Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday 25 March 2022

Dokter Radikal, Dokter Liberal

Dokter, apabila berpegang secara literal pada teks, tanpa memahami substansi dari teks tersebut akan menyebabkan radikalisme dalam mengambil keputusan dan tatalaksana. Teks tersebut bisa berupa konsensus, guideline ataupun PNPK (Pedoman Nasional Penanganan Kedokteran). Namun sebaliknya, apabila mengabaikan teks dan terlalu fokus pada tujuan dan substansi, menggebu-gebu dalam melakukan tatalaksana, seringkali akan menjadi liberal dalam pengambilan keputusan. Dokter diajarkan selama pendidikan untuk selalu berpegang pada “teks” namun juga harus bijaksana dalam memberikan keputusan terapi dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan spiritualitas. Ada kasus yang dapat diputuskan secara hitam-putih, namun ada kasus yang memiliki nuansa luas, sehingga perlu pemikiran substantif, “beyond the guideline.”

 

Contoh radikalisme tekstual adalah kasus pada seorang laki-laki dengan rupture mycotic aneurysm dengan dugaan kuat endocarditis. Pasien memiliki small multiple aneurysma. Setelah embolisasi pada aneurysma yang mengalami rupture, maka pemberian antibiotik untuk aneurisma yang lain tentu sangat diperlukan. Namun, adanya keputusan yang menunda pemberian antibiotik hanya karena menunggu kultur adalah radikalisme. Disamping perjalanan penyakit terus berjalan, seberapa canggih kultur darah di Indonesia mampu mendeteksi kuman pada pasien yang secara klinis baik dan tidak tampak tanda-tanda sepsis?




 

Dokter memiliki tingkat kepakaran yang berbeda-beda. Saat ini ada spesialis, subspesialis (konsultan), masih ada lagi guru dari para subspesialis tersebut, expert of the expert, yang pendapatnya legal dan dalam guideline disebut level C. Nah, aksi dan keputusan klinis di luar payung guideline ini, hanya boleh dilakukan dan dikerjakan oleh mereka yang dalam level tersebut. Maka, bisa dilihat bagaimana kasus dengan prosedur-prosedur tertentu dikerjakan oleh expert, walaupun tidak terdapat dalam guideline, mengunakan tehnik baru, atau menggunakan device yang “off label”. 

 

Suatu device atau tehnik yang baru, belum tentu membahayakan dan tidak bermanfaat. Banyak tehnik dan device yang kemudian terbukti sangat bermanfaat dan kemudian menjadi standar terapi, ditulis tebal dalam guideline. Namun, pemakaian device dan tehnik baru ini tidak boleh dilakukan oleh semua orang. Hanya dokter dengan tingkat expertise tertinggi yang boleh melakukannya. Yaitu dokter yang menggunakan device dan tehnik yang sudah ada, dengan tingkat kesalahan dan komplikasi minimal, bahkan mendekati zero. Karena bagaimana mungkin seseorang yang belum expert dengan device dan tehnik yang sudah ada akan mengaplikasikan device dan tehnik baru? Contoh tehnik baru dalam neurointervensi yang kemudian menjadi standar adalah pressure cooker technique oleh Rene Chapot, untuk embolisasi Brain AVM.  Atau contoh lain adalah penggunaan stent retriever untuk stroke yang sebelumnya hanya dipakai untuk stenting intrakranial.

 

Bukti keberhasilan atas tehnik dan device baru tersebut, kemudian dipublikasikan berupa artikel pada jurnal bereputasi dan dalam pertemuan ilmiah tingkat dunia. Konsep tersebut diuji dan dikritisi oleh para peserta. Tehnik yang “dianggap baru,” dilakukan oleh dokter, hanya disosialisasikan melaui media massa, hanya berupa testimony, tanpa melaui diskusi dalam forum expert dunia, maka tentu hanya akan menjadi klaim ilmiah dan pseudoscience. Dapat diduga, kemudian akan hilang tertiup angin.

 

Pasien adalah individu yang harus dijaga oleh dokter. Kewajiban dokter adalah sejalan dengan kewajiban agama dalam menjaga jiwa (nafs), harta (maal), agama (diin), keturunan/kehormatan (nasl) dan akal (‘aql), atau dikenal dengan maqhashid syari’ah, maksud-maksud substansial dari ajaran agama. Suatu prosedur medis yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dan angka keberhasilan sangat kecil, misalnya pasien dengan GCS<5, sebaiknya tidak dilakukan (menjaga nafs). Suatu prosedur medis dengan biaya mahal dan belum terbukti bermanfaat sebaiknya tidak dikerjakan (menjaga maal). Seseorang yang berkeyakinan kuat bahwa dirinya tidak mau menerima obat dengan bahan tertentu yang diharamkan dalam agamanya, sebaiknya tidak diberikan (menjaga diin). Seseorang yang menginginkan keturunan dari bank sperma suaminya sendiri yang sudah meninggal, sebaiknya ditolak dan tidak dipenuhi (menjaga nasl). Atau adanya suatu bahan obat yang diminta oleh pasien dan dapat menyebabkan kerusakan fungsi kognitif atau menyebabkan adiksi harus dihindari dan diberikan pengertian (menjaga ‘aql).

