Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Tuesday, 22 October 2024

Nevi di Negeri Bollywood (1)

Desember 2010, di Delhi. Dingin menusuk kalbu. Suhu 10 derajad celcius. Keluar dari bandara persis tengah malam. Penerbangan dari Kuala Lumpur dengan Air Asia cukup melelahkan. Perjalanan hampir 6 jam. Pesawat ini transit di Kuala Lumpur dari Surabaya lebih dari 8 jam. Saat itu, inilah pesawat kelas ekonomi paling ekonomis. Pilihan tepat bagi seorang dokter spesialis neurologi fresh graduate

 

Di luar bandara, seseorang yang ditunggu belum muncul juga. Dia adalah seorang teman, dokter Bedah Saraf, fellow dari Damaskus, Syiria. Kami belum pernah bertemu, hanya kenal dan berbincang lewat facebook saja. Dia menjanjikan menjemput di bandara. 

 

Telepon genggam berdenting nada SMS, saat itu belum ada WA. Pesan terbaca, teman saya ini tidak bisa menjemput, dia hanya memberikan alamat, dan menganjurkan untuk naik taksi, katanya lokasi berada tak jauh dari Bandara. Saya sampaikan padanya, bahwa saya sudah memesan hotel di dekat rumah sakit. Dia menyarankan agar dibatalkan saja dan menginap bersamanya, bukan di apartemennya, tapi di apartemen temannya. Hmmmm.....

 

Berbekal uang Rupee sekedarnya dari Indonesia, akhirnya saya memesan taksi. Taksi meluncur menuju lokasi. Beberapa lama celingak-celinguk, di tengah sepi dini hari, pada sebuah perumahan yang tampak cukup berkelas. Akhirnya alamat rumah bisa ditemukan, terlihat ada lambaian tangan dari lantai dua. Teman saya ini menyambut hangat, mengajak saya mengobrol sebentar, menawari minum, dan memperkenalkan pada temannya, seorang manajer hotel. Kemudian, mengantar saya ke kamar sambil berkata, " besok pagi-pagi kita pergi ke rumah sakit." Teman baru saya ini ramah, baik dan sudah sangat familier dengan fellow-fellow pendahulu dari Indonesia. Sudah hampir 3 tahun dia di Delhi, namun saat ini masih betah hidup di negeri Bollywood. 

 

Dini hari itu, mata saya tak bisa terpejam, meskipun sangat lelah. Sesekali saya memandang keluar jendela dari lantai dua. Inilah New Delhi, inilah India. Sebuah negeri dengan seribu cerita dan sejuta warna. 

Monday, 14 October 2024

Neurointervensi: Belajar Kearifan dari Palembang



Bulan depan, pada 15 dan 16 November 2024, di Palembang, Rapat Kerja Neurointervensi ke-8. Tak terasa begitu cepat, setelah rapat kerja pertama di Jakarta pada Maret 2012, anggota Pokja 10 orang. Di Palembang, anggota Pokja sejumlah 114 orang. 

 

Gairah dan minat untuk mendalami ilmu ini semakin terasa, delapan senter telah membuka program fellowship. Namun, kemudian banyak yang bertanya, apa motivasi dan niat mereka mendalami keilmuan ini? Tentang niat dan motivasi menuntut ilmu, apapun bentuk ilmu tersebut, rasanya perlu belajar dari seorang tokoh dari Palembang. Tokoh yang mungkin tidak semua orang mengenalnya, namun populer di kalangan pesantren. Beliau adalah Syekh Abdus Shomad al-Palimbani. 

 

Beliau lahir 1704 M, dari seorang ayah, seorang mufti negeri Kedah, ibunya orang Palembang, Radin Ranti. Syekh Abdus Shomad memiliki sumbangan besar dalam perkembangan ilmu tasawuf di Nusantara. Belajar cukup lama di Haramain. Beliau "mendamaikan" dua kutub pemikiran yang saat itu menjadikan banyak perpecahan dikalangan masyarakat, pemikiran dan pemahaman tasawuf Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Beliau menulis beberapa kitab (setidaknya 7 kitab yang tercatat), dua kitab yang cukup dikenal adalah Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin. Demikianlah singkat cerita Al-Palimbani. 

 

Dalam kaitan dengan niat dan motivasi menuntut ilmu, al-Palimbani memberikan ulasan dan komentar pada apa yang sudah disampaikan Al-Ghazali. Bahwa setidaknya ada tiga golongan penuntut ilmu:

 

1. Seorang yang menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan akhirat, mengharap ridha Allah SWT. Kelompok ini adalah kelompok yang beruntung.

 

2. Seorang yang menuntut ilmu untuk kehidupan dunia, jabatan, dan limpahan harta benda. Apabila dia menyadari bahwa motivasinya keliru dan bertaubat, maka akan menjadi kelompok yang beruntung. Jika tidak menyadari atau tahu tapi tidak bertaubat,  sampai akhir hayat termasuk golongan yang merugi.

 

3. Seorang yang menuntut ilmu untuk harta, jabatan, dan kehormatan, tetapi mereka merasa benar. Mereka mengira dekat dengan Allah. Mereka lupa bahwa perbuatannya buruk. Kendatipun mereka berilmu, inilah sejahat-jahatnya orang yang berilmu, inilah sejahat-jahat ulama.

 

Membaca dan menikmati kisah dan tulisan Al-Palimbani, membawa kita ke masa lalu. Merekam tetes-tetes embun nasihatnya. Membuncahkan semangat perjuangannya. Beliau adalah ulama yang gigih melawan penjajah Belanda. Beliau wafat dalam peperangan melawan Siam pada 1789 M, makamnya berada di Pattani Thailand. 

 

Bulan November, insyaAllah Neurointervensi akan menjejak bumi Palembang. Belajar kembali tentang banyak kearifan. Welcome to Palembang!

Sunday, 13 October 2024

Neurointervensi: Bendera dan Harga Tak Terbeli


Dengan menjadi Neurointervensionist (Nevi), seorang neurolog memiliki kompetensi lebih tinggi. Menjadi Nevi berarti memiliki "otoritas" atas pasien. Mendapat kepercayaan penuh untuk memberikan tatalaksana neurointervensi, apapun bentuknya. 

 

Suatu ketika datang seorang pasien, laki-laki, 60 tahun, di sebuah rumah sakit ternama. Saat mendengar bahwa "Brain wash" pada stroke dipopulerkan sebagai prosedur canggih untuk prevensi stroke, ia meminta dilakukan prosedur ini pada seorang Nevi. Baginya, biaya prosedur bukan menjadi masalah. Dokter terdiam sesaat, kemudian mulai memeriksa dan memberikan penjelasan. 

 

Pada kesempatan lain, pasien dengan stroke yang cukup berat juga datang dengan keinginan kuat untuk sembuh. "Brain wash" sudah dua kali dilakukan dan tidak membantu, dia dan keluarganya ingin dilakukan injeksi stem cell, intra-arterial. Sekali lagi, biaya prosedur bukan masalah, pasien dan keluarga mampu membayarnya. Dokter kembali terdiam, dan menghela nafas. 

 

Melakukan prosedur Nevi tanpa indikasi kuat memiliki banyak bentuk. Bisa berupa suatu prosedur dengan evidence base yang belum terbukti bermanfaat, atau melonggarkan indikasi prosedur. Anda bisa memasang stent, melakukan angioplasti, memasang coil atau prosedur apapun dengan indikasi longgar atau bahkan tanpa indikasi. Tentu saja, sebagai seorang Nevi, Anda bisa memilih kukuh untuk hanya melakukan prosedur sesuai indikasi medis. Anda bisa tegas berkata "TIDAK" meskipun jasa medis sangat menjanjikan dan pasien memaksa untuk dilakukan.

