Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Thursday, 24 December 2020

Antara Gilimanuk-Ketapang

Tanah cintaku
Selalu saja engkau begitu
Rekahmu tak lepas
Menyambut hadirku

Angin rindu
Lembut berhembus
Membelah dada samudra biru

Kapal ini siap melaju
Tersenyum sambil bercerita
Tentang istirahat panjangnya

Ada getir dalam ungkapnya
Sedih galau tiada terhingga
Tentang sahabatnya
Para buruh pelabuhan,
Pedagang asongan,
Kaum kecil penduduk sekitar

"Biarlah remuk redam, katanya....
"Biar beban kutanggung sendiri,
Asal ada senyum mereka kembali
Yang pudar hilang selama pandemi

Gilimanuk, 24 Des 2020.

Friday, 18 December 2020

Merindu Derik Jangkrik Subuh Hari

Sebelum subuh, Pak Aji Mahmud sudah membangunkan kita, para santrinya. Musholla itu bukan pesantren. Hanya dipakai mengaji oleh anak kampung, setiap setelah magrib. Bagi santri yang rajin dan sering mendapat pujian, mereka biasa menginap di Musholla ini, agar setelah sholat shubuh bisa mengaji lagi. Dari empat puluh atau lima puluh santri, mungkin hanya tersisa empat atau lima santri yang mengaji setelah subuh. 


Pak Aji Mahmud adalah satu-satunya guru yang mendidik sekian banyak santri di kampung itu. Tak kenal lelah, begitu istiqomah, sangat sabar mendidik mereka satu persatu. Mereka datang dengan buta huruf arab, sampai mereka lancar membaca al-Qur’an dan mengahafal bacaan sholat. Kalaupun saat ini, ada santri-santrinya berkelana ke berbagai daerah, menjadi orang penting di tempatnya masing-masing, dan merasa sudah banyak berbuat, rasanya harus berkaca lagi pada keikhlasan dan keistiqomahan Pak Aji Mahmud.

 

Bedug subuh ditabuh bertalu-talu, kita para santri, berebut untuk menabuhnya. Bedug ini begitu tua, tampak robekan kulit pada sisi yang lainnya. Namun, tetap saja ditabuh tanpa ampun, dengan segenap rasa bahagia. 

 

Selepas sholat dan wirid subuh yang agak panjang, kami bergantian mengantri, agar bisa dikoreksi bacaan al-Qur’an oleh Pak Aji. Yang sedang menunggu antrian, tampak komat kamit, meyakinkan lafal bacaan. Kalau sudah merasa yakin benar, akan melirik dan menggoda teman sebelah. Teman sebelah yang tampak kusut. Maklum, baju yang dipakai tidur itu, adalah yang dipakai mengaji. Tak pernah ada satupun yang membawa baju ganti saat bermalam. Orang tua mereka sebagian besar adalah petani dan nelayan.

 

Langit masih gelap, udara masih terasa dingin. Namun, inilah kesempatan bagi kami untuk berlari keluar, segera setelah Pak Aji selesai mengajar. Bukan pulang kerumah, namun menghambur ke area persawahan yang terletak sekitar 300 meter dari Musholla, kearah selatan. Tampak tumpukan kedelai kering yang baru saja di panen. Dan disanalah kami mulai berburu. Memasang telinga, merunduk, dan mencari erik jangkrik. 

 

Mencari jangkrik di subuh hari begitu membekas di hati, hingga saat ini. Kami berjalan mengendap-endap, menuju sumber suara. Sang jangkrik sangat sensitif terhadap langkah manusia. Adakalanya mereka berhenti mengerik, dan kamipun berhenti melangkah. Tak tahu dimana persisnya jangkrik bersembunyi, sampai akhirnya mereka mengerik kembali.

 

Jika kami mampu mendapatkan satu saja jangkrik subuh itu, rasa bahagia sungguh tak terkira. Wajah cerah seolah tak tergantikan oleh apapun. Namun, makin lama kita tak mendapatkannya, makin kecil kesempatan, karena gelap makin pudar, dan jangkrik akan berhenti mengerik saat langit menjadi terang.

 

Tetapi, itu tiga puluh tahun yang lalu. Kini Pak Aji telah wafat. Tak ada lagi sawah dengan tumpukan kedelai kering. Hanya bangunan pabrik tepung dan pengalengan ikan. Tak terlihat lagi santri-santri yang menginap, juga teriakan-teriakan nakal mereka. Semua telah berubah, namun tidak menjadi lebih indah. Kampungku kini menjadi daerah industri. Tampak lebih maju secara fisik, namun, terasa gersang secara spiritual.

 

Kami rindu Pak Aji Mahmud, kami rindu jangkrik mengerik di subuh hari. Terimakasih Paka Aji, telah memberikan kebahagiaan bagi kami, kebahagian yang sungguh tak akan pernah terbeli.

Wednesday, 2 December 2020

Merambah Transvenous

Membincang Embolisasi AVM, ada beberapa kasus neurointervensi yang ternyata tidak bisa diselesaikan secara transarterial embolization (TAE). Misalnya AVM dengan arterial feeder lembut, yang tidak mungkin dilakukan TAE. AVM semacam ini dulu akan diselesaikan dengan radiosurgery jika lokasi subcortical/deep, atau dengan surgery jika lokasinya superfisial. Namun, dengan transvenous embolization (TVE), kasus semacam ini dapat diselesaikan dengan prosedur neurointervensi.

 

Dunia neurointervensi berubah demikian cepat. Sebutlah carotid stenosis dan aneurysma intrakranial, dulu keduanya hanya bisa diselesaikan dengan tindakan bedah, dengan endarterectomy atau clipping. Namun saat ini, prosedur neurointervensi memiliki outcome lebih baik, atau setidaknya sebanding dengan tindakan bedah.

 

TVE sebelumnya cukup banyak dilakukan pada kasus Dural Arteriovenous Fistula. Berangkat dari pengalaman ini, para neurointervensionis mencoba mengaplikasikannya pada AVM. Terapi TVE pada AVM memerlukan akurasi tinggi, dan memiliki tingkat kesulitan yang juga lebih tinggi secara tehnis. Tindakan ini hanya direkomendasikan bagi operator berpengalaman. Sama sekali tidak dianjurkan bagi pemula.

 

Apabila jumlah feeding arteri merupakan faktor penting dalam TAE, maka untuk TVE, yang menjadi faktor penting adalah draining vein. Single feeder menjadi target ideal pada TAE, namun single draining vein menjadi target ideal bagi TVE.

