Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Tuesday, 24 December 2013

Renungan akhir tahun 2013 : “Menggugat” niat dokter....”Menggugat” diri sendiri......

Ketika seorang dokter berniat untuk belajar, katakanlah menjadi fellow neurointervensi, maka yang pertama kali harus dia lakukan adalah “menggugat” niat-nya sendiri. Jiwa mana yang akan dia bawa untuk berangkat fellow ? Jiwa yang mencintai ilmu kedokteran, jiwa yang mengakui kekurangan dan merindukan tercapainya tatalaksana optimal untuk penderita , ataukah jiwa menggebu yang hendak “memperalat” ilmu demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan ? Ataukah sekedar memperpanjang gelar yang kita sandang ? atau bahkan untuk tujuan yang sangat profan, meningkatkan taraf hidup yang sebenarnya secara mendasar sudah terpenuhi ?

Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan bagi sejawat yang sedang mengambil spesialisasi, sejawat yg akan menempuh S3, dan sejawat yang berkeinginan menjadi Guru Besar, bahkan dapat ditanyakan kepada semua insan “penuntut” ilmu.

Niat memiliki implikasi yang luar biasa. Semua aktivitas seorang dokter dan ilmuwan sangat dipengaruhi oleh niat dan motif  yang ada dalam dirinya. Ketika seorang dokter dan ilmuwan memiliki kecenderungan praktek di luar standar medis, maka sudah waktunya dia dan kita melakukan kritik serta otokritik dan menanyakan kembali niat dibalik aktivitas praktek di luar standar tersebut. 

Suatu prosedur apapun, tindakan bedah, neurointervensi atau tatalaksana medis dapat dirunut kembali niat dan motif-nya. Menilai aktifitas dapat dimulai dari awal mula seorang dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan diagnostik, misalnya meminta MRI kepala atau serebral DSA, melakukan tatalaksana medis atau sampai pada prosedur operatif Bedah Saraf yang sifatnya invasif. Benarkah pasien memerlukan pemeriksaan dan tindakan tersebut ?

Biarlah kemudian kita melakukan otokritik, adakah aktivitas tersebut benar menguntungkan pasien atau menguntungkan dokter, atau menguntungkan keduanya ? pernahkan kita melakukan suatu aktivitas medis yang sebenarnya tidak memiliki nilai manfaat bagi pasien namun semata-mata memiliki manfaat bagi diri kita sendiri ? 

Akhir tahun ini menjadi momen yang pantas bagi kita untuk melakukan otokritik setelah dunia kedokteran Indonesia baru saja babak belur akibat masalah hukum dan polemik yang tidak berkesudahan. Otokritik akan dapat menyegarkan kembali jiwa kita sebagai dokter, yang sebenarnya hanyalah seorang hamba, yang tugasnya mengabdi pada Allah dan berkhidmat bagi umat manusia.


“Maksud agung” dari suatu prosedur medis adalah memberikan tatalaksana optimal dan paripurna untuk semata-mata meringankan beban penderita, baik berupa kuratif maupun paliatif. Oleh karenanya, jika direncanakan suatu prosedur medis (yang mengatasnamakan membantu penderita) dan kenyataannya bukan meringankan namun membebani pasien dan keluarganya, maka sesungguhnya rencana prosedur tersebut telah menyalahi “Maksud agung” sebenarnya. 

Wednesday, 13 November 2013

Janganlah Terlalu Agresif..........

درؤ المفاسد مقدم على جلب المصالح
 “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih”
 Menghindari Kerusakan itu harus diutamakan dibanding mendatangkan Kebaikan
 

Kesimpulan apakah kira-kira yang bisa diambil dari tiga hasil riset neurointervensi terbaru ? Riset tersebut adalah SAMMPRIS, IMS 3 dan ARUBA. Ketiga studi ini membandingkan tindakan neurointervensi (invasif) dan terapi medikamentosa (non invasif). Hasilnya, secara umum dikatakan terapi non-invasif memiliki keluaran lebih baik, yang berarti tindakan neurointervensi lebih inferior.

SAMMPRIS membandingkan prosedur intracranial stenting versus best medical management pada intracranial stenosis.

IMS 3 membandingkan tindakan endovaskuler pada stroke infark akut dengan segala modalitas (IA trombolisis, trombectomy) dibandingkan IV trombolisis.

ARUBA membandingkan tindakan bedah, endovaskuler, radiosurgery pada pasien dengan AVM intracranial dibandingkan terapi konservatif.
 