 

Saat melakukan prosedur, seorang Nevi bisa saja menjadi "peluru" company (kompeni?). Apapun prosedurnya, dia menggunakan device yang sama, meskipun ada device yang mungkin lebih baik dan lebih cocok untuk kasus tersebut. Kecuali, tidak ada satupun device yang bisa dipilih. Ada pesan dari seorang guru mulya "Adapt the device to the diseases, not the disease to the devices." Pilihlah device susuai kebutuhan penyakit, bukan menggunakan satu device untuk penyakit apapun, hanya karena ada vested interest.

 

Bagaimana menjaga Nevi? setidaknya ada dua cara menjaga Nevi, pertama dengan mengadaptasi global guideline untuk diterapkan di Indonesia.  Ada konsensus Nasional yang diadaptasi dari global guideline. Dengan demikian, prosedur yang dilakukan adalah prosedur sesuai dengan guideline kurang lebihnya, meskipun telah dimaklumi bahwa guideline bukan segala-galanya.

 

Kedua dengan menerapkan guideline ini di pusat-pusat pendidikan neurointervensi. Fellow alumni senter tersebut akan terbiasa mengikuti apa yang dia lihat saat belajar. Pusat pendidikan neurointervensi adalah lampu senter yang menunjukkan jalan yang benar bukan jalan yang sesat. Saat ada prosedur dengan indikasi terlalu longgar atau ada ilmu baru yang tampak "tak sesuai", maka lihatlah saja pada guru-guru besar neurointervensi dunia, guru-guru kita, apakah mereka melakukannya? Atau setidaknya bertanyalah kepada mereka, apakah prosedur yang baru dan belum tercantum dalam guideline bisa dan boleh dilakukan? 

 

Lalu berapa harga Nevi? harga seorang Nevi tentu saja lebih tinggi dari sekedar kebutuhan "sesuap nasi." Harga Nevi tentu lebih tinggi dari sekedar menjadi "peluru" company. Company adalah mitra yang membantu dan terlibat dalam kesuksesan prosedur neurointervensi, tapi bukan menjadi promotor prosedur, sehingga bisa bias pada indikasi.

 

Saat seorang Nevi memegang prinsip,"Mulya kala khidmah sepenuh hati," sebuah penggalan syair Derap Neurointervensi, maka harganya tak ternilai. Bendera boleh kusut, tapi tidak dengan nurani Nevi. Sesilau apapun cahaya dunia menerpa, Nevi melihat dengan kacamata ilmu bukan nafsu. Bukankah ada dunia lain setelah dunia ini? Dan disanalah harga sesungguhnya seorang Nevi akan terlihat, indah bermartabat atau vice versa.

Friday, 11 October 2024

Hari Stroke, dirayakan atau disesali?

Oktober 29, tagar menggelegar
#HariStroke
Penyebab kematian
Dari ketiga menjadi kelima
Kisah tepian dunia sana

Di Negeri ini, beda cerita
Stroke tetap teratas
Tak peduli,
Menteri berganti berkali-kali
Pasien stroke,
Terjengkang, cacat dan mati

Mengapa selalu di atas
Mengapa tak turun juga

Kata kawan saya,
Stroke di Indonesia 
Telah menjelma manusia
Kala diatas, disorientasi
Bingung turun kembali

Jangan-jangan,
Stroke Icon Indonesesia
Jika tak teratas,
Kita tak lagi punya tanda

Sunday, 6 October 2024

Brain AVM: Murid Bertanya, Guru Menjawab


Penanganan Brain AVM (BAVM) masih menjadi misteri bagi para ahli neurointervensi hingga saat ini. Banyak pertanyaan yang belum terjawab bahkan sampai tahun 2024. Hal ini terutama karena terbatasnya randomized control trial pada BAVM. Insiden BAVM hanya sekitar 0,5%, jauh lebih sedikit dibandingkan aneurisma intrakranial (2-4%).

Berikut adalah sesi tanya jawab imajiner dengan (almarhum) Prof. Anton Valavanis. Pertanyaan-pertanyaan ini sering diajukan oleh neurointervensionis muda. Jawaban Prof. Valavanis ini dirangkum dari artikel yang beliau tulis.

1. Modalitas terapi mana yang sebaiknya dipilih pertama kali untuk tatalaksana BAVM: microneurosurgery, endovaskuler, atau radioterapi?

Pemilihan modalitas terapi pada setiap pasien sangat bergantung pada keahlian dan pengalaman yang tersedia di senter tersebut. Pasien dapat memilih modalitas apa yang lebih disukai setelah mendapatkan informasi lengkap mengenai peluang kesembuhan dan risiko yang mungkin dihadapi terkait modalitas tersebut.

2. Jika di suatu pusat medis hanya tersedia modalitas embolisasi endovaskuler, seberapa efektif sebenarnya peran embolisasi pada BAVM Prof ?

Pengalaman kita di Zurich, dari 387 pasien AVM, 158 (40,8%) menunjukkan obliterasi total pada angiografi dan MRI dalam 6 bulan pertama follow-up. Tidak ada perdarahan yang terjadi selama masa follow-up yang berkisar antara 6 bulan hingga 10 tahun (rata-rata 3,8 tahun), dan tidak ditemukan adanya rekurensi atau rekanalisasi. Dari 387 pasien tersebut, 256 (66%) dinyatakan sembuh: 158 melalui embolisasi saja, 73 dengan embolisasi diikuti bedah, dan 25 dengan embolisasi diikuti radiosurgery.

3. Berapa banyak komplikasi yang terjadi akibat embolisasi pada kasus-kasus di atas?

Morbiditas keseluruhan pada seri 387 pasien yang menjalani total 710 sesi embolisasi adalah 5,1% (20 pasien). Lima pasien mengalami defisit neurologis severe (1,3%), enam pasien moderate (1,5%), dan sembilan pasien mild (2,3%). 

Mortalitas keseluruhan adalah 1,3% (5 pasien). Tiga pasien meninggal akibat perdarahan besar pasca-embolisasi, satu akibat iskemia batang otak, dan satu lagi akibat pecahnya AVM ganglia basalis pada sesi embolisasi pertama selama evaluasi angiografi.

4. Jika tampaknya embolisasi BAVM tidak dapat menyembuhkan secara total, apakah ada skenario lain yang bisa memberi manfaat, Prof.?

Embolisasi memiliki peran penting dalam penanganan multimodalitas pada BAVM, yaitu embolisasi yang diikuti dengan tindakan bedah atau diikuti radiosurgery. Embolisasi targeted dapat dilakukan pada BAVM yang tampaknya tidak mungkin dilakukan terapi curative. Terapi paliatif cukup rasional, baik untuk memperbaiki kondisi klinis pasien atau mengurangi potensi risiko perdarahan.

5. Berdasarkan pengalaman Prof. Valavanis, mohon berkenan membagikan aspek praktis dari prosedur embolisasi endovaskuler yang bisa dibagikan kepada kami. Penjelasan menggunakan bahasa inggris tampaknya lebih mudah di pahami. Terimakasih telah berkenan meluangkan waktu dan berbagi dengan kami Prof....

1. The goal of endovascular treatment should be defined prior to the procedure. This does not preclude a change in the goal if additional information obtained during the procedure makes this necessary. 

2. The result of endovascular treatment of a BAVM, in terms of the degree of obliteration achieved and complication rate, depends mainly on the endovascular strategy developed and the technique applied

These depend on the specific angioarchitecture and topography of the individual AVM, the patient's history, clinical presentation, and the predefined goal of embolization. 

The strategy should include the definition of embolization targets, the selection of the most appropriate approach for endovascular navigation, the determination of the sequence of catheterization of individual feeding arteries, the selection of the type of catheters and microcatheters, and the selection of the appropriate embolic materials, as well as the site and mode of their delivery. 