 

TVE mengharuskan akses arteri dan vena secara simultan. Dua konsep embolisasi, yaitu porcelain vein dan pressure cooker dapat dipilih dan diterapkan oleh operator. Namun, meskipun jam terbang operator tidak diragukan, tetap saja ada subtype AVM yang tidak bisa diselesaikan secara TVE, misalnya AVM dengan multiple draining vein dan large AVM.

 

TVE idealnya dilakukan dengan akses melalui internal jugular vein. Bagi yang tidak terbiasa, ini adalah akses yang cukup menantang. Namun, terbukti akses ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Hal ini juga menimbang potensi komplikasi akibat stagnasi guiding catheter pada atrium kanan untuk akses transvenous via femoral vein.

 

Kendatipun tehnik TVE saat ini mulai ramai diperbincangkan. Kita sedang menunggu evidence base yang meyakinkan berkaitan dengan prosedur ini. Studi TATAM masih berlangsung, dan saat ini kita sedang tidak sabar menantikan hasilnya.  

Thursday, 26 November 2020

Sapa Lirih Pasien Isolasi

Dokter, 

Dekap dan nikmati pagi, 

Jangan lewatkan indah warna warni,

 

Dokter,

Tebarlah senyum,

Riangkan hari,

 

Adakala masa, 

Saat tergeletak,

Garis senyum-pun tak lagi tampak,

Warna dunia,

Hanya tersisa gelap gulita

 

Dokter,

Syukuri satu hari ini,

Mungkin tak ada esok hari,

Yang tersisa sebagai rizki

Friday, 20 November 2020

A Picture Says More Than A Thousand Words

 Environment of Aneurysm and Endovascular Consideration





Wednesday, 18 November 2020

Tanda “kefakiran” Seorang Dokter

Adakalanya, seorang dokter membuka kembali referensi-referensi kedokteran. Entah karena lupa akan tatalaksana, patofisologi atau mendapatkan kasus sulit yang tak bisa dipecahkannya. Jika masih belum menemukan jawaban, biasanya akan konsultasi pada sejawat yang lebih senior atau memiliki subspesialisasi di bidangnya.

 

Namun, ternyata ini juga terjadi pada dokter yang sudah subspesialis. Dan, sang dokter konsultan seringkali tidak menemukan panduan klinis pada kasus tersebut. Sehingga, dalam suatu kondisi tertentu, akhirnya dia memberikan tatalaksana berdasar pengetahuan dan pengalaman terbaiknya. Pada saat memberikan tatalaksana yang dia anggap terbaik itu, dia selalu menyisipkan doa, agar terapinya memberikan efek positif pada pasien.

 

Bagi seorang neurointervensionis, ada prosedur-prosedur yang dia kerjakan dan membuatnya tidak bisa tidur. Entah karena lama dan sulitnya kasus, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya komplikasi, atau karena selama prosedur ada kejadian yang tidak diharapakan. Pada saat dan setelah prosedur, dia menyisipkan doa agar pasien baik-baik saja. 

 

Sungguh, adanya keterbatasan pengetahuan, kecemasan dan terpanjatnya doa-doa, sudah cukup menjadi bukti “kefakiran” seorang dokter. “Fakir” dalam arti sang dokter adalah hamba yang membutuhkan, lemah, inferior dan  perlu panduan dari Sang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

 

Maka, tatkala pasien sembuh, prosedur operasi sukses dan pasien berterimakasih serta menjabat erat tangan dokter, pantaskah seorang “fakir” membanggakan dirinya ?

 

Karena itu, ada seorang dokter, yang selalu melantunkan syair dari ulama terkemuka, Imam Abdullah al Haddad, dalam kesendirian dan keheningan hari-harinya.

 

 









Telah cukup bagiku bahwa Tuhanku Maha Mengetahui, 

Akan permintaanku dan usahaku,

Maka do’a dan permohonanku,

Menunjukkan bukti akan kefakiranku




Saturday, 17 October 2020

Kedewasaan Neurointervensi

 " Menganalisa dan mempelajari satu komplikasi prosedur dengan seksama, lebih mendewasakan seorang Neurointervensi, di banding merayakan keberhasilan puluhan prosedur yang membuatnya bangga diri."

Friday, 16 October 2020

Rekanalisasi Chronic Total Occlusion, Era Baru Neurointervensi ?

Evidence base tentang prosedur neurointervensi (Nevi), berkaitan dengan prevensi sekunder stroke, pada stenosis ekstra maupun intrakranial, belakangan makin meyakinkan. Dengan perkembangan device dan seleksi pasien yang tepat, prosedur neurointervensi makin lama makin menunjukkan manfaat signifikan.

 

Namun, tindakan neurointervensi untuk prevensi sekunder, pada kasus chronic total occlusion (CTO), belum terbukti secara meyakinkan. Padahal, sering sekali Nevi menemui kasus CTO dalam prosedur keseharian. 

 

Semasa mengikuti fellowship Nevi, mungkin sebagian kita pernah menyaksikan, bagaimana total oklusi pada arteri karotis dilakukan rekanalisasi, hasilnya cukup baik dan meyakinkan. Atau, kita sering menyaksikan sejawat cardiointervensi melakukan rekanalisai pada CTO arteri koroner di cathlab. 

Sampai saat ini belum ada panduan/guideline berkaitan dengan CTO pada pembuluh darah intrakranial. Namun, dalam praktek klinis, selalu saja ada prosedur yang mendahului guideline.  Publikasi terbaru tentang rekanalisai total oklusi, pada kasus stroke yang terjadi lebih dari 24 jam, pada arteri vertebralis, membuka lebar kemungkinan ini (Stroke. 2020;51:00–00).

Gao et.al, melaporkan 50 kasus total oklusi pada arteri vertebralis, antara 30 sampai 60 hari dengan median 45 hari. Prosedur rekanalisasi dilakukan dengan balon dan self expandable stent (Wingspan). Tingkat keberhasilan rekanalisasi 80%, dengan komplikasi periprosedural sebesar 16% (dissection, thrombosis, perforasi). Namun, yang menarik, apabila dilakukan klasifikasi kasus dan dilakukan pemilihan pasien yang tepat, maka angka keberhasilan prosedur dan angka komplikasi menjadi minimal. Gao et.al, membuat 4 level klasifikasi CTO pada arteri vertebralis intrakranial. Level pertama memiliki angka keberhasilan prosedur paling tinggi (94.1%) dan tanpa komplikasi. Urutan keberhasilan prosedur level 1 sampai 4 secara berurutan adalah (94.1%, 76.9%, 70%, dan 50%) , sementara komplikasi peri-operatif makin meningkat dengan semakin tingginya level (0.0%, 7.7%, 20%, and 50%).  