Meski banyak hal yang perlu diperdebatkan terhadap ketiga hasil riset ini, kesimpulan umumnya adalah bahwa janganlah terlalu agresif. Tindakan intervensi akan memberikan manfaat hanya pada kasus-kasus spesifik, dan tidak pada semua kasus. Apabila tindakan dan prosedur intervensi yang bersifat invasif tersebut ternyata memberikan keluaran yang kurang baik dibandingkan dengan tanpa dilakukan prosedur, maka tentu pilihannya adalah tidak melakukannya. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk kasus-kasus spesifik. Ambillah contoh pada ARUBA, angka morbiditas (stroke) dan mortalitas pasien dengan unrupture AVM dan tidak dilakukan intervensi adalah sekitar 10% dalam tiga tahun. Artinya, 10 diatara 100 orang yang dilakukan terapi konservatif akan mengalami stroke atau kematian. Apakah berarti terapi konservatif lebih baik ? tentu saja tidak dan masih jauh dari ideal. Ada AVM yang unrupture namun potensi rupturnya sangat besar, nah AVM yang demikianlah yang perlu dilakukan terapi agresif meskipun unruptur, misalnya AVM unrupture dengan intranidal aneurysm atau AVM dengan venous pouch yang besar.

Namun secara umum, dengan mengkesampingkan kasus-kasus spesifik, kaidah diatas dapat digunakan sebagai patokan. Dimana tujuan suatu prosedur adalah mendatangkan kebaikan bagi pasien, dan jika ternyata prosedur itu memiliki potensi komplikasi yang lebih besar, maka menghindari prosedur tersebut agar tidak menimbulkan komplikasi lebih dianjurkan dibanding tetap melakukan prosedur dengan tujuan memperbaiki kondisi pasien. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan secara praktis pada pemberian IV rTPA, dimana terdapat kriteria eksklusi. Pasien yang masuk kriteria eksklusi memiliki potensi perdarahan yang besar, maka mengingat potensi perdarahan tersebut, IV rTPA tidak diberikan, meskipun mungkin juga apabila diberikan berpotensi memberikan manfaat.

Kedepan, barangkali perlu dibuat formula berupa kaidah-kaidah neurointervensi, kaidah tersebut merupakan kaidah singkat dan dapat dipakai secara praktis untuk tatalaksana pasien sehari-hari.

Kutipan kaidah diatas sebenarnya merupakan kaidah ushul fiqh. Ushul fiqh merupakan ilmu hukum islam, didalamnya terdapat kaidah-kaidah pengambilan hukum (ijtihad) yang telah disusun dan di formulasikan secara sederhana namun memiliki makna dan cakupan yang luas. Kaidah-kaidah ushul fiqh sangat berguna dan memiliki manfaat praktis sebagai panduan dalam menyikapi masalah-masalah kehidupan keseharian.


Wednesday, 28 August 2013

Kultur Hibrida : Dua Pendekar Neurointervensi

Siapakah Pendekar Neurointervensi terkemuka di dunia ? mungkin ada banyak pendapat, dan akan menyisakan banyak perdebatan. Namun, setidaknya ada dua nama yang patut di catat. Keduanya memiliki kontribusi besar bagi Neurointervensi. Keduanya lahir dari kultur hibrida.

Hibrida merupakan hasil dari dua buah persilangan yang menghasilkan sesuatu yang unggul. Kultur Hibrida dalam Neurointervensi memberikan pengertian bahwa ilmu ini dikembangkan dari dua latar belakang keilmuan yang berbeda dan menghasilkan ilmu atau pemahaman baru yang mencerahkan. 

Pierre Lasjaunias, merupakan pendekar neurointervensi yang menggabungkan dua keunggulan ini. Seorang anatomist murni yang juga pakar dalam interventional neuroradiology. Kepakarannya akan anatomi begitu “dahsyat,” sehingga mampu menjelaskan bagaimana evolusi dan embriologi vaskuler terjadi, bagaimana dampak terhadap perjalanan alamiah suatu penyakit. Semua neurointerventionist dunia berhutang pada Lasjaunias. Bukunya “Surgical Neuroangiography” dalam tiga volume merupakan masterpiece yang kontribusinya bagi neurointervensi tidak terbantahkan. Lihatlah, bagaimana kultur hibrida ini mampu “menciptakan” konsep, filosofi dan jika tidak berlebihan adalah suatu “ilmu” baru. Lasjaunias adalah pembaharu dalam Neurointervensi. Wafat pada tahun 2008, menjadikan neurointerventionis dunia benar-benar kehilangan sosok seorang guru, teman dan sejawat yang mengagumkan.

