Seorang pemuda gagah mendatangi seorang tukang Tato. Dia meminta agar dilukiskan tato biru bergambar seekor singa buas di punggungnya. Tato singa sangat cocok untuk dirinya agar tampak makin garang dan menantang.
Tatkala jarum tato mulai menusuk-nusuk punggungnya, dia mulai menjerit, dan berteriak pada tukang tato, “ Apa yang sedang kau lakukan?” Tukang tato menjawab “ Aku sedang melukis ekor singa.” Sang pemuda sambil meringis berkata “lukislah saja singa tanpa ekor.” Tukang tato melanjutkan pekerjaannya. Kembali sang pemuda berteriak kesakitan” Apalagi yang sedang kau kerjakan ?” Tukang tato menjawab” Aku sedang melukis telinga singa.” Sang pemuda berkata, lukislah saja singa tanpa telinga.” Tukang tato mulai kesal, namun masih melanjutkan pekerjaannya. Kembali sang pemuda berteriak, kali ini dengan teriakan paling keras “Apa lagi yang kau lakukan?” Tukang tato menjawab, aku sedang melukis taring singa.” Dan pemuda itu berkata, lukislah saja singa tanpa taring.” Akhirnya tukang tato berhenti melukis dan bekata “ Singa macam apa yang kau inginkan, Singa apakah jika ia tanpa ekor, tanpa telinga dan tanpa taring ?”
Kisah sang pemuda adalah kisah Neurologi saat ini. Evidence base dan guideline sangat terang dan menjanjikan tatalaksana paripurna berbagai penyakit neurologi, terutama stroke. Namun apa mau dikata, paket asuransi, fasilitas dan kondisi ekonomi memaksa dokter untuk memberikan tatalaksana apa adanya. Jadilah Neurologi kini, yang berlari cepat dalam evidence base dan guideline, dalam praktis klinis menjadi tak berdaya di Indonesia. Seperti gambaran tato singa pada punggung sang pemuda. Singa tanpa ekor, tanpa telinga dan tanpa taring. Entah makhluk apa ini namanya.
No comments:
Post a Comment