Membuat klasifikasi berdasarkan level ini, serupa dengan studi angioplasti pada stenosis intrakranial oleh Mori. Saat ini, klasifikasi Mori (Mori A, B, C) menjadi pijakan umum dalam pemilihan kasus stenting intrakranial, terbukti dengan dasar klasifikasi ini, keberhasilan prosedur tinggi dengan komplikasi minimal.

Rasanya, evidence base prosedur CTO pada neurointervensi tinggal menunggu waktu saja. Publikasi oleh Gao et.al., akan menjadi pematik diskusi dan stimulus munculnya studi berikutnya yang lebih meyakinkan. Jika saat ini Gao et.al, melaporkan untuk sirkulasi posterior, peneliti berikutnya mungkin membahas sirkulasi anterior intrakranial. Sementara sirkulasi anterior ekstrakranial (karotis), sebagian kita telah menyaksikan dan mungkin juga telah melakukannya. Kita tunggu saja berita baiknya.

Thursday, 15 October 2020

ICAD : Siapa dan Kapan ?

Ketika seorang neurointervensionist (Nevi) merencanakan suatu prosedur intracranial angioplasty dan stenting, maka tanyakanlah, pasien mana  yang akan dikerjakan, lesi seperti apa dan kapankah waktu ideal untuk pengerjaannya. Tidak semua pasien stroke dengan intracranial atherosclerosis disease (ICAD) mendapat manfaat dari prosedur intracranial angioplasty dan stenting. 

 

Pada stroke dengan ICAD, setidaknya ada 3 mekanisme berbeda. Satu diantaranya memiliki resiko stroke periprosedural dan luaran yang kurang baik jika dikerjakan tindakan neurointervensi. 

 

Mekanisme stroke pada ICAD yang pertama adalah hipoperfusi (stroke hemodinamik), stroke inilah yang mendapat manfaat paling besar untuk tindakan angioplasti dan stenting. Mekanisme kedua adalah stroke embolik, berasal dari vulnerable plaque. Mekanisme kedua ini responsif terhadap terapi antiplatelet sekaligus statin, demikian juga dengan terapi neurointervesi. Mekanisme ketiga adalah stroke akibat small vessel occlusion pada lokasi ICAD. Terapi neurointervensi dilaporkan memiliki angka komplikasi yang tinggi dan memiliki manfaat minimal.

 

Kapan waktu tindakan neurointervensi juga berpengaruh terhadap luaran dan komplikasi. Apabila dilakukan pada fase akut ( kurang dari14 hari) memiliki potensi komplikasi yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan dengan “hot plaque” saat fase akut. Bebeda dengan waktu prosedur yang dilakukan lebih dari 14 hari.

 

Faktor berikutnya yang tak kalah penting adalah jam terbang operator. Makin tinggi jam terbang operator, makin bagus luaran klinis dan makin kecil angka komplikasi. Hal ini tentu saja bukan hanya soal frekuensi prosedur sang operator, namun juga ketajaman analisa sang operator dalam memilih kasus yang layak dilakukan tindakan neurointervensi.

 

Last but not least adalah karakteristik lesi. Apakah Mori A, Mori B atau Mori C. Untuk lesi ICAD dengan Mori C, memiliki angka keberhasilan tindakan paling rendah, sedangkan angka komplikasinya paling tinggi. 

 

Bagi neurointervensionis, tidak semua yang tampak menyempit perlu di lebarkan. Dan tidak semua yang tampak menggembung (aneurysmatic) perlu di tutup. Do No Harm.

Monday, 12 October 2020

Tuhanku di sudut waktu

Habislah sudah…

Tak kan kembali

Sesamudra luas waktu pergi

Tanpa ada jejak mengingat-Mu

 

Mengapa ada enggan 

Besimpuh pada-Mu di sudut waktu


Kemana pergi rindu menghamba

Adakah hanya tiba 

Tatkala lemah tiada berdaya

 

Tuhanku…

Meskipun sesudut waktu

Semoga turun anugerah itu

Nikmat memanggil dan mengetuk pintu

Lantunkan sirri agung nama-Mu

 

Sunday, 27 September 2020

Dokter, "Tokoh Seremonial" dan Covid

Perang melawan covid masih berlangsung. Para dokter dan nakes bekerja bersama. Sebagaimana masa penjajahan, meskipun saat itu belum merdeka, dokter terus melayani. Bukankah kala itu mereka bekerja sendiri, tanpa "pemerintah." 

Di tengah amukan covid saat ini. Dokter tetap bekerja, sebisa-bisanya, mungkin gerilya, mungkin tiarap. Musuh tak terlihat. Ada ataupun tidak "pemerintah," lupakan saja, anggap sekarang kita belum merdeka.

Namun, ada tokoh dan pejabat kita. Menjadikan perang ini sebagai panggung sandiwara. Menjadi "tokoh seremonial," muncul di acara sana dan acara sini, komentar disana, komentar disini. Seolah-olah telah banyak sekali yang mereka kerjakan. Seolah begitu banyak bantuan dan perhatiannya pada rakyat. Mereka lupa itu bukan bantuan, itu uang rakyat.

Semoga berhenti "mencari manggung," wahai junjungan tercinta, tampaknya rakyat tak membutuhkannya. Dalam kecamuk perang yang tidak berkesudahan, semua hanya akan pulih jika perang selesai. Teori ekonomi, hiruk pikuk pilkada, sudahlah lupakan saja. 

Para tokoh sibuk membuat acara seremonial, seolah mereka turut berperang di garda depan. Tak ada gunanya seremoni duta imunitas, pamer angka kesembuhan. Rakyat lelah melihat panggung politik di "masa perang," saling serang tokoh nasional. 

Bekerjalah saja, meskipun di jalan sunyi. Anggap saja kita belum merdeka, masih dalam perang gerilya. Karena para "tokoh seremonial."  Adanya mereka, sama dengan ketiadaan-nya.

Wednesday, 26 August 2020

DERAP NEUROINTERVENSI

Mula cita menanjak dan mendaki
Bukan mudah satukan langkah kaki
Tekad baja demi ibu pertiwi
Bangun neurointervensi

Hempas angin dan selaksa gelombang
Walau bertubi datang
Tak mengikis semangat anak negeri
Kukuh bangkit berbakti

Menyaksikan tak hanya meyakini
Berpijak ilmu menjadi ahli
Mulya kala khidmat sepenuh hati
Jadi cahaya negeri
Jaya neurointervensi

Surabaya, Senin, 27 Juli 2020

Tuesday, 18 August 2020

The 24th Zurich Course 2016, no more ?