Adnan I. Qureshi, adalah nama pendekar berikutnya. Latar belakangnya sebagai seorang Neurolog membuat Qureshi memahami persis bagaimana kondisi klinis dan tatalaksana yang diperlukan oleh seorang pasien. Ketertarikannya akan Neuroimejing, membuat dia menjadi salah satu pioneer dalam bidang ini. Kontribusinya dan kepakarannya dalam Neuroimejing menempatkan Qureshi sebagai salah seorang Neurolog yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Neuroimejing, terutama di USA. Lihatlah Journal of Neuroimaging yang merupakan salah satu journal unggulan, telah begitu banyak kontribusi telah diberikan Qureshi untuk journal tersebut.

Ketertarikannya akan Neuroimejing mengantarkan Qureshi untuk menekuni Neurointervensi. Dan disinilah dia menemukan dunianya. Qureshi menemukan konsep dan klasifikasi baru dalam penanganan pasien-pasien stroke (Qureshi grading scale) dan juga klasifikasi baru untuk spinal vascular malformation. Dua bukunya yang saat ini dijadikan acuan oleh neurointerventionist adalah “Textbook of Interventional Neurology” dan “Atlas of Interventional Neurology.” Disamping sangat produktif menulis dalam berbagai journal, Qureshi juga mencetak banyak neurointerventionist baru. Journal Vascular and Interventional Neurology (JVIN) serta annual meeting International Congress of Interventional Neurology (ICINEURO) yang digagasnya merupakan kontribusi besarnya yang diberikan untuk Neurointerventionist dunia. 

Qureshi menggabungkan kemampuan klinisi, kepakaran neuroimaging dan keterampilan intervensi. Hal ini menjadikannya seorang Neurointervensionist terkemuka dan merupakan inspirasi bagi neurolog-neurolog muda yang tertarik dengan Neuroimaging dan Neurointervensi.

Akan kita tunggu pakar Neurointervensi dengan kultur Hibrida lainnya, yang diharapkan akan mampu menggambar dunia neurointervensi secara lebih berwarna. Terimakasih dan salam penghormatan patut diberikan pada dua Pendekar diatas atas semua kontribusinya pada ilmu pengetahuan dan umat manusia.

Tuesday, 13 August 2013

Nostalgia Prosedur Perdana

Bagi dokter muda ini, pagi itu bukan pagi biasanya. Pagi yang masih buta, 15 Maret 2012, dia harus bergegas memacu pedal mobilnya sedikit kencang. Hari itu adalah prosedur pertamanya sebagai seorang neurointervensionist yang telah tiga bulan berjuang menembus tebalnya “otoritas.”  Otoritas yang tampaknya hampir mustahil di urai. Namun, akhirnya otoritas itu lumer dengan diplomasi dan keteguhan hati.

Pagi buta yang sama dua bulan sebelumnya, dia harus meyakinkan banyak pihak didepan forum bahwa dia memiliki kompetensi. Dari forum pertama ini, mengalirlah forum-forum berikutnya, forum yang terkadang disertai dengan “kernyitan kening” orang-orang yang menghadirinya.

Kompetensi kala itu menjadi kata-kata suci. Pertanyaan siapakah yang kompeten ? atau apakah Anda kompeten ? merupakan pertanyaan pamungkas yang harus di jawab secara tuntas. Menjadi tidak begitu penting sertifikat fellow yang didapatnya selama setahun dari senter Neurointervensi terkemuka diluar negeri yang ada ditangannya, dan seolah menjadi tidak penting juga bahwa prosedur ini dapat dilakukan oleh siapa saja di luar negeri oleh lintas profesi.

‘Ala kulli haal, persyaratan “birokratis “  telah terpenuhi. Kini saatnya menunjukkan bahwa kompetensi itu bukan hanya goresan diatas secarik kertas yang tak bermakna, tetapi sertifikat kompetensi tersebut didapat dengan kesungguhan, deraian keringat dan do’a dalam setahun hari-harinya.

Dengan baju kamar operasi yang masih melekat di tubuhnya, dengan kepala tertunduk, dia bersyukur prosedur diagnostik pertamanya sukses. Dia sepenuhnya menyadari bahwa prosedur pertama merupakan pijakan utama untuk prosedur-prosedur berikutnya. Wajah wanita tua diatas meja cathlab masih tergambar dibenaknya hingga saat ini. Seorang wanita dengan SAH, dia temukan aneurysma pada P.com kiri, dan kemudian sukses diterapi beberapa hari setelahnya. 

Short Message Service (SMS) segera dikirimnya, menyampaikan terimakasih pada sang guru atas segala bimbingan yang selama ini didapatnya. Sang guru membalasnya dengan salam dan do’a keberkahan.

