Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday, 26 December 2018

Jejak Dua Istana : antara Agra dan Granada

Hari Minggu, pagi masih buta. Kami bergegas, berkemas menuju stasiun Maria Zambrano, berada persis di depan hotel, dimana kami bermalam. Penerbangan dari Amsterdam, dengan pesawat berbiaya murah, Ryan Air, tadi malam, telah membawa ke kota Malaga. Sebuah kota pelabuhan di Andalusia, Spanyol.



Dengan berbekal tas punggung dan selembar tiket kereta, bisa dipesan secara online, kami memasuki stasiun, tidak begitu besar, namun bersih. Menungu beberapa saat, di pojok kantin, cukuplah untuk melahap sepotong sandwich tuna, menyeruput kopi dan menikmati suasana subuh Malaga.

Kereta ini nyaman, hampir tanpa suara, meskipun angka monitor diatas pintu kereta, menunjukkan lajunya amat kencang. Dari jendela, sungguh nikmat, melihat suasana pedesaan pagi hari, tampak lahan dengan tanaman berjajar-jajar, tanaman Olive yang tak pernah haus, karena selang-selang kecil menyembul, menyirami setiap onggok pohonnya. Lahan yang berbukit-bukit, naik turun, tampak sangat indah. Renfe train, melaju menuju Cordoba.

Mengapa Cordoba ? bukankah istana Alhambra yang legendaris ada di Granada ? Sebagaimana mengunjungi Agra-India, menikmati dan menghikmati Taj Mahal, haruslah lebih dahulu mengunjungi Agra Fort. Jika ingin memahami Alhambra di Granada, suatu keharusan mengunjungi Cordoba. Apabila Agra Fort dan Taj Mahal hanya berjarak satu pandangan mata (Taj Mahal dapat dinikmati dari puncak Agra Fort), maka Cordoba dan Granada berbeda kota, terpisah perjalanan sekitar 4 jam, dengan bus dan kereta.

Inilah Cordoba. Inilah Ibukota Andalusia pada masa kekhalifahan Islam, kekhalifahan Umayyah. Destinasi utama adalah Mezquita de Cordoba. Sebuah Masjid legendaris, dengan arsitektur indah. Kini,  bagian tengahnya merupakan Katedral, sedang bangunan sekelilingnya, merupakan bangunan yang dapat dinikmati para pengunjung. Hotel kami persis berada di pojok Mezquite, di bawah menara persegi empat, bukan menara bulat, seperti kebanyakan menara, menara berwarna kuning pucat, khas arsitektur bangsa Moor. Hotel itu bernama Maimonides. Nama seorang filosof Yahudi, satu diantara puluhan filosof terkemuka, di masa keemasan kekhalifahan Islam.

Bus dari stasiun kereta menuju Mezquita de Cordoba,  memerlukan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan, Kami melihat pohon-pohon jeruk segar dan ranum. Pohon yang tumbuh di sepanjang jalan Cordoba. Bus berhenti, tepat di sebarang sungai Guadalquivir. Maka, tampaklah Mezquita berdiri kokoh dari seberang sungai. Menghampiri Mezquita, kaki akan melangkah, menyusuri Roman Bridge, jembatan kokoh yang di bangun pada era Romawi, saat bangsa Visigoth masih berkuasa. Nama Guadalquivir berasal dari bahasa arab “Wadi Al-Kabir, “ yang berarti sungai yang besar. Sungai terbesar kedua di Spanyol yang memanjang dari Cordoba menuju Sevilla dan berkahir di samudra Atlantik.

Menapaki aroma kuno Roman Bridge, mendengarkan gemericik air dibawahnya, memandang pilar tinggi besar menuju Mezquita, membawa ke masa seribu tahun lalu. Seolah tergambar dihadapan mata, lalu lalang para bangsawan, ilmuwan, tentara dan kerumunan rakyat jelata. Beberapa puluh meter ke arah kiri, tampak Alcazar, taman-taman rimbun memukau, dengan kolam dan bunga-bunga bermekaran, sisa peradaban lama, sangat memanjakan mata. 




Berjalan menapaki area Mezquita, mencari para guru dan ilmuwan dunia. Tampak Averroes (Ibnu Rusyd) duduk mematung, mencoba menjelaskan kembali konsep Arestotelian, agar bisa dipahami banyak orang, menuliskan kembali ide-idenya yang hampir punah.  Beliau bukan hanya ahli agama, namun juga dokter dan filosof. Disudut taman yang lain, Ibnu Hazm berdiri tegak, membacakan syair-syair melegenda, seorang ulama dan filosof kontroversial pada masa itu, dimana, pemujanya sebanyak pencelanya. Akhir hayatnya, akhirnya pergi meninggalkan riuhnya kota, menyendiri , sambil terus mengajar para murid yang setia mengikuti. 

Siapa tak kenal Abulcassis (Abul Qasim Az Zahrawi), ahli bedah, peletak dasar ilmu bedah modern. Buku legendarisnya, Al-Tasrif, setebal 30 jilid, menjadi rujukan ilmuwan Eropa. Seorang ahli bedah Perancis, Guy de Chauliac, mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter hingga terciptanya era Renasissance. Sampai abad ke -16 M, ahli bedah berkebangsaan Perancis, Jaques Delechamps (1513 M-1588 M), masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.

Menapaki gang-gang sempit, diantara gedung-gedung antik disekitar Mezquita, sungguh asyik. Tak disangka, kaki memasuki University of Cordoba. Universitas dengan bangunan tua, setua kisah dan sejarahnya. Di seberang gerbang kampus, seolah mengamati para pengunjung, duduk diantara rimbun pohon jeruk yang ranum. Dialah Al-Ghafiqi, pakar farmasi dan ophthalmologist termasyhur Andalusia. Namanya juga diabadikan di rumah sakit Cordoba.

Empat tersebut, beberapa diantara ratusan ilmuwan. Mereka seolah berkumpul pada satu era, menuliskan karya-karya besarnya di Cordoba. Karya yang menjadi landasan pengetahuan Eropa. Karya yang masih dapat ditelusuri, dinikmati hingga kini, dari generasi ke generasi.