Dari banyak pertemuan ilmiah tentang interventional neuroradiology, ada satu pertemuan ilmiah yang memiliki kesan sangat mendalam dan belum tergantikan, Zurich Course. Meskipun mungkin ada pertemuan ilmiah serupa, namun tak akan pernah sama. Sejarah neurointervensi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Zurich, awal mula dimana sumber air mengalir. Dalam dunia pesantren dikenal keilmuan yang “bersanad,” yaitu tatkala transmisi ilmu dari satu individu ke individu yang lain diberikan dengan jalan “pendelegasian” kompetensi. Seseorang boleh mengamalkan ilmu yang didapatnya apabila telah dianggap layak dan setelah mendapat ijin dari sang guru. 

 

Cerita tentang “Zurich Phylosophy” selama ini banyak dituturkan oleh Prof. Shakir Husain, guru dari hampir semua neurointervensi Indonesia. Lebih dari itu, filosofi ini juga dituturkan langsung dari presentasi Prof. Valavanis, sang pioneer dan pencetus Zurich course, dalam beberapa kali acara Delhi Course. 

 

Dalam banyak kesempatan Prof. Shakir menyampaikan kesannya tentang Zurich course kepada para fellow beliau. “Ilmu yang di bahas dalam Zurich course adalah ilmu yang tidak kita dapatkan di textbook saat ini, dia baru ada dalam textbook beberapa tahun nanti,” demikian menurut beliau. “ Memang faktanya demikian. Kami mulai membaca banyak konsep yang disampaikan oleh Prof. Valavanis setelah beberapa tahun berikutnya, yaitu tatkala para murid beliau menuliskannya dalam chapter sebuah buku atau dalam artikel di beberapa jurnal.

 

Apabila kita mengikuti presentasi Prof. Valavanis, hampir tidak pernah kita mendengar analisa statistik yang ‘njilmet’ dan susah dipahami. Beliau menyampaikan konsep secara mengalir bak air jernih yang segar. Meski tanpa angka-angka statistik, tidak ada yang meragukannya, karena semua mengakui bagaimana kualitas kerja beliau, yang tepat, presisi dan tidak bias. 

 

Konsep beliau tentang Brain AVM, belum pernah disampaikan di pertemuan ilmiah oleh pembicara manapun, selain oleh beliau sendiri dan para fellow beliau. Konsep ini akan lebih mudah dipahami apabila kita membaca dengan teliti konsep Prof. Yasargil dalam buku beliau Microneurosurgery. 

 

Prof. George Rodesch, dalam Gala Dinner Delhi Course 2019 mengungkapkan, Zurich Course adalah pertemuan ilmiah yang unik. Memiliki kualitas ilmiah yang sangat berbobot. Beliau bersama Prof. Timo Krings, Prof. Shakir, Prof. Tanaka, Prof. Kollias, Prof. Atlas, dan Prof. Naidich merupakan pembicara yang memberikan materi pada Zurich Course 2016. Pada Zurich course ini, pembahasan didahului dengan aspek diagnostic selama 2,5 hari, dan sisa 3,5 hari diisi dengan aspek interventional.

 

Prof. Luc Picard juga mengungkapkan dalam pidato penyerahan Medali Anton Valavanis 2019, setidaknya ada tiga pertemuan ilmiah neurointervensi yang merupakan pondasi neurointervensi, yaitu Zurich Course, ABC Win Seminar, dan Master in Neurovascular Mahidol University yang di gagas oleh Prof. Lasjaunias.

 

Bagi kami, mengunjungi Zurich berarti meneliti fakta, cerita, dan merasakan suasana ilmiah luar biasa. Acara ilmiah yang mungkin sulit dicerna itu, dikemas dengan cara sederhana dan elegan. Masih basah dalam ingatan bagaimana Prof. Valavanis menyampaikan salah satu lecture-nya tentang “Enchephalocentrism dan Cardiocentrism pada stroke.” Gambaran tentang dunia nyata interventional neuroradiology.

 

Sayangnya, tahun 2016 sepertinya adalah event terakhir Zurich Course. Beruntung sekali berkesempatan hadir, menyaksikan lecture demi lecture, dan menyaksikan bagaimana Prof. Valavanis memberikan sambutan pada Gala Dinner. Sambutan tersebut menandai kiprah beliau yang panjang dan kini memasuki masa usia pensiun.

 

Meskipun telah berlalu 4 tahun lalu, dalam hati kecil masih ada harapan agar Zurich Course kembali hadir. Semoga kehadiran Prof. Shakir Husain di Zurich, dimana beliau saat ini menjadi salah seorang klinisi di University Hospital Zurich, akan mampu mewujudkan kembali pertemuan ilmiah bersejarah itu. 

Tuesday, 11 August 2020

“Prosedur Kosmetik” dalam Neurointervensi

Dalam suatu presentasi di Delhi Course beberapa tahun silam, Prof. Anton Valavanis mengungkapkan tentang istilah “Cosmetic Embolization” pada Brain AVM (BAVM). “Cosmetic Embolization” merujuk pada pengertian bahwa prosedur embolisasi BAVM yang dilakukan, hanya sekedar terlihat bagus secara angiografi. Namun, tujuan embolisasi, yaitu oklusi nidus tidak tercapai. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, BAVM seperti ini akan recurrent dan kembali muncul saat angiografi evaluasi. BAVM seperti ini juga memiliki angioarsitektur yang jauh lebih sulit, apabila dilakukan embolisasi ulang. Hal ini karena semua feeder yang sebelumnya indirect menjadi dilatasi dan lebih prominen. Sedang feeder direct telah tertutup oleh “cosmetic embolization.”

 

"Prosedur Kosmetik" dapat dimaknai secara substantif, yaitu semua prosedur yang seolah-olah memberikan manfaat, namun sebenarnya tidak.


Prosedur Kosmetik” juga dapat ditemui dalam beberapa kasus neurointervensi lainnya. Misalnya stenting carotis pada stenosis yang sebenarnya tidak berat. Atau stenting pada pembuluh darah yang berkelok-kelok tanpa proses aterosklerosis. Keduanya dilakukan pada pasien tanpa gejala dan tanpa indikasi klinis yang jelas.

 

“Prosedur Kosmetik” juga ditemui pada aneurysma yang dilakukan coiling dengan packing yang longgar dan tidak adekuat karena alasan biaya, sedang kemungkinan ini sudah dapat diprediksi sebelumnya. 