Kini, saat begitu banyak prosedur telah ia kerjakan, rasa syukur itu semakin bertambah, karena bukan hanya dirinya, namun sejawat seprofesi lainnya juga dengan cara dan jalan yang hampir serupa telah berhasil pula melakukan prosedur-prosedurnya. Kiranya inilah jawaban dari do’a yang senantiasa ia panjatkan dalam munajatnya. Do’a itu pun saat ini masih sering dibacanya diam-diam : “ Allahummanfa’na bimaa ‘allamtanaa, wa ‘allimna maa yanfaunaa, subhaanaka la ‘ilma lanaa illa maa ‘allamtana, innaka antal Al-‘Aliimul Hakiim......”

Tuesday, 6 August 2013

Dzikir Keselamatan Sang Neurointerventionist

Semakin tinggi jam terbang seorang Neurointerventionist, dia akan semakin menyadari bahwa ilmu-nya hanyalah setetes air di lautan. Ada “Tangan” lain selain tangan terampil-nya dalam setiap kesuksesan prosedur yang ia lakukan. Selalu ada kejutan diluar perkiraannya, ada “Kekuatan” lain dan  itu bukanlah berasal dari tangan-nya sendiri.

Misteri otak yang seolah bisa terkuak dengan modalitas imejing modern, ternyata hanyalah sebagian saja membantu sang Neurointerventionist dalam prosedur-prosedur yang tiap hari di jalaninya. Selalu saja ada “surprise” saat navigasi device neurointervensi memasuki lorong-lorong kecil pembuluh darah otak.

Dalam renung-nya, ada yang lebih penting dari pada kesuksesan suatu prosedur yaitu tidak terjadinya komplikasi pasca prosedur neurointervensi. Betapapun suksesnya suatu prosedur, betapapun sempurnanya hasil suatu tindakan, jika setelah prosedur terjadi komplikasi, seolah semuanya sia-sia.  Taruhlah suatu prosedur coiling aneurysma, dimana untuk suatu packing yang sempurna memerlukan waktu berjam-jam. Begitu packing telah menjadi sempurna, di ujung prosedur, microwire tanpa sengaja menembus aneurysma, maka terjadilah perforasi dan perdarahan kembali. Perdarahan yang lebih hebat dari perdarahan sebelumnya. Maka.....dimanakah keterampilan tangan sang Neurointerventionist ?

Dalam renung-nya, yang lebih penting dari mengobati penyakit pasien adalah tidak menimbulkan komplikasi selama proses pengobatan. Maka bagaimana sedapat mungkin menghindari prosedur yang semula dimaksudkan mengobati, malah menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas bagi pasien.

Di balik semua kesuksesan prosedur pasti ada AS-SALAM, Tuhan Maha Pemberi Keselamatan. Tidak satu detik prosedur-pun yang lepas dari pengawasan-Nya. Prosedur yang tampaknya sangat sulit, ternyata hanya membutuhkan waktu yang sama dengan prosedur diagnostik. Prosedur diagnostik yang tampaknya berlangsung singkat-pun bisa menjadi berjam-jam saat menemui variasi anatomis sulit.
Maka dzikir dan do’a yang kiranya paling sesuai untuk Neurointerventionist adalah dzikir keselamatan, dzikir yang senantiasa dikumandangkan setelah sholat. Memuji Sang Pemberi Keselamatan dan memohon kehidupan yang terselamatkan.

Dzikir yang tidak hanya dimaksudkan untuk memuji Dia Pemberi Keselamatan, namun juga merupakan ikrar akan kelemahan diri sendiri, dengan sepenuh hati menyadari, ilmu ini bukan ilmunya, namun ilmu Tuhan-Nya.

“ Allahumma anta As-Salam, waminka As-Salam, Wa ilaika ya’uddu As-Salam, fa hayyina Rabbana Bi As-Salam, wa adkhilna al-jannata dar As-Salam............”

Friday, 28 June 2013

Sleeping Tiger, Dont Woken Up.....!


Demikianlah kira-kira kesan pertama, saat membaca hasil riset ARUBA ( A Randomized Trial of Un Rupture Arteriovenous Malformation). Sebuah riset yang sangat ditunggu-tunggu oleh Neurointerventionist, Neurologist dan Neurosurgeon di seluruh dunia mengenai cerebral AVM yang unrupture, dimana manajemen penyakit ini  masih menjadi misteri di dunia kedokteran.

