Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Sunday 12 January 2014

Menakar Kompetensi Neurointervensionist Indonesia, dan “Neurointerventional Bubble”.

Di Indonesia, prosedur neurointervensi dilakukan oleh neurologist, radiologist dan neurosurgeon.  Neurolog yang memiliki kompetensi ini menyebut dirinya Interventional Neurologist, radiologist sebagai Interventional Neuroradiologist, dan neurosurgeon sebagai Endovascular Neurosurgeon. Apapun namanya, mereka memiliki kompetensi  yang seharusnya sama atau paling tidak sebanding.

Yang menarik adalah melihat proses belajar hingga mereka mendapat kompetensi sebagai neurointerventionist tersebut. Pertanyaannya mendasar, berapa lama standar fellowship yang diperlukan sehingga seseorang dapat disebut sebagai neurointerventionist ?  Nyatanya, beberapa dokter telah menyebut dirinya neurointerventionist dengan hanya mengikuti training dalam beberapa bulan. Maka, banyak kemudian yang mempertanyakan dengan tanda tanya besar, cukupkan dengan training  tiga  bulan seseorang sudah merasa kompeten dan layak melakukan prosedur neurointervensi ? Lebih-lebih jika training itu hanya dilakukan di Indonesia yang  trainer dan volume kasusnya belum adekuat untuk terselenggaranya sebuah fellowship neurointervensi.

Maka lihatlah senter-senter penddidikan di luar negeri, baik di Eropa, Amerika atau Asia (India, Korea, China, Thailand), berapa lamakah seorang dokter harus mengikuti fellow sehingga mereka dianggap kompeten ? Bukan hanya dalam durasi, seseorang  juga dianggap kompeten sebagai neurointerventionist berkaitan dengan jumlah dan ragam kasus yang pernah di tanganinya. Kalau dilihat dari lama-nya saja, senter-senter tersebut mensyaratkan minimal satu tahun pendidikan fellowship.  Senter yang dianggap adekuat untuk melakukan training memiliki volume kasus minimal 350 kasus per-tahun.

Maka, lihatlah di Indonesia, beberapa dokter menyatakan dirinya sebagai neurointerventionist dengan hanya mengikuti training beberapa bulan, dan lebih-lebih training tersebut diikutinya di Indonesia. Kasus yang didapatkannya-pun tidak adekuat. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar dan mendasar, mengingat prosedur neurointervensi adalah prosedur yang high risk dan memerlukan jam terbang tinggi. Seorang neurointerventionist yang baik bukan hanya mampu dan terampil dalam melakukan prosedur, namun juga mengetahui dengan jelas indikasi suatu prosedur, meramalkan komplikasi yang mungkin tejadi dan tentu saja dapat mengatasi komplikasi yang terjadi saat atau setelah prosedur dilakukan. Komplikasi prosedur neurointervensi adalah sesuatu yang  jelas ada didepan mata,  dimana prosentase-nya akan menurun drastis ditangan seseorang yang kompeten.

Maka, jika di Amerika para neurointerventionist sudah cukup kawatir dengan banyak-nya jumlah neurointerventionist (meskipun dengan training yg  terstandar dan adekuat), maka bagaimana dengan di Indonesia ? Istilah “Neurointerventional Bubble” yang menggambarkan banyaknya neurointerventionist  dan semakin sedikitnya volume prosedur, akan terjadi di Indonesia dengan tambahan semakin banyak (yg mengaku) neurointerventionist dengan training ala kadar-nya.
Memecahkan masalah ini tentu tidak mudah. Perlu adanya kesepakatan kolegial dari tiga spesialisasi diatas. Membuat standar, sebagaimana  dilakukan oleh ACGME (Accreditation Council for  Graduate Medical Education) di Amerika, dimana mereka membuat batasan tentang training Endovascular Surgical Neuroradiology. Di Indonesia, sekali lagi hal ini tidak mudah. Menyatukan ketiga kolegium untuk membahas satu masalah ini tentu saja seperti menegakkan benang basah. Ketika masing-masing masih berdiri dengan ego-nya dan merasa diri paling berhak dan paling kompeten dengan menegasikan yang lain, maka sesungguhnya yang paling dirugikan adalah pasien.

Lihatlah prosedur “Brain washing”  yang menjamur  dengan indikasi dan dasar keilmuan yang  tidak jelas. Senter yang melakukan “Brain washing,”  saat ini yang justru menerima cukup banyak fellow, dan meng-klon prosedurnya di beberapa daerah. Sedangkan “BrainWashing” adalah prosedur diagnostik semata yang diklaim dapat menyembuhkan segala penyakit otak (stroke,vertigo, migrain, autis dll), malahan “konon” dapat mencegah serangan stroke. Mengulang pertanyaan diatas, siapakah yang dirugikan ?  tentu saja masyarakat. Kompetensi yang bagaimanakah yang bisa diharapkan dari senter fellow semacam ini ? 

Semoga ini bisa menjadi bahan kontemplasi bagi semua dokter yang terlibat dan bersinggungan dengan ilmu ini, tidak seorang dokter-pun yang sempurna, semua tentu memiliki kekurangan dan keterbatasan. Namun, usaha untuk melakukan suatu standar pelayanan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan perlu terus dilakukan. Setelah semua ikhtiar itu, kemudian hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan pertolongan.

Referensi :
J Neurointerv Surg. 2012 Sep 1;4(5):315-8.
Should neurointerventional fellowship training be suspended indefinitely?
Fiorella D, Hirsch JA, Woo HH, Rasmussen PA, Shazam Hussain M, Hui FK, Frei D, Meyers PM, Jabbour P, Gonzalez LF, Mocco J, Turk A, Turner RD, Arthur AS, Gupta R, Cloft HJ.
Cloft HJ . 2010 Aug;31(7):1162-4. The Neurointerventional bubble. AJNR Am J Neuroradiol