 

Termasuk dalam kategori “Prosedur Kosmetik” adalah melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang disepakati konsensus ilmiah. Misalnya embolisasi incidental finding unruptured BAVM. Atau coiling unruptur aneurysma yang sebenarnya tidak diperlukan, karena memiliki resiko ruptur sangat rendah, setara dengan perjalanan alamiahnya. Sehingga, jika ditimbang resiko ruptur tanpa intervensi versus resiko terjadinya komplikasi akibat tindakan, adalah sama atau lebih tinggi resiko tindakan.

 

Pada kasus yang ekstrim, yaitu tatkala saat seorang neurointervensionis mengkampanyekan prosedur diagnostik sebagai terapi. Dia secara terbuka memberikan harapan pada pasien dan masyarakat dengan fondasi ilmiah yang rapuh. Ini adalah puncak dan contoh nyata dari suatu kecenderungan “Prosedur Kosmetik” dalam neurointervensi.

 

Mengapa seorang neurointerventionis melakukan “Prosedur Kosmetik ?“ Pertanyaan ini setidaknya dapat dirunut dari niat dan motivasi sang operator. Apakah motivasinya membantu pasien ataukah untuk keuntungan kapital dirinya sendiri.


Hubungan dokter pasien adalah hubungan professional saling menguntungkan. Kepercayaan pasien pada dokter diimbangi dengan keahlian dan profesionalitas tinggi, termasuk dalam memutuskan suatu prosedur medis. Semua prosedur medis yang dilakukan, haruslah memiliki manfaat bagi pasien, atau dalam kondisi dilema medis, harus memiliki manfaat lebih besar dibandingkan resikonya. 

 

Namun, dalam dunia yang penuh agenda kapital ini, hal tersebut tidak selalu terjadi. Sehingga, ada prosedur medis yang menguntungkan pasien, sekaligus menguntungkan dokter. Dokter mendapat imbalan atas profesionalitasnya. Ada pula prosedur yang tidak memberikan banyak manfaat bagi pasien, namun pasien harus membayar tindakan dokter yang “terkesan profesional.” Mungkin “Prosedur Kosmetik” yang “disengaja” termasuk kelompok ini. Apakah ada “Prosedur Kosmetik” yang tidak disengaja ? tentu saja ada. Ini adalah bagian dari resiko prosedur, dimana tujuan awal suatu prosedur tak dapat tercapai karena suatu hal. Misalnya dalam prosedur embolisasi BAVM dengan tujuan oklusi nidus, ternyata yang terjadi saat prosedur adalah tertutupnya feeding artery secara dini, namun ini terjadi secara tidak sengaja.

 

Kategori terakhir adalah tatkala prosedur medis itu hanya menguntungkan dokter. Pasien diminta membayar upah pada dokter atau rumah sakit, sedangkan prosedur yang didapatnya sama sekali tidak menguntungkannya. Jika ini terjadi, sungguh sang dokter tersebut telah melanggar kode etik dan sumpah dokter secara terang-terangan. Maka, bersiaplah sang dokter menerima balasan setimpal, dari masyarakat berupa sanksi sosial dan hukum, maupun dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Sunday, 12 July 2020

Pilu Dokter Kini....

Bukan lagi, karena gugur-nya para sejawat,
Bukan karena tak pernah berhenti merawat..

Tetapi,
di tengah duka dan lelah,
Banyak yang tak peduli,
Seolah Pandemi....
Telah lama menjauh pergi

Gugurnya sejawat itu,
Sudah jadi kabar biasa,
"Tak perlu membuat drama"
Itulah kata mereka....

Mungkin tak ada lagi,
Sekedar rasa simpati,
Bukan pandemi yang pergi,
Tetapi tercabutnya rasa empati....

Friday, 10 July 2020

Neurologi Tanpa Pemeriksaan Fisik, mungkinkah ?

Sebagai neurolog, bahkan sebelum pandemi datang, berapa banyak diantara kita yang masih melakukan pemeriksaan fisik secara rutin dengan lege artis ? Lebih-lebih, di era BPJS dengan jumlah pasien menumpuk, baik di poliklinik maupun ruangan. Bagaimana pula dengan masa pandemi dan makin populernya telemedicine. Mungkinkan pemeriksaan fisik neurologis ditinggalkan, atau adakah telemedicine benar-benar bisa diterapkan dalam neurologi, sebagaimana bidang yang lain ?

Pada bagian awal De Jong’s, buku induk pemeriksaan fisik neurologis, diungkapkan “ in no other branch of medicine is it possible to build up a clinical picture so exact- with regard to localization an pathologic anatomy- as it is in neurologi.” Dalam banyak hal, dokter di seluruh dunia juga setuju dengan pernyataan bahwa “ no other branch of medicine lends itself so well to the correlation of signs and symptoms with disease structure as neurology does.” Kedua pernyataan ini, sejalan dengan apa yang ditekankan saat residensi, yaitu pemeriksaan fisik harus menjadi yang pertama dan utama dikuasai, bersamaan dengan pengetahuan neuroanatomi funsional.

Pemeriksaan fisik neurologi, kata De Jong’s, diperlukan skill, intelegence, and patience. Juga diperlukan trained observation. Pada sebagian besar kasus, diperlukan bantuan dan sikap kooperatif dari pasien. Pemeriksaan harus dilakukan dengan urutan yang benar, waktu yang adekuat, dan perhatian yang cukup, pada setiap tahap pemeriksaan. Pada akhirnya, setiap neurolog akan mendapat metode cepat, berdasarkan pengalaman dan jam terbang mereka masing-masing. 

Melihat demikian pentingnya peran pemeriksaan neurologi, maka kembali pada pertanyaan semula, mungkinkah diagnosis neurologi ditegakkan tanpa pemeriksaan fisik ?

Debat soal ini, sesungguhnya sudah hangat beberapa tahun lalu. Adalah Prof. Hawkes, Queen Mary University, London, pada 2009, menulis sebuah artikel di Practical Neurology, dengan judul yang cukup provokatif “I’ve stopped examining patients!” Beliau mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, bahwa tidak semua pasien neurologi memerlukan pemeriksaan fisik. Pasien dengan diagnose sleep disorders tidak memerlukan pemeriksaan fisik. Sebagian besar kasus headacheseizuresyncope dan TIA, tidak memerlukan pemeriksaan fisik. Kemudian beliau mengungkapkan “ most of the test we now have available are infinitely superior to physical examination in diagnosing or excluding disease.” Artikel ini mendapat tanggapan yang sangat banyak, bahkan tanggapan terbanyak dibandingkan artikel yang lain, karena dianggap “menusuk” jantung neurologi.