ARUBA membandingkan terapi intervensi vs terapi konservatif, dan trial ini dihentikan lebih awal  karena primary outcome (stroke & death) yang lebih jelek pada kelompok intervensi.
Penelitian ini dihentikan pada saat sampel yang terkumpul  223 dari 400 sampel yang direncanakan; 109 kelompok terapi konservatif dan 114 kelompok yang dilakukan intervensi. Intervensi yang dilakukan adalah embolisasi, eksisi neurosugikal, dan stereotactic radiosurgery, atau kombinasi dari tehnik-tehnik ini. Pasien tidak memiliki perbedaan karasteristik yang bermakna pada data baseline; sebagian besar memiliki grade Spetzler-Martin 1, 2, atau 3. Dan hanya sedikit grade 4, tidak satupun yang grade 5 (hazardous to treat).

Penelitian ini dihentikan pada april 2013 setelah dilakukan follow up selama 3 tahun. Berikut keterangan yang dukutip dari Medscape :

Jay P. Mohr, MD, Columbia University, New York, New York, reported that the primary outcome (death or stroke) had occurred in 11 patients in the conservative group (10%) vs 33 patients (29%) in the interventional group. The intention-to- treat analysis showed a significant reduction of the primary outcome in the conservative group, with a hazard ratio of 0.35 (95% confidence interval [CI], 0.19 - 0.65). The interventional group also had higher modified Rankin scale scores.
The per-protocol analysis showed an even larger difference between the 2 groups, with a hazard ratio of 0.20 (95% CI, 0.10 - 0.41).”

Memang penelitian ini menilai primary -outcome dalam jangka waktu 3 tahun, untuk outcome jangka panjang masih memerlukan studi lebih  lanjut untuk membandingkan diatara dua kelompok diatas.

Namun, paling tidak, penelitian ini dapat dijandikan panduan untuk klinisi dalam menetukan decision making pada kasus-kasus cerebral AVM yang unrupture.
Bagaimana dengan AVM yang rupture ? rerupture dilaporkan terjadi 18% pada tahun pertama, sedangkan resiko intervensi rata-rata adalah 6%. Maka, untuk rupture AVM, treatment dengan intervensi masih merupakan pilihan (lihat tabel ) :


Bagaimana menurut anda ? ...............

Wednesday, 13 February 2013

“Brain Wash” Pada Stroke dan Kelemahan Dasar Ilmiah

Semakin hangat saja topik  “Brain Wash” pada stroke. Namun, meski secara ilmiah memiliki argumen lemah, prosedur ini tetap saja banjir peminat, konon katanya bisa antre sampai berbulan-bulan dengan biaya yang tidak murah, sekitar 30 juta sekali prosedur.

Stroke merupakan beban, bukan hanya bagi pasien namun juga keluarga dan masyarakat (karena sebagian tidak lagi bisa produktif bekerja). Pasien stroke dengan disabilitas mungkin seperti pasien kanker, mereka seolah akan jatuh dan berada di tepi jurang yang dalam, dalam kondisi demikian, apapun diraih untuk pegangan (mengutip dr. Aryo Djatmiko, ahli bedah onkologi Surabaya). Mereka tidak bisa lagi membedakan mana batu cadas dan mana rumput ilalang. Pasien stroke yang datang untuk “Brain Wash” juga demikian.
Namun, alangkah naif-nya, jika dokter justru memilihkan “Rumput Ilalang” bagi pasien yang datang kepadanya. Bukannya memberikan pertolongan, justru menjerumuskan kedalam jurang yang lebih dalam. “Rumput Ilalang” tersebut berupa asumsi akan adanya probabilitas perbaikan pada pasien stroke, dengan bermain pada “natural recovery”.

Perlu difahami, konsep “natural recovery” merupakan sandaran untuk melakukan penelitian-penelitian ilmiah pada stroke. Ambillah contoh penelitian obat semacan NeuroAid pada pasien pasca stroke, atau obat antispastisitas pasca stroke semacam Baclofen atau Tizanidin. Peneliti menggunakan sample penelitian pada pasien > 6 bulan, beberapa referensi menyebutkan > 10 bulan. Karena pasien stroke dengan kejadian < 6 bulan dapat mengalami perbaikan yang sangat signifikan akibat perjalanan alamiahnya, terutama 3 bulan pertama. Sehingga pemberian pengobatan untuk tujuan penelitian, misalnya spastisitas pasca stroke, sulit dibandingkan adakah perbaikannya akibat pemberian obat, ataukah akibat “natural recovery”. Karena ternyata, pasien yang tidak mendapat obat-pun (kontrol) ternyata memiliki perbaikan yang sama.
Maka, dokter yang sehari-hari berkecimpung dalam perawatan stroke, akan menemukan banyak sekali pasien dengan perbaikan signifikan, bahkan tanpa disabilitas apapun, sembuh seperti sediakala dalam waktu < 6 bulan. 

