Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Tuesday 27 February 2024

Stroke: Head flat lebih baik dari 30 derajad?

Neurologi terus berlari, selalu ada kejutan pada setiap ujung studi. Pasie stroke akut selama puluhan tahun diposisikan head up 30 derajad, dianggap dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan mencegah aspirasi, ternyata faktanya justru memperburuk klinis stroke. ZODIAC study mengungkapkan bahwa 1 diantara 2 pasien yang diposisikan 30 derajad, akan mengalami penurunan klinis signifikan dibandingkan jika diposisikan flat (Number Needed to Harm 1.88).

ZODIAC study yang baru saja dipresentasikan pada ISC 2024 mengungkapkan, posisi kepala flat memungkinkan blood flow dan kolateral lebih baik. Studi ini dilakukan pada large vessel occlusion (LVO) yang dilakukan trombektomi. Sehingga, posisi flat pada pasien LVO seharusnya menjadi standar selama menunggu trombektomi. 

Studi ini mengevaluasi perbaikan NIHSS dalam 24 jam pertama (P=0.08) dan 7 hari atau setelah pasien pulang (P=0.045), menunjukkan perbaikan signifikan yang bermakna dibandingkan head up 30 derajad. Studi ini dihentikan sebelum waktunya, setelah analisa pada 92 pasien menunjukkan perbedaan bermakna.

Prosedur sederhana ini mudah diterapkan, dan menunjukkan bahwa apa yang dianggap bermanfaat dan dipercaya berpuluh tahun, ternyata belum tentu sesuai fakta ilmiah. 

Penelitian sebelumnya, HEADPOST pada 2017, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan disabilitas dan keamanan pada kepala yang diposisikan flat atau 30 derajad. Namun, penelitian ini dilakukan pada mild stroke dan tidak memberikan informasi imejing vaskuler tentang dimana oklusi pembuluh darah terjadi. Sehingga HEADPOST study sangat berbeda dengan ZODIAC study.

Timbul pertanyaan, apakah ini berlaku untuk semua stroke? Studi ini hanya menjelaskan bahwa prosedur ini bermanfaat untuk LVO. Kita harus berhati-hati pada kasus stroke perdarahan yang mengalami peningkatan TIK. Sehingga prosedur kepala flat hanya bisa dilakukan saat CT scan tidak menunjukkan adanya perdarahan.

Maka, sudah tiba masanya, melakukan tatalaksana stroke berdasakan subtipe. Tatalaksana stroke menjadi sangat individual, dan sekali lagi, disinilah peran neurolog diperlukan. Stroke tidak bisa dirawat oleh spesialis yang tidak memahami dan mendalami stroke secara paripurna.


Thursday 22 February 2024

DPR, Dokter, Driver: Pekerjaan Berisiko Stroke?

Seorang Neurolog bergegas memberikan obat penghancur bekuan darah pada seorang laki-laki berusia 30 tahun. Dia mengalami kesulitan berbicara dan kelumpuhan separo tubuh. Didampingi istrinya, pasien tampak tak berdaya. Laki-laki ini berprofesi sebagai driver travel, merokok dan memiliki waktu tidur sedikit saja. Ada banyak pasien serupa sebelumnya. Pasien-pasien ini mendatangi IGD dan memenuhi ruang perawatan stroke. Diantara mereka adalah dokter. Dokter yang menjadi pasien. Dokter bekerja pagi sampai sore, mereka masih berpraktik pada malam hari, dan waktu tidur malamnya diinterupsi oleh panggilan dari IGD dan ruang perawatan.

 

Dokter, ternyata merupakan salah satu profesi yang memiliki risiko tinggi stroke. Jam kerja yang panjang (long working hours-LWH), memerlukan shift/jaga malam, dan pekerjaan yang menimbulkan stress, terbukti secara tersendiri maupun kombinasi, meningkatkan risiko stroke.

 

Stroke, meskipun terjadinya mendadak, sesungguhnya didahului faktor risiko. Ada 5 faktor risiko tradisional stroke yang populer yaitu hipertensi, diabetes mellitus, merokok, gangguan jantung, dan kadar lemak darah abnormal. Namun belakangan, ternyata pekerjaan dan profesi tertentu juga memiliki risiko stroke.

 

Tentu saja bukan hanya driver dan dokter. Publikasi di Journal of Stroke, September 2023, menunjukkan bahwa selain jam kerja panjang, shift /jaga malam, dan pekerjaan penuh stress. Faktor lain yang berhubungan dengan stroke adalah bekerja pada lingkungan bising, bekerja pada temperature tinggi atau rendah, serta bekerja pada lingkungan terpapar bahan kimia/debu. 

 

Seberapa panjang waktu kerja berisiko stroke? WHO/ILO menyebutkan bahwa bekerja >55 jam perminggu dianggap long working hours (LWH), dan berisiko stroke. Setidaknya ada dua alasan mengapa LWH meningkatkan risiko stroke. Pertama, individu dengan LWH cenderung memiliki gaya hidup seperti merokok, minum alkohol, diet tak sehat, dan berkurangnya aktivitas fisik. Kedua, LWH mengakibatkan respons stress psikososial, mengakibatkan stress hormon yang berlebihan dan mengakibatkan hipertensi dan pembentukan plak pada pembuluh darah. 

 

Bagaimana dengan Caleg atau anggota DPR? Apakah mereka berisiko stroke? Jawabannya menunggu hasil rekapitulasi KPU.