Every endovascular move should be, as in a chess game, the result of a logical plan. 

3. Atraumatic super selective microcatheterization is a key point in the endovascular treatment of brain AVMs. It requires manual skills, knowledge of anatomy, and respect for the vascular wall.

4. All locations of brain AVMs should be regarded as eloquent, and no distinction should be made between eloquent and non-eloquent areas of the brain when deciding on the execution of embolization or the selection of embolic materials. 

5. Embolization should be performed only after the particular angioarchitecture has been fully appreciated, and the particular compartment to be embolized has been precisely localized with angiographic-MR correlation. 

6. The technical goal of embolization is the stable obliteration of the nidus of the AVM with preservation of the normal arterial supply to the adjacent and remote brain parenchyma, without compromise of the venous drainage of the brain

Cyanoacrylate is currently the best available embolic agent to achieve that goal. It is not more dangerous than other available embolic materials, but its use requires appropriate training. 

Other embolic materials can be used in selected cases with particular angioarchitectural features, either to enable appropriate delivery of cyanoacrylate (e.g., use of coils in large intranidal arteriovenous fistulae to slow down the flow before injecting cyanoacrylate) or to enhance progressive nidus obliteration following cyanoacrylate embolization (e.g., supplementary embolization of a small remaining part of the nidus fed by indirect feeders with microparticles of PVA following subtotal nidus obliteration with cyanoacrylate).

7. Performing the endovascular treatment of brain AVMs under general anesthesia was shown in this series to improve the working conditions for the interventional neuroradiologist and their team, to increase the obliteration rate, to improve overall patient outcomes, and to decrease the number of sessions required to achieve the defined goal of treatment.

Saturday, 28 September 2024

Apakah Saya Perlu DSA, Pak Dokter?


Apakah Saya Perlu DSA, Pak Dokter? 

 

Pertanyaan ini ditanyakan oleh puluhan dan mungkin ratusan orang. DSA menjadi begitu populer. Media sosial telah membuat prosedur DSA booming. Fakta dan Mitos seputar DSA bercampur baur menjadi satu. Pasien dan masyarakat awam seringkali tak mampu mencerna mana fakta ilmiah dan mana klaim berdasarkan testimoni. Berikut adalah pertanyaan yang sering ditanyakan, dan berikut jawaban berdasarkan fakta ilmiah saat ini.

 

1. Apakah saya perlu DSA, pak Dokter? 

 

DSA yang dimaksud masyarakat adalah Digital Substraction Angiography (DSA) serebral. Prosedur ini bertujuan untuk melihat dan mengevaluasi pembuluh darah leher dan pembuluh darah otak. DSA akan menunjukkan bukan hanya anatomi pembuluh darah, tapi juga aliran darah dari fase arteri sampai fase vena. Hasil DSA menunjukkan foto dan video pembuluh darah beserta alirannya. Prosedur DSA dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah (umumnya pembuluh darah pada lipatan paha, atau juga dari pembuluh darah lengan).

 

Tidak semua orang dan pasien memerlukan DSA. Hanya pasien dengan kecurigaan adanya kelainan pada pembuluh darah leher dan otak yang memerlukan DSA. Misalnya pasien dengan stroke berulang, pasien dengan kecurigaan penyempitan pembuluh darah otak, pasien dengan kecurigaan kelainan pembuluh darah otak (aneurisma, AVM). Umumnya kelainan-kelainan ini sudah terdeteksi dengan modalitas sebelumnya seperti MRI/MRA dan CT/CT angiografi.

 

2. Apakah DSA bisa digunakan untuk screening? 

 

DSA tidak digunakan untuk screening. Screening untuk melihat dan mengevaluasi pembuluh darah otak dilakukan dengan menggunakan modalitas yang non invasif, yaitu MRI/MRA dan CT angiografi. Apabila ditemukan kelainan pembuluh darah dari MRA dan CTA, maka diperlukan DSA serebral. Apabila tidak ditemukan kelainan, maka DSA serebral tidak diperlukan.

 

3. Apakah DSA bisa mencegah stroke? 

 

Pencegahan stroke tidak bisa dilakukan dengan DSA. DSA hanya modalitas untuk memotret pembuluh darah saja. Tidak memiliki efek untuk mencegah stroke. Pencegahan stroke dilakukan dengan mengatasi faktor risiko stroke pada pasien seperti Hipertensi (Darah Tinggi), Diabetes Mellitus (Kencing Manis), stop merokok, menurunkan kolesterol darah dan faktor risiko yang lain.

 

4. Apakah DSA bisa mengobati stroke? 

 

Sekali lagi DSA hanya memotret pembuluh darah. Pengobatan stroke dilakukan dengan tindakan intervensi yang juga merupakan prosedur kateterisasi seperti DSA, namun menggunakan alat-alat intervensi yang lebih canggih seperti microcatheter, microwire, stent, dan coil. Prosedur intervensi yang dimaksud seperti mengeluarkan bekuan darah, menutup pembuluh darah yang pecah akibat aneurisma dan AVM. Prosedur intervensi ini selalu didahului oleh prosedur DSA.

 

5. Apakah DSA serebral memiliki risiko? 

 

DSA merupakan tindakan invasif. Memasukkan kateter kedalam pembuluh darah pangkal paha, lengan dan leher tentu saja memiliki risiko. Risiko tersebut ada namun tidak selalu terjadi. Risiko tersebut meliputi timbulnya lebam-lebam ditempat masuknya kateter, alergi bahan kontras, timbulnya bekuan darah pada kateter, cidera pembuluh darah akibat kateter, dan perdarahan. Secara umum risikonya sangat kecil (<3%). 

 

6. Apakah DSA bisa membersihkan pembuluh darah otak? 

 

DSA yang diungkapkan bisa membersihkan pembuluh darah otak tidaklah benar. Memang pada saat DSA digunakan obat "pengencer" darah atau antikoagulan yaitu Heparin. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bekuan saat dilakukan DSA karena adanya kateter yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah, dan kateter merupakan benda asing yang masuk kedalam tubuh. Klaim bahwa DSA bisa membersihan pembuluh darah otak tidak memiliki dasar ilmiah.

 

7. Apabila saya tidak mengalami stroke, apakah saya perlu melakukan DSA? 

 

Apabila tidak mengalami stroke dan menginginkan screening pembuluh darah otak, makan MRI dan MRA adalah pilihan terbaik, bukan DSA. Apabila ditemukan kelainan pada gambaran MRI dan MRA, saat itulah DSA diperlukan dan memiliki indikasi untuk dikerjakan.

 

Sunday, 8 September 2024

Neurointervensi: Belajar (lagi-lagi) ke Negeri China?

"Sebaiknya jangan melakukan stenting intrakranial," demikian menurut studi SAMPRISS pada 2011. "Best medical management (BMM) lebih baik dan aman." Maka, prosedur stenting intrakranial pasca SAMPRISS menurun drastis di seluruh dunia. 


ICAD (Intra Cranial Atherosclerosis Disease) adalah Asian disease, SAMPRISS bukan kabar baik bagi populasi Asia. Ada banyak kritik dan komentar pedas terkait operator, senter dan definisi BMM pada SAMMPRIS. Tentu evidence tidak bisa disandingkan dengan komentar atau kritik. Lalu, ada beberapa studi setelah SAMMPRIS. Sebut saja VISSIT pada 2015 dan CASSISS pada 2022.  Lagi-lagi menyatakan transluminal angioplasty dan stenting pada ICAD tidak memberikan outcome berbeda dan tak direkomendasikan. Namun, WEAVE pada 2019 dan dilanjutkan WOVEN pada 2020, menyatakan sebaliknya. Studi ini menggunakan self-expandable stent (bukan cardiac stent). Kesimpulannya, prosedur stenting lebih superior dibanding BMM. 