Maka, jika memang “Brain Wash” dilakukan oleh dokter yang merupakan anggota dari masyarakat ilmiah, tentu harus punya tanggung jawab ilmiah. Lakukan penelitian pada pasien stroke, misalnya > 10 bulan, satu kelompok dilakukan “Brain Wash”, kelompok lain sebagai kontrol. Namun, sebelum itu dilakukan tentu harus memiliki dasar ilmiah dan metode yang bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah pula, adakah “ Brain Wash” layak dijadikan penelitian ilmiah dengan sampel manusia. Karena selama ini yang dimaksud “Brain Wash” adalah prosedur angiografi serebral dengan tujuan diagnostik, hanya karena menggunakan heparin saja “dianggap” memiliki efek terapeutik. Dan tampaknya dari tahap ini saja logika “Brain Wash” akan gugur.

Tentu, sebagai putra bangsa Indonesia, patut berbangga jika memang “Brain wash” ini metode baru, namun bisa kita lihat, prosedur ini telah dilakukan puluhan tahun oleh para neurointerventionist (Neurologist, Neurosurgeon, Radiologist), semuanya menggunkan heparin (karena memang sesuatu yang harus diberikan saat prosedur untuk mencegah terbentuknya trombus akibat tindakan), dan sekali lagi untuk diagnostik, bukan terapi. Dan tiba-tiba, prosedur ini di Indonesia menjelma dengan nama “Brain Wash”, “Brain Spa”, “Brain Tune-Up”, “DSA trombolitik” atau nama apapun yang sejenis. 

Dalam stroke dikenal konsep  “core” dan “penumbra”. Konsep Core dan Penumbra sangat jelas, dan ini difahami secara paripurna oleh para Radiolog dunia. “Core” menyatakan area iskemik pada otak yang tidak bisa lagi diselamatkan, sedangkan “Penumbra” adalah area hipoperfusi, area otak yang belum mati namun kekurangan aliran darah. “Core” dilihat pada jam-jam pertama dengan MRI-DWI, sedang “Penumbra” dilihat dengan MRI- Perfussion. Karena itu muncullah istilah Diffusion-Perfussion missmatch, perbedaaan volume antara bagian yang mati dan bagian yang terancam mati. Jika ternyata tidak ada perbedaan antara bagian yang mati dan bagian terancam mati, maka tidak ada gunanya dilakukan tindakan apapun untuk membuka kembali pembuluh darah yang tersumbat, misalnya dengan obat-obatan trombolitik, apalagi hanya dengan heparin yang merupakan antikoagulan. Karena itu sampai saat ini, tindakan trombolisis, bahkan intra-arterial tidak ada yang melebihi 24 jam. Pada pasien dengan “Brain wash” kapanpun kejadiannya bisa dilakukan. Kalau perlu bukan hanya satu kali, bolehlah diulangi sampai dua kali.

Bagi dokter yang berkecimpung dalam dunia Neurointervensi tentu mengenal istilah "FUTILE RECANALISATION", yaitu suatu rekanalisasi yang "sia-sia". Maksudnya, pada pasien dengan stroke dimana area penumbranya sudah habis ( tidaka ada lagi diffusion-perfussion missmathch ; tidak ada lagi area hipoperfusi, yang ada hanyalah area core), maka adanya rekanalisasi/terbukanya pembuluh darah secara angiografis tidak akan diikuti oleh perbaikan klinis. Artinya, pembuluh darah yang tersumbat memang terbuka, tapi karena area tersebut sel-selnya telah mati, terbukanya aliran darah tidak akan memberikan efek klinis bagi pasien.

Namun, tampaknya, argumen ilmiah apapun tidak dapat menghentikan prosedur ini, sampai-sampai ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Prof. DR. Hasan Machfoed,dr. Sp.S(K), merasa perlu ikut meluruskan praktek medis diluar standar ini dalam berbagai kesempatan, mulai dari tulisan di Jawa Pos, Kompasiana, dan pada sambutan pertemuan ilmiah nasional (PIN) tentang stroke di Semarang. Nah, kita tunggu saja episode berikutnya, apakah praktek ini terus dilanjutkan, dengan membiarkan pasien stroke yang sudah memiliki beban akan semakin terbebani dengan harapan-harapan semu, ataukah ada tindakan dari pemerintah untuk meluruskan hal ini. Meskipun pasien membayar mahal dengan uang-nya sendiri, namun tentu pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan klarifikasi dan evaluasi, agar masyarakat dapat terlindungi dari prosedur medik yang sebenarnya tidak diperlukan.

