Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Monday 31 December 2012

Renungan Neurovaskuler Akhir Tahun 2012

“Ini sudah kesekian kalinya....” desah Neurolog muda  saat menerima hasil bacaan imejing dari keluarga seorang pasien yang terkena stroke. Secara klinis, sangat jelas bahwa pasien ini mengalami SAH dan cukup jelas pula secara klinis bahwa penyebabnya adalah aneurysma yang berasal dari P.com kiri, dimana terjadi partial occulomotor palsy. Bacaan CTA yang dimintanya hanya terbaca SAH dan tidak ditemukan aneurysma. Saat mengamati dengan cermat, dengan menkorelasikan volume perdarahan kanan-kiri dan hematoma pada CT scan dengan klinis pasien, dia melihat satu  bentukan aneurysma pada P.Com kiri.

Bagi dokter yang mau sedikit susah, dia akan datang ke work-station tempat CTA dilakukan untuk meminta kembali rekonstruksi gambarnya. Namun, bagi sebagian dokter lain, itu tentu menghabiskan waktu, aplagi harus menunggu hasil rekonstruksi lanjutan sesuai dengan permintaannya. CTA  dengan 16 slices mungkin saja tidak begitu tinggi akurasinya dibandingkan CTA dengan 64 slices, namun pemahaman akan klinis pasien dan gambaran dasar CT scan, setidaknya dapat membantu mendetaksi aneurysma pada pasien ini.
Tentu saja pilihannya kemudian adalah cerebral DSA dengan 3D. Bagi pasien ini tentu tidak menguntungkan, karena dia akan dua kali terpapar kontras. Apabila sejak awal kemampuan deteksi CTA (dengan operatornya) tidak cukup tinggi, maka seharusnya cukup dilakukan CT scan tanpa kontras, kemudian dilanjutkan dengan cerebral DSA 3D.

Bagaimanapun canggihnya tehnologi tidak akan terlepas dari peran dokter dan operator. Pemahaman akan stroke, gambaran klinis, anatomi neurovaskuler dan hemodinamikanya serta kemampuan membaca neuroimejing dan neurovaskuler imejing sangat diperlukan. Hal-hal diatas akan sangat membantu klinisi untuk mendiagnosa penyakit secara cepat, serta merencanakan penanganan yang cepat pula. Disini peran radiologist yang mengusai secara paripurna Neuroradiology sangat diperlukan. Tidak cukup banyak di negara ini Neuroradiologist dengan analisa tajam. Setidaknya, neurologist muda ini telah beberapa kali mendapatkannya.

Sebagai bagian tak terpisahkan adalah peran Neurologist itu sendiri. Cukup banyak neurolog yang berpuas diri dengan hasil bacaan yang ia terima, meskipun sebenarnya tidak cukup sesuai dengan tampilan klinis pasien. Bayangkanlah jika SAH diputuskan sebagai non-aneurysmal SAH, dan kemudian di terapi konservatif, sedangkan sebenarnya aneurysma tak dapat dideteksi akibat sensitifitas imejing maupun dokter pembacanya, pasien akan segera datang dengan koma akibat serangan kedua.

Banyak contoh-contoh lain di luar kisah diatas. Ternyata, Klinisi seharusnya terus belajar secara tajam Neuroimejing dan Neurovaskuler Imejing. Demikian juga dengan Radiologist, perlu sangat serius mendalami Neuroradiology dan Neurovascular Imejing dan perlu menyempatkan waktu untuk cek dan cross-check bagaimana sesungguhnya kondisi klinis pasien.

Komunikasi sesungguhnya adalah kunci utamanya, jika komunikasi berjalan baik, masalah demikian dapat dijembatani. Pada senter cerebrovaskuler yang baik, work-station bukan hanya berada di ruang radiologi, namun juga berada di bagian neurology/neurosurgery, sehingga, jika klinisi ragu akan hasilnya, dapat merekonstruksi sendiri dengan meng-import data. Hal ini tidak telalu sulit, karena works station dari bagian radiologi connecting dengan bagian neurology/neurosurgery.

Semoga saja, tahun depan, semua harapan ini dapat diwujudkan, setidaknya ditempat dimana neurolog muda tersebut bekerja.
 

