Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday 13 February 2013

“Brain Wash” Pada Stroke dan Kelemahan Dasar Ilmiah

Semakin hangat saja topik  “Brain Wash” pada stroke. Namun, meski secara ilmiah memiliki argumen lemah, prosedur ini tetap saja banjir peminat, konon katanya bisa antre sampai berbulan-bulan dengan biaya yang tidak murah, sekitar 30 juta sekali prosedur.

Stroke merupakan beban, bukan hanya bagi pasien namun juga keluarga dan masyarakat (karena sebagian tidak lagi bisa produktif bekerja). Pasien stroke dengan disabilitas mungkin seperti pasien kanker, mereka seolah akan jatuh dan berada di tepi jurang yang dalam, dalam kondisi demikian, apapun diraih untuk pegangan (mengutip dr. Aryo Djatmiko, ahli bedah onkologi Surabaya). Mereka tidak bisa lagi membedakan mana batu cadas dan mana rumput ilalang. Pasien stroke yang datang untuk “Brain Wash” juga demikian.
Namun, alangkah naif-nya, jika dokter justru memilihkan “Rumput Ilalang” bagi pasien yang datang kepadanya. Bukannya memberikan pertolongan, justru menjerumuskan kedalam jurang yang lebih dalam. “Rumput Ilalang” tersebut berupa asumsi akan adanya probabilitas perbaikan pada pasien stroke, dengan bermain pada “natural recovery”.

Perlu difahami, konsep “natural recovery” merupakan sandaran untuk melakukan penelitian-penelitian ilmiah pada stroke. Ambillah contoh penelitian obat semacan NeuroAid pada pasien pasca stroke, atau obat antispastisitas pasca stroke semacam Baclofen atau Tizanidin. Peneliti menggunakan sample penelitian pada pasien > 6 bulan, beberapa referensi menyebutkan > 10 bulan. Karena pasien stroke dengan kejadian < 6 bulan dapat mengalami perbaikan yang sangat signifikan akibat perjalanan alamiahnya, terutama 3 bulan pertama. Sehingga pemberian pengobatan untuk tujuan penelitian, misalnya spastisitas pasca stroke, sulit dibandingkan adakah perbaikannya akibat pemberian obat, ataukah akibat “natural recovery”. Karena ternyata, pasien yang tidak mendapat obat-pun (kontrol) ternyata memiliki perbaikan yang sama.
Maka, dokter yang sehari-hari berkecimpung dalam perawatan stroke, akan menemukan banyak sekali pasien dengan perbaikan signifikan, bahkan tanpa disabilitas apapun, sembuh seperti sediakala dalam waktu < 6 bulan. 

Maka, jika memang “Brain Wash” dilakukan oleh dokter yang merupakan anggota dari masyarakat ilmiah, tentu harus punya tanggung jawab ilmiah. Lakukan penelitian pada pasien stroke, misalnya > 10 bulan, satu kelompok dilakukan “Brain Wash”, kelompok lain sebagai kontrol. Namun, sebelum itu dilakukan tentu harus memiliki dasar ilmiah dan metode yang bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah pula, adakah “ Brain Wash” layak dijadikan penelitian ilmiah dengan sampel manusia. Karena selama ini yang dimaksud “Brain Wash” adalah prosedur angiografi serebral dengan tujuan diagnostik, hanya karena menggunakan heparin saja “dianggap” memiliki efek terapeutik. Dan tampaknya dari tahap ini saja logika “Brain Wash” akan gugur.

Tentu, sebagai putra bangsa Indonesia, patut berbangga jika memang “Brain wash” ini metode baru, namun bisa kita lihat, prosedur ini telah dilakukan puluhan tahun oleh para neurointerventionist (Neurologist, Neurosurgeon, Radiologist), semuanya menggunkan heparin (karena memang sesuatu yang harus diberikan saat prosedur untuk mencegah terbentuknya trombus akibat tindakan), dan sekali lagi untuk diagnostik, bukan terapi. Dan tiba-tiba, prosedur ini di Indonesia menjelma dengan nama “Brain Wash”, “Brain Spa”, “Brain Tune-Up”, “DSA trombolitik” atau nama apapun yang sejenis. 

Dalam stroke dikenal konsep  “core” dan “penumbra”. Konsep Core dan Penumbra sangat jelas, dan ini difahami secara paripurna oleh para Radiolog dunia. “Core” menyatakan area iskemik pada otak yang tidak bisa lagi diselamatkan, sedangkan “Penumbra” adalah area hipoperfusi, area otak yang belum mati namun kekurangan aliran darah. “Core” dilihat pada jam-jam pertama dengan MRI-DWI, sedang “Penumbra” dilihat dengan MRI- Perfussion. Karena itu muncullah istilah Diffusion-Perfussion missmatch, perbedaaan volume antara bagian yang mati dan bagian yang terancam mati. Jika ternyata tidak ada perbedaan antara bagian yang mati dan bagian terancam mati, maka tidak ada gunanya dilakukan tindakan apapun untuk membuka kembali pembuluh darah yang tersumbat, misalnya dengan obat-obatan trombolitik, apalagi hanya dengan heparin yang merupakan antikoagulan. Karena itu sampai saat ini, tindakan trombolisis, bahkan intra-arterial tidak ada yang melebihi 24 jam. Pada pasien dengan “Brain wash” kapanpun kejadiannya bisa dilakukan. Kalau perlu bukan hanya satu kali, bolehlah diulangi sampai dua kali.

