Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday 18 December 2020

Merindu Derik Jangkrik Subuh Hari

Sebelum subuh, Pak Aji Mahmud sudah membangunkan kita, para santrinya. Musholla itu bukan pesantren. Hanya dipakai mengaji oleh anak kampung, setiap setelah magrib. Bagi santri yang rajin dan sering mendapat pujian, mereka biasa menginap di Musholla ini, agar setelah sholat shubuh bisa mengaji lagi. Dari empat puluh atau lima puluh santri, mungkin hanya tersisa empat atau lima santri yang mengaji setelah subuh. 


Pak Aji Mahmud adalah satu-satunya guru yang mendidik sekian banyak santri di kampung itu. Tak kenal lelah, begitu istiqomah, sangat sabar mendidik mereka satu persatu. Mereka datang dengan buta huruf arab, sampai mereka lancar membaca al-Qur’an dan mengahafal bacaan sholat. Kalaupun saat ini, ada santri-santrinya berkelana ke berbagai daerah, menjadi orang penting di tempatnya masing-masing, dan merasa sudah banyak berbuat, rasanya harus berkaca lagi pada keikhlasan dan keistiqomahan Pak Aji Mahmud.

 

Bedug subuh ditabuh bertalu-talu, kita para santri, berebut untuk menabuhnya. Bedug ini begitu tua, tampak robekan kulit pada sisi yang lainnya. Namun, tetap saja ditabuh tanpa ampun, dengan segenap rasa bahagia. 

 

Selepas sholat dan wirid subuh yang agak panjang, kami bergantian mengantri, agar bisa dikoreksi bacaan al-Qur’an oleh Pak Aji. Yang sedang menunggu antrian, tampak komat kamit, meyakinkan lafal bacaan. Kalau sudah merasa yakin benar, akan melirik dan menggoda teman sebelah. Teman sebelah yang tampak kusut. Maklum, baju yang dipakai tidur itu, adalah yang dipakai mengaji. Tak pernah ada satupun yang membawa baju ganti saat bermalam. Orang tua mereka sebagian besar adalah petani dan nelayan.

 

Langit masih gelap, udara masih terasa dingin. Namun, inilah kesempatan bagi kami untuk berlari keluar, segera setelah Pak Aji selesai mengajar. Bukan pulang kerumah, namun menghambur ke area persawahan yang terletak sekitar 300 meter dari Musholla, kearah selatan. Tampak tumpukan kedelai kering yang baru saja di panen. Dan disanalah kami mulai berburu. Memasang telinga, merunduk, dan mencari erik jangkrik. 

 

Mencari jangkrik di subuh hari begitu membekas di hati, hingga saat ini. Kami berjalan mengendap-endap, menuju sumber suara. Sang jangkrik sangat sensitif terhadap langkah manusia. Adakalanya mereka berhenti mengerik, dan kamipun berhenti melangkah. Tak tahu dimana persisnya jangkrik bersembunyi, sampai akhirnya mereka mengerik kembali.

 

Jika kami mampu mendapatkan satu saja jangkrik subuh itu, rasa bahagia sungguh tak terkira. Wajah cerah seolah tak tergantikan oleh apapun. Namun, makin lama kita tak mendapatkannya, makin kecil kesempatan, karena gelap makin pudar, dan jangkrik akan berhenti mengerik saat langit menjadi terang.

 

Tetapi, itu tiga puluh tahun yang lalu. Kini Pak Aji telah wafat. Tak ada lagi sawah dengan tumpukan kedelai kering. Hanya bangunan pabrik tepung dan pengalengan ikan. Tak terlihat lagi santri-santri yang menginap, juga teriakan-teriakan nakal mereka. Semua telah berubah, namun tidak menjadi lebih indah. Kampungku kini menjadi daerah industri. Tampak lebih maju secara fisik, namun, terasa gersang secara spiritual.

 

Kami rindu Pak Aji Mahmud, kami rindu jangkrik mengerik di subuh hari. Terimakasih Paka Aji, telah memberikan kebahagiaan bagi kami, kebahagian yang sungguh tak akan pernah terbeli.

No comments:

Post a Comment