Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Thursday, 5 June 2025

Javel Paris, Bus 30


Taksi meluncur dari Hopital Foch menuju Hotel Mercure di Javel. Sekarang masih tengah hari, jam 16.00. Awal Juni 2025, Ashar di paris pukul 18.05, Magrib pada 21.51. Siang begitu panjang. Tak banyak lagi waktu tersisa. Ini adalah hari terakhir, hari ke-5 mengais hikmah di jantung neurointervensi. 

Hari ini, sehari sebelum Iedul Adha. Tak tampak hewan-hewan qurban di tepi jalan sebagaimana di Tanah Air. Tak terasa denyut nadi dan aroma Padang Arafah. Satu-satunya masjid terdekat hanya buka 15 menit sebelum sholat maktubah. Namanya Mosquee Errahma. 

Apa yang membuncah di nurani saat hari raya? Tentu saja keluarga. Waktu tersisa sangat pendek. Tak ada tempat belanja souvenir di sekitar Mercure. Meskipun Eiffel Tower terlihat, cukup 18 menit berjalan menuju ke sana, namun tak sedekat yang terlihat. 

Seberang jalan, serong ke kiri, ada Bus Station. Bus 30 menuju Pigalle, melewati halte tour Eiffel. Berbekal 2.5 Euro, bayar langsung pada Pak Sopir. Tarif bus naik setelah olimpiade Paris, sebelumnya hanya 2 Euro. 

Tiba di kaki Eiffel, angin kencang, titik-titik air menghempas wajah, tak peduli, pengunjung masih ramai berlalu-lalang. Menyapu pandangan ke sekitar, tak ada souvenir di sekitar Eiffel. Hanya beberapa pemuda berkulit legam menggelar kain, dengan Eiffel kecil. Akhirnya, di tepi sungai Seine yang legendaris ada toko souvenir, di tepi boat yang menawarkan tour melintasi kota. Tampaknya tidak banyak yang ditawarkan. Maka harus kembali ke Bir-Hakeim, halte bis sebelumnya, lebih banyak pilihan di sana. Bus 30, menuju Hopital Europeen G. Pompidou. Dipersilahkan naik tanpa karcis, karena tiket habis dan driver menolak menerima cash. 

Bus 30 tidak sekedar mengantar dari halte ke halte, ia mengantar hati ke tepian rindu. Imajinasi hari raya di tanah air tak terhapuskan. Sejauh apapun kau pergi, pulang adalah tujuan. Sepanjang apapun manusia hidup di dunia, kalau kekasih adalah Dia, hanya ada rasa bahagia kembali kepadaNya.

Paris masih sama dengan yang dulu, 2007 dan 2015. Hati yang tak sama. Setelah sholat subuh, hanya takbir lirih di sudut kamar hotel. Membayangkan Arafah, membayangkan Ibrahim AS yang pergi jauh dari kampung halamannya, untuk kemudian menjadi Bapak para Nabi. 

Takbir lirih saja, berulang-ulang, menjadi palipur lara. Allahu Akbar, Walillahilhamdu ….. (Paris, 10 Dzulhijjah 1446 H).

Saturday, 17 May 2025

Anak Tangga Neurointervensi

Menjadi seseorang neurointervensionis (Nevi) yang matang bukan proses instan. Proses ini memiliki titik awal dan titik puncak. Bagi yang tidak melewati yang awal, tidak akan pernah sampai ke puncak. 

Ada empat anak tangga yang perlu di pijak, agar menjadi Nevi paripurna. Sebut dengan P4. Pendidikan (education), Paparan (exposure), Pengalaman (experience) dan Perenungan (Reflextion). 

Program fellowship yang baik dan terstruktur sudah memberikan dua hal pertama (Pendidikan & Paparan), dan memberikan hal ketiga secara parsial (Pengalaman). Alumni fellow neurointervensi selama minimal setahun hanya mendapat maksimal 50% dari proses. Dalam teori belajar, pendidikan dan paparan hanya berkontribusi 10% dan 20%. Pada saat kembali ke Rumah Sakit masing-masing, kemudian melakukan prosedur, pengalaman akan terus bertambah. Tahap ketiga ini apabila diasah, semakin lama semakin tajam. Tahap ini memerlukan kontinyuitas prosedur, jumlah kasus yang banyak dan beragam. Nevi di tahap ini tak pernah  berhenti menyerap ilmu dan mengaplikasikan tehnik baru.”Memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.”