 

Seorang dokter, sesungguhnya memahami dan merasakan saat akan memutuskan suatu terapi. Apabila dia ragu-ragu, apakah akan memberikan terapi tertentu atau tidak, umumnya kasus tersebut tidak secara spesifik tertulis di guideline. Untuk keputusan besar (tentu saja tidak pada semua kasus) yang menyangkut kelima aspek tersebut diatas, ada baiknya didiskusikan dengan expert atau dalam suatu forum diskusi pakar. Adanya diskusi pakar menyiratkan bahwa dokter memiliki keterbatasan, dan memerlukan pendapat dokter lain yang sangat mungkin memiliki sudut pandang berbeda. Tatkala ragu-ragu, cobalah kembali pada lima prinsip diatas, adakah menyalahi kelima prinsip tersebut atau tidak. 

Monday 21 March 2022

Neurointervensionis (Nevi) Koboi

“If you want to find out the true worth of a man, give him a little power.” (Aristotle) 

Dalam suatu diskusi hangat di sebuah pertemuan ilmiah, Prof. Shakir Husain, guru dari para Nevi, menyampaikan bahwa, adanya ledakan jumlah Nevi saat ini, potensial memunculkan Neurointervensionis Koboi. Dalam kamus oxford, coboy di artikan sebagai a person who is reckless or careless, especially when driving an automobile. Dalam arti sederhana, seseorang yang sembrono atau ceroboh dalam berkendara. Dalam konteks prosedur Nevi, koboi adalah operator yang melakukan prosedur secara serampangan dan tidak mengikuti konsensus, guideline atau evidences base. Atau seorang operator yang melakukan prosedur di luar prasayarat kompetensi, melakukan prosedur mandiri dengan tingkat kesulitan tinggi yang belum pernah dilakukannya, hanya observasi atau asistensi selama pendidikan fellowshipnya.

 

Contoh paling sederhana adalah soal pemilihan dan indikasi prosedur. Apabila sudah di kemukakan dalam evidences base bahwa melakukan prosedur intracranial stenting pada lesi dengan kualifikasi Mori C memiliki kemungkinan komplikasi yang tinggi, dan prosedur tersebut tetap “nekad” dilakukan, inilah Koboi. Lebih-lebih yang bersangkutan belum pernah melakukan prosedur stenting intracranial. 

 

Contoh lain adalah pada prosedur coiling aneurysma. Tidak semua prosedur coiling aneurysma sama. Coiling memiliki kesulitan yang bertingkat-tingkat. Tergantung morfologi aneurysma, lokasi, ukuran dan apakah memerlukan assisted stent/balloon atau tidak. Dimulai dari tingkat kesulitan terendah adalah coiling pada aneurysma dengan neck kecil dan akses mudah, seperti aneurisma pada P.com atau Basiler Top. Kemudian meningkat kesulitannya pada aneurysma pada A.com atau MCA dengan neck kecil. Selanjutnya, tingkat kesulitan lebih tinggi pada coiling yang memerlukan device lain seperti stent/balon atau tehnik double microcatheter. Makin banyak device dimasukkan, makin tinggi tingkat kesulitan dan risiko komplikasi. Level kesulitan lebih tinggi lagi pada giant aneurysma yang memerlukan flow diverter, terutama yang berlokasi pada distal vessel, seperti pada cabang MCA atau ACA.

 

Contoh berikutnya prosedur embolisasi Brain AVM. Komplikasi yang ditimbulkan selama prosedur embolisasi kebanyakan akibat kurang pahamnya operator akan angioarsitektur dan penggunaan bahan embolan. Perdarahan durante prosedur dan defisit neurologis akibat iskemia paska prosedur adalah hal yang tidak jarang ditemui. Georges Rodesch, fellow dari Prof. Lasjaunias, interventional neuroradiologist dari Paris, selalu mengingatkan: “Adapt the technique/devices to the disease, not disease to the technique/devices.” Maka, janganlah hanya karena “bahan embolan tertentu” yang secara tidak etis “harus” dipakai operator, lalu segala bentuk Brain AVM di embolisasi dengan bahan tersebut. Selanjutnya, Rodesch mengingatkan bagaimana seorang Nevi bersikap terhadap inovasi device baru, agar melihat Luc Picard," If he was interested in new technological innovations, he used them in a reasoned way so as to adapt them to the disease he had decided to treat, without ever letting himself be overtaken by them."

 

Pesan paling akhir untuk Nevi dari para senior tersebut adalah,”Jangan sekali-kali melakukan prosedur dengan indikasi pertimbangan kapital.” Jangan hanya karena soal jasa yang menguntungkan operator lalu indikasi prosedur dilonggarkan, semua prosedur dilakukan pada pasien dengan pertimbangan menguntungkan operator dan rumah sakit. Maka, jika ini dilakukan, akan menjadi bencana dikemudian hari. Seandainya ada prosedur yang sebenarnya bukan indikasi, kemudian terjadi komplikasi, lalu menjadi masalah hukum yang disidangkan, tentu akan menjadi beban berat bagi yang bersangkutan maupun organisasi profesi. Jika tidak terjadi komplikasi, bahaya ada pada sisi spiritualias, dimana rizki yang didapatkan menjadi tidak berkah, dan tentu ukuran ini adalah ukuran yang sebenarnya jauh lebih penting dan substansial bagi insan beriman. Bukankah “Ad-dun-ya, ra’su kulli khatii’aat?” Cinta dunia merupakan biang setiap kerusakan.

 

Maka, adalah sebaiknya kita mengikuti nasihat dan jalan para senior, guru-guru yang sudah malang melintang di dunia neurointervensi. Menjadi Koboi adalah pilihan individual. Tetapi, membangun neurointervensi dalam koridor keilmuan dan kemanusiaan universal adalah kewajiban semua Nevi.