Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Tuesday, 13 August 2013

Nostalgia Prosedur Perdana

Bagi dokter muda ini, pagi itu bukan pagi biasanya. Pagi yang masih buta, 15 Maret 2012, dia harus bergegas memacu pedal mobilnya sedikit kencang. Hari itu adalah prosedur pertamanya sebagai seorang neurointervensionist yang telah tiga bulan berjuang menembus tebalnya “otoritas.”  Otoritas yang tampaknya hampir mustahil di urai. Namun, akhirnya otoritas itu lumer dengan diplomasi dan keteguhan hati.

Pagi buta yang sama dua bulan sebelumnya, dia harus meyakinkan banyak pihak didepan forum bahwa dia memiliki kompetensi. Dari forum pertama ini, mengalirlah forum-forum berikutnya, forum yang terkadang disertai dengan “kernyitan kening” orang-orang yang menghadirinya.

Kompetensi kala itu menjadi kata-kata suci. Pertanyaan siapakah yang kompeten ? atau apakah Anda kompeten ? merupakan pertanyaan pamungkas yang harus di jawab secara tuntas. Menjadi tidak begitu penting sertifikat fellow yang didapatnya selama setahun dari senter Neurointervensi terkemuka diluar negeri yang ada ditangannya, dan seolah menjadi tidak penting juga bahwa prosedur ini dapat dilakukan oleh siapa saja di luar negeri oleh lintas profesi.

‘Ala kulli haal, persyaratan “birokratis “  telah terpenuhi. Kini saatnya menunjukkan bahwa kompetensi itu bukan hanya goresan diatas secarik kertas yang tak bermakna, tetapi sertifikat kompetensi tersebut didapat dengan kesungguhan, deraian keringat dan do’a dalam setahun hari-harinya.

Dengan baju kamar operasi yang masih melekat di tubuhnya, dengan kepala tertunduk, dia bersyukur prosedur diagnostik pertamanya sukses. Dia sepenuhnya menyadari bahwa prosedur pertama merupakan pijakan utama untuk prosedur-prosedur berikutnya. Wajah wanita tua diatas meja cathlab masih tergambar dibenaknya hingga saat ini. Seorang wanita dengan SAH, dia temukan aneurysma pada P.com kiri, dan kemudian sukses diterapi beberapa hari setelahnya. 

Short Message Service (SMS) segera dikirimnya, menyampaikan terimakasih pada sang guru atas segala bimbingan yang selama ini didapatnya. Sang guru membalasnya dengan salam dan do’a keberkahan.

Kini, saat begitu banyak prosedur telah ia kerjakan, rasa syukur itu semakin bertambah, karena bukan hanya dirinya, namun sejawat seprofesi lainnya juga dengan cara dan jalan yang hampir serupa telah berhasil pula melakukan prosedur-prosedurnya. Kiranya inilah jawaban dari do’a yang senantiasa ia panjatkan dalam munajatnya. Do’a itu pun saat ini masih sering dibacanya diam-diam : “ Allahummanfa’na bimaa ‘allamtanaa, wa ‘allimna maa yanfaunaa, subhaanaka la ‘ilma lanaa illa maa ‘allamtana, innaka antal Al-‘Aliimul Hakiim......”

No comments:

Post a Comment