Minggu dini hari begitu dingin. Dokter terbangun, dering telepon bertalu-talu. Pasien stroke datang dengan kesadaran menurun. Dirujuk dari kota lain berjarak 2 jam perjalanan. Ada oklusi pembuluh darah besar. Perujuk adalah seorang neurointervensionis, dari rumah sakit daerah yang sudah memiliki cathlab.
Konon, pasien dirujuk karena tidak bisa dilakukan trombektomi, meskipun neurointervensionis dan cathlab ada disana. Rumah sakit sudah tak mampu membiayai prosedur ini. Paket stroke BPJS berselisih jauh dengan biaya total prosedur trombektomi. Tindakan yang sangat efektif dan dianjurkan ini semetara dihentikan, rumah sakit tak mampu. “Time is Brain” hanya tinggal cerita. Pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain.
Lantas, apakah rumah sakit rujukan memiliki paket BPJS yang berbeda? Faktanya sama. Biaya prosedur trombektomi di semua rumah sakit seluruh Indonesia jauh melebihi paket. Rumah sakit bukan hanya harus memeras tenaga dan waktu, namun juga memeras otak agar trombektomi bisa dikerjakan. Harus berpikir keras agar rumah sakit tidak kolaps.
Bagaimana prosedur neurointervensi lain selain trombektomi? Setali tiga uang. Penyakit dengan angka kematian stroke paling tinggi adalah SAH akibat aneurisma. Prosedur coiling aneurisma juga merupakan prosedur yang merugi. Adanya top up biaya belakangan masih tidak mampu menutupi total cost. Entah berapa puluh kali operator harus berdiskusi dengan manejemen rumah sakit. Entah berapa kali juga operator diingatkan bahwa prosedur ini merugikan. Meskipun semua tahu, coiling aneurisma merupakan rekomendasi kelas 1. Maka terjadilah suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Beberapa Rumah Sakit membatasi jumlah prosedur coiling dalam satu tahun. Alangkah malangnya pasien yang datang pada bulan-bulan akhir tahun, saat batasan tersebut sudah terpenuhi.
Apakah pemerintah (Kemenkes) tidak tahu? Tentu mereka tahu. Apakah BPJS tidak tahu? Tentu mereka tahu. Sudah tak terhitung forum dan pertemuan dilangsungkan. Cathlab terus dikirim ke banyak rumah sakit. Dokter terus diminta mengikuti fellow agar cathlab terpakai. Setelah itu selesai. Tibalah masa audit utilisasi cathlab. Rumah sakit dan operator kebingungan, mengapa prosedur intervensi sangat sedikit, mengapa catlab tidak terpakai. Padahal auditor dan yang di audit sama-sama tahu. Demikianlah, semua menjadi kura-kura, tetap tinggal dalam perahu.
No comments:
Post a Comment