Bukan China kalau tidak memberikan kejutan. Alih-alih melakukan stenting, studi BASIS hanya menggunakan angioplasti untuk ICAD simptomatik, cukup ditiup saja pakai balon (JAMA, September 2024). Pembuluh darah yang masuk dalam studi ini adalah ICA, M1, arteri vertebralis dan basilaris. Memiliki derajad stenosis antara 70-99%. Angioplasti dilakukan dengan dilatasi 50-70% (submaximal). Prosedur dilakukan setelah hari ke-14 dari onset. Kesimpulan dari BASIS adalah angioplasti plus BMM lebih superior dibanding BMM saja. 

Sebagai catatan, operator pada penelitian ini adalah operator dengan jam terbang tinggi, sudah melakukan prosedur angioplasti pada lebih dari 50 pasien per tahun. Sebelum studi dimulai, operator mendapatkan training dari senter pengampu, sehingga memiliki standar yang sama. Menariknya, balon angioplasti yang digunakan salah satunya made in China. Angka periprocedural dissection sebesar 14.5%. Angka ini tidak signifikan mengakibatkan stroke atau kematian dalam 30 hari (primary outcome) dibanding BMM.

Sekali lagi, studi dari China memberikan jawaban atas pertanyaan mendasar akan tatalaksana stroke. Bagi kita di Indonesia, alih-alih memberikan jawaban, mengajukan pertanyaan penelitian saja enggan. Bukan karena kita tidak pintar, maka silahkan tebak, kira-kira karena apa?

Tuesday, 3 September 2024

Kemana Dr. Soetomo dan Dr.Cipto

Dokter Soetomo, memikirkan Bangsa

Dokter kini, memikirkan Kredit Poin

Dokter Cipto, menggerakkan kemerdekaan

Dokter kini, dijajah aturan tak karuan

 

Dokter kembali ke jaman batu

Memenuhi tuntutan birokrasi tak perlu

Otak yang bertahun diasah

Hanya tumpul tersisa resah

 

Otak cemerlang Dokter Indonesia

Direduksi oleh politisi

Dicengkeram oleh birokrasi

 

Pecah belah saja dokter Indonesia

Hancurkan habis marwah-nya

Jatuhkan martabatnya

 

Ah,

Bangsa ini sudah merdeka

Jangan sebut nama mereka

Kita tak lagi memerlukannya?

Thursday, 29 August 2024

Stroke: Terlena Neuroprotektan

Seorang eksekutif muda yang mengalami stroke, mengeluh telah menghabiskan banyak sekali biaya untuk berobat. Segala macam obat dan terapi alternatif sudah di coba. Pasien mengalami serangan kedua dan datang dengan setengah putus asa. Bersamanya, hanya ada CT scan dan hasil laboratorium, serta satu kantong penuh neuroprotektan. Tidak ada pemeriksaan vaskuler imejing (CTA, MRA, Cerebral DSA), tidak ada investigasi lanjut cardiologist, atau laboratorium lain yang berkaitan dengan etiologi stroke.

 

Dua dekade ini, apabila ada obat yang diberikan melimpah, menghabiskan biaya, namun belum terbukti bermanfaat adalah neuroprotektan. Pemberian neuroprotektan menjadi "Lagu Wajib," meskipun terdengar sumbang.

 

Tak ayal, "Lagu Wajib" ini melenakan dan menidurkan kreativitas. Neuroprotektan seolah menjadi menu utama. Lebih lagi, apabila keluarga menginginkan penanganan maksimal, kemudian disalahartikan dengan memberikan obat yang mahal. Ada juga dokter yang menawarkan pengobatan pseudoscience atau riset yang tak kalah mahalnya. Tak terhitung lagi terapi alternatif dan pengobatan tradisional.

 

Ungkapan "Siapa Tahu Jodoh," merupakan mantra pamungkas. Mantra ini terkadang mengabaikan investigasi wajib yang seharusnya dilakukan. Apabila stroke adalah problem vaskuler, sudah selayaknya imejing vaskuler dilakukan pada head and neck. Biaya pengobatan dengan neuroprotektan selama berbulan-bulan tentu sudah melebihi biaya imejing vaskuler. 

 

Selama etiologi stroke belum bisa ditegakkan, pengobatan terhadap etiologi tidak akan bisa dilakukan secara presisi. Serangan stroke berikutnya tinggal menunggu waktu. Untung tak bisa diraih dan malang tak bisa di tolak.

 

Riset dengan jelas membuktikan, pengobatan yang efektif dan menghemat biaya adalah pengobatan bersandar pada guideline. 

Friday, 9 August 2024

Neurologi, (Bukan) Sedang Bermimpi

Syahdan, pada 2025, Walikota Surabaya adalah Neurolog. Stroke menjadi pembunuh pertama di Indonesia, tapi tidak di kota ini. Warga kota tetap produktif, tak ada anak terlantar atau warga jatuh miskin akibat stroke. Analisa menunjukkan, beban ekonomi jangka panjang terkait stroke, menurun drastis. Anggaran dialihkan untuk beasiswa dan pengentasan kemiskinan. Surabaya menjadi kota siaga stroke terbaik Nasional. 

 

Namanya National Advanced Stroke Center. Di lantai dasar, ada One-Stop multi-Modality Imaging Platform for Stroke Treatment. Ruangan imejing terintegrasi. CT scan - Cathlab- MRI berada sisi menyisi. Cathlab berada ditengah dengan connecting door menuju CT dan MRI. Satu meja cathlab dapat dengan mudah di geser menuju ruangan CT dan MRI, hanya kurang dari 5 menit. Time is Precious. Keterlambatan 1 menit saja, ada 2 juta sel otak yang mati.

 

Beberapa meter dari ruang Multi-Modality Imaging ini, ada Triage, Stroke Unit, dan ruangan recovery pasca tindakan. Kebutuhan apapun untuk revaskularisasi, baik trombolisis maupun trombektomi berada disini. Ruangan teleneurologi dengan petugas call center siap menerima rujukan dari setiap sudut kota Surabaya. Monitor raksasa terpasang di dinding ruangan. Teleneurologi terintegrasi dengan Ambulance 112, tersebar di seluruh kota, akan membawa pasien stroke kurang dari 7 menit ke emergency room, 7x24 jam. 

 

Mobile Stroke Unit siaga di depan ruang emergensi. Ambulance dengan CT scan didalamnya, bisa meluncur sewaktu-waktu menunggu instruksi. Trombolisis pre-hospital meningkat drastis. Kombinasi pre-hospital dan in hospital, menunjukkan angka trombolisis 3500 per tahun dan trombektomi lebih dari 1000 per tahun. Rumah Sakit ini menjadi pusat pendidikan terbaik untuk stroke. Residen, Fellow dan perawat stroke semua ada disini. Kapasitas Fellowship Neurointervensi 30 orang per tahun. Publikasi di jurnal Top Tier tak terhitung lagi. Produk lokal stent retriever dan aspirasi kateter merupakan salah satu hasil riset terbaiknya. Kota ini menjadi pusat kegiatan ilmiah internasional. Textbook tentang stroke dan neurointervensi terpublikasi luas. 

 

Kegiatan prevensi stroke berlangsung masif. Semua bergerak mendatangi komunitas. Teleneurologi untuk masyarakat awam dan pasien poliklinik juga dilakukan. Stroke dicegah dari hulu dan diterapi sampai hilir. 