Saat Cordoba runtuh, kekhalifahan masih bertahan di Granada. Mari coba menelusurinya. Kereta api meninggalkan Cordoba, transit di Atequera Santa Ana, tersambung bus menuju Granada. Sepanjang jalan, yang tampak hanya kebun Olive dan dataran tinggi yang berbukit-bukit, inilah alasan, mengapa tak ada kereta ke Granada. Mendatangi Granada berarti menghampiri Alhambra.

Alhambra, sebuah istana megah nan indah mempesona. Berdiri diatas bukit menjulang, memasukinya akan melewati taman-taman indah menawan. Gerbang “the tower of justice” ramah menyambut, gerbang yang dibangun pada 1348 M, masih tampak kokoh berdiri. Alhambra tampak merah merona dari kejauhan, lebih-lebih di kala senja, sesuai namanya, “Al-Hamra” dalam bahasa arab berarti merah. Dari Alcazaba, benteng yang berdiri kokoh, kaki melangkah memasuki Nasrid Palace, istana sesungguhnya, seolah tercium aroma masa lalunya. Untainan manik-manik dan interior kaca yang detail, dengan kaligrafi didinding yang menawan, bertuliskan “La Ghaaliba illa-Allah” (there is no victor but Allah). Bentukan langit-langit istana, menyerupai sarang lebah, membiru, terlihat berkelip, berpendar, terkena pantulan cahaya dari balik jendela.



Memasuki ruangan-ruangan di istana ini, akan mengingatkan pada Agra Fort, sebuah perpaduan benteng dan istana di Agra, India. Beberapa ornamen dan detail interior mirip atau hampir serupa. Agra Fort, tuntas dibangun pada 1573 M, dua ratus tahun setelah Alhambra.

Agra Fort hanya berjarak 2.5 km dari Taj Mahal, mahakarya agung, white marble berbalut ukiran, ornament, dan lukisan amat detail, untaian kaligafi menyelimutinya. Suasana makin sendu jika dinikmati dari tepian sungai Yamuna. Tak terbayang bagaimana mereka membangunnya. Konon, Taj Mahal merupakan sebuah monumen, lambang cinta suami akan istrinya. Namun, ada banyak cerita dan kisah dibaliknya, sehingga ungkapan cinta, ternyata tidak sesederhana yang dipahami, oleh banyak manusia. Monumen ini dibangun selama 22 tahun, untuk Mumtaz Mahal, sang istri ketiga, wanita Persia, setelah melahirkan anak ke-14, putri mereka.

Taj Mahal mengundang banyak manusia. Semua datang menikmati keindahannya, semua terpukau, semua terbuai. Ratusan juta jepretan kamera mengabadikan bangunannya, tak terkira jumlah yang berswafoto, dengan berbagai macam gaya. Tampaknya ada yang terlupa. Taj Mahal adalah sebuah makam, sebuah pekuburan. Tak tampak ada satupun menengadahkan tangan,  atau diam untuk berdoa, sebagaimana lazimnya peziarah kubur. Seolah jenazah Shah Jahan dan Mumtaz Mahal tak lagi ada disana. Apakah mungkin mereka melakukannya,  dengan cara diam-diam ?

Alhambra, Agra Fort dan Taj Mahal, adalah monumen, tanda kejayaan peradaban. Semua mata mengaguminya. Namun, ada yang berbeda akan Cordoba. Ada suasana haru terbalut rindu saat mengunjunginya. Saat itu, bukan hanya menikmati bangunan, arsitektur dan suasana kotanya, namun, seolah menghirup gairah para ilmuwan kelas dunia, yang meneliti, menuliskan dan menghasilkan banyak karya. Karya itu, mungkin tanpa sadar, telah memasuki relung-relung otak kita, otak umat manusia. Pengetahuan itu diwariskan dari generasi-ke generasi, lebih abadi, mungkin tak terlihat, namun ia sungguh nyata adanya.

Friday, 7 December 2018

Neurointervensi Madzhab Delhi

Hari itu senin, 7 Februari 2011. Menjelang musim semi. Bulan kedua fellowship. Datang seorang laki-laki muda, dosen di sebuah universitas negara tetangga. Lelaki ini mula-mula masuk di sebuah rumah sakit lain, namun tak menemukan yang dicarinya, ternyata dokter yang dimaksudkan, telah berpindah ke rumah sakit dimana sekarang dia dirawat. Pasien ini mengeluh kejang dan nyeri kepala berulang. 

Prosedur angiografi serebral dilakukan. Seperti biasa, beliau asyik cukup lama di depan workstation, sambil melihat satu-persatu gambaran MRI secara detail, seolah tak memperdulikan kami para fellow yang selalu mengikuti dibelakangnya. Akhirnya, beliau berjalan menuju HDC (high dependence care), tempat evaluasi pasien pasca prosedur, dan menjelaskan bahwa Brain AVM pada sang dosen tidak perlu dilakukan embolisasi, cukup observasi dan terapi simptomatik. Pasien mulanya agak terkejut atas penjelasan ini, bagaimana tidak ? jauh-jauh dari Negara tetangga, berharap dilakukan suatu tindakan untuk mengobati sakitnya, mengapa hanya di observasi saja ?

Sebagai fellow yang masih dalam tahap obsevership, tentu kami keheranan, beberapa waktu lalu, pasien dengan ukuran AVM yang sama, dan di lokasi yang hampir serupa, beliau lakukan prosedur embolisasi. Mengapa pada pasien ini berbeda ? Kami berdiskusi dengan sesama fellow, namun belum berani bertanya, mengapa decision making pada dua pasien yang tampaknya mirip, kok bisa berbeda.