Saturday 28 April 2012

Sekali lagi tentang “ Brain Wash” pada stroke (informasi untuk pasien dan keluarga)

“Brain Wash” hanyalah prosedur Diagnostik yang diklaim sebagai prosedur Terapeutik. 

 Begitu banyaknya keluhan pasien akan tidak bermanfaatnya “brain wash” pada kasus neurologi (saraf), menggelitik kita semua untuk memberikan dan meluruskan “kesalah-kaprahan” ini. Keluhan itu mulai dari “tidak berubah”-nya kelumpuhan pasien setelah tindakan, sampai penyakit-penyakit lain yang tidak ada hubungannya sama sekali juga dilakukan "brain wash", seperti vertigo perifer dan nyeri kepala semacam migrain. Cara-nya sangat mudah, pada pasien stroke, dijanjikan pemulihan yang luar biasa setelah tindakan (sebagaimana dimuat dalam sebuah majalah  dan bisa diakses online). Pada pasien non-stroke, diberikan info bahwa nanti akan terjadi stroke dan kelumpuhan. Pasien dengan stroke yang membaik (tentu bukan karena “brain wash”-nya, tapi karena natural recovery) diundang untuk seminar awam, dan diberikan waktu untuk melakukan testimoni.

 Keluhan yang lebih menyedihkan berasal dari seorang pasien tidak mampu, karena keinginan sembuhnya demikian besar, dengan berharap dapat beraktivitas normal kembali, pasien dan keluarga rela berhutang untuk tindakan “brain wash” yang tidak murah. Setelah tindakan “brainwash” mereka kembali kontrol ke Rumah Sakit pemerintah dengan menggunakan jaminan untuk masyarakat miskin (Jamkesda/Jamkesmas), dan mengeluhkan pada dokter saraf di rumah sakit tersebut bahwa tidak ada perbaikan pada stroke- nya, dan hutangnya juga belum terbayar.

 Jauh lebih menyedihkan, beberapa kolega dokter, baik suaminya maupun orang tuanya juga dilakukan tindakan “brain wash” dengan tanpa meminta “second opinion” pada dokter spesialis saraf lainnya. Mereka baru menyadari setelah tindakan itu dilakukan, bahwa “brain wash” tidak memberikan manfaat. Adanya tindakan kurang etis dan terpuji juga dilakukan oleh sejawat  yang melakukan tindakan “brainwash” ini. Pasien yang dikirimkan oleh spesialis saraf ke suatu Rumah Sakit untuk tindakan diagnostik semisal MRI, ditawari untuk dilakukan prosedur dengan “Brain wash”, dan beberapa pasien berhasil di motivasi. Lalu dimanakah letak etika kedokteran dalam kasus ini ?

 Sekedar mengingatkan kembali, bahwa “brain wash” yang diklaim sebagai tindakan terapeutik adalah tindakan diagnostik semata. Obat-obatan yang di klaim sebagai “pencuci” adalah heparin yang memang lazim digunakan, bukan hanya untuk tindakan neurointervensi, namun juga cardiointervensi. Modus terakhir yang memprihatinkan, yang dilakukan sejawat dokter  tersebut adalah menyuntikkan LMWH (low molecular weight heparin) setelah tindakan, ini sebagai pengganti heparin, karena takut akan efek sampaing perdarahnnya, sedangkan yang diinjeksikan pada saat prosedur “brain wash” hanyalah cairan fisiologis (Normal saline 0,9%) yang biasanya dipakai untuk infus intravena.

 Adanya “brain wash” di Indonesia telah menjadi pergunjingan di luar negeri. Sekali lagi, tidak satupun senter neurointervensi dunia yang merekomendasikan pengobatan semacam ini. Kerja keras para peneliti untuk mencari pengobatan stroke yang sangat efektif ternyata hanya diterjemahkan secara sederhana oleh beberapa orang dokter.

 Bagi keluarga yang memiliki pasien stroke,apabila ada penawaran tentang “brain wash” ini, sebaiknya berhati-hati dan berkonsultasi terlebih dahulu serta mencari pendapat dari dokter lainnya, . Informasi ini mungkin bisa bermanfaat sebagai penyeimbang (counter discourse), disaat “brainwash” terus di kampanyekan tiada henti, meskipun sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah kuat.