 

Jangan dikira ini hanya mimpi. Pada 2024, semua deskripsi ini sudah terjadi, sudah ada di Henan Provincial Peoples's Hospital di Kota Zhengzhou, China. Kita yang setiap hari berkutat dengan stroke akan terpukau. Semua guideline, pathway dan evidence base terbaik tentang stroke sudah diterapkan disini. Benar-benar melampaui semua mimpi yang terbersit di hati. 

 

Neurolog menjadi Walikota Surabaya 2025 memang sekedar mimpi. Tapi siapa tahu Walikota terpilih memiliki mimpi yang sama. Dan jangan-jangan ini akan menjadi program ambisiusnya.  Siapa tahu kan? 

Monday, 5 August 2024

Stroke, Tenecteplase dan Identitas Nasional

Berkunjung ke rumah sakit terkemuka di China, Anda akan selalu diajak melihat sejarah, prestasi dokter dan keunggulan rumah sakit. Semua dikemas dalam ruangan museum yang elegan dan interaktif. Anda tidak bisa mengakses Google dengan segela produknya, Yahoo dan WhatsApp. Ada restriksi akses internet dan mereka menyediakan alternatif dari produk tersebut. Rekam medis menggunakan bahasa setempat. Dokter terbata-bata dalam berbahasa inggris, kecuali yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri. Namun menariknya, limitasi akses internet dan bahasa, tidak menghalangi mereka untuk berkembang pesat dan mandiri.

 

Di museum rumah sakit, tepajang berbagai inovasi, termasuk produk implan dan device yang di produksi serta didistribusikan secara komersial, seperti produk implan cardio-cerebrovaskuler. Publikasi internasional di jurnal Top Tier semacam NEJM, Nature, JAMA dan Lancet terpampang di dinding museum. Perkembangan ilmu pengetahuan didorong maju, hal ini tampak dari banyaknya dokter yang studi ke Amerika atau Eropa. Jangan ditanya pula soal riset kolaborasi dengan dunia barat, baik sebagai peneliti utama maupun kolaborator, mereka diantara yang terdepan di Dunia. 

 

Stroke yang menjadi salah satu fokus program Kemenkes, dengan segala lebih kurangnya, perlu berkaca pada China. Bukan hanya karena jumlah kasus yang melimpah, tetapi juga sistem yang tertata, produk device medis lokal, serta kolaborasi dengan korporasi.  Banyak alat-alat simulator medis untuk pendidikan kedokteran adalah hasil kerjasama dengan produk korporasi. Rumah sakit mereka menjadi tempat program fellowship Internasional yang tersertifikasi, seperti dari American Heart Association. Lebih dari itu, beberapa jurnal terkemuka telah memilki pilihan edisi bahasa Mandarin, disamping jurnal internasioanl sendiri yang berafiliasi dengan China.

Trombolisis dan trombektomi untuk stroke hiperakut terimplementasi dengan baik di sini. Namun, luasnya wilayah dan banyaknya penduduk, tetap merupakan hambatan akses trombektomi. Terapi trombolisis adalah terapi yang paling bisa diandalkan untuk kondisi demikian, sayangnya Alteplase hanya bisa diberikan kurang dari 4.5 jam. Maka studi di China yang baru saja dipublikasikan di NEJM, tentang penggunaan trombolisis 4.5 sampai 24 jam pada stroke large vessel occlusion (LVO) memberikah hasil mencengangkan. Tenecteplase digunakan sebagi pengganti Alteplase. Pasien LVO akan mendapatkan trombolisis apabila tidak memungkinkan dilakukan trombektomi. Pasien yang diberikan tenecteplase 4.5 sampai 24 jam memiliki lebih banyak disabilitas rendah (mRS 0 dan 1) di banding terapi medis standar (33.0% vs. 24.2%; P=0.03). Studi ini tentu saja di sambut gembira dan relevan untuk low-middle income country.

Angin segar juga akan berhembus ke Indonesia. Luasnya wilayah dan banyaknya jumlah penduduk, tentu saja membatasi akses trombektomi. Pemberian tenecteplase sampai 24 jam, memungkinkan terapi pilihan selain trombektomi untuk LVO. 

Ternyata, melindungi Identitas Nasional dari hegemoni dunia luar, tidak selalu menghambat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Identitas Nasional suatu bangsa adalah sesuatu yang harus ada, karena inilah yang membuat suatu bangsa unik dan berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Identitas Nasional bisa saja kabur dan luntur, tergerus hegemoni sosiopolitik dan budaya global. Nah, bagaimana dengan Indonesia?

Saturday, 3 August 2024

Stroke dan Pekik Merdeka

Anak-anak berlarian tanpa tujuan, sang Ibu terkulai lumpuh di pembaringan. Seorang ayah yang segar bugar, disambut isak tangis anak istrinya di kamar jenazah. Pemuda gagah, terdiam tak berdaya, tak lagi bekerja, menjadi beban keluarga sepanjang hidupnya. 

Obrolan tentang anak berhenti sekolah, kisah ekonomi keluarga yang goyah, dapat  didengar di ruangan poliklinik atau bangsal neurologi yang dipenuhi pasien stroke. Ada duka, kecewa dan depresi di wajah mereka.

Cerita ini ada, cerita ini nyata. Pada hari kemerdekaan, pekik merdeka tersendat, teriak terdengar serak. Kematian akibat tanam paksa, penderitaan akibat romusha, bisa jadi setara dengan kematian dan penderitaan akibat stroke. 

Satu dekade terakhir, rakyat Indonesia mungkin tak menyadari, stroke telah menjadi pembunuh pertama dan penyebab kecacatan utama di negeri ini.

Adakah pendar cahaya? Adakah harapan di hari merdeka? Pendar itu mulai tampak, cahaya mulai menyeruak. Semua terlihat bergerak melawan stroke. Jangan pernah berhenti, sampai pekik merdeka tak terdengar serak, sampai kepal tangan tak lagi tertahan.

Monday, 10 June 2024

Medium Vessel Occlusion: Trombolisis atau Trombektomi?

Standar terapi stroke pada small vessel occlusion (SMO) adalah trombolisis (IVT), sedangkan pada large vessel occlusion (LVO) adalah trombektomi mekanis (MT). Bagaimana dengan Medium Vessel Occlusion (MeVO)? Kontroversi IVT vs MT pada MeVO tampaknya mulai terurai. 

Studi di China (Stroke,2024), dengan jumlah subyek yang cukup banyak (734) setidaknya dapat menjawab kontroversi ini. Kesimpulan studi ini cukup mencengangkan. Baik MT (dengan atau tanpa IVT) atau IVT saja, ternyata memiliki efikasi yang sama. Namun, MT memiliki angka perdarahan (SAH) 6x lebih besar dan pneumonia 2x lebih banyak. Temuan yang juga menarik, IVT memiliki outcome lebih baik jika MeVO terjadi pada hemisfer kanan, distal vessel dan cabang non dominan. 

Para neurolog dapat menggunakan studi ini sebagai panduan. Adanya subtipe MeVO ini dapat dijadikan petunjuk, kapan MT secara agresif harus dilakukan, dan kapan lebih memilih IVT saja. 

MT pada MeVO tentu menjadi pilihan satu-satunya jika waktu sudah melebihi 4.5 jam, saat IVT tak bisa diberikan. Kendala utama di Indonesia adalah biaya. Tatkala kita belum maksimal melakukan tatalaksana MT pada LVO, lebih lagi pada MeVO. Paket BPJS untuk MT pada LVO sungguh masih jauh panggang dari Api. Kata Iwan Fals,"Apa Boleh Buat, Tahu** Kambing Bulat-Bulat".