Besok harinya, kembali seorang pasien Brain AVM dari Negara tetangga, kali ini lebih jauh, Timur Tengah. Sudah pernah dilakukan embolisasi di rumah sakit lain. Pasien dilakukan prosedur dengan general anastesi. Tak disangka, prosedur ini begitu lama, kami heran, satu microcatheter yang kami sangka sudah masuk dalam nidus dan siap diinjeksikan glue (NBCA), ternyata ditarik kembali, begitu terjadi beberapa kali. Apa yang kami anggap nidus AVM, ternyata menurut beliau bukan. Microcatheter diarahkan ke feeder yang lain. Sampai akhirnya injeksi glue benar-benar dilakukan, dan membuat kami lega, artinya prosedur panjang akan segera selesai, karena telah cukup lama sekali, hari ini bermandi radiasi.

Selepas prosedur, sambil menikmati secangkir kopi, beliau bertanya tentang AVM tadi. How many compartements?  Para fellow saling berpandangan, bagaimana kami tahu ? membedakan nidus dengan angiomatous changesaja kami belum mampu. Beliau tersenyum, dan berkata, “ada dua kompartemen, dengan dua draining vein.” Pada kesempatan lain beliau berkata, “We are not a plumber,” bukan tukang ledeng, yang hanya menutup kebocoran disini dan disana, ada angioarchitecture yang perlu dipertimbangkan, ada topografi AVM yang perlu dipelajari. 

Demikianlah, setiap hari fellow belajar dari ketidakmengertian. Belajar membuat keputusan klinis. Pasien-pasien yang tampak sama, ternyata bisa memiliki decision yang berbeda. Hubungan fellow dan mentor sangatlah dekat, bukan sekedar guru dan murid yang formal, namun seperti seorang anak dengan orangtua. Kemanapun beliau pergi, kami mengikuti. Setiap keputusan klinis pada pasien hari per hari, kami mengetahui “mengapa” dan apa alasannya.

Ada yang unik dari “Madzhab Delhi.” India tidak banyak berbeda dengan Indonesia. Baik kondisi ekonomi pasien, juga ragam prosedurnya. Jangan pernah berharap berganti microwire dan microcatheter selama prosedur dengan mudah, seperti di negara maju semacam Jepang dan Korea. Meskipun, bisa jadi, itu adalah prosedur sulit dan mungkin saja memerlukannya. Ada banyak trik dan tips bagaimana shaping serta reshaping microcatheter dan microwire. Ada usaha tak kenal lelah, memodifikasi tehnik dalam prosedur, yang mungkin di negara maju lebih memilih berganti device baru, meski berkali-kali tanpa peduli, karena pembiayaan bukan masalah lagi.

Dari “Madzhab Delhi,” kami belajar, bukan semata-mata mengandalkan kecanggihan tekhnologi device neurointervensi,  seperti flow diverter, atau menanam kombinasi implant sekian banyak dalam pembuluh darah otak. Kami belajar, bagaimana menyelesaikan masalah pasien se-ekonomis mungkin, namun dengan hasil maksimal serta komplikasi minimal.

Beliau selalu menekankan “mastering in neuroanatomy,” karena “It’s a cheapest way of being safe,” sebagaimana yang disampaikan Prof. Lasjaunias. Ungkapan yang sesungguhnya lebih mudah diucapkan dari pada diaplikasikan. Terutama, bagi neurointervensionis muda, yang hanya berharap short-cut, belajar kalau bisa dua-tiga bulan saja dan langsung bekerja, tak perlu berlama-lama.

Ada banyak hal yang kami rindukan akan “Madzab Delhi.” Terkadang, dalam alam bawah sadar, kami mungkin rindu “dimarahi” dengan teguran keras model India. Jika saat prosedur, kami melakukan kesalahan, jangan kira apa yang terjadi, sungguh saat itu mungkin rasa sakit menyayat hati, namun kini menjadi kenangan abadi tiada terganti.

Wednesday, 5 December 2018

Stroke Infark dan “Gua Hantu”

Satu-satunya mantra yang paling manjur untuk terapi stroke infark saat ini adalah “take the clot.” Entah bagaimanapun caranya, apakah dengan menghancurkannya (trombolisis) atau dengan mengeluarkannya (trombektomi). Trombolisis bisa dilakukan pada < 4.5 jam dan pada large vessel occlusion (LVO), trombektomi dilakukan pada < 6 jam. Selebihnya, saat waktu tak memenuhi syarat, atau waktu tak bisa ditentukan (pada wake up stroke), trombolisis dan trombektomi hanya boleh dilakukan berdasarkan kriteria imejing, bukan lagi waktu. 

Maka lihatlah studi DAWN serta DEFUSE-3 untuk trombektomi, mereka menggunakan kriteria imejing (diffusion/perfusion) untuk menentukan core dan penumbra, jika mismatch tak lagi ada, atau sangat minimal, maka tidak direkomendasikan melakukan trombektomi pada pasien tersebut. Namun, belakangan, beberapa neurolog baru menyadari, bahwa core yang secara konseptual adalah area infark yang severely hypo-perfused, kemungkinan irreversible, dan ini terlihat pada CT perfusi, ternyata bukanlah gambaran infark yang sesungguhnya. CT perfusi ternyata overestimate dalam menentukan infark. Akibatnya, sangat mungkin, banyak pasien yang selama ini tidak dilakukan terapi reperfusi, karena tidak adanya mismatch atau hanya ada mismatch minimal, seharusnya masih mendapat manfaat dari terapi reperfusi.

Singkatnya, gambaran mismatch dari studi CT perfusi bisa jadi tidak menggambarkan kondisi infark yang sebenarnya. Konsep ini dipopulerkan sebagai “the ghost infarct core.” Ternyata, infarct core yang gelap pada CT perfusi seolah “Gua Hantu,” dimana ukuran gua yang terlihat oleh mata bukanlah ukuran gua yang sebenarnya. Ukurannya yang besar dan gelap mungkin berbeda dengan aslinya, menakutkan untuk dimasuki dan menakutkan untuk dilakukan terapi reperfusi.