Bagian akhir untuk menjadi Nevi paripurna adalah Perenungan (Reflexion). Pada tahap ini, setiap kasus yang dihadapi tidak hanya dilihat secara tekstual tetapi kontekstual. Nevi pada tahap ini melihat bukan hanya pada fakta, namun juga substansi. Bukan hanya menyimpulkan dari sebagian namun menyimpulkan dari banyak sudut pandang. Refleksi terkristalisasi dalam bentuk analisa, tulisan dan publikasi. Bukan publikasi biasa, namun tentang konsep dan gagasan baru. Publikasi dengan novelty yang memberikan makna baru pada keilmuan neurointervensi. 

Pada tahap refleksi seorang Nevi akan memandang bahwa “Satu komplikasi prosedur yang membuat sadar diri jauh lebih bermakna dibanding keberhasilan ratusan prosedur yang membuat tinggi hati." Guru-guru kita yang mulia, legenda neurointervensi dunia, telah berada pada tahap ini.

Thursday, 3 April 2025

Brain AVM: TATAM, TOBAS dan Pertanyaan Tak Terjawab

Bagi pemerhati Brain AVM (BAVM), tidak ada yang lebih ditunggu, selain kesimpulan suatu studi. Namun, sekali lagi, sampai April 2025, tidak ada satu studi pun yang cukup representatif dan meyakinkan, terutama berkaitan dengan embolisasi BAVM. 

TATAM (Transvenous Approach for the Treatment of Cerebral Arteriovenous Malformations), sebuah studi yang membandingkan embolisasi melalui transvenous (TVE) dan transarterial (TAE). Baru saja dipublikasikan di Stroke, 2025. Kesimpulannya, TVE lebih efektif dari TAE dalam hasil evaluasi angiografi 3 sampai 6 bulan. Morbiditas kedua modalitas ini sama-sama tinggi. Kesimpulan yang sungguh menimbulkan tanda tanya besar.
 
Kesimpulan adalah usaha untuk menjawab hipotesis pada studi ini, yaitu bahwa TVE (+/- TAE) akan meningkatkan complete angiographic occlusion rate sebesar 40% sampai 80%. Hipotesis yang disampaikan pada studi ini seharusnya dibuat dengan lebih hati-hati. Karena saat berusaha memaksa untuk mencapai complete occlusion, risiko komplikasi sudah didepan mata.
 
TATAM mensyaratkan operator yang mengikuti penelitian ini adalah operator yang telah melakukan TVE >20 kali, dan jika operator melakukannya < 20 kali, maka akan dilakukan pendampingan untuk 5 kasus pertama. Senter dimana operator bekerja telah melakukan > 100 prosedur terapi intervensi dalam setahun. Tidak ada persyaratan yang menyebutkan berapa banyak BAVM yang telah ditangani oleh operator dan bagaimana hasilnya. BAVM tidaklah sama dengan kelainan neurovaskuler yang lain, ia memerlukan pemahaman detail dan jam terbang prosedur yang tinggi. Apabila operator tidak ahli dalam TAE maka dapat dipastikan akan mengakibatkan banyak komplikasi saat TVE.
 