Sunday, 3 February 2013

Membincang aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage (aSAH) dan non-aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage (naSAH)

Sekitar 5% dari seluruh stroke merupakan stroke perdarahan akibat Subarachnoid Hemorrhage (SAH). SAH dapat diakibatkan oleh adanya aneurysma (aSAH) atau non-aneurysma (naSAH 15% dari seluruh SAH).  Non- aneurysma dapat dibagi lagi menjadi perimesenchephalic hemorrhage (PMH) dan non-perimesenchepalic hemorrhage (non PMH). Membedakan SAH akibat aneurysma ataukah bukan sangatlah penting, karena berhubungan dengan outcome dan strategi terapi.

Pada naSAH sumber perdarahannya tidak diketahui, diperkirakan berasal dari vena atau arteri-arteri kecil. Perdarahan yang disebabkan naSAH biasanya tidak begitu hebat dan memiliki sifat yang lebih “benign” dibandingkan aSAH.  Namun, karena gambaran klinis dan CT scan seringkali tumpang tindih antara keduanya, maka sangat penting mengidentifikasi tampilan klinis dan kuantifikasi jumlah perdarahan.

Saat CT scan telah menunjukkan SAH, maka segera diperlukan imejing vaskuler untuk memastikan apakah kausanya aneurysmal atau non-aneurysmal. Idealnya dilakukan 3D Digital Substraction Angiography (DSA) sebagai gold standard. Namun, jika diperlukan suatu modalitas imejing yang cepat dan non-invasive maka CT Angiografi merupakan pilihannya. CTA memiliki keterbatasan tidak sukup sensitif mendeteksi aneurysma dengan ukuran < 3mm dan dekat dengan tulang. Karena itu, apabila tidak ditemukan aneurysma pada gambaran CTA, setelah sekitar 7 hari diperlukan 3D DSA untuk konfirmasi ada tidaknya aneurysma. Disamping menunggu beberapa saat agar perdarahan terserap, DSA menggunakan kontras sebagaimana CTA.  Bagaimana dengan MRA ? sensitivitas MRA (1,5 tesla) masih dibawah sensitivitas CTA (64 slices) dalam mendeteksi aneurysma intracranial. Pada center Neurointervensi terkemuka yang available 24 jam, pasien dapat langsung dilakukan 3D DSA baik dengan anastesi lokal maupun general, kapanpun pasien datang, dan saat itu pula dapat diputuskan pilihan treatment jika diperlukan.

Presentasi klinis SAH memiliki korelasi dengan berapa banyak jumlah darah yang terlihat di CT Scan, ini ditunjukkan dalam sebuah studi (Tsermoulas G et.al, 2013; Clinical Neurology & Neurosurgery). Dengan menggunakan score Hijdra (telah dibahas pada tulisan terdahulu dalam blog ini ) dapat diidentifikasi korelasinya apakah aSAH atau naSAH. Total score Hijdra 42 (30 dihitung dari cisterna, 12 dari ventrikel). Pasien dengan aSAH memiliki score hijdra rata-rata 21 (range 2-41), sedangkan naSAH memilki rata-rata 8 (range 3-29). Pada pasien dengan koma (GCS 8) memiliki rata-rata 27 (range 9-41).

Mortalitas dalam studi tersebut (421 pasien; 359 aSAH; 62 naSAH) dilaporkan 13% pada aSAH dan 0% pada naSAH. Secara umum dapat dikatakan bahwa koma yang terjadi pada waktu awal dan prognosis yang buruk hanya terjadi pada aSAH dan tidak pada naSAH.

Saturday, 19 January 2013

Isu Terkini Neurointervensi/Bedah pada Stroke


Adanya studi-studi terbaru tentang stroke dan tindakan intervensi pada neurovaskuler sangat menarik untuk diikuti. Empat isu utama adalah stenosis carotis , stenosis intrakranial, aneurysma intrakranial dan AVM intrakranial. 

CAS (Carotid Artery Stenting) vs CEA (Carotid End Arterectomy)

Dalam studi CREST disebutkan bahwa CAS memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya periprosedural stroke, namun  pada CEA juga ditemukan bahwa resiko infark myocard yang lebih tinggi saat operasi dilakukan.
Bagaimana dengan kejadian restenosis > 70% atau oklusi ? CAS dikatakan memiliki tingkat restenosis lebih tinggi beberapa waktu setelah prosedur, namun setelah 2 tahun angka restenosis antara CAS (6%) dan CEA (6,3%) hampir sama. Faktor resiko yang berhubungan dengan tingginya angka restenosis pada keduanya adalah wanita, DM dan dislipidemia. Merokok memiliki kecenderungan restenosis lebih besar pada CEA tetapi tidak pada CAS. Bagaimana dengan usia tua ? pasien usia tua memiliki resiko periprocedural stroke pada CAS dan tidak pada CEA. Perbedaan cost antara CAS dan CEA tidak begitu signifikan menurut studi CREST. 