Inilah kemudian yang mendasari sebagian neurointervensionis mulai berpendapat bahwa untuk LVO langsung saja dilakukan trombektomi tanpa perlu CT perfusi, tapi aplikasinya masih menunggu konfirmasi studi berikutnya. Sehingga ada guyonan diantara mereka mengenai topik ini “CT perfusion or CT confusion?”

Saturday, 1 December 2018

Warung Kopi Neurologi

Di setiap sela pertemuan ilmiah Neurologi, mungkin bagian paling dinanti oleh para peserta adalah mojok di warung kopi. Ngopi informal dengan teman seangkatan, sesama alumni dan dengan para senior, membuat suasana cair, gayeng, dengan tawa lepas. Seolah oase, diantara penatnya tugas sehari-hari yang tak berkesudahan. Kopi tak perlu mahal ala tongkrongan anak muda di sudut mall berkelas, warung kopi tradisional makin mengenangkan susah-senang saat sekolah atau semasa kuliah. Suasana temaram malam, makin lama makin mengasyikkan. Ada banyak hal yang bisa diselesaikan di warung kopi. Hubungan beku dapat cair seketika. Masalah pelik dapat terurai sempurna. Dunia yang penuh persoalan seolah sirna sementara, lupakan saja, dan saat kembali, otak sudah dipenuhi dengan berbagai alternatif solusi.

Namun, warung kopi kita belakangan tampaknya sudah berubah. Warung kopi ramai di saat acara ilmiah masih berlangsung. Cukup datang registrasi saat awal acara, membuat janji dengan dengan teman-teman lama, pergi ngopi dan kembali diakhir sesi untuk  menjemput sertifikat ber-SKP. 

Mengapa bisa demikian ? teman saya bilang mulai jenuh dengan acara ilmiah neurologi….........lho ??? Katanya begini “ topik-topik yang ditampilkan banyak membahas produk farmasi, sudah sering disampaikan dan diulang-ulang lagi.” Beliau bilang “ saya mengalami neurological fatique,” lelah mengikuti acara ilmiah yang seperti itu. Saya menimpali,”bukankah topik dengan konten produk farmasi hanya sebagian saja dari presentasi ?” Teman saya menyahut ” Apakah tidak bisa panitia mendatangkan pakar dibidangnya, pembicara asing yang tajam dan qualified tanpa embel-embel farmasi, ataukah panitia tidak mampu mendatangkannya karena biaya ? acara ilmiah ini milik siapa ? milik kami yang yang membayar registrasi ataukah milik produk farmasi ?” Teman saya berbicara panjang soal topik ilmiah, dan contoh seminar di luar negeri.

Mendengarkan semua keluh-kesah teman saya ini, saya terdiam, saya mengerti, walaupun tidak semuanya dapat diterima. Penyelenggaraan acara ilmiah yang high cost, menuntut panitia bekerja keras mencari sponsor, dan tentu saja berkompromi dalam topik-topiknya. Di akhir diskusi teman saya berkata “ sebenarnya panitia bisa mendatangkan pembicara pakar luar negeri yang qualified dan tajam, seandainya tidak terlalu takut keuntungan dari kepanitian berkurang, bukankah kami telah membayar dari registrasi ?” Nah….yang terakhir ini saya tak lagi dapat berkomentar……..dalam hati saya berkata,” bukankah registrasi peserta sebagian besar juga mungkin dibayar oleh farmasi….?”Kita butuh acara ilmiah berkualitas, namun kita juga perlu support sponsorship, namun menuurut teman saya ini, sponsor adalah kendaraan saja, bukan tujuan penyelenggaraan acara ilmiah. Saya manggut-manggut saja, seolah mengerti.

Ah….memang warung kopi kita kini tak lagi sama…..barangkali kopinya haruslah nasgitel (panas, legi lan kenthel). Ayo ngopi….

Thursday, 29 November 2018

Do'a Sebelum Prosedur

Do'a adalah manifestasi rendah hati
Berdo'a berarti mengakui kebesaran Allah,
dan bahwa kita bukan apa-apa tanpa-Nya
Prosedur yang diawali dengan doa, jika sukses dan berhasil tak akan membuat kita sombong,
dan kegagalan tidak akan membuat putus asa.
Lakukan yang terbaik dengan tetap bersandar kepada-Nya.

Tuesday, 9 October 2018

Tato Singa Neurologi

Seorang pemuda gagah mendatangi seorang tukang Tato. Dia meminta agar dilukiskan tato biru bergambar seekor singa buas di punggungnya. Tato singa sangat cocok untuk dirinya agar tampak makin garang dan menantang.

Tatkala jarum tato mulai menusuk-nusuk punggungnya, dia mulai menjerit, dan berteriak pada tukang tato, “ Apa yang sedang kau lakukan?” Tukang tato menjawab “ Aku sedang melukis ekor singa.” Sang pemuda sambil meringis berkata “lukislah saja singa tanpa ekor.” Tukang tato melanjutkan pekerjaannya. Kembali sang pemuda berteriak kesakitan” Apalagi yang sedang kau kerjakan ?” Tukang tato menjawab” Aku sedang melukis telinga singa.” Sang pemuda berkata, lukislah saja singa tanpa telinga.” Tukang tato mulai kesal, namun masih melanjutkan pekerjaannya. Kembali sang pemuda berteriak, kali ini dengan teriakan paling keras “Apa lagi yang kau lakukan?” Tukang tato menjawab, aku sedang melukis taring singa.” Dan pemuda itu berkata, lukislah saja singa tanpa taring.” Akhirnya tukang tato berhenti melukis dan bekata “ Singa macam apa yang kau inginkan, Singa apakah jika ia tanpa ekor, tanpa telinga dan tanpa taring ?”

Kisah sang pemuda adalah kisah Neurologi saat ini. Evidence base dan guideline sangat terang dan menjanjikan tatalaksana paripurna berbagai penyakit neurologi, terutama stroke. Namun apa mau dikata, paket asuransi, fasilitas dan kondisi ekonomi memaksa dokter untuk memberikan tatalaksana apa adanya. Jadilah Neurologi kini, yang berlari cepat dalam evidence base dan guideline, dalam praktis klinis menjadi tak berdaya di Indonesia. Seperti gambaran tato singa pada punggung sang pemuda. Singa tanpa ekor, tanpa telinga dan tanpa taring. Entah makhluk apa ini namanya.

