer yang lemah dan ini mungkin berkaitan dengan penyakit arterosclerosis yang menyeluruh. Terkadang juga diperlukan bantuan doppler untuk mendeteksinya. Namun, apabila pulsasi yang lemah ini terjadi setelah pungsi, maka harus waspada akan terjadinya trombosis pasca pungsi/prosedur.
Dalam situasi pungsi yang sulit dan terkadang sampai beberapa kali tusukan, sempatkan untuk menginjeksikan kontras setelah sheat diinsersikan sebelum tindakan dimulai, mungkin ada kelainan/ variasi pada anatomi pembuluh darah femoral. Satu kasus menjelaskan kepada kita, adanya trombosis atau vasospasme hebat mungkin tidak diikuti oleh keluhan penderita, hal ini karena adanya fungsi kolateral yang baik, namun penting untuk diketahui karena akan membantu kita melakukan manajemen pasca tindakan semisal pemberian LMWH untuk mencegah progresifitas trombus.
Apabila saat insersi, J wire dapat masuk namun dengan tahanan yang “tidak biasanya” (biasanya ada tahanan ringan), perlu diwaspadai, J-wire masuk dalam pembuluh darah cabang, atau wire tertekuk melingkar. Lakukan fluoroscopy sebelum insersi sheat dilakukan.
Terkadang terjadi pula, darah terus keluar dari tempat pungsi setelah prosedur dan sheat dikeluarkan, hal ini mungkin berkaitan dengan faal hemostasis, mungkin berkaitan dengan pemakaian heparin. Evaluasi ACT sebelum dan ditengah dan setelah tindakan merupakan sesuatu yang selayaknya dilakukan. Dalam kondisi ACT diatas 250 dan perdarahan tidak mau berhenti, bisa dipertimbangkan pemberian protamin sulfat (10 mg untuk setiap 1000 U Heparin, 1 cc/ampul=10 mg). Obat ini bekerja sangat cepat sekitar 2-3 menit, dan biasanya membantu menghentikan perdarahan.
No comments:
Post a Comment