Stenosis Intrakranial

Tema ini menjadi kajian menarik dalam dua dekade terakhir. Namun, studi COSS dan SAMPPRISS menunjukkan baik by -pass maupun stenting intrakranial tidak lebih baik dari best medical management untuk stroke ipsilateral yang simtomatik dan total okklusi pada carotis. Kritik tajam terhadap dua studi ini banyak dilontarkan, namun demikian, dua prosedur ini menurun dengan signifikan setelah adanya studi-studi diatas. 

Coiling Vs Clipping pada Aneurysma Intracranial

Perdebatan tentang coiling atau clipping terus menghangat. Setelah ISAT dipublikasikan, dan menyatakan bahwa coiling lebih superior dari clipping, jumlah pasien yang dilakukan coiling meningkat pesat. Kemudian dilakukan konfirmasi terhadap hasil ISAT di Perancis dengan studi CLARITY, hasilnya yang menguatkan kesimpulan  ISAT. Kemudian dilakukan konfirmasi lagi oleh para Neurosurgeon dengan studi BRAT, hasilnya tidak berbeda dengan dua studi diatas. Dan tampaknya superioritas coiling atas clipping makin tak terbantahkan. Tentu saja dengan beberapa kasus dan kondisi tertentu sebagai pengecualian.

AVM Intrakranial

Dibandingkan dengan tiga isu diatas, AVM tetap merupakan area yang masih abu-abu, masih merupakan isu kontroversial, terutama yang berhubungan dengan manajemen (intervensi/bedah/konservatif). Kita masih menunggu studi ARUBA (A Randomized Trial of Unruptured Brain Arteriovenous Malformations) dengan alokasi sampel yang cukup besar.  Untuk AVM yang ruptur tentu harus dilakukan tindakan intervensi, apalagi secara angiografi menunjukkan adanya high risk AVM. Perjalanan alamiah rupture AVM menunjukkan bahwa angka rebleeding dalam 1 tahun pertama adalah 18%, dibanding unrupture AVM  dengan angka bleeding dalam tahun pertama sekitar 4%.

REFERENSI

Lanzio G, et.al, 2013. Advances in Stroke Vascular Neurosurgery. Stroke : 44;316-317

Chimowitz MI, Lynn MJ, Derdeyn CP, Turan TN, Fiorella D, Lane BF, et al; SAMMPRIS Trial Investigators. Stenting versus aggressive medical therapy for intracranial arterial stenosis. N Engl J Med. 2011;365:993–1003

Brott TG, Hobson RW 2nd, Howard G, Roubin GS, Clark WM, Brooks W, et al; CREST Investigators. Stenting versus endarterectomy for treatment of carotid-artery stenosis. N Engl J Med. 2010;363:11–23

Molyneux A, Kerr R, Stratton I, Sandercock P, Clarke M, Shrimpton J, et al; International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) Collaborative Group. International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) of neurosurgical clipping versus endovascular coiling in 2143 patients with ruptured intracranial aneurysms: a randomised trial. Lancet. 2002;360:1267–1274

McDougall CG, Spetzler RF, Zabramski JM, Partovi S, Hills NK, Nakaji P, et al. The Barrow Ruptured Aneurysm Trial. J Neurosurg. 2012;116:135–144

Amin-Hanjani S, Barker FG 2nd, Charbel FT, Connolly ES Jr, Morcos JJ, Thompson BG; Cerebrovascular Section of the American Association of Neurological Surgeons; Congress of Neurological Surgeons. Extracranial-intracranial bypass for stroke-is this the end of the line or a bump in the road? Neurosurgery. 2012;71:557–561.

Powers WJ, Clarke WR, Grubb RL Jr, Videen TO, Adams HP Jr, Derdeyn CP; COSS Investigators. Extracranial-intracranial bypass surgery for stroke prevention in hemodynamic cerebral ischemia: the Carotid Occlusion Surgery Study randomized trial. JAMA. 2011;306:1983–1992

Mohr JP, Moskowitz AJ, Parides M, Stapf C, Young WL. Hull down on the horizon: a Randomized trial of Unruptured Brain Arteriovenous malformations (ARUBA) Trial. Stroke. 2012;43:1744–1745