(Kisah Tato diadaptasi dari Kitab Mastnawi Jalaluddin Rumi)

Saturday, 22 September 2018

Near Future Stroke Treatment : Menakutkan ataukah Memberi Harapan ?

Mengikuti perkembangan terapi stroke terkini, membuat kita tercengang dan menarik nafas dalam. Bagaimana tidak ? perkembangan ilmu ini bergerak sangat cepat, kemudian muncul guideline sebagai standar terapi baru. Tatkala standar terapi ini belum sepenuhnya diaplikasikan (di Indonesia), muncul trial atau wacana berikutnya yang potensial mengubah guideline tersebut .

Tengoklah saja pada stroke large vessel occlusion (LVO), menurut guideline terkini, apabila pasien datang < 4.5 jam, maka IV thrombolysis diberikan dan kemudian pasien dinaikkan cathlab untuk dilakukan trombektomi. Tatkala standar ini belum banyak dilakukan di Indonesia, muncul studi yang sedang berjalan (DIRECT-SAFE, MR CLEAN NO IV). Kedua studi ini merupakan RCT, membandingkan LVO dengan IV trombolisis plus trombektomi ataukah langsung saja dilakukan trombektomi. Hal ini didasari analisis beberapa studi yang menyatakan ternyata pada LVO, pemberian IV trombolisis memberikan potential disadvantages, misalnya low recanalization rates, hemorrhagic complications, delay to treatment with IAT, thrombus fragmentation dan neurotoxicity akibat alteplase itu sendiri. Studi ini, jika signifikan, sekali lagi akan mengubah dunia neurologi, dimana semua stroke dengan LVO < 4.5 jam langsung menuju cathlab untuk trombektomi tanpa perlu IV trombolisis dulu.

Isu berikutnya adalah, pada pasien dengan LVO dalam waktu 6-24 jam, dimana IV trombolisis tidak boleh diberikan lagi, standar terapi terbaru (sesuai DAWN/DEFUSE 3 Trial )  harus dilakukan CT/MR Perfusi untuk menilai core dan penumbra, jika memenuhi kriteria, maka pasien segera menuju cathlab untuk trombektomi. Saat ini, diskusi menarik sedang berkembang, CTP/MRP dianggap mengabiskan waktu (bukankah Time is Brain ?), semakin banyak imaging yang dilakukan, makin banyak neuron yang dikorbankan. Maka satu-satunya cara untuk memotongnya dengan CT scan dengan 3 fase, melihat ada tidaknya perdarahan dan melihat collateral, langsung mengirimkannya ke cathlab. Pemeriksaan klinis dan imejing dilakukan sesingkat mungkin.

Kemudian, soal kriteria trombektomi pada LVO. Mild stroke dengan LVO bukanlah kriteria trombektomi. Pasien LVO dengan mild stroke dikarenakan memiliki kolateral yang baik, subanalisa beberapa studi menyatakan bahwa trombektomi bermanfaat pada mild stroke. Sehingga semua LVO “seharusnya” dilakukan trombektomi juga.

Selanjutnya, dalam berbagai diskusi dikatakan bahwa trombektomi adalah prosedur mahal, ternyata dengan analisa ekonomi secara komprehensif  dengan mempertimbangkan kerugian lama perawatan, fisioterapi dan produktivitas warga negera, trombektomi adalah super-cost-effective. Analisa ini bisa kita dapatkan pada publikasi-publikasi terbaru tentang aspek ekonomi trombektomi pada stroke.

Terakhir, namun paling mencengangkan adalah, tentang praktek yang sudah terjadi di luar negeri (Canada, Inggris dan mungkin beberepa negera lain), yaitu ditutupnya akses bagi rumah sakit-rumah sakit yang tidak mampu menangani pasien stroke pada fase akut, terutama trombektomi. Pasien dalam radius, dimana comprehensive stroke center dapat dicapai dalam waktu 30 menit - 1 jam dari lokasi, maka rumah sakit sekitarnya tidak diperkenankan menerima pasien stroke akut. Ini adalah perubahan besar dan sangat signifikan !!

Maka, bagi kita di Indonesia, tatkala mengikuti satu standar terbaru saja masih tertatih-tatih, sudah muncul potensi perubahan dalam waktu dekat, seolah tsunami yang menyerang. Lebih-lebih dikala sistem carut-marut asuransi BPJS yang tidak berkesudahan.

Jadi, bagi neurolog,  adakah terapi stroke terbaru menjadi sesuatu yang menakutkan ataukah memberikan harapan ? 

Sunday, 19 August 2018

Stemcell pada stroke, waktunya sudah dekat ?

IV thrombolysis menjadi standar terapi stroke iskemik  dalam 4.5 jam, dan trombektomi menjadi primadona baru untuk large vessel occlusion. Sementara, neuroprotektan telah menjadi dongeng masa lalu yang mulai ditinggalkan. Pertanyaannya, mungkinkah ada terapi lain yang mampu memberikan benefit pada pasien stroke setelah itu ?

Pada 1 Agustus 2018, MASTERS-2, merupakan clinical trial fase 3, pemberian IV stemcell (multistem®), telah merekrut pasien pertama di Oregon US. Diberikan pada moderate to moderate-severe ischemic stroke, dengan target subyek penelitian 300 orang. Stemcell diberikan pada 18-36 jam setelah stroke, efektivitas akan dievaluasi dalam 3 bulan dan 12 bulan.

Peneltian sebelumnya, menyatakan bahwa pemberian intravenous stemcell aman tapi tidak memberikan manfaat pada stroke. Semua Neurolog tentu menunggu hasil riset ini dengan harap-harap cemas. Apabila hasil meyakinkan, maka tidak terlalu lama lagi, stemcell akan menjadi standar terapi pada pasien stroke,…kita tunggu saja…!

