Hari Minggu, pagi masih buta. Kami bergegas, berkemas menuju stasiun Maria Zambrano, berada persis di depan hotel, dimana kami bermalam. Penerbangan dari Amsterdam, dengan pesawat berbiaya murah, Ryan Air, tadi malam, telah membawa ke kota Malaga. Sebuah kota pelabuhan di Andalusia, Spanyol.
Dengan berbekal tas punggung dan selembar tiket kereta, bisa dipesan secara online, kami memasuki stasiun, tidak begitu besar, namun bersih. Menungu beberapa saat, di pojok kantin, cukuplah untuk melahap sepotong sandwich tuna, menyeruput kopi dan menikmati suasana subuh Malaga.
Kereta ini nyaman, hampir tanpa suara, meskipun angka monitor diatas pintu kereta, menunjukkan lajunya amat kencang. Dari jendela, sungguh nikmat, melihat suasana pedesaan pagi hari, tampak lahan dengan tanaman berjajar-jajar, tanaman Olive yang tak pernah haus, karena selang-selang kecil menyembul, menyirami setiap onggok pohonnya. Lahan yang berbukit-bukit, naik turun, tampak sangat indah. Renfe train, melaju menuju Cordoba.
Mengapa Cordoba ? bukankah istana Alhambra yang legendaris ada di Granada ? Sebagaimana mengunjungi Agra-India, menikmati dan menghikmati Taj Mahal, haruslah lebih dahulu mengunjungi Agra Fort. Jika ingin memahami Alhambra di Granada, suatu keharusan mengunjungi Cordoba. Apabila Agra Fort dan Taj Mahal hanya berjarak satu pandangan mata (Taj Mahal dapat dinikmati dari puncak Agra Fort), maka Cordoba dan Granada berbeda kota, terpisah perjalanan sekitar 4 jam, dengan bus dan kereta.
Inilah Cordoba. Inilah Ibukota Andalusia pada masa kekhalifahan Islam, kekhalifahan Umayyah. Destinasi utama adalah Mezquita de Cordoba. Sebuah Masjid legendaris, dengan arsitektur indah. Kini, bagian tengahnya merupakan Katedral, sedang bangunan sekelilingnya, merupakan bangunan yang dapat dinikmati para pengunjung. Hotel kami persis berada di pojok Mezquite, di bawah menara persegi empat, bukan menara bulat, seperti kebanyakan menara, menara berwarna kuning pucat, khas arsitektur bangsa Moor. Hotel itu bernama Maimonides. Nama seorang filosof Yahudi, satu diantara puluhan filosof terkemuka, di masa keemasan kekhalifahan Islam.
Bus dari stasiun kereta menuju Mezquita de Cordoba, memerlukan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan, Kami melihat pohon-pohon jeruk segar dan ranum. Pohon yang tumbuh di sepanjang jalan Cordoba. Bus berhenti, tepat di sebarang sungai Guadalquivir. Maka, tampaklah Mezquita berdiri kokoh dari seberang sungai. Menghampiri Mezquita, kaki akan melangkah, menyusuri Roman Bridge, jembatan kokoh yang di bangun pada era Romawi, saat bangsa Visigoth masih berkuasa. Nama Guadalquivir berasal dari bahasa arab “Wadi Al-Kabir, “ yang berarti sungai yang besar. Sungai terbesar kedua di Spanyol yang memanjang dari Cordoba menuju Sevilla dan berkahir di samudra Atlantik.
Menapaki aroma kuno Roman Bridge, mendengarkan gemericik air dibawahnya, memandang pilar tinggi besar menuju Mezquita, membawa ke masa seribu tahun lalu. Seolah tergambar dihadapan mata, lalu lalang para bangsawan, ilmuwan, tentara dan kerumunan rakyat jelata. Beberapa puluh meter ke arah kiri, tampak Alcazar, taman-taman rimbun memukau, dengan kolam dan bunga-bunga bermekaran, sisa peradaban lama, sangat memanjakan mata.
Berjalan menapaki area Mezquita, mencari para guru dan ilmuwan dunia. Tampak Averroes (Ibnu Rusyd) duduk mematung, mencoba menjelaskan kembali konsep Arestotelian, agar bisa dipahami banyak orang, menuliskan kembali ide-idenya yang hampir punah. Beliau bukan hanya ahli agama, namun juga dokter dan filosof. Disudut taman yang lain, Ibnu Hazm berdiri tegak, membacakan syair-syair melegenda, seorang ulama dan filosof kontroversial pada masa itu, dimana, pemujanya sebanyak pencelanya. Akhir hayatnya, akhirnya pergi meninggalkan riuhnya kota, menyendiri , sambil terus mengajar para murid yang setia mengikuti.
Siapa tak kenal Abulcassis (Abul Qasim Az Zahrawi), ahli bedah, peletak dasar ilmu bedah modern. Buku legendarisnya, Al-Tasrif, setebal 30 jilid, menjadi rujukan ilmuwan Eropa. Seorang ahli bedah Perancis, Guy de Chauliac, mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter hingga terciptanya era Renasissance. Sampai abad ke -16 M, ahli bedah berkebangsaan Perancis, Jaques Delechamps (1513 M-1588 M), masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.