Berkaitan dengan tingginya morbiditas, bagaimanakah sesungguhnya seleksi pasien dilakukan? TATAM memilih pasien berdasarkan ukuran nidus AVM < 3 cm, prediksi curative embolisasi dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap. Tidak disebutkan tipe AVM secara topografi (sulcal, gyral, mixed type, deep dan sebagainya). Padahal Anton Valavanis sudah menjelaskan bahwa tipe sulcal dan gyral saja memiliki angka complete occlusion yang berbeda (sulcal 60% dan gyral 12.5%). Complete occlusionpada studi ini adalah TVE 83% dan TAE 59%, namun dengan angka komplikasi serius sebesar 34% vs 41%. Definisi komplikasi serius pada studi ini adalah prolonged hospitalizationrequired hospitalization, or any life-threatening event berkaitan dengan AVM atau AVM treatment. Angka kematian 3%  (1/35) pada TVE vs 9% (3/34) pasien pada TAE. Maka, bandingkanlah dengan laporan dari Zurich yang semua adalah TAE pada 644 pasien. Angka mortalitas dan morbiditas masing-masing 1.3% (Valavanis A et.al, 2004). 
 
Studi TOBAS (The Treatment of Brain AVMs Study, 2023), dapat menjadi pembanding yang lain. TOBAS menggunakan TAE, namun juga memiliki komplikasi serius sebesar 26%, dan sebagian besar adalah akibat perdarahan. TATAM dan TOBAS menggunakan EVOH hampir pada sebagian besar prosedurnya, sedangkan Valavanis menggunakan Glue. 
 
Dengan demikian, tampaknya, BAVM bukan merupakan penyakit neurovaskuler yang mudah untuk dijadikan subyek studi. Tipe, lokasi, angioasitektur BAVM memerlukan pemahaman detail dan persiapan preprosedur yang optimal. Terapi BAVM memerlukan kepakaran.  Studi yang dilakukan oleh satu senter seperti Zurich, tampaknya sulit di duplikasi oleh senter lain. Studi multisenter memerlukan protocol, tehnik dan kualitas operator yang sebanding. Tidak sekedar menutup nidus, karena akhirnya menyebabkan  komplikasi. Studi yang tidak didesain dengan baik, akan merusak konsep embolisasi BAVM. Terapi BAVM dengan filosofi Zurich oleh Valavanis terlihat lebih efektif  dengan komplikasi minimal dabanding TOBAS dan TATAM. Bagaimanan menurut anda?

Tuesday, 11 February 2025

Stroke Medium Vessel Occlusion: Tentang Batas, Sudahkah Tegas?

Dua terapi stroke hiperakut, trombolisis (IVT) dan trombektomi (EVT), bagai peluru yang meluncur tak terbendung. Makin kebelakang, keduanya memiliki efektivitas yang makin tak terbantahkan.  IVT untuk oklusi pembuluh darah kecil, dan IVT plus EVT untuk pembuluh darah besar.

 

EVT yang pada 2015 direkomendasikan untuk <6 jam, kemudian berlari jauh sampai <24 jam. EVT yang semula tidak pada semua volume infark, pada 2023 menunjukkan manfaat bahkan pada Large Infarct Core (ASPECT >2 dan <6). Studi dan bukti seolah tak berhenti. Banyak laporan kasus tentang manfaat EVT pada Medium Vessel Occlusion (MeVO), maka seolah-olah MeVO merupakan kandidat EVT berikutnya. Dalam ketiadaan studi yang meyakinkan, sebagian merekomendasikan EVT dilakukan pada MeVO yang terjadi pada hemisfer dominan, karena disabilitas yang signifikan.

 

Masih panas, pada 5 Februari 2025, dua studi dipublikasikan di NEJM, yaitu DISTAL dan ESCAPE-MeVO. Kedua studi ini menunjukkan bahwa trombektomi pada MeVO ternyata tidak lebih efektif lebih dibanding medical management. Lebih dari itu, angka kematian pada trombektomi pada MeVO tenyata lebih besar (pada ESCAPE-MeVO; 13.3% vs 8.4%; hazard ratio 1.82). Hasil studi yang mengejutkan bagi Neurointervensionis.

 

Apakah ini berarti tidak ada tempat lagi untuk tindakan EVT pada MeVO? Apakah batasan terapi sudah tegas? 