Thursday, 16 August 2018

Neurointervensi : Arti Merdeka...

Merdeka berarti...
Saat bisa prosedur tiap hari, tanpa ada batasan hari
Saat bisa datang, siang atau malam kala emergensi
Semua prosedur, kerjakan saja, tanpa pikir biaya lagi

Merdeka berarti...
Saat kau lihat aneurisma bagai kompeni
Sikat saja tanpa peduli, yang penting tanpa komplikasi
Saat kau lihat malformasi besar
Maju tak gentar tanpa gemetar
Tak ada yang antri, tak ada yang terlantar...

Merdeka berarti...
Saat bekerja sesuai indikasi, tanpa lupa kompetensi
Dengan tugas hanya dua saja
Menutup atau membuka pipa dalam kepala
Saat menutup, kau tahu kapan mulai kapan berhenti
Saat membuka, masih perlu kembali bertanya, apakah perlu dibuka ataukah dibiarkan saja...

Ada banyak prosedur neurointervensi..
Mulai stenting, coiling, embolisasi, angioplasti, sampai trombektomi...
Merdeka berarti...
Saat mampu bekerja sesuai guideline terkini
Tanpa restriksi, tanpa batasan asuransi...

Kami ini anak-anak negeri..
Terus bertekad untuk mengabdi..
Meskipun tiap hari mandi radiasi...

Dirgahayu Indonesia ke -73, 17 Agustus 2018

Tuesday, 7 August 2018

Wajah-wajah Indah di pintu Sorga…..

Kutatap wajah beliau, kedua orangtuaku…..
Tetap tak berubah, air muka tenang, hangat,  dengan selaut kedamaian
Garis wajah makin jelas terlihat, lukisan indah, bukti kerja dan doa yang tak pernah putus…
Garis itu terbentuk puluhan tahun, terlukis karena senyum, alunan indah kebahagiaan…
Garis itu terbentuk puluhan tahun, terlukis karena lelah, terpaan gelombang kesedihan…
Garis itu gambaran suka dan cita, 
gambaran duka dan cinta…..

Kutatap wajah itu…, makin menua, makin perasa…..
Wajah yang padanya hanya terpancar cahaya berbagi dan memberi....
Wajah yang tak pernah menghiba, meminta cinta, kecuali pada Sang Pencipta

Gerakan yang mulai melemah tak membatasinya bertanya…..
bagaimana anak-anakku,….bahagiakah dia ?.....
Memori yang mulai pudar, ingatan tak lagi berpendar…..
Namun,  masih ada yang tek lekang, dimanakah anak-anakku,…bahagiakah dia ?...

Hidupmu yang sepi sepanjang hari…
Tetap dapat membuatmu tersenyum karena memori….
Terkadang aku melihatmu tertawa sendiri…
Kau bercerita bagaimana bahagianya, 
tatkala menyerahkan telunjukmu untuk kugapai, 
saat aku mulai belajar berjalan….
Kau bercerita bagaimana senangnya, 
tatkala aku berhasil mengeja kata pertama,
yang kau ajarkan…..

Aku bertanya,…..
Adakah hidupmu sepi wahai Ayah, wahai Ibu….? 
Tatkala kami anak-anakmu sudah jarang menemanimu ?
Tatkala kami ditenggelamkan kehidupan dan sering melupakanmu ?

Beliau tersenyum dalam, dan hanya berkata lirih….
Bukankah nanti kita di alam kubur juga sendiri ?
Sepiku justru mengingatkanku, 
bisa berdoa sepanjang waktu untukmu…
Sepiku mendekatkanku padaNya…..
agar satu lagi pintaku padaNya bisa terwujud,
“Mengijinkan aku menunggumu di pintu Sorga, sebelum aku sendiri bisa memasukinya……….”

Friday, 27 April 2018

Kobe : Saat Aliran Dialihkan


Kulihat bagaimana pipa-pipa itu dipasang,
Sampai berjajar-jajar
Bukanlah pipa biasa, 
Pipa yang terpasang dalam kepala

Flow diverter, demikian mereka menyebutnya
Untuk megalihkan, untuk mengarahkan
Hampir tak ada lagi yang susah
Hampir tak ada lagi yang resah

Dulu orang berdebat,
Aneurisma adalah soal dinding
Aneurisma adalah soal genetik
Aneurisma adalah soal jaringan ikat
Aneurisma adalah soal aliran darah

Pipa-pipa itu terpasang, 
Terpasang berpasang-pasang
Aneurisma mengalami remodelling, berubah bentuk
Mulanya besar, mulanya lebar
Mengkerut seiring waktu, berubah seiring masa

Betapapun besar si aneurisma, 
Akan regresi
Betapapun kecil cabang arteri
Terus tetap dalam patensi

Dalam kehidupah ini kawan,
Yang tak berguna akan regresi
Dimakan kebaikan orang sekitar
Yang bermanfaat akan bertahan,
Dipertahankan generasi ke generasi

Namun, jika yang tak berguna dibiarkan
Dan sumber masalah tetap diabaikan.....
Tatkala tak seorangpun mau mengalihkan aliran
Ketika tak seorangpun mau membungkamkan
Maka ia akan terus tumbuh berkembang
Hanya ada dua pilihan....
Bertumbuh membesar 
atau pecah tak karuan
Maka hanya bencana yang ada
Maka hanya luka yang tersisa

Di Kobe kami belajar,
Arah bencana ternyata bisa diubah
Masalah serius nyatanya bisa dicegah
Dengan hanya mengalihkan alirannya......

Kawan,
Peliharalah saja aliran kebaikan..
Maka aliran keburukan akan berkurang dan terhenti
Kita akan menyaksikan,
Aliran kebaikan akan memakan keburukan
Sebagaimana api melahap kayu bakar...

Sunday, 8 April 2018

Bangsaku dan Inovasi Baru

Masih ingatkah kawan...
Tentang Tawan Bali, tukang las dengan 'lengan bionik'
Semua orang riuh,  semua orang gaduh
berita pergi jauh kemana saja, ke seluruh Nusantara

Masih ingatkah juga kawan...
Mobil listrik Tucuxi,
Yang celaka sebelum waktunya
Harapan indah produk anak bangsa
Saat ini hilang entah kemana..