Bagi dokter yang berkecimpung dalam dunia Neurointervensi tentu mengenal istilah "FUTILE RECANALISATION", yaitu suatu rekanalisasi yang "sia-sia". Maksudnya, pada pasien dengan stroke dimana area penumbranya sudah habis ( tidaka ada lagi diffusion-perfussion missmathch ; tidak ada lagi area hipoperfusi, yang ada hanyalah area core), maka adanya rekanalisasi/terbukanya pembuluh darah secara angiografis tidak akan diikuti oleh perbaikan klinis. Artinya, pembuluh darah yang tersumbat memang terbuka, tapi karena area tersebut sel-selnya telah mati, terbukanya aliran darah tidak akan memberikan efek klinis bagi pasien.

Namun, tampaknya, argumen ilmiah apapun tidak dapat menghentikan prosedur ini, sampai-sampai ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Prof. DR. Hasan Machfoed,dr. Sp.S(K), merasa perlu ikut meluruskan praktek medis diluar standar ini dalam berbagai kesempatan, mulai dari tulisan di Jawa Pos, Kompasiana, dan pada sambutan pertemuan ilmiah nasional (PIN) tentang stroke di Semarang. Nah, kita tunggu saja episode berikutnya, apakah praktek ini terus dilanjutkan, dengan membiarkan pasien stroke yang sudah memiliki beban akan semakin terbebani dengan harapan-harapan semu, ataukah ada tindakan dari pemerintah untuk meluruskan hal ini. Meskipun pasien membayar mahal dengan uang-nya sendiri, namun tentu pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan klarifikasi dan evaluasi, agar masyarakat dapat terlindungi dari prosedur medik yang sebenarnya tidak diperlukan.

3 comments:

  1. Jadi teringat kisah sufi yg mengejar dan memukul hingga pingsan seseorang musafir yg berlari menuju sumber mata air karena dahaga yg sangat di padang pasir. Saat orang itu tersadar, ia mendapati dirinya dalam keadaan terikat dan sang sufi pun memberinya minum. Segera setelah menguasai dirinya, sang musafir bertanya,"Apa yg kau lakukan terhadap diriku?" "Mata air itu beracun, kau akan mati jika meminumnya, aku mencegahmu dari meminumnya" jawab sang sufi. "Tak perlu kau pukul aku hingga pingsan dan mengikatku, cukup kau beritahu bahwa sumber air itu beracun, dan aku tidak akan meminumnya," sahut musafir. "Apakah kau akan percaya kata2 ku? Seseorang yg hampir mati kehausan tak akan mampu menerima penjelasan yg bagaimanapun terangnya bahwa air itu beracun, karena satu2nya keterdesakannya saat itu adalah kebutuhannya akan air semata yg jauh lebih berharga dari semua harta yg ada di dunia ini?" Tutur sang sufi. Peran masyarakat ilmiah,-dokter2 di bidang ini, dalam hal memberikan penjelasan tentang brain wash adalah seperti sang sufi dalam kisah tersebut; penjelasan itu tidak ada gunanya sama sekali bagi 'mereka yg hampir mati kehausan' , Argumen ilmiah, logis dan rasional tidak ada gunanya sama sekali dihadapkan pd keterdesakkan kebutuhan penderita stroke utk sembuh, hal ini terbukti dari tetap membanjirnya daftar antri, dan tetap akan berlangsung demikian selamanya sampai 'sumber mata air beracun' tsb ditutup. Melibatkan pemerintah utk menutup mata air beracun adalah sebuah keharusan untuk melindungi masyarakat, tetapi hal itu bisa dilakukan jika dan hanya jika masyarakat ilmiah kedokteran yg mengerti mengenai hal ini terlebih dahulu memberikan masukan yg diperlukan kpd pemerintah agar pemerintah bisa bertindak menggunakan otoritasnya. Boleh jadi jika brain wash ini bisa diangkat sbg kasus pelanggaran hukum maka barulah pemerintah akan bertindak, sebab otoritas itu identik dg hukum. Boleh jadi...

    ReplyDelete
  2. Analogi yang sangat sesuai untuk fenomena ini....setiap kisah sufi selalu memberikan inspirasi dan makna mendalam. Thanks to Bien..

    ReplyDelete
  3. April 2018 akhirnya mata air beracun itu ditutup.
    Alhamdulillah

    ReplyDelete