Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Saturday, 24 December 2016

Lang Tolanga…..

“Lang tolanga, begi Santrena…
Ging deginga, begi Kiai-ena..
Nyaman Kiai-ena…..
Nglotthak Santrena, melo tolanga…..”

“Santapan penuh tulang, untuk sang santri…
Santapan penuh daging, untuk sang Kiai
Enak betul sang Kiai….
Susah benar sang santri,  hanya mendapat tulang-belulang saja...

Anak-anak kampung dengan fasih melafalkan kata-kata serupa syair ini, walaupun syair berbahasa Madura, anak-anak kampung memahami artinya. Kami tinggal di kampung jawa, namun memiliki ikatan kuat dengan kampung Madura yang terletak di tepian pantai.  Anak-anak kedua kampung ini, hampir semua mampu berkomunikasi dengan dua bahasa daerah. Kampung permai ini terletak di pesisir sebelah selatan Banyuwangi.

Syair “Lang tolanga” diatas, sering Kami lagukan saat bermain. Kami dapatkan dari surau, guru Kami di surau-lah yang mengajarkannya.

Haji Mahmud demikian orang kampung mengenalnya, bagi sosok orang dewasa, postur beliau termasuk kecil, namun cepat dan gesit. Di kampung ini, kami biasa memanggil beliau dengan sebutan “Pak Aji” saja. Beliau orang yang sederhana, tidak berpendidikan formal, namun mampu berbaca-tulis latin. Sebagai orang yang di warisi sebuah surau,  oleh sang Ayah beliau di kirim belajar beberapa tahun ke sebuah pesantren di kota lain, dengan harapan akan memakmurkan surau selepas nyantri.

Wajah itu berhias senyum, tatkala beliau meminta salah seorang santrinya untuk menirukan kata-per-kata syair diatas.  Derai tawa yang khas selalu terdengar, setiap kali kami selesai melafalkannya. Derai tawa seorang pejuang, yang tak kenal lelah dalam mengabdi sepanjang hayat.

Sore itu, beberapa tahun lalu, hari kedua hari raya Iedul Fitri,  Saya mengunjungi beliau. Usianya tampak tak muda lagi. Tidak lagi terdengar derai tawa khas beliau. Di ruang tamu yang tidak cukup lebar, dengan dinding rumah yang belum semuanya terbungkus semen, beliau berusaha menemui Saya, masih terlihat senyum, namun tampak kesulitan berjalan dan berbicara dengan terbata-bata. Sudah hampir setahun ini stroke menyerang bagian tubuh kanannya.

“Ayo…dibuka…, demikian beliau meminta Saya menikmati kue kering dalam toples kecil.” “Monggo Pak Aji"….sahut Saya. Beliau mengangguk, dan sayapun bertanya…." Apakah Pak Aji Puasa ? “” Iya…..gawe sangu mati (untuk bekal jika mati)"…..jawab beliau.

Jawaban beliau membuat saya tertegun. Saya menautkan ingatan pada perjuangan beliau tatkala muda. Bisa dikatakan, hampir semua laki-laki dewasa di kampung ini adalah murid beliau. Beliau mengajar mulai alif-ba-ta, bacaan al-Qur’an sampai semua amalan yang mejadi kewajiban seorang muslim, mulai cara berwudhu sampai bacaan sholat.  Sampai saat ini, meskipun Saya orang jawa, niat dalam hati saat berwudhu masih menggunakan bahasa Madura, dan itu ajaran beliau yang melekat erat. Semua aktivitas itu, beliau lakukan tanpa sedikitpun menerima imbalan.

Masih basah dalam ingatan, bagaimana sekelompok laki-laki dewasa yang asyik bermain kartu dan berjudi kecil-kecilan di kampung, semua lari semburat tatkala langkah kecil Pak Aji terdengar mendekat. Bukan karena takut, tapi karena segan. Juga masih hangat dalam benak, tatkala suara beliau membangunkan kami malam-malam untuk berbagai keperluan, mulai dari mengingatkan waktu sahur sampai menyampaikan berita kematian.