 

Tuesday, 28 May 2024

Pendidikan Doktor dan Tanya Yang Masih Tersisa

Doktor atau Ph.D, adalah gelar akademis tertinggi. Apakah kesan yang muncul saat ia tersemat pada sebuah nama? Adakah suatau gambaran usaha sungguh-sungguh untuk belajar dan mendalami ilmu pengetahuan? Adakah menggambarkan akademisi dengan banyak penelitian? Ataukah hanya satu langkah besar diantara ribuan langkah yang masih ada di depan?

 

"Adanya hasil riset dengan novelty atau kebaruan," demikian yang selalu disampaikan tentang hasil akhir pendidikan Doktor. Benarkah demikian?

 

Pendidikan akademis sesungguhnya adalah sebuah jalan 'formal' untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Jalan 'formal' akademis diperlukan oleh kebanyakan orang yang memiliki rentang intelektual normal. Ada sebagian orang yang tidak memerlukannya. Mereka adalah orang-orang yang keingintahuannya melintasi batas. Mereka adalah orang-orang kreatifitasnya tidak bisa dihalangi oleh dinding kampus. 

 

Seorang Doktor, didesain untuk menjadi seorang peneliti yang menghasilkan suatu temuan baru. Tidak semua peneliti menemukan sesuatu yang baru. Sebagaimana seorang chef, seorang doktor adalah seorang chef yang menghasilkan resep baru. Apabila dia hanya puas dengan penemuan satu resep saja, maka selesailah sudah. 

 

Pendidikan Doktor sungguh seperti mengasah pisau tumpul. Pertama menyakitkan, makin kebelakang makin ringan dan tajam. Betapa sia-sia, jika pisau hanya menjadi hiasan atau sekedar pemotong bawang. Maka, jadilah pendidikan Doktor tidak menghasilkan mata air, namun menghasilkan air mata. 

Friday, 17 May 2024

Jalan Lain Dari Essen



Tatalaksana endovaskuler Brain AVM dengan tehnik transarterial telah lazim dan cukup mapan dilakukan. Penggunaan bahan embolan Glue vs EVOH telah menjadi perdebatan dan preferensi individual. Namun, alih-alih memperdebatkan pendekatan transarterial mana yang terbaik, di Essen, menggunakan transvenous sebagai rute alternatif dan rute ini dianggap efektif. "Transvenous is Marvelous," demikian tulisan di ruang workstation dipampangkan.

 

Sesungguhnya substansinya sederhana, siapapun yang akan melakukan prosedur transvenous, dia haruslah "mastering" trans-arterial terlebih dahulu. Lebih dari itu, dia harus sudah sangat familier dan nyaman dengan penggunaan Glue dan EVOH.

 

Ada perbedaan konsep mendasar, antara transarterial dan transvenous. Hambatan terbesar dari tehnik prosedur endovaskuler Brain AVM transvenous adalah tidak bisa di duplikasi di semua tempat,  wajib menggunakan Bi Plane angiografi dengan fasilitas 6D atau 7D dan dengan fasiltas long DSA saat injeksi EVOH. Ada perbedaan prosedur trans-arterial dan transvenous , berikut perbedaannya secara singkat:


 

Trans Arterial

Trans Venous

Akses

Arterial 

Arterial dan Venous (Vena jugularis dengan direct puncture)

Guiding

6F or 7F

8F & intermediate catheter untuk transvenous

Tehnik

Bisa dengan atau tanpa pressure cooker technique

harus dengan pressure cooker technique

Embolan

Bisa Glue dengan berbagai konsentrasi, Squid/Onyx dengan berbagai konsentrasi

Squid 12 dan dengan coil/glue sebagai fondasi pressure cooker tehnique

Microcatheter

Detachable/non Detachable

harus menggunakan detachable catheter 

Biaya

lebih murah terutama jika menggunakan Glue

mahal dengan multiple devices

Risiko

lebih rendah ditangan yang kompeten

sangat tinggi di tangan yang tidak kompeten

Result

Angiographically cure with respected to angiomatous changes

Angiographically cure, not really respected angiomatous changes


Di Essen, tidak ada dikotomi rupture dan unrupture AVM. Konsep ARUBA dan high risk serta low risk AVM tidak begitu diperhatikan. Tampaknya, asalkan simptomatis akan dilakukan terapi. Terapi AVM di Essen memiliki filosofi berbeda dengan yang selama ini dipahami oleh fellow dari berbagai belahan dunia. Terutama senter yang menggunakan pendekatan transarterial.

 

Untuk kondisi Indonesia, pendekatan transvenous bisa mulai dipikirkan penggunaanya, namun hanya pada subtipe AVM tertentu yang mustahil diakses dengan transarterial, seperti pada insular AVM atau gyral AVM dengan feeder yang sangat kecil. Bagi yang belum "mastering" transarterial, jangan coba-coba menggunakan rute transvenous. 


Di Essen, prosedur dilakukan tanpa rasa takut, namun terukur oleh Prof. Rene Chapot. Ada plan A dan plan B dengan devices yang ready dan melimpah. Mesin angiografi dengan set up cathlab yang excellent. Hasil prosedur yang sempurna di Essen, tidak serta merta dapat di duplikasi jika dilakukan di tempat lain dengan set-up berbeda dan apalagi operator yang berbeda. Ini serupa dengan grading Spletzer Martin, yang dianggap aman untuk prosedur bedah jika grading AVM adalah I sampai III, namun terminologi  "aman" ini hanya jika dilakukan oleh expert seperti Dr. Spletzer dan di senter dengan jumlah kasus adekuat.


Apapun, terapi endovaskuler AVM masih menjadi tantangan. Area sangat menarik bagi neurointervensionist yang menikmati setiap kasus BAVM yang didapatkannya. Menghadapi Brain AVM tanpa rasa takut adalah kunci pertama. Kedua, "mastering" berbagai tehnik adalah seperti seorang petarung yang menguasai berbagai ilmu bela diri. Seorang pesilat akan menonjolkan jurus silatnya. Seorang ahli kungfu, akan membanggakan jurus kungfunya. Apapun jurus yang dipakai, tujuan utama adalah melumpuhkan musuh. Namun, banyak senjata yang dipakai justru membunuh sang petarung sendiri, hanya karena tidak ahli dalam menguasai perilaku alat bertarung yang dipakai nya.


Kuasai sepenuhnya satu tehnik, baru beralihlah ke tehnik lain atau mengkombinasi tehnik pertama dengan tehnik yang lain. Demikianlah hasil kontemplasi selama di Essen.  

Monday, 22 April 2024

Stroke: Era Antiplatelet Injeksi Telah Tiba

Trombolisis intravena (IVT) memiliki jendela waktu sangat terbatas (<4.5 jam). Terapi standar stroke trombotik akut tanpa IVT adalah pemberian dual antiplatelet. Mulanya, antiplatelet dimaksudkan untuk prevensi sekunder. Namun, perburukan pasien stroke akut ternyata juga dipengaruhi oleh jenis pemberian antiplatelet (Oral vs Injeksi).

 

Antiplatelet injeksi (penyekat GP IIb/IIIa) sering digunakan oleh neurointervensionist saat prosedur. Pemasangan stent intrakranial yang mengalami thrombosis durante prosedur, diberikan antiplatelet intravena, dan memberikan efek rekanalisasi yang langsung bisa terlihat. Dia bukan fibrinolitik, tetapi bekerja melepas agregasi thrombosit yang baru saja terjadi, dikenal dengan dethrombosis.

 

Studi terbaru di JAMA Neurology (Zhao et al,2024) memberikan harapan pada pasien-pasien stroke hyperacute yang tidak dilakukan IVT. Tirofiban dengan bolus dalam 30 menit dan infus kontinyu selama hampir 72 jam (71,5 jam), ternyata mencegah perburukan pasien stroke (peningkatan NIHSS >4), jika dibandingkan dengan pemberian oral aspirin (4,2% vs 13,2 %). Kejadian perdarahan pada kedua kelompok tidak berbeda. Ini adalah suatu RCT yang memberikan harapan baru bagi pasien stroke. Penelitian ini menggunakan Tirofiban. Adapun antiplatelet injeksi yang sering dipakai di Indonesia adalah Eptifibatide, dan generasi yang lebih awal adalah Abciximab.

