Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday 7 December 2018

Neurointervensi Madzhab Delhi

Hari itu senin, 7 Februari 2011. Menjelang musim semi. Bulan kedua fellowship. Datang seorang laki-laki muda, dosen di sebuah universitas negara tetangga. Lelaki ini mula-mula masuk di sebuah rumah sakit lain, namun tak menemukan yang dicarinya, ternyata dokter yang dimaksudkan, telah berpindah ke rumah sakit dimana sekarang dia dirawat. Pasien ini mengeluh kejang dan nyeri kepala berulang. 

Prosedur angiografi serebral dilakukan. Seperti biasa, beliau asyik cukup lama di depan workstation, sambil melihat satu-persatu gambaran MRI secara detail, seolah tak memperdulikan kami para fellow yang selalu mengikuti dibelakangnya. Akhirnya, beliau berjalan menuju HDC (high dependence care), tempat evaluasi pasien pasca prosedur, dan menjelaskan bahwa Brain AVM pada sang dosen tidak perlu dilakukan embolisasi, cukup observasi dan terapi simptomatik. Pasien mulanya agak terkejut atas penjelasan ini, bagaimana tidak ? jauh-jauh dari Negara tetangga, berharap dilakukan suatu tindakan untuk mengobati sakitnya, mengapa hanya di observasi saja ?

Sebagai fellow yang masih dalam tahap obsevership, tentu kami keheranan, beberapa waktu lalu, pasien dengan ukuran AVM yang sama, dan di lokasi yang hampir serupa, beliau lakukan prosedur embolisasi. Mengapa pada pasien ini berbeda ? Kami berdiskusi dengan sesama fellow, namun belum berani bertanya, mengapa decision making pada dua pasien yang tampaknya mirip, kok bisa berbeda.

Besok harinya, kembali seorang pasien Brain AVM dari Negara tetangga, kali ini lebih jauh, Timur Tengah. Sudah pernah dilakukan embolisasi di rumah sakit lain. Pasien dilakukan prosedur dengan general anastesi. Tak disangka, prosedur ini begitu lama, kami heran, satu microcatheter yang kami sangka sudah masuk dalam nidus dan siap diinjeksikan glue (NBCA), ternyata ditarik kembali, begitu terjadi beberapa kali. Apa yang kami anggap nidus AVM, ternyata menurut beliau bukan. Microcatheter diarahkan ke feeder yang lain. Sampai akhirnya injeksi glue benar-benar dilakukan, dan membuat kami lega, artinya prosedur panjang akan segera selesai, karena telah cukup lama sekali, hari ini bermandi radiasi.

Selepas prosedur, sambil menikmati secangkir kopi, beliau bertanya tentang AVM tadi. How many compartements?  Para fellow saling berpandangan, bagaimana kami tahu ? membedakan nidus dengan angiomatous changesaja kami belum mampu. Beliau tersenyum, dan berkata, “ada dua kompartemen, dengan dua draining vein.” Pada kesempatan lain beliau berkata, “We are not a plumber,” bukan tukang ledeng, yang hanya menutup kebocoran disini dan disana, ada angioarchitecture yang perlu dipertimbangkan, ada topografi AVM yang perlu dipelajari. 

Demikianlah, setiap hari fellow belajar dari ketidakmengertian. Belajar membuat keputusan klinis. Pasien-pasien yang tampak sama, ternyata bisa memiliki decision yang berbeda. Hubungan fellow dan mentor sangatlah dekat, bukan sekedar guru dan murid yang formal, namun seperti seorang anak dengan orangtua. Kemanapun beliau pergi, kami mengikuti. Setiap keputusan klinis pada pasien hari per hari, kami mengetahui “mengapa” dan apa alasannya.

Ada yang unik dari “Madzhab Delhi.” India tidak banyak berbeda dengan Indonesia. Baik kondisi ekonomi pasien, juga ragam prosedurnya. Jangan pernah berharap berganti microwire dan microcatheter selama prosedur dengan mudah, seperti di negara maju semacam Jepang dan Korea. Meskipun, bisa jadi, itu adalah prosedur sulit dan mungkin saja memerlukannya. Ada banyak trik dan tips bagaimana shaping serta reshaping microcatheter dan microwire. Ada usaha tak kenal lelah, memodifikasi tehnik dalam prosedur, yang mungkin di negara maju lebih memilih berganti device baru, meski berkali-kali tanpa peduli, karena pembiayaan bukan masalah lagi.

Dari “Madzhab Delhi,” kami belajar, bukan semata-mata mengandalkan kecanggihan tekhnologi device neurointervensi,  seperti flow diverter, atau menanam kombinasi implant sekian banyak dalam pembuluh darah otak. Kami belajar, bagaimana menyelesaikan masalah pasien se-ekonomis mungkin, namun dengan hasil maksimal serta komplikasi minimal.

Beliau selalu menekankan “mastering in neuroanatomy,” karena “It’s a cheapest way of being safe,” sebagaimana yang disampaikan Prof. Lasjaunias. Ungkapan yang sesungguhnya lebih mudah diucapkan dari pada diaplikasikan. Terutama, bagi neurointervensionis muda, yang hanya berharap short-cut, belajar kalau bisa dua-tiga bulan saja dan langsung bekerja, tak perlu berlama-lama.

Ada banyak hal yang kami rindukan akan “Madzab Delhi.” Terkadang, dalam alam bawah sadar, kami mungkin rindu “dimarahi” dengan teguran keras model India. Jika saat prosedur, kami melakukan kesalahan, jangan kira apa yang terjadi, sungguh saat itu mungkin rasa sakit menyayat hati, namun kini menjadi kenangan abadi tiada terganti.

No comments:

Post a Comment