ISAT (2002) menyatakan Coiling lebih superior dibandingkan Clipping. Setelah ISAT, ada 2 publikasi pada 2019, di World Neurosurgery (Acioly MA, et al) dan Neurosurgery (Lindgren A, et al). Dua publikasi ini menyatakan tidak ada perbedaan signifikan pada kedua modalitas intervensi diatas. Pada 2020, di jurnal Neurosurgery (Spletzer RF, et.al), menyatakan luaran klinis jangka panjang (10 tahun) adalah sama pada kedua modalitas. Benarkah ?
Adanya perbedaan kesimpulan antara ISAT dan 3 studi setelahnya, tentu memberikan ketidakpastian bagi klinisi. Publikasi terbaru di Stroke AHA/ASA (Chai CL et.al, 2020), mencoba membuat review sistematik untuk mengurai ketidakpastian ini.
Kesimpulannya, ternyata pada Coiling lebih sering terjadi rebleeding di banding Clipping. Namun, Coiling memiliki angka komplikasi prosedur yang lebih kecil, ini berhubungan langsung dengan luaran fungsional. Sehingga, manfaat tindakan intervensi harus ditimbang antara kejadian rebleeding terhadap komplikasi prosedur.
Studi ini menimbang, menganalisa serta menyimpulkan dengan bahasa sederhana. Diperlukan 50 pasien pada Clipping untuk mencegah terjadinya rebleeding. Sebaliknya, diperlukan 17 pasien pada Coiling untuk mengurangi resiko luaran fungsional yang buruk. Ini menunjukkan, insiden rebleeding memiliki efek minimal dibanding luaran fungsional secara statistik, sehingga Coiling masih merupakan pilihan yang lebih baik.
Dalam tataran praktis di Indonesia, tentu saja sangat bergantung dari senter mana dan siapa operatornya. Jumlah dan ragam prosedur menetukan angka komplikasi dan luaran fungsional. Pertanyaan bagi neurointervensionis, berapa prosedur Coiling yang anda lakukan dalam sebulan ? Bagi neurovascular surgeon, berapa tindakan Clipping yang anda lakukan dalam sebulan ? jika jumlah dan ragam prosedur cukup adekuat, maka deskripsi studi diatas setidaknya dapat diadopsi sebagai panduan dalam praktis klinis keseharian.
No comments:
Post a Comment