Bantal Terlalu Tinggi, menyebabkan Stroke?

Revolusi tatalaksana stroke (thrombolysis (IVT) & thrombectomy-EVT), diiringi dengan tatalaksana stroke yang presisi berdasarkan stroke subtype. Tanpa CT scan, tak akan ada IVT dan pemberian antiplatelet. Tanpa vascular imejing, tak akan ada EVT.

 

Jika IVT dan EVT adalah Class I Level A (wajib diberikan kecuali kontra indikasi), maka modalitas pendukung tatalaksana tersebut itu juga wajib ada. Hal ini sesuai kaidah “suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib. Dalam Bahasa Arab kaidah tersebut berbunyi ” Ma laa yatimmu al-waajib illa bihi, fa huwal waajib.

 

Selain tatalaksana itu, tatalaksana berdasar penyebab stroke sangat penting. Salah satu penyebab stroke adalah diseksi (robekan) pada arteri. Baik robekan spontan maupun traumatik. Menariknya, studi di Jepang mencatat, bahwa penggunaan bantal yang terlalu tinggi, berhubungan dengan diseksi arteri vertebralis spontan sebesar 9.4% - 11.3%. Seberapa tinggi? Bantal yang dianggap tinggi pada penelitian ini adalah >12 cm dan >15 cm (Egashira et.al, 2024)

 

Dengan precision medicine, penyebab stroke makin dapat diidentifikasi, hal ini tentu berhubungan dengan tatalaksana fase akut maupun prevensi sekunder. 

Tuesday, 27 February 2024

Stroke: Head flat lebih baik dari 30 derajad?

Neurologi terus berlari, selalu ada kejutan pada setiap ujung studi. Pasie stroke akut selama puluhan tahun diposisikan head up 30 derajad, dianggap dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan mencegah aspirasi, ternyata faktanya justru memperburuk klinis stroke. ZODIAC study mengungkapkan bahwa 1 diantara 2 pasien yang diposisikan 30 derajad, akan mengalami penurunan klinis signifikan dibandingkan jika diposisikan flat (Number Needed to Harm 1.88).

ZODIAC study yang baru saja dipresentasikan pada ISC 2024 mengungkapkan, posisi kepala flat memungkinkan blood flow dan kolateral lebih baik. Studi ini dilakukan pada large vessel occlusion (LVO) yang dilakukan trombektomi. Sehingga, posisi flat pada pasien LVO seharusnya menjadi standar selama menunggu trombektomi. 

Studi ini mengevaluasi perbaikan NIHSS dalam 24 jam pertama (P=0.08) dan 7 hari atau setelah pasien pulang (P=0.045), menunjukkan perbaikan signifikan yang bermakna dibandingkan head up 30 derajad. Studi ini dihentikan sebelum waktunya, setelah analisa pada 92 pasien menunjukkan perbedaan bermakna.

Prosedur sederhana ini mudah diterapkan, dan menunjukkan bahwa apa yang dianggap bermanfaat dan dipercaya berpuluh tahun, ternyata belum tentu sesuai fakta ilmiah. 

Penelitian sebelumnya, HEADPOST pada 2017, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan disabilitas dan keamanan pada kepala yang diposisikan flat atau 30 derajad. Namun, penelitian ini dilakukan pada mild stroke dan tidak memberikan informasi imejing vaskuler tentang dimana oklusi pembuluh darah terjadi. Sehingga HEADPOST study sangat berbeda dengan ZODIAC study.

Timbul pertanyaan, apakah ini berlaku untuk semua stroke? Studi ini hanya menjelaskan bahwa prosedur ini bermanfaat untuk LVO. Kita harus berhati-hati pada kasus stroke perdarahan yang mengalami peningkatan TIK. Sehingga prosedur kepala flat hanya bisa dilakukan saat CT scan tidak menunjukkan adanya perdarahan.

Maka, sudah tiba masanya, melakukan tatalaksana stroke berdasakan subtipe. Tatalaksana stroke menjadi sangat individual, dan sekali lagi, disinilah peran neurolog diperlukan. Stroke tidak bisa dirawat oleh spesialis yang tidak memahami dan mendalami stroke secara paripurna.


Thursday, 22 February 2024

DPR, Dokter, Driver: Pekerjaan Berisiko Stroke?

Seorang Neurolog bergegas memberikan obat penghancur bekuan darah pada seorang laki-laki berusia 30 tahun. Dia mengalami kesulitan berbicara dan kelumpuhan separo tubuh. Didampingi istrinya, pasien tampak tak berdaya. Laki-laki ini berprofesi sebagai driver travel, merokok dan memiliki waktu tidur sedikit saja. Ada banyak pasien serupa sebelumnya. Pasien-pasien ini mendatangi IGD dan memenuhi ruang perawatan stroke. Diantara mereka adalah dokter. Dokter yang menjadi pasien. Dokter bekerja pagi sampai sore, mereka masih berpraktik pada malam hari, dan waktu tidur malamnya diinterupsi oleh panggilan dari IGD dan ruang perawatan.

 

Dokter, ternyata merupakan salah satu profesi yang memiliki risiko tinggi stroke. Jam kerja yang panjang (long working hours-LWH), memerlukan shift/jaga malam, dan pekerjaan yang menimbulkan stress, terbukti secara tersendiri maupun kombinasi, meningkatkan risiko stroke.

 

Stroke, meskipun terjadinya mendadak, sesungguhnya didahului faktor risiko. Ada 5 faktor risiko tradisional stroke yang populer yaitu hipertensi, diabetes mellitus, merokok, gangguan jantung, dan kadar lemak darah abnormal. Namun belakangan, ternyata pekerjaan dan profesi tertentu juga memiliki risiko stroke.

 

Tentu saja bukan hanya driver dan dokter. Publikasi di Journal of Stroke, September 2023, menunjukkan bahwa selain jam kerja panjang, shift /jaga malam, dan pekerjaan penuh stress. Faktor lain yang berhubungan dengan stroke adalah bekerja pada lingkungan bising, bekerja pada temperature tinggi atau rendah, serta bekerja pada lingkungan terpapar bahan kimia/debu. 

 

Seberapa panjang waktu kerja berisiko stroke? WHO/ILO menyebutkan bahwa bekerja >55 jam perminggu dianggap long working hours (LWH), dan berisiko stroke. Setidaknya ada dua alasan mengapa LWH meningkatkan risiko stroke. Pertama, individu dengan LWH cenderung memiliki gaya hidup seperti merokok, minum alkohol, diet tak sehat, dan berkurangnya aktivitas fisik. Kedua, LWH mengakibatkan respons stress psikososial, mengakibatkan stress hormon yang berlebihan dan mengakibatkan hipertensi dan pembentukan plak pada pembuluh darah. 

 

Bagaimana dengan Caleg atau anggota DPR? Apakah mereka berisiko stroke? Jawabannya menunggu hasil rekapitulasi KPU.

Wednesday, 21 February 2024

Berjuta Jeda

Gelarmu,

Jabatanmu,
Duniamu,
Menyatu debu kuburmu,

Dunia tetap berjalan,
Biasa saja, apa adanya...

 

Di alam sana,

Kau cari kenangan, rasa nikmat bersujud 

Kau cari kenangan, rasa indah bertaubat 

Kau terhenyak...ternyata Tak Ada!