 

Berkaca pada fenomena sebelumnya, studi EVT pada LVO mulanya menunjukkan hasil negatif. Kemudian, dengan analisa kritis, dengan indikasi yang lebih tajam, terbukti EVT sangat efektif dan menjadi pilihan utama pada LVO. Masih ingatkan studi SAMMPRISS? Pada studi ini, stenting intracranial menunjukkan outcome yang lebih buruk dibanding best medical management. Lalu, beberapa studi berikutnya (dengan indikasi, tehnik dan device yang lebih baik) menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan SAMMPRIS.

 

Tampaknya, DISTAL dan ESCAPE-MeVO merupakan awal perjalanan. Sudah ada analisa kritis pada kedua studi ini, satu diantaranya tentang usia rata-rata pada EVT (usia 77 tahun pada DISTAL dan 75 tahun pada ESCAPE MeVO), usia yang dianggap terlalu tua. 

 

Akhirnya, batas itu sudah ada, namun belum sepenuhnya tegas. Kita tunggu studi berikutnya, apakah garis batas makin tebal atau justru terhapus oleh bukti yang lebih meyakinkan.

Friday, 7 February 2025

Stroke: Menghitung Otak



                                (Time is Brain—Quantified. Stroke. 2006;37:263-266) 

Monday, 3 February 2025

Sepur dan Kita


Apa beda Sepur Hanoi dan Surabaya
Gerbong kusam, sama saja
Di Hanoi di tunggu
Di Surabaya abaikan saja

Kita, biasa bagi mereka
Spesial bagi keluarga

Sejauh tinggi pergi
Ada mereka
Menunggu kita kembali

Hanoi, 3 Februari 2025

Friday, 24 January 2025

Hyperacute Stroke, berapa lama?


Saat neurolog ditanya, berapa lama waktu hyperacute stroke? Ada yang menjawab waktunya sampai 4,5 jam, karena trombolisis menggunakan alteplase dibatasi waktu dibawah 4,5 jam. Ada yang menjawab waktunya sampai 6 jam, karena trombektomi dilakukan efektif dibawah 6 jam tanpa imejing tambahan. Belakangan ada yang menjawab sampai 24 jam, karena ternyata trombektomi memberikan manfaat sampai 24 jam. Jadi berapa lama batasan yang benar?

 

Definisi berdasarkan waktu ini berpotensi akan berubah. Substansi dari definisi ini adalah bahwa stroke dikatakan hyperacute apabila masih dapat dilakukan tindakan agresif yang memberikan manfaat pada pasien. Saat ini mulai bermunculan evidences yang menunjukkan manfaat trombektomi lebih dari 24 jam. Apakah kemudian definisi hyperacute stroke dapat melebihi 24 jam, lalu berapa lama?

 

Pada 2015, Canadian Stroke Best Practice Recommendation (CSBPR) telah menyatakan definisi hyper acute stroke ini. Menariknya, definisi ini ada sebelum muncul evidence bahwa trombektomi bermanfaat sampai 24 jam. Pada 2015, trombektomi hanya direkomendasikan pada kurang dari 6 jam. 

Menurut CSBPR, hyperacute stroke care specifically refers to the key interventions involved in the assessment, stabilization and treatment in the first hours after symptom onset. 

This includes assessment, diagnosis with the support of early neurovascular imaging, thrombolysis or endovascular interventions for acute ischemic stroke, emergency neurosurgical procedures, and same-day TIA risk stratification and diagnostic evaluation. 

Broadly speaking, ‘hyperacute’ refers to care offered in the first 24 h after stroke (ischemic and haemorrhagic) and the first 48 h after TIA. 

Pada 2017, definisi dari Australia (Stroke Recovery and Rehabilitation Roundtable taskforce-SRRR), membagi stroke menjadi: hyperacute (24 jam), acute (1-7 hari), early subacute (7 hari-3 bulan), late subacute (3-6 bulan) serta chronic (> 6 bulan). Pembagian ini berdasarkan berjalannya proses kematian sel, inflamasi, plastisitas endogen, dan perbaikan fungsi.

Apabila substansi dari definsi hyperacute stroke adalah agresifitas intervensi (khususnya reperfusi pada oklusi pembuluh darah), maka batasan dapat menggunakan time-based maupun tissue-based. 

