Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday, 10 August 2011

FILOSOFI NEUROINTERVENSI

Saat berkecimpung dengan dunia neurointervensi, mula-mula seorang neurologist akan disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya tehnik-praktis, misalnya bagaimana tehnik femoral access, bagaimana anatomi normal pembuluh darah serebral saat angiografi dilakukan, bagaimana tehnik navigasi kateter dan sebagainya. Lambat laun, ketertarikan sang dokter akan beralih pada begitu banyaknya variasi anatomis dari pembuluh darah otak, dan juga pada gambaran penyakit vascular yang terlihat secara angiografis.

Kekaguman akan variasi anatomis akan membawa sang dokter asyik membaca dan mempelajari embriologi neurovascular, bagaimana misalnya otak yang mula-mula hanya terdiri dari tiga buah bentukan semacam balon berkembang, perkembangannya diikuti perubahan sistem vaskulernya, bagaimana persistent trigeminal artery muncul, bagaimana pula superior cerebellar artery (SCA) tidak pernah absen, meskipun sirkulasi posterior merupakan tempat pembuluh darah dengan paling banyak variasi.

Embriologi neurovaskular juga mempertajam pemahaman sang dokter terhadap anastomosis intra dan ekstra kranial yang sangat berguna saat terjadi stenosis pada salah satu jalur, misalnya stenosis pada karotis komunis atau pada arteri basilaris. Pemahaman akan anastomosis ini juga membuat sang dokter lebih aware akan adanya dangerous anastomosis saat melakukan embolisasi pada kasus head and neck tumor.

Kemudian, ditengah asyiknya mempelajari embriologi neurovascular, sang dokter melompat pada ketertarikan akan konsep perjalanan alamiah penyakit (natural history). Perjalanan alamiah penyakit ini kemudian menuntun pada suatu keputusan klinis penting, misalnya, mengapa AVM dengan ukuran sama pada satu individu di lakukan embolisasi, sedang pada individu lainnya tidak. Misalnya juga mengapa unrupture aneurysma pada satu pasien dilakukan coiling, sedang pada pasien lain tidak.

Tidak berhenti disini, sang dokter kemudian semakin intens mengamati bagaimana keputusan klinis harus di serahkan pada pasien dengan keterangan yang berimbang. Misalnya pada kasus aneurysmal bleeding pada MCA bifurcation, apakah dilakukan coiling ataukah clipping ? Berbagai aspek yang dijadikan bahan renungan adalah seberapa besarkah ukuran aneurismanya, berapa coil yang dibutuhkan, mana lebih efisien secara ekonomis diantara dua prosedur tersebut. Apabila dipilih salah satu dari dua tindakan tersebut, manakah yang memiliki outcome dan komplikasi paling acceptable bagi pasien.

Dalam kasus AVM, sang dokter yang mula-mula tertarik dengan konsep high risk dan low risk AVM beralih pada ketertarikan akan modalitas terapeutik mana yang paling optimal untuk pasien. Apakah embolisasi, surgery atau Gamma Knife. Cara berfikir yang mula-mula hanya satu sisi : embolisasi, embolisasi, embolisasi ! saat ini sudah mulai beranjak pada pilihan ideal yang bermuara pada kebaikan pasien.

Sampai disini, sang dokter semakin memiliki ketajaman analisis akan suatu kondisi bahwa PASIEN MEMILIKI KARAKTERISTIK SECARA INDIVIDUAL. Suatu tindakan intervensi pada kasus yang sama persis secara diagnostik angiografik, namun terjadi pada individu berbeda, akan memiliki karakter dan implikasi yang berbeda secara terapeutik.
Akhirnya, setelah mempelajari sekian banyak kasus, sang dokter mampu meramalkan terjadinya komplikasi pada tiap tindakan, sambil juga bersiap-siap meramalkan tindakan penyelamatan yang perlu dilakukan apabila komplikasi tersebut terjadi.

‘Ala kulli haal, sang dokter hanya mampu menundukkan kepala akan dahsyatnya kuasa Allah SWT. Tidak seorang dokterpun ternyata yang pintar tanpa bimbinganNya. Kemampuannya melakukan tindakan diagnostik dan terapeutik tidak lebih mengikuti sunnatullah (hukum alam) yang merupakan kreasi Sang Pencipta. Kata akhir dari perjalan ini adalah semakin bertambahnya keimanan akan konsep Takdir. Berapa banyak kasus yang tampaknya mudah dan merupakan tindakan sehari-hari yang rutin dilakukan, menimbulkan komplikasi hebat dan outcome buruk. Berapa banyak juga kasus yang sangat sulit, dan diprediksi akan menimbulkan komplikasi saat prosedur, berhasil dengan gemilang.

Dipojok Cathlab sebuah Rumah Sakit terkemuka, masih dengan Lead Apron yang melekat ditubuhnya, sang dokter terpekur dan semakin menghikmati sebuah Hadits yang dulu sempat dibacanya dari sebuah kitab kecil karya Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah , yang berbunyi : “ Manizdaada ilman, walam yazdad Hudan, Walam yazdad minAllah illa bu’dan.“Barangsiapa bertambah ilmunya, namun tidak bertambah petunjuk pada dirinya, dan tidaklah bertambah (apapun), kecuali semakin jauh dari Allah”

No comments:

Post a Comment