Sebagai Guru Besar Neurologi, beliau memahami bagaimana otak bekerja, mendiagnosa penyakit, sekaligus mengobatinya. India adalah negara kesekian yang menjadi tempat perjalanan intelektualnya. Tak terhitung visiting fellowship dan acara ilmiah internasional didatangi, sebagai partisipan aktif maupun pembicara. Di sela-sela konferensi, disempatkannya mengunjungi tempat bersejarah dan museum, yang dulu kala, waktu di Madrasah, kisahnya hanya terbaca pada buku Sejarah Kebudayaan Islam.
Ada Red Fort di Delhi, ada Agra Fort sejauh pandangan mata dari Taj Mahal, keduanya istana kerajaan Mughal India. Ada Al-Hambra Granada dan kemegahan Mezquita de Cordoba di Spanyol. Mengunjungi Istana Topkapi dan Hagia Sophia di Istanbul, sambil menghirup spiritualitas kota Rumi di Konya. Jejak-jejak ini, meskipun telah beratus tahun, seolah masih basah, tampak di jalan yang ditapakinya.
Hidayatul Adzkiya, dikenalnya di pesantren. Sang Guru mengajarkan kitab ini setiap Jumat pagi. Sebuah kitab indah, nasihatnya teruntai lantunan syair, menghujam jauh ke dalam dada. Pada Jum’at hari itu, di negeri sang penulis, dibukanya kitab itu lagi.
Syahdan, awal 1990-an. Subuh masih buta. Di sebuah pesantren, lokasinya jauh dari dari pemukiman penduduk, dikelilingi persawahan luas. Bulan Agustus, kabut turun lebih pekat dari biasanya, rambut memutih jika kita melewatinya. Terdengar langkah lembut, menuju bilik santri. Sebuah tongkat mengetuk halus pintu-pintu kamar. Penghuninya mulai terjaga, meskipun belum menuntaskan tidur pulas nya.
Beberapa saat kemudian, lantunan dzikir terdengar dari Masjid yang temaram. “Laa ilaha illa-Allah (3x), minallah narjul ghufron.” Lantunan itu meresap, terbenam jauh pada memori jangka panjang di otak. Lantunan ini terkadang serta merta muncul begitu saja saat hati gundah gulana.
Para santri rapi berbaris, sibuk dengan aktivitas dzikirnya. Sang Kiai memasuki mihrab untuk jamaah subuh. Inilah awal hari, hal yang membentuk karakter santri begitu kuat. Kegiatan subuh tidak berakhir kecuali berakhirnya rangkaian dzikir ba’da sholat yang indah dan nadzom asmaul husna. Kegiatan pagi akan selesai setelah mengaji beberapa lembar Kitab Al-Adzkar dan Targhib Wat Tarhib.
Setelah sekolah formal, selepas Ashar adalah kegiatan sangat di tunggu. Mengasah kalbu dengan kitab terakhir Al Ghazali, Minhajul 'abidin, diniyah petang hari mengaji kitab Nahwu, Shorof, Tarikh dan Tauhid. Akhirnya, waktu malam ditutup dengan siraman embun Tafsir Jalalain.
Aktivitas istiqamah ini dilakukan selama di pesantren. Sekali lagi, repetisi kegiatan ini membentuk sinap-sinap baru di otak. Tak ada pembentukan karakter se-intens di pesantren. Jangan tak mengikuti sholat jamaah maktubah, kecuali harus membaca surat taubah sembari berdiri di depan masjid.
Konon, rutinitas pesantren ini pudar saat beliau menjadi mahasiswa kedokteran. Makin tergerus saat pendidikan spesialis, terus menipis saat menjadi subspesialis, hampir hilang saat menjadi Guru Besar. Aktivitas sebagai pejabat struktural, menjadi klinisi dan akademisi telah membunuh spiritualitasnya. Makin kebelakang, makin gersang kalbunya. Muncul keangkuhan akademik. Semua fakta ditimbang dengan rasionalitas. Semua aktivitas menggunakan neraca untung rugi. Semakin pintar otaknya, namun makin hampa kalbunya.
Dihikmatinya kitab karya Syeikh Zainuddin Al Malibari dalam-dalam. Sesekali terdegar hembusan nafas panjang, penuh sesal. Beliau rindu hati santri dulu, qalbun saliim, hati bening penuh kekhusyu’an. Bukan hati Guru Besar yang sekarang.
Kini, tak terbersit keinginan lain, tak ada apapun yang ingin di gapai, kecuali hanya ingin menjadi santri (lagi).
No comments:
Post a Comment