Penggunaan MRI/MRA di IGD telah banyak dilakukan, khususnya di private hospital di Indonesia. MRI/MRA memungkinkan batasan hyperacute stroke lebih dari 24 jam. DWI/FLAIR mismatch dan DWI- Perfusion mismatch dapat menunjukkan area otak yang mendapat manfaat dengan intervensi. Bukankah pada wake-up stroke masih bisa diberikan trombolisis sampai 9 jam dengan DWI/FLAIR mismatch pada MRI. 

Pendekatan time-based lebih murah. Pendekatan tissue-based memerlukan modalitas diagnosis lebih canggih dan mahal. TIME is Still Brain.

Friday, 17 January 2025

Rakyat dan Pesawat Terbang

Ada sebuah negara, rakyatnya tersebar di banyak pulau. Mereka mengeluh tak bisa terbang ke pulau lain. Negara memiliki pilot dan pesawat yang terbatas. Mendengar keluhan rakyatnya, pemerintah memberi respon cepat. Rakyat harus merasakan penerbangan yang mudah, sebagaimana rakyat di negara lain. 

Proyek besar di mulai. Pemesanan dan pembelian pesawat. Sekolah pilot di buka lebar. Para pemuda ramai-ramai menjadi pilot. 

Tiga tahun berlalu. Pesawat tersedia, pilot siap bertugas. Ternyata, hanya sedikit pesawat yang terbang reguler, sisanya hanya parkir di hanggar, pilot menganggur. Tak banyak penumpang. 

Rakyat tak mampu membayar tiket. Pemerintah berkampanye dan berusaha memberikan subsidi. Pesawat tetap tak terbang, biaya terbang tak tertutupi hanya dengan subsidi. 

Karena program telah resmi digulirkan, pesanan pesawat tetap dikirim, sekolah pilot terus dibuka. Urusan tak bisa terbang dihitung nanti.

Belakangan, semua mulai mencari kesalahan. Ini pasti kesalahan rakyat, terlalu menuntut. Menurut rakyat, ini kesalahan pemerintah, terlalu responsif. Kata pilot, ini kesalahan rakyat dan pemerintah. Rakyat tak mau membayar, dan pemerintah pelit subsidi. 

Lalu siapa yang benar? tolong dong dibantu menjawab...

Wednesday, 15 January 2025

Kyai dan Stroke


Malam itu, laki-laki 32 tahun, diantar ke IGD Rumah Sakit di Surabaya. Mengalami kelemahan tubuh kanan, tak mampu berbicara dan kesadaran mulai menurun. Hasil CT scan kepala menunjukkan adanya stroke penyumbatan yang luas. Setengah bergegas, istri dan dua orang anaknya mengikuti brankar yang didorong menuju ruang perawatan. Pasien adalah driver travel, pekerjaan melelahkan, hanya sedikit waktu tidur. Saat kantuk menyerang, kopi dan dua bungkus rokok perhari menjadi teman setianya. 

 

Wajah sang istri tampak lelah. Dua anaknya terpaksa libur sekolah. Memasuki hari ketujuh, tak tampak ada perbaikan yang berarti pada pasien. Lumpuh, hanya terbaring di tempat tidur. Kebutuhan dasar hidup harus dibantu. Makan, ganti baju dan bahkan kebutuhan hajat kamar mandi. Istri yang sabar ini sudah membayangkan beratnya hidup pada hari-hari mendatang.  

 

Prevalensi stroke diperkirakan berjumlah lebih dari 2 juta orang berdasar data 2018. Stroke adalah penyebab kematian pertama dan penyebab kecacatan utama di Indonesia. Beban keluarga pasien stroke sungguh besar. Orang kaya akan jatuh miskin, dan orang miskin semakin menderita. Begitu banyak keluarga terlantar dan anak putus sekolah karena orang tua terkena stroke.