Surau kecil itu menjadi pusat aktivitas anak-anak kampung . Sepanjang hidup, Beliau tidak pernah absen sholat berjamaah sekaligus menjadi imamnya. Selepas subuh dan magrib, dengan sepenuh hati membimbing santri belajar mengaji. Hari-hari beliau penuhi dengan menghadiri pengajian di berbagai kampung bukan sebagai penceramah, tetapi sebagai pendengar setia, dan kami para santri sering  di ajak dan di bawa. Mata pencahariannya adalah merawat sawah warisan orangtua dan menyewakan becak. Tak ayal, barisan becak terparkir di depan surau, dan kami para santri sering bergantiaan membawanya.

Beberapa tahun lalu, kampung kami yang cerah dan nyaman itu berangsur-angsur berubah seolah kehilangan warna indahnya. Pak Aji harus pindah ke Kampung lain, karena sang Ibu telah wafat dan rumah dengan surau itu harus di tinggalkannya. Di tempat baru, beliau mewaqafkan sebagian besar tanahnya untuk Masjid, tanah itu cukup besar untuk ukuran beliau yang tidak cukup berada secara ekonomi. Rumah beliau yang tidak terlalu luas, di bangun di samping Masjid.

Pernah selepas liburan kuliah, Saya mengunjungi beliau, saat itu bertepatan hari Jum’at. Dengan wajah cerah beliau menyambut dan meminta Saya untuk menggantikan beliau menjadi Khatib sholat  jum’at. Meskipun merasa tidak pantas, dan masih belum waktunya bagi Saya, beliau meyakinkan bahwa sudah saatnya yang muda tampil menggantikan. Beliau duduk di shaf paling depan, dan dengan khusyuk mendengarkan khutbah jum’at dari santri kecilnya.

Sekian tahun berlalu, syair “Lang tolanga” kembali terngiang di telinga…….mata ini basah mendengar berita kepergian beliau, beliau mengalami stroke serangan kedua. Betapa kami telah kehilangan sosok seorang pejuang, yang lebih banyak bekerja daripada berceramah dan berkata-kata.

Syair "Lang Tolanga....," menggambarkan bahwa ujian bagi Murid dan Guru berbeda, ujian bagi Santri dan Kiai tidaklah sama. Ujian bagi Murid dan Santri adalah melawan ketidaknyamanan dan kesulitan selama belajar. Sedangkan bagi Guru dan Kiai, ujiannya adalah melawan "kenyamanan" dan "kemapanan" serta bujuk rayu yang bersifat duniawi dan profan.

Syair “Lang Tolanga…” warisan beliau, bagi kami para santri,  selalu menjadi pengingat agar tidak pernah putus asa dan selalu bekerja keras dalam menuntut ilmu. Santapan dengan tulang belulang-pun harus kami terima agar menjadi orang yang kuat dan liat untuk menjadi pejuang hebat.

Syair itu bagi Pak Aji sebagai seorang Kiai,  sesungguhnya adalah sindiran dan pengingat bagi beliau sendiri, agar jangan sampai melupakan perjuangan dan terlena dengan kehidupan nyaman. Beliau menyindir dengan halus para guru yang hidup berlebihan dan selalu hidup nyaman dengan kata-kata “ Ging deginga begi Kiai-ena….”, dengan mengabaikan santri yang sedang bekerja keras belajar dan memerlukan bimbingan. Beliau telah membuktikan dengan kesederhanaan beliau sepanjang hidup, bukan hanya mewaqafkan hartanya, namun juga mewaqafkan seluruh usianya untuk manusia di sekitarnya.

Semoga Allah terus melimpahkan rahmat buat Pak Aji, do’a santri-santri kecil dan amal jariyahmu yang berlimpah akan selalu menemanimu di alam barzakh…..Amiin. 

“Lang tolanga………..


No comments:

Post a Comment