Menapaki gang-gang sempit, diantara gedung-gedung antik disekitar Mezquita, sungguh asyik. Tak disangka, kaki memasuki University of Cordoba. Universitas dengan bangunan tua, setua kisah dan sejarahnya. Di seberang gerbang kampus, seolah mengamati para pengunjung, duduk diantara rimbun pohon jeruk yang ranum. Dialah Al-Ghafiqi, pakar farmasi dan ophthalmologist termasyhur Andalusia. Namanya juga diabadikan di rumah sakit Cordoba.
Empat tersebut, beberapa diantara ratusan ilmuwan. Mereka seolah berkumpul pada satu era, menuliskan karya-karya besarnya di Cordoba. Karya yang menjadi landasan pengetahuan Eropa. Karya yang masih dapat ditelusuri, dinikmati hingga kini, dari generasi ke generasi.
Saat Cordoba runtuh, kekhalifahan masih bertahan di Granada. Mari coba menelusurinya. Kereta api meninggalkan Cordoba, transit di Atequera Santa Ana, tersambung bus menuju Granada. Sepanjang jalan, yang tampak hanya kebun Olive dan dataran tinggi yang berbukit-bukit, inilah alasan, mengapa tak ada kereta ke Granada. Mendatangi Granada berarti menghampiri Alhambra.
Alhambra, sebuah istana megah nan indah mempesona. Berdiri diatas bukit menjulang, memasukinya akan melewati taman-taman indah menawan. Gerbang “the tower of justice” ramah menyambut, gerbang yang dibangun pada 1348 M, masih tampak kokoh berdiri. Alhambra tampak merah merona dari kejauhan, lebih-lebih di kala senja, sesuai namanya, “Al-Hamra” dalam bahasa arab berarti merah. Dari Alcazaba, benteng yang berdiri kokoh, kaki melangkah memasuki Nasrid Palace, istana sesungguhnya, seolah tercium aroma masa lalunya. Untainan manik-manik dan interior kaca yang detail, dengan kaligrafi didinding yang menawan, bertuliskan “La Ghaaliba illa-Allah” (there is no victor but Allah). Bentukan langit-langit istana, menyerupai sarang lebah, membiru, terlihat berkelip, berpendar, terkena pantulan cahaya dari balik jendela.
Memasuki ruangan-ruangan di istana ini, akan mengingatkan pada Agra Fort, sebuah perpaduan benteng dan istana di Agra, India. Beberapa ornamen dan detail interior mirip atau hampir serupa. Agra Fort, tuntas dibangun pada 1573 M, dua ratus tahun setelah Alhambra.
Agra Fort hanya berjarak 2.5 km dari Taj Mahal, mahakarya agung, white marble berbalut ukiran, ornament, dan lukisan amat detail, untaian kaligafi menyelimutinya. Suasana makin sendu jika dinikmati dari tepian sungai Yamuna. Tak terbayang bagaimana mereka membangunnya. Konon, Taj Mahal merupakan sebuah monumen, lambang cinta suami akan istrinya. Namun, ada banyak cerita dan kisah dibaliknya, sehingga ungkapan cinta, ternyata tidak sesederhana yang dipahami, oleh banyak manusia. Monumen ini dibangun selama 22 tahun, untuk Mumtaz Mahal, sang istri ketiga, wanita Persia, setelah melahirkan anak ke-14, putri mereka.
Taj Mahal mengundang banyak manusia. Semua datang menikmati keindahannya, semua terpukau, semua terbuai. Ratusan juta jepretan kamera mengabadikan bangunannya, tak terkira jumlah yang berswafoto, dengan berbagai macam gaya. Tampaknya ada yang terlupa. Taj Mahal adalah sebuah makam, sebuah pekuburan. Tak tampak ada satupun menengadahkan tangan, atau diam untuk berdoa, sebagaimana lazimnya peziarah kubur. Seolah jenazah Shah Jahan dan Mumtaz Mahal tak lagi ada disana. Apakah mungkin mereka melakukannya, dengan cara diam-diam ?
Alhambra, Agra Fort dan Taj Mahal, adalah monumen, tanda kejayaan peradaban. Semua mata mengaguminya. Namun, ada yang berbeda akan Cordoba. Ada suasana haru terbalut rindu saat mengunjunginya. Saat itu, bukan hanya menikmati bangunan, arsitektur dan suasana kotanya, namun, seolah menghirup gairah para ilmuwan kelas dunia, yang meneliti, menuliskan dan menghasilkan banyak karya. Karya itu, mungkin tanpa sadar, telah memasuki relung-relung otak kita, otak umat manusia. Pengetahuan itu diwariskan dari generasi-ke generasi, lebih abadi, mungkin tak terlihat, namun ia sungguh nyata adanya.