 

Apakah stroke tak bisa diobati? Terapi stroke akut terbatas waktu. Obat penghancur bekuan darah hanya bisa diberikan kurang dari 4.5 jam. Jika bekuan darah besar, harus dikeluarkan dengan tidakan kateterisasi, waktu terbatas 24 jam. Sayangnya, tidak semua rumah sakit siap memberikan obat penghancur bekuan, serta tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas dan dokter yang mampu melakukan kateterisasi.

 

Terapi stroke akut mahal, kateterisasi bahkan sangat mahal. Apabila keduanya tidak dilakukan, pilihannya hanya dua, kecacatan atau kematian. Jika beruntung, sedikit pasien dapat sembuh sempurna. Pemerintah mendorong program pengampuan stroke sejak 2023. Semua rumah sakit dengan CT scan dan dokter neurologi diharapkan mampu memberikan dua terapi utama ini. Namun, besarnya biaya yang dikeluarkan, tidak mampu menjangkau banyak pasien stroke di Indonesia.

 

Stroke bisa mengenai Dokter, Kyai, Guru, Bupati, Gubernur, Anggota DPR dan profesi apa saja. Saat stroke menyerang, dokter tak lagi bisa praktek, Kyai tak lagi bisa lagi membimbing ummat, Dosen akan berhenti mengajar, juga profesi lain. Kalaupun bisa kembali bekerja, kualitas dan kuantitas perkerjaan tidak akan pernah sama seperti semula.

 

Satu-satunya cara paling mudah dan murah untuk menghadapi stroke adalah prevensi agar stroke tidak terjadi. Apakah stroke bisa dicegah? tentu stroke bisa dicegah. Prevensi stroke meskipun murah, ternyata tidak mudah. Tingginya angka kematian dan kecacatan akibat stroke di Indonesia, merupakan bukti nyata kegagalan prevensi stroke. Stroke dari tahun ke tahun tetap menjadi 'pembunuh' peringkat pertama.

 

Perlu ada strategi mendasar prevensi stroke. Saat kemenkes dan dinas kesehatan di berbagai daerah tak mampu menurunkan angka kematian dan kejadian stroke dengan berbagai program, adakah kemungkinan strategi lain? Bagaimana jika dimulai dari pesantren? Pesantren terutama di Jawa Timur memiliki peran besar dalam upaya perubahan sosial. Interaksi Kyai dengan masyarakat sangat dekat, bahkan merupakan bagian dari mereka. Bukankah ada kaidah yang sangat populer di pesantren " Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil masholih." Mencegah kerusakan lebih diutamakan dari meraih kebaikan. Dalam konteks stroke, program prevensi stroke harus diutamakan dan didorong lebih luas melebihi program terapi.

 

Pengetahuan populer tentang faktor risiko stroke, mungkin belum banyak dipahami oleh kalangan pesantren. Pengetahuan ini bisa menjadi materi yang dapat diselipkan dalam forum pengajian dan acara keagamaan di masyarakat. Misalnya, menjelaskan bagaimana cara mudah dan praktis agar stroke tidak terjadi. Bagaimana menghindari empat faktor risiko utama stroke, yaitu hipertensi, kencing manis, merokok dan kadar kolesterol darah yang tinggi. Panduan praktis dan menarik perlu disampaikan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Kyai dan santri dapat membincang secara santai tentang materi ini dengan kalangan medis. 

 

Kyai seringkali memiliki tehnik komunikasi yang memukau dan menarik. Disamping pesan-pesan mereka dianggap otoritatif dan layak untuk diikuti. Kyai-kyai kampung apalagi. Beliau begitu dekat dengan masyarakat dan menjadi pendamping mereka dalam keseharian. Mengapa tekanan darah tinggi bisa menyebabkan stroke. Bagaimana rokok akan menjadikan darah lebih pekat dan mudah menggumpal. Bagaimana cara menghindari dan mengelola kencing manis. Makanan apa yang mudah meningkatkan kadar kolesterol darah. 

 

Apabila konsep ini dapat diterima, jangan-jangan nanti ada kitab produk pesantren, "Kitabus Saktati Al-dimaghiyati," Kitab Stroke. Kitab yang menjelaskan tentang gejala dini dan cara praktis mencegah stroke. Siapa tahu?