Sebagai neurolog, bahkan sebelum pandemi datang, berapa banyak diantara kita yang masih melakukan pemeriksaan fisik secara rutin dengan lege artis ? Lebih-lebih, di era BPJS dengan jumlah pasien menumpuk, baik di poliklinik maupun ruangan. Bagaimana pula dengan masa pandemi dan makin populernya telemedicine. Mungkinkan pemeriksaan fisik neurologis ditinggalkan, atau adakah telemedicine benar-benar bisa diterapkan dalam neurologi, sebagaimana bidang yang lain ?
Pada bagian awal De Jong’s, buku induk pemeriksaan fisik neurologis, diungkapkan “ in no other branch of medicine is it possible to build up a clinical picture so exact- with regard to localization an pathologic anatomy- as it is in neurologi.” Dalam banyak hal, dokter di seluruh dunia juga setuju dengan pernyataan bahwa “ no other branch of medicine lends itself so well to the correlation of signs and symptoms with disease structure as neurology does.” Kedua pernyataan ini, sejalan dengan apa yang ditekankan saat residensi, yaitu pemeriksaan fisik harus menjadi yang pertama dan utama dikuasai, bersamaan dengan pengetahuan neuroanatomi funsional.
Pemeriksaan fisik neurologi, kata De Jong’s, diperlukan skill, intelegence, and patience. Juga diperlukan trained observation. Pada sebagian besar kasus, diperlukan bantuan dan sikap kooperatif dari pasien. Pemeriksaan harus dilakukan dengan urutan yang benar, waktu yang adekuat, dan perhatian yang cukup, pada setiap tahap pemeriksaan. Pada akhirnya, setiap neurolog akan mendapat metode cepat, berdasarkan pengalaman dan jam terbang mereka masing-masing.
Melihat demikian pentingnya peran pemeriksaan neurologi, maka kembali pada pertanyaan semula, mungkinkah diagnosis neurologi ditegakkan tanpa pemeriksaan fisik ?
Debat soal ini, sesungguhnya sudah hangat beberapa tahun lalu. Adalah Prof. Hawkes, Queen Mary University, London, pada 2009, menulis sebuah artikel di Practical Neurology, dengan judul yang cukup provokatif “I’ve stopped examining patients!” Beliau mengungkapkan berdasarkan pengalamannya, bahwa tidak semua pasien neurologi memerlukan pemeriksaan fisik. Pasien dengan diagnose sleep disorders tidak memerlukan pemeriksaan fisik. Sebagian besar kasus headache, seizure, syncope dan TIA, tidak memerlukan pemeriksaan fisik. Kemudian beliau mengungkapkan “ most of the test we now have available are infinitely superior to physical examination in diagnosing or excluding disease.” Artikel ini mendapat tanggapan yang sangat banyak, bahkan tanggapan terbanyak dibandingkan artikel yang lain, karena dianggap “menusuk” jantung neurologi.
Berikutnya, di jurnal yang sama, Prof. Charles Warlow, menulis sebuah artikel “ why I have not stopped examining patients.”Beliau membenarkan beberapa pernyataan Prof. Hawkes, misalnya, dalam beberapa kasus penyakit, kita yakin tidak menemukan tanda apapun, bahkan walaupun pemeriksaan fisik kita lakukan dengan seksama dan berkali-kali.
Warlow memberikan sepuluh alasan mengapa pemeriksaan fisik neurologis masih diperlukan. Beliau mengakui, peran utama pemeriksaan fisik berkurang sejak berkembang pesatnya pemeriksaan penunjang, seperti MRI dan CT scan. Namun, hal itu tidak mengurangi pentingnya pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan fisik dibutuhkan dan memberikan informasi “apakah” diperlukan pemeriksaan penunjang. Jika diperlukan, jenis pemeriksaan penunjang yang mana. Hal yang lebih menantang lagi, saat pemeriksaan fisik pada pasien abnormal sedangkan semua pemeriksaan penunjang ditemukan “normal.”
Alasan terakhir yang diungkapkan Warlow, setelah sembilan alasan penting lain, adalah soal ritual. Efek tersebut berupa rasa tenang yang didapatkan pasien, dan simbol bahwa dokter benar-benar memperhatikan pasien dan semua keluhannya.
Akhirnya, De Jong’s mengungkapkan, “ pemeriksaan fisik neurologis tak bisa dihilangkan,” yang diperlukan dimasa mendatang adalah -more precise and more directed neurological examination. Neurodiagnostik adalah pelengkap diagnosis klinis, dan bukan menggantikannya.
No comments:
Post a Comment