Semakin hangat saja topik “Brain Wash” pada stroke. Namun, meski secara ilmiah memiliki
argumen lemah, prosedur ini tetap saja banjir peminat, konon katanya bisa antre
sampai berbulan-bulan dengan biaya yang tidak murah, sekitar 30 juta sekali
prosedur.
Stroke merupakan beban, bukan hanya bagi pasien namun juga
keluarga dan masyarakat (karena sebagian tidak lagi bisa produktif bekerja). Pasien
stroke dengan disabilitas mungkin seperti pasien kanker, mereka seolah akan
jatuh dan berada di tepi jurang yang dalam, dalam kondisi demikian, apapun diraih
untuk pegangan (mengutip dr. Aryo Djatmiko, ahli bedah onkologi Surabaya).
Mereka tidak bisa lagi membedakan mana batu cadas dan mana rumput ilalang. Pasien
stroke yang datang untuk “Brain Wash” juga demikian.
Namun, alangkah naif-nya, jika dokter justru memilihkan “Rumput
Ilalang” bagi pasien yang datang kepadanya. Bukannya memberikan pertolongan,
justru menjerumuskan kedalam jurang yang lebih dalam. “Rumput Ilalang” tersebut
berupa asumsi akan adanya probabilitas perbaikan pada pasien stroke, dengan
bermain pada “natural recovery”.
Perlu difahami, konsep “natural recovery” merupakan sandaran
untuk melakukan penelitian-penelitian ilmiah pada stroke. Ambillah contoh
penelitian obat semacan NeuroAid pada pasien pasca stroke, atau obat
antispastisitas pasca stroke semacam Baclofen atau Tizanidin. Peneliti
menggunakan sample penelitian pada pasien > 6 bulan, beberapa referensi
menyebutkan > 10 bulan. Karena pasien stroke dengan kejadian < 6 bulan dapat mengalami
perbaikan yang sangat signifikan akibat perjalanan alamiahnya, terutama 3 bulan pertama. Sehingga pemberian pengobatan untuk tujuan penelitian, misalnya
spastisitas pasca stroke, sulit dibandingkan adakah perbaikannya akibat
pemberian obat, ataukah akibat “natural recovery”. Karena ternyata, pasien yang
tidak mendapat obat-pun (kontrol) ternyata memiliki perbaikan yang sama.
Maka, dokter yang sehari-hari berkecimpung dalam perawatan
stroke, akan menemukan banyak sekali pasien dengan perbaikan signifikan, bahkan
tanpa disabilitas apapun, sembuh seperti sediakala dalam waktu < 6 bulan.
Maka, jika memang “Brain Wash” dilakukan oleh dokter yang
merupakan anggota dari masyarakat ilmiah, tentu harus punya tanggung jawab
ilmiah. Lakukan penelitian pada pasien stroke, misalnya > 10 bulan, satu
kelompok dilakukan “Brain Wash”, kelompok lain sebagai kontrol. Namun, sebelum
itu dilakukan tentu harus memiliki dasar ilmiah dan metode yang bisa
dipertangungjawabkan secara ilmiah pula, adakah “ Brain Wash” layak dijadikan
penelitian ilmiah dengan sampel manusia. Karena selama ini yang dimaksud “Brain
Wash” adalah prosedur angiografi serebral dengan tujuan diagnostik, hanya
karena menggunakan heparin saja “dianggap” memiliki efek terapeutik. Dan
tampaknya dari tahap ini saja logika “Brain Wash” akan gugur.
Tentu, sebagai putra bangsa Indonesia, patut berbangga jika
memang “Brain wash” ini metode baru, namun bisa kita lihat, prosedur ini telah
dilakukan puluhan tahun oleh para neurointerventionist (Neurologist,
Neurosurgeon, Radiologist), semuanya menggunkan heparin (karena memang sesuatu
yang harus diberikan saat prosedur untuk mencegah terbentuknya trombus akibat
tindakan), dan sekali lagi untuk diagnostik, bukan terapi. Dan tiba-tiba, prosedur ini di Indonesia menjelma dengan
nama “Brain Wash”, “Brain Spa”, “Brain Tune-Up”, “DSA trombolitik” atau nama
apapun yang sejenis.
Dalam stroke dikenal konsep “core” dan “penumbra”. Konsep Core dan Penumbra
sangat jelas, dan ini difahami secara paripurna oleh para Radiolog dunia. “Core”
menyatakan area iskemik pada otak yang tidak bisa lagi diselamatkan, sedangkan “Penumbra”
adalah area hipoperfusi, area otak yang belum mati namun kekurangan aliran
darah. “Core” dilihat pada jam-jam pertama dengan MRI-DWI, sedang “Penumbra”
dilihat dengan MRI- Perfussion. Karena itu muncullah istilah Diffusion-Perfussion
missmatch, perbedaaan volume antara bagian yang mati dan bagian yang
terancam mati. Jika ternyata tidak ada perbedaan antara bagian yang mati dan
bagian terancam mati, maka tidak ada gunanya dilakukan tindakan apapun untuk
membuka kembali pembuluh darah yang tersumbat, misalnya dengan obat-obatan
trombolitik, apalagi hanya dengan heparin yang merupakan antikoagulan. Karena
itu sampai saat ini, tindakan trombolisis, bahkan intra-arterial tidak ada yang
melebihi 24 jam. Pada pasien dengan “Brain wash” kapanpun kejadiannya bisa
dilakukan. Kalau perlu bukan hanya satu kali, bolehlah diulangi sampai dua
kali.
Bagi dokter yang berkecimpung dalam dunia Neurointervensi tentu mengenal istilah "FUTILE RECANALISATION", yaitu suatu rekanalisasi yang "sia-sia". Maksudnya, pada pasien dengan stroke dimana area penumbranya sudah habis ( tidaka ada lagi diffusion-perfussion missmathch ; tidak ada lagi area hipoperfusi, yang ada hanyalah area core), maka adanya rekanalisasi/terbukanya pembuluh darah secara angiografis tidak akan diikuti oleh perbaikan klinis. Artinya, pembuluh darah yang tersumbat memang terbuka, tapi karena area tersebut sel-selnya telah mati, terbukanya aliran darah tidak akan memberikan efek klinis bagi pasien.
Namun, tampaknya, argumen ilmiah apapun tidak dapat
menghentikan prosedur ini, sampai-sampai ketua Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI), Prof. DR. Hasan Machfoed,dr. Sp.S(K), merasa perlu ikut
meluruskan praktek medis diluar standar ini dalam berbagai kesempatan, mulai
dari tulisan di Jawa Pos, Kompasiana, dan pada sambutan pertemuan ilmiah
nasional (PIN) tentang stroke di Semarang. Nah, kita tunggu saja episode berikutnya,
apakah praktek ini terus dilanjutkan, dengan membiarkan pasien stroke yang
sudah memiliki beban akan semakin terbebani dengan harapan-harapan semu,
ataukah ada tindakan dari pemerintah untuk meluruskan hal ini. Meskipun pasien
membayar mahal dengan uang-nya sendiri, namun tentu pemerintah memiliki
kewajiban untuk melakukan klarifikasi dan evaluasi, agar masyarakat dapat
terlindungi dari prosedur medik yang sebenarnya tidak diperlukan.