Berikutnya, di jurnal yang sama, Prof. Charles Warlow, menulis sebuah artikel “ why I have not stopped examining patients.”Beliau membenarkan beberapa pernyataan Prof. Hawkes, misalnya, dalam beberapa kasus penyakit, kita yakin tidak menemukan tanda apapun, bahkan walaupun pemeriksaan fisik kita lakukan dengan seksama dan berkali-kali.

Warlow memberikan sepuluh alasan mengapa pemeriksaan fisik neurologis masih diperlukan. Beliau mengakui, peran utama pemeriksaan fisik berkurang sejak berkembang pesatnya pemeriksaan penunjang, seperti MRI dan CT scan. Namun, hal itu tidak mengurangi pentingnya pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan fisik dibutuhkan dan memberikan informasi “apakah” diperlukan pemeriksaan penunjang. Jika diperlukan, jenis pemeriksaan penunjang yang mana. Hal yang lebih menantang lagi, saat pemeriksaan fisik pada pasien abnormal sedangkan semua pemeriksaan penunjang ditemukan “normal.”

Alasan terakhir yang diungkapkan Warlow, setelah sembilan alasan penting lain, adalah soal ritual. Efek tersebut berupa rasa tenang yang didapatkan pasien, dan simbol bahwa dokter benar-benar memperhatikan pasien dan semua keluhannya.

Akhirnya, De Jong’s mengungkapkan, “ pemeriksaan fisik neurologis tak bisa dihilangkan,” yang diperlukan dimasa mendatang adalah -more precise and more directed neurological examination. Neurodiagnostik adalah pelengkap diagnosis klinis, dan bukan menggantikannya.

Thursday, 25 June 2020

Guru Menemani dalam Pandemi

Tak perlu jauh mencari teladan
Di sini, para guru turut melawan
Sebagian menjadi penderita
Saat menemani anak-anaknya

Guru kami tersayang,
Ribuan do'a murid-muridmu,
Mengalir bersama riuh cintamu...

Tuesday, 26 May 2020

Normal baru, yang super abnormal

Pagi itu, disebuah rumah sakit rujukan, antrian mengular. Antrian terhitung mencapai 60 orang. Tampak empat petugas berhazmat melakukan swab PCR covid 19. Bukan masyarakat yang datang, namun dokter, perawat dan petugas kesehatan. Antrian yang sama juga terulang setiap harinya. Bahkan, seorang dokter mengaku telah dilakukan pemeriksaan beberapa kali, untuk prosedur yang sama.

Sebagian besar dari mereka terpapar pasien covid secara tidak sengaja. Pasien masuk diruang perawatan biasa, tanpa gejala, setelah beberapa hari terkonfirmasi positif. Maka bisa dibayangkan, mereka yang setiap hari kontak, tanpa APD standar, menjadi target penularan, sebagai ODP atau PDP. Mereka harus istirahat, isolasi, sampai tes mengatakan hasil sebaliknya. Atau menjadi pasien yang sesungguhnya.

Situasi demikian terus berjalan. Makin banyak tim medis terinfeksi. Bangsal rumah sakit memang makin sepi, jumlah pasien yang dirawat dan dilakukan tindakan operasi menurun drastis. Namun, ruangan-ruangan itu kini menjelma menjadi ruangan perawatan covid. Tak terkira jumlah pasien covid yang menunggu dan transit di IGD. Jika pulang, mereka akan menjadi sumber penularan, sedang untuk masuk rumah sakit, belum lagi tersedia ruangan.

Nyatanya, sampai hari ini, 27 Mei 2020, jumlah kasus belum tampak melandai. Tim medis yang terinfeksi semakin banyak. Makin banyak yang bertumbangan. Barangkali, sudah tidak terhitung pengeluaran dana pribadi untuk APD bagi mereka sendiri. Tidak mungkin semata-mata mengandalkan APD dari donasi.

Sungguh, dalam hilir mudik aktivitas rumah sakit, kita tidak benar-benar tahu siapa saja yang sudah kontak, siapa yang terinfeksi dan pasien mana yang benar benar negatif, kecuali pasien yang menunjukkan gejala yang jelas. Maka, tidak mengherankan jika rumah sakit menjadi sumber penularan baru. Dari pasien ke tim medis, sesama pasien, sesama tim medis, atau keluarga yang mendampingi. Makin hari, pasien makin banyak, makin tak bisa diprediksi. Maka, lihatlah contohnya, seorang perawat, istrinya, serta seorang anaknya positif covid, dalam waktu hampir bersamaan. Sungguh amat menyedihkan.

PSBB tampak tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Aktivitas yang bernama “new normal” mengarah pada ketidakpastian dan kondisi tak menentu di rumah sakit. Normal baru, tampaknya merupakan situasi super abnormal bagi tim medis. Sungguh, malang tak bisa di tolak, dan untung tak dapat diraih. 

Tuesday, 19 May 2020

Coiling tidak lebih superior dibandingkan Clipping ?

ISAT (2002) menyatakan Coiling lebih superior dibandingkan Clipping. Setelah ISAT, ada 2 publikasi pada 2019, di  World Neurosurgery (Acioly MA, et al) dan Neurosurgery (Lindgren A, et al). Dua publikasi ini menyatakan tidak ada perbedaan signifikan pada kedua modalitas intervensi diatas. Pada 2020, di jurnal Neurosurgery (Spletzer RF, et.al), menyatakan luaran klinis jangka panjang (10 tahun) adalah sama pada kedua modalitas. Benarkah ?

Adanya perbedaan kesimpulan antara ISAT dan 3 studi setelahnya, tentu memberikan ketidakpastian bagi klinisi. Publikasi terbaru di Stroke AHA/ASA (Chai CL et.al, 2020), mencoba membuat review sistematik untuk mengurai ketidakpastian ini. 

Kesimpulannya, ternyata pada Coiling lebih sering terjadi rebleeding di banding Clipping. Namun, Coiling memiliki angka komplikasi prosedur yang lebih kecil, ini berhubungan langsung dengan luaran fungsional. Sehingga, manfaat tindakan intervensi harus ditimbang antara kejadian rebleeding terhadap komplikasi prosedur. 

Studi ini menimbang, menganalisa serta menyimpulkan dengan bahasa sederhana. Diperlukan 50 pasien pada Clipping untuk mencegah terjadinya rebleeding. Sebaliknya, diperlukan 17 pasien pada Coiling untuk mengurangi resiko luaran fungsional yang buruk. Ini menunjukkan, insiden rebleeding memiliki efek minimal dibanding luaran fungsional secara statistik, sehingga Coiling masih merupakan pilihan yang lebih baik.