Masih segar ingatan kita kawan..
Baju anti Kanker Warsito..
Kemenkes belakangan menertibkannya
Setelah sekian lama produk itu berjalan dan menggema..

Saat semua tenggelam.....
Kini heboh "cuci otak" menggantikannya
Konon banyak pejabat negara, ingin di"cuci otak" nya
Mulai yang mantri, sampai menteri mencobanya
Tanpa tahu jelas benar, apa sih manfaatnya....

Bangsaku rindu inovasi
Bangsaku rindu pahlawan negeri
Dalam jiwa yang gersang
Siapapun bisa jadi pahlawan
Setitik air saja, seperti guyuran hujan merasuk dada

Jangan sedih kawan...
Masih banyak harapan di hari depan,
Asal kita mau berusaha, asal kita mau jujur,
Tapi Mbokyo......
ojo *nggumunan*,
ojo *kagetan*
lan ojo *dumeh...*

Saturday, 7 April 2018

DSA pada otak, adakah resikonya ?

Gaduh dan heboh soal "cuci otak" telah masuk kedalam percakapan publik dan awam. "Cuci otak" yang sebenarnya adalah prosedur angiografi serebral melalui kateter yang dimasukkan dalam pembuluh darah (umumnya dari pangkal paha), menjadi hangat diperbincangkan. Prosedur ini sesungguhnya, sudah sangat lama dikerjakan, dimulai sekitar tahun enampuluhan.

Angiografi serebral kemudian disebut DSA (digital subtraction angiografi), karena teknologi mampu menghilangkan komponen selain pembuluh darah dalam tampilan gambarnya, sehingga, hanya pembuluh darah otak saja yang terlihat.

Adakah resiko prosedur DSA ? tentu saja semua prosedur medis memiliki resiko. Namun, dengan indikasi yang jelas, dan pada pasien yang tepat (bukan pada semua pasien, apalagi orang sehat), prosedur ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Yaitu, saat manfaat prosedur lebih besar dari kemungkinan efek sampingnya.

Apakah efek samping yang mungkin terjadi pada tindakan DSA ?

*1. Groin hematoma* : mungkin bisa terjadi lebam di tempat suntikan, di tempat kateter dimasukkan. Biasanya pada orang yang gemuk dan akses vaskuler yang sulit.
*2. Alergi kontras*. Meskipun secara umum agen kontras yang diinjeksikan untuk melihat pembuluh darah otak cukup aman, ada beberapa pasien yang alergi terhadap agen ini.
*3. Timbulnya trombus atau bekuan darah*. Hal ini karena ada benda asing yang dimasukkan dalam pembuluh darah yaitu kateter dan wire. Untuk mencegahnya digunakan heparin, sebagai obat yg berfungsi mencegah timbulnya bekuan. Jadi heparin sifatnya untuk prevensi timbulnya bekuan.
*4. Diseksi arteri*. Ini adalah cedera pada dinding pembuluh darah akibat efek mekanis dari kateter atau wire yang dimasukkan dalam pembuluh darah.
*5. Perdarahan*. Pada pasien yang saat dilakukan prosedur tekanan darahnya tinggi dan tidak terkontrol.

Yang namanya resiko tentu tidak selalu terjadi. Seperti seseorang yang berkendara, beresiko mengalamai kecelakaan di jalan. Secara keseluruhan, resiko prosedur ini kurang dari 3%, dan di tangan dokter yang memiliki jam terbang tinggi, resiko bisa kurang dari 1%.

Namun, karena prosedur ini memiliki resiko, maka harus dilakukan pada pasien yang tepat dengan indikasi tepat. Tidak boleh dilakukan pada semua orang, apalagi orang sehat, atau orang sakit yang tidak berhubungan dengan kelainan pembuluh darah otak.

Ada persoalan yang saat ini menjadi konsen MKEK IDI. Namun, meluasnya indikasi dari diagnostik menjadi prevensi dan terapi juga ikut membuat gaduh. Maka, soal etika dan profesi biarlah IDI dan organisasi profesi yang menyelesaikannya. Itu ranah dan domain mereka. Semoga dunia kedokteran indonesia makin maju, namun dengan tetap bertumpu pada keilmuan yang kuat dengan tetap memegang teguh etika kedokteran Indonesia.

Saturday, 31 March 2018

Nevi, Sang Musafir

Layaknya sebuah perjalanan, semua perlu persiapan. Merancang tujuan yang hendak dicapai, melukis target yang hendak digapai. Maka, apatah mau dikata, jika sang musafir berbekal badan semata. Bisa jadi dalam kelana, tersesat dalam lebatnya rimba.

Dalam pergimu wahai musafir, langkahmu mengikuti peta, menyusuri sudut-sudut kota, sudut-sudut area tak terduga. Cukupnya bekalmu, ditambah doa dan ilmu, membuat langkahmu derap berpadu.

Namun ingatlah, perjalananmu misteri hidupmu. Tak pernah tahu mesti dan pasti apa bakal kau hadapi. Bisa jadi dia berubah, bisa jadi ia berkilah. Namun, musafir sejati, selalu menikmati setiap sisi indahnya perjalanan. Jalan buntu, cuaca tak menentu, adalah ilmu baru yang layak dihikmati, layak dihayati.

Sang Nevi adalah musafir, tatkala prosedur dikerjakan, sungguh dia sedang bepergian. Rute yang sering dikunjungi akan membuatnya percaya diri, sedang rute baru hendak di tempuh, tentu memerlukan banyaknya peluh.

Layaknya seorang musafir, meskipun telah berbekal, meskipun ilmu beribu jengkal, namun ada sebaik-baik bekal, yanga harus senantiasa dibawa, senantiasa beserta. Taqwa dan do'a. Karena sungguh manusia, tiada pernah tahu takdir akhirnya.