 

Padahal sungguh-sungguh, 

Telah diberikan-Nya, 

Berjuta jeda…

 

(Marhaban ya..Ramadhan, 1445 H)


Wednesday, 31 January 2024

Meragukan Manfaat Stroke Unit

“Stroke Unit itu manfaatnya tidak jelas!, sehingga tidak perlu ada” demikian kata seorang dokter pada meeting di sebuah rumah sakit. “Perawat harus mengetahui semua aspek keperawatan, sehingga perlu di rotasi setiap periode, tidak perlu ada perawat khusus stroke,” katanya melanjutkan. Sebagian orang mungkin percaya dengan ungkapan-ungkapan ini, namun benarkah demikian? Apakah pernyataan ini didasari asumsi pribadi ataukah didasari bukti ilmiah?

 

Perdebatan tentang manfaat Stroke Unit ini sudah terjadi sejak tahun 1950an, saat pertama kali ide ini dimunculkan. Tatkala menyoal topik Stroke Unit, berarti kita kembali mundur pada perdebatan 74 tahun yang lalu. Ada baiknya menejemen dan pengelola rumah sakit meluangkan waktu membaca “The Stroke Unit Story” yang dimuat di jurnal Cerebrovasc Dis, 2021. 


Stroke Unit terbukti secara ilmiah dan meyakinkan, dari waktu ke waktu, menurunkan angka kematian dan meningkatkan independensi pasien saat pulang, dibandingkan bangsal biasa atau bahkan bangsal neurologi umum. Pasien yang di rawat di Stroke Unit memilki angka komplikasi selama perawatan yang lebih rendah, dan manfaat ini secara keseluruhan tidak terbatas pada stroke yang berat, bahkan stroke yang moderate dan ringan juga mendapat manfaat yang sama. Rumah Sakit mungkin lebih peduli pada Hospital LOS (Length of Stay), dan terbukti secara meyakinkan bahwa Stroke Unit menurunkan LOS.

 

Tatkala negara-negara ASEAN berlomba membuat rumah sakit dedicated stroke seperti di Comprehensive Stroke Hospital 115 Vietnam atau Universitas Putra Malaysia Hospital, justru masih ada yang mempertanyakan manfaat Stroke Unit. Tentu tidak perlu menyebut Singapura, atau mungkin Thailand yang sudah memiliki beberapa Mobile Stroke Unit, saat pasien stroke bisa dilakukan CT scan dengan mobil yang mendatangi pasien, bukan pasien yang datang ke rumah sakit. 

 

Stroke Unit bukan NeuroICU bukan pula sekedar NeuroHCU. Stroke Unit telah menjadi kebutuhan dan standar perawatan di seluruh dunia dan terbukti memberikan manfaat. Segala yang memberi manfaat akan terus ada, bertahan lama. Menyoal kembali manfaat Stroke Unit boleh saja dalam ranah diskusi, namun perlu menunjukkan bukti ilmiah yang memadai. Membangun Stroke Unit berarti memberikan kesempatan pasien stroke untuk survive, memulai kehidupan baru tanpa kecacatan atau dengan kecacatan minimal. Menyoal manfaat Stroke Unit, berarti mengulang perdebatan kembali ke masa lalu. 

Wednesday, 24 January 2024

Rintih Pohon Pinggir Jalan

Karyawan politik

Buruh kekuasaan

Hamba jabatan

Terpaku di tubuhku


Teriak mereka lantang

Bukan koreksi

Tapi ambisi

 

Usaha keras

Akhir masa kerja

Agar pantas

Diatas kertas

 

Miskin inisiasi 

Hampa kreasi


Lempar apa saja

Saat basa jadi basi

Tinggal tarik kembali


Sejuta basa

Semua basi

 

Wahai...

Tuhan ada

Bersama mereka

Yang hancur hatinya



Tuesday, 9 January 2024

Neurointerventional Core philosophy

Each patient’s welfare is paramount.

Clinical decision-making should be based on sound judgment and the best available clinical data. New medical technology and drugs should be used within reason, and whenever possible, based on established principles of sound practice.

While we have the technology and the ability to coil aneurysms in very old patients with Hunt Hess V subarachnoid hemorrhageembolize asymptomatic and low-risk dural AV fistulasand perform carotid angioplasty and stenting in patients with asymptomatic stenosis, we should recognize the value of conservative management when it is called for.


The clinical outcome of each case takes priority over “pushing the envelope” by trying out new devices or techniques, generating material for the next clinical series or case report, or satisfying the device company representatives standing in the control room. 


Harrigan MR & Deveikis JP

Handbook of Cerebrovascular Disease and Neurointerventional Technique, 2023 

Friday, 5 January 2024

Neurointervensi : mengapa begini, mengapa begitu?

Seorang lelaki muda ini tak menyangka, dalam seminggu dia mengalami dua kali kelemahan tubuh kanan, meskipun membaik sempurna. Gambaran MRA menunjukkan adanya total oklusi MCA kanan dan moderate stenosis intracranial ICA kiri. Dia datang ke neurointervensionis (Nevi) dan berharap akan dilakukan tindakan agresif pada otaknya. Setelah DSA serebral dan diskusi panjang, terapi konservatif  dan observasi menjadi pilihan. Hal ini berbeda dengan pasien sebelumnya dengan gambaran MRA dan keluhan yang hampir serupa, namun dilakukan tindakan angioplasty dan stenting intracranial. Mengapa begitu?

 

Seorang wanita muda, dengan nyeri kepala berulang dan hampir setiap hari pasien minum obat anti nyeri, dari CT dan CTA didapatkan Brain AVM, unrupture. Dia datang ke seorang Nevi dengan harapan dilakukan tindakan embolisasi. Setelah serebral DSA dilakukan, maka diputuskan dilakukan embolisasi paliatif, tidak menutup semua AVM, tujuannya agar pasien mengurangi dan berhenti minum obat nyeri. Hal ini berbeda dengan pasien sebelumnya, unrupture Brain AVM, namun tidak dilakukan tindakan apapun setelah DSA serebral, hanya observasi dan evaluasi angiografi ulang dalam 6 bulan sampai 1 tahun kedepan.

 

Hal yang sama terjadi pada pasien aneurisma, dural fistula, carotid stenosis, dan stroke hiperakut. Adanya pasien yang "tampaknya" serupa secara klinis maupun angiografis, bisa saja memiliki keputusan klinis berbeda. Mengapa begini dan mengapa begitu? 

 

Nevi adalah seorang klinisi yang menilai pasien berdasarkan klinis. Nevi juga mengintepretasikan imejing, utamanya imejing vaskuler. Dan paling akhir Nevi adalah operator yang melakukan terapi atas temuan klinis, imejing, dan  dengan mempertimbangkan perjalanan alamiah penyakit, manfaat bagi pasien, kemungkinan komplikasi serta aspek sosial ekonomi pasien.

 

Nevi bukan tukang ledeng yang hanya membuka saluran buntu atau menyempit. Nevi juga bukan tukang tambal ban yang hanya menutup di sana dan menambal di sini jika melihat ada koneksi abnormal pada pembuluh darah. 

 

Aneurisma unrupture pada extradural yang asimptomtis dan  insidental, tentu hanya memerlukan observasi, bukan tindakan agresif berupa coiling, stent/baloon asisted atau bahkan flow diverter. Komplikasi akibat prosedur dan pembiayaan, akan sangat merugikan pasien dibanding potensi manfaat yang diterimanya. 

 

Seorang Nevi seharusnya akan memegang kaidah "Dar'ul Mafaasid, Muqaddamun 'ala Jalbil Mashoolih," yang secara sederhana dapat dimaknai dalam konteks ini, "mencegah komplikasi akibat prosedur lebih diutamakan dibandingkan melakukan prosedur dengan manfaat yang minimal. Do No Harm.