Dalam tataran praktis di Indonesia, tentu saja sangat bergantung dari senter mana dan siapa operatornya. Jumlah dan ragam prosedur menetukan angka komplikasi dan luaran fungsional. Pertanyaan bagi neurointervensionis, berapa prosedur Coiling yang anda lakukan dalam sebulan ? Bagi neurovascular surgeon, berapa tindakan Clipping yang anda lakukan dalam sebulan ? jika jumlah dan ragam prosedur cukup adekuat, maka deskripsi studi diatas setidaknya dapat diadopsi sebagai panduan dalam praktis klinis keseharian.

Thursday, 7 May 2020

Isu Stroke terbaru di tengah Pandemi : MeVO & DIRECT-MT

Ditengah pandemi covid-19, diskusi tentang stroke tetap hangat dan menggairahkan. Tercatat dua isu utama awal Mei 2020, sebagai berikut :

Hyperacute ischemic stroke selama ini terbagi dalam dikotomi small vessel occlusion (SVO) dan large vessel occlusion (LVO). Berdasar guideline, SVO merupakan kandidat IVT (intravenous thrombolysis), sedangkan LVO merupakan kandidat IVT + EVT atau EVT (endovascular thrombectomy) saja. MeVO (medium vessel occlusion), istilah yang baru muncul, selama ini belum memiliki petunjuk tatalaksana yang cukup jelas. Yang termasuk MeVO adalah (M2/3, A2/3, dan P2/3). 


Namun, menariknya, berdasarkan survei pada 184 Neurointervensionist, mereka memiliki tatalaksana yang berbeda terhadap MeVO. Apabila pasien datang < 4.5 jam, hanya 40% yang menawarkan EVT, jika oklusi pada A2/P2. Dan hanya 18% yang menawarkan EVT, jika oklusi pada M3. Namun apabila > 4.5 jam, dimana IVT sudah tidak boleh diberikan, maka EVT diakukan pada A2 (78%), P2 (76%) dan M3 (59%).


MeVO merupakan bagian fenomena dimana Clinical practice often precedes guideline recommendations”, maka tampaknya, dalam waktu dekat, akan muncul banyak publikasi, dan akan disusul rekomendasi terbaru apabila evidence sudah cukup meyakinkan.  Implikasi yang kemungkinan dapat diperkirakan adalah, semua pasien stroke infark hiperakut harus dilakukan neurovaskuler imejing. Maka stroke hiperakut harus di rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ini (Goyal M, et alJ NeuroIntervent Surg, 2020).


DIRECT-MT, adalah sebuah studi terbaru dari China yang membandingkan IVT+EVT pada LVO dibandingkan dengan EVT saja. Ternyata, EVT secara langsung tanpa didahului IVT, memiliki outcome fungsional yang non-inferior. Efek studi ini sungguh luar biasa, karena apabila EVT dilakukan secara langsung tanpa didahului IVT, maka waktu akan terpangkas, dan biaya akan lebih murah. Pada studi ini, terbukti angka kematian dan perdarahan tidak berbeda signifikan. Kita sedang menunggu laporan beberapa studi lain serupa ini. Tampaknya tinggal menunggu waktu, untuk menjadikan EVT (tanpa IVT) pada hiperakut LVO dalam 4.5 jam, menjadi salah satu poin guideline stroke berikutnya (NEJM, May 6, 2020; DOI: 10.1056/NEJMoa2001123).

Tuesday, 14 April 2020

Aku Covid, Aku Tak Bersalah

Seluruh dunia mengumpat menyalahkan
Ribuan do’a meminta perlindungan,
Dari aku, yang terkutuk
Melebihi iblis dan setan durjana

Aku Covid, aku dicipta
Lama hidup mesra di rahim rimba
Kau undang aku datang,
Lalu serta-merta kau persalahkan ?

Aku Covid, mahluk Tuhan seperti manusia
Simpanlah do’a milik-mu, lalu panjatkan buat mereka
Yang tuli mata batin-nya, 
Yang putus hati nurani-nya, 
Mereka, yang memaksa aku bertahan saja

Aku Covid, sudah sangat letih
merindukan lagi harum wangi hutan rimba
Betapa tak tahan berteman manusia,
Yang melampaui batas dan penuh tipu daya…

Sunday, 29 March 2020

Tiga Ekor Ikan

Pada sebuah sungai jernih, tampak tiga ekor ikan sedang bermain. Ikan pertama mendengar deru air yang berubah, ia tahu bahwa akan segera datang nelayan yang menangkap mereka. Ikan pertama memberikan informasi pada kedua temannya, setelah itu pergi menuju tempat yang tak terjangkau. Kedua ikan tersisa masih bermain. Ikan kedua baru menyadari saat nelayan sudah dekat, kemudian pura-pura mati dan terapung di atas air. Melihat ikan mati, nelayan mengambil dan melemparnya ke aliran sungai yang lain, dan ikan kedua selamat. Ikan ketiga masih sibuk lalu lalang dan bermain-main tanpa peduli. Nelayan seketika menangkapnya dan memasukkannya dalam keranjang.

Ikan pertama gambaran orang bijak. Ia menyalakan obor sendiri. Ia adalah pemandu dan pemimpin kafilah. Sebagian orang menangkap cahaya yang dibuatnya, dan akan mengikutinya.

Ikan kedua gambaran orang setengah bijak. Ia tahu bahwa orang bijak adalah cahaya, ia berpegang pada orang bijak seperti orang buta pada penuntunnya. Ia seolah mati, namun kemudian bangkit dari keterpurukan, mengikuti arah cahaya.

Ikan ketiga adalah Si Pandir, tak punya kebijakan sama sekali dan mengabaikan orang lain. Ia tak tahu apa-apa tentang jalan, sedikit atau banyak, namun merasa malu mengikuti langkah pemandu.

Dalam wabah dan bencana ini, setiap orang bisa menjadi orang pertama dan orang kedua. Hindarilah menjadi orang ketiga, yaitu orang yang tak mau mengerti, jiwanya buta, tak mau mendengar nasehat teman-teman disekitarnya. 

(Adaptasi dari Matsnawi Jalaluddin Rumi)

Thursday, 26 March 2020

Sujud Terakhir....

Bagi kami tenaga medis…
Di tengah ketidakpastian wabah corona,
Jeda waktu sholat dan ibadah,
Betapa kami syukuri luar biasa…

Entah mengapa…
Begitu nikmatnya rukuk dan sujud hari-hari ini….
Seolah ini sujud terakhir kami ….
Karena kami tak pernah tahu,…
Adakah esok, masih bisa mengulanginya

Berapa banyak sejawat kami pergi….
Saat wabah melanda negeri,
Sujud-sujud terakhir mereka itu …
Adalah sebenar kenangan abadi,
Permata indah tiada terganti..