Changi, Singapore, Ahad, 31 Maret 2018.

Saturday, 17 March 2018

Live Course in Neurology : Cukuplah Dalam Tempurung ?

Sabtu, 13 Januari 2018, di Madrid Spanyol. Hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Pertemuan ilmiah dengan tajuk Neurointerventional Master Course (NeuroIMC) 2018, sebuah pertemuan ilmiah tahunan dengan outstanding speaker dari berbagai belahan dunia, berdiskusi tentang stroke, neurovaskuler, neurosurgical cases, serta neurointervensi.

Pagi itu, mengikuti lecture demi lecture demikian nikmatnya, sambil ditemani segelas kopi dan pisang goreng ter-enak. Pisang goreng ini demikian renyah, se-renyah diskusi yang interaktif di NeuroIMC. Nah, bagaimana mungkin ada pisang goreng di suatu konferensi di Madrid ? sedangkan pisang goreng paling enak hanyalah pisang goreng buatan Mbok warung di sebelah rumah ?

Tentu saja, ini bukan di Madrid, menikmati jalannya konferensi ternyata bisa dari ruang kamar , di depan laptop kesayangan.  Dengan membuka live streaming dari neurosurgical.tv, semua topik dan jalannya diskusi bisa diikuti. Tidak perlu lagi terbang ke Madrid dengan biaya puluhan juta dengan menghabiskan waktu beberapa hari, cukuplah berbekal paket internet yang adekuat, semua materi bisa lengkap didapat.

Konsep Live Course telah membuat dunia benar terlipat. Kalau sebelumnya hanya sepak bola yang bisa dilihat secara Live, saat ini banyak acara ilmiah bisa diikuti secara Live. Dalam konteks Indonesia, beberapa kali senter-senter pendidikan neurologi mengadakan webinar symposium, presentasi dan diskusi interaktif dengan pakar luar negeri, yang bisa dilakukan interaktif dua arah.

Bukan hanya soal lecture, jika kita menghadiri acara seperti LINNC (Live Interventional Neuroradiology and Neurosurgery Conference) dari Paris atau WLNC (World Live Neurovascular Conference) dari Shanghai, kita akan menyaksikan prosedur operasi secara Live dari satu tempat, sedang operator berada dibelahan dunia lain. Konferensi yang diadakan di Shanghai misalnya, kita dapat mengikuti prosedur operasi yang dikerjakan di Turki, Perancis atau Brazil dalam waktu yang sama, real time. Kualitas gambar demikian bagus, seolah kita berada disana, berada dibelakang operator. Diskusi antara operator dengan seribuan orang audien di tempat konferensi bisa terjalin dengan panduan moderator. Saat itulah, waktu dan tempat tak lagi menjadi penghalang suatu interaksi ilmiah.

Inilah yang sangat dekat akan terjadi, fakta yang jelas didepan mata. Kegiatan ilmiah dengan topik yang kurang menarik, dan hanya berupa kuliah klasikal, dengan topik itu-itu saja, niscaya akan tergerus zaman. Mengemas acara ilmiah berbasis teknologi dengan mengundang para pakar dari belahan dunia lain, tanpa mereka hadir secara fisik di tempat acara, tampaknya tidak terlalu lama akan menjadi sajian rutin kita. Acara ilmiah dengan iming-iming SKP besar tanpa acara ilmiah berkualitas,  tentu akan tetap ada peserta yang teregistrasi, namun bisa jadi, ruangan seminar akan kosong. Peserta hanya berhenti pada SKP, mereka lebih nyaman menikmati sajian di luar konferensi, seperti menikmati city tour. Bagaimana tidak ? semua materi dan konten ilmiah sudah bisa mereka dapat dari dunia maya dan Live Conference dengan kapasitas ilmiah tinggi dan kualitas yang mungkin tak terbatas.

Akhirnya, dunia yang terlipat telah hadir di depan mata. Untuk menjadi maju dan berilmu, ternyata kita bisa menjadi “Katak Dalam Tempurung” dalam arti tekstual, berdiam di dalam kamar dengan paket internet tak terbatas, namun tentu saja bukan dalam makna substantif. Ternyata,  “Dunia Tidak Hanya Seluas Daun Kelor.”

Sunday, 11 March 2018

Neurologi dan Jempol Kaki


Dulu kawanku bertanya,
Mengapakah sekolah neurologi,
Hanya lihat ujung jempol bergerak saja
Sudah senang setengah mati

Kawan lain juga bertanya,
Tentang kabar bangsal Neurologi
Masihkah banyak terjadi,
Angka kematian paling tinggi

Aku hanya tersenyum kecut,
Diam-diam duduk menyudut
Sambil mengingat nasib mereka,
Yang lumpuh, yang buta, yang kejang, sampai yang koma

Para neurolog terkenal hebat,
Diagnosis topis amatlah tepat
Namun tatkala menulis terapi,
Itu-itu saja obat yang mereka beri

Kawanku..... itu cerita dulu......
Namun bukanlah dongeng di masa lalu,
Wajah-wajah neurologi kini,
Telah berubah cerah berseri

Kuratif Neurologi,
Demikianlah orang menyebut
Banyak obat dan tehnik baru telah tersebut
Menolong ratusan ribu penderita,
Yang lumpuh, yang buta, yang kejang, sampai yang koma

Langkah ini belum terhenti,
Ratusan bahkan ribuat riset terus terjadi
Sungguh banyak rahasia akan terungkap,
Jika Tuhan izinkan tabir tersingkap

Tapi Kawanku.....,
Neurologi bukan lagi soal jempol kaki
Bukan soal kemauan, kerja keras dan berbakti sepenuh hati

Masih banyak ribuan penderita,
Yang lumpuh, yang buta, yang kejang, sampai yang koma
Mereka masih bertebaran di seluruh nusantara
Bukan karena Kita tak tahu cara mengobatinya
Bukan pula karena tak ada obatnya
Tapi soal biaya, soal dana......
Soal paket asuransi,
Yang hanya berhenti di meja diskusi.....