Monday, 23 March 2020

Perginya Nikmat "Hari Biasa"

Kala gelombang wabah melebar,
Manusia mulai tersadar,
Betapa "hari biasa"
Adalah nikmat luar biasa

Rapuh benar manusia
Porak-poranda tata dunia
Hanya oleh mahluk mikro ciptaan-Nya
Bukankah ini belum seberapa ?
Bahkan belum setetes ilmu sang Maha

Ampuni kami, sayangi kami...

Sungguh kami telah mendengar,
Kau ceritakan dalam kitab suci-Mu
Tentang Kaum terdahulu..
Yang hancur, Yang luluh lantak....
Agar menjadi pelajaran...
Bagi kami di akhir zaman...

Kini semua di depan mata...
Sungguh sangat mudah terjadi lagi..
Tiada sulit ...
Apabila Engkau menghendaki....

Ampuni kami, sayangi kami...

Ijinkanlah yang tersisa di bibir kami,
Dzikir dan istigfar tiada henti...
Berikahlah rizki di akhir hayat...
Hanya LafadzMu penuh melekat...

Surabaya, 23 Maret 2020
Bersama melawan Corona

Tuesday, 4 February 2020

Hukum Tatalaksana Stroke

Seorang dokter jaga bertanya pada neurolog tentang bagaimana tatalaksana stroke secara singkat, sehingga dia tidak perlu membaca guideline dan PNPK yang panjang berlembar-lembar itu.

Sang neurolog menjawab, "ada tiga saja" :

"Hukum dasar perawatan stroke infark hiperakut adalah tindakan agresif (trombolisis/trombektomi), sampai ada petunjuk yang menyatakan sebaliknya (konservatif)."

"Hukum dasar perawatan stroke ICH adalah konservatif, sampai ada petunjuk yang menyatakan sebaliknya (operasi)."

" Hukum dasar perawatan stroke SAH adalah agresif (coiling/clipping), sampai ada petunjuk yang menyatakan sebaliknya (konservatif)."

Dokter jaga tersenyum dan merasa terbantu dengan jawaban ini. Kemudian bertanya lagi, "petunjuk yang menyatakan sebaliknya itu apa dok..?

Sang neurolog menjawab " petunjuknya bisa dilihat di guideline dan PNPK." 😅

Sunday, 5 January 2020

“Ada” yang dianggap “Tiada” dalam Neurologi

Seorang wanita, usia muda, mengeluh nyeri kepala kronis. Sudah berbagai modalitas terapi diberikan, sudah berbagai modalitas diagnostik dilakukan. Mulai neuroimejing (MRI, CT scan) dan neurovaskular imejing (MRA, CTA dan terakhir Cerebral DSA), semua dinyatakan normal. Dalam “kebingungan,” dokter mendiagnosa pasien menderita Idiopathic Intracranial Hypertension (IIH). Lalu pasien bertanya tentang penyebab nyeri kepalanya. Dokter menyebutnya “idiopatik”, tak diketahui. “Jadi IIH itu apa dok ?” tanya pasien, dokter menjawab “nyeri kepala, yang saya juga tidak tahu penyebabnya.”

Terminologi IIH yang dianggap idiophatic, dideskripsikan pertama kali sebelum Indonesia merdeka, 1937, oleh Dandy. Saat itu didapatkan sindroma klinis berupa nyeri kepala, pandangan kabur, peningkatan tekanan intrakranial, tanpa ditemukan adanya massa, karena itu sering juga disebut pseudotumor cerebri. Kemudian berubah menjadi Benign Intracranial Hypertension (BIH). Namun, IIH dan menjadi BIH ternyata tak selalu benign, karena gejala mata kabur kemudian dapat menjadi kebutaan yang sebenarnya.

Istilah Idiopathic atau cryptogenic adalah istilah ‘keren’ untuk ketidaktahuan. Sehingga muncullah istilah semacam IIH atau cryptogenic stroke. Idiopathic dalam kamus Oxford diartikan “relating to or denoting any disease or condition which arises spontaneously or for which the cause is unknown.” Sedangkan cryptogenic diartikan "(of a disease) of obscure or uncertain origin." Namun, saat ini tabir misteri IIH dan cryptogenic stroke, telah mulai terbuka. Saat gejala klinis ada, dan tak ada penyebabnya, itu karena kita belum tahu saja. Bukankah apa yang disebut “penemuan baru” hakekatnya bukanlah penemuan, karena ia sudah ada sejak lama, sudah diciptakan oleh Tuhan.

Khususnya tentang IIH/BIH, istilah ini diusulkan agar tidak dipakai lagi. Karena penyebabnya telah dapat diidentifikasi dengan jelas. Gejala klinis terjadi akibat  peningkatan tekanan vena serebral (cerebral venous hypertension-CVH), CVH pada gilirannya menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Dua penyebab CVH yang teridentifikasi adalah peningkatan tekanan intra abdominal akibat obesitas, dan adanya stenosis pada sinus venosus. Sehingga intervensi pada keduanya, dengan bariatric surgery dan penurunan berat badan pada kasus pertama, dan stenting sinus venosus pada kasus kedua, akan segera menghilangkan gejala klinisnya. Istilah IIH dan BIH, saat ini diusulkan agar digantikan dengan Chronic Intracranial Venous Hypertension Syndrome.” Hmmm….nama baru yang tak kalah panjang.

Friday, 3 January 2020

Transvenous Embolization Indirect CCF

Awal tahun 2020, Jumat, 3 Januari, diawali dengan embolisasi indirect CCF transvenous. Embolisasi transvenous memerlukan konsiderasi anatomi. Dengan pemahaman anatomi yang baik, target embolisasi dapat dilakukan sensuai harapan.

Berikut beberapa gambar anatomi yang dapat dijadikan penuntun embolisasi transvenous.


Embolisasi transvenous pada CCF dilakukan dengan meletakkan satu diagnostik kateter di internal carotis ipsilateral, dimaksudkan untuk kontrol injeksi. Kateter melalui transvenous merupakan guiding catheter, keduanya seringkali cukup menggunakan Vert 5F kateter diagnostik. 

Microcatheter/microwire yang dipakai sesuai dengan embolisasi yang akan dikerjakan. Jika coiling, menggunakan device serupa dengen coiling aneurisma.















Dengan memahami koneksi dural branch ICA dan feeder dari external carotis, lokasi persis embolisasi bisa ditentukan dengan baik. Penggunaan Cathlab Biplane sangat membantu, namun jika pun tidak, bedanya hanya memerlukan waktu lebih lama.

Selamat mencoba....!