Saat seorang ingin menjadi dokter, tanyalah dia, mengapa ? karena niat dan motivasi dalam hati
akan menentukan bentuk aktivitas dan perilakunya suatu saat nanti.
Tatkala dia sudah menjadi, maka dokter adalah seorang yang
senantiasa membawa neraca timbangan saat berhadapan dengan pasien. Di tengah
kondisi kapitalisasi yang merasuk ke berbagai sektor, maka dokter dapat menjadi
bagian penting dalam berbagai prosesnya. Neraca itu menjadi bagian krusial,
adakah seorang dokter akan adil, sebagaimana seorang hakim dalam memutuskan
perkara.
Di tengah kapitalisasi yang masif, neraca keadilan seorang
dokter diuji. Dokter bisa berperan sebagai pemodal (pengusaha) sekaligus
sebagai pelaksana (buruh intelektual ?). Apabila berada pada posisi pengusaha,
maka obyektivitasnya diuji, antara keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya,
atau kebaikan sebanyak-banyaknya bagi si pasien. Apabila berada pada posisi
pelaksana pelayanan, makan obyektivitasnya juga diuji, setidaknya dalam beberapa
situasi.
Pertama, saat
memutuskan melakukan terapi, apakah dia mampu menanganinya sendiri, harus rawat
bersama atau perlu dirujuk ke sejawat yang lebih kompeten ? ada kalanya sang
dokter takut kehilangan pasien, dia lakukan perawatan dalam kondisi dimana seorang
pasien lebih layak dirujuk ke spesialis yang lebih kompeten. Atau, dalam
kondisi sang dokter tertekan oleh regulasi asuransi, rujukan hanya dilakukan
saat sang pasien sudah dalam kondisi tak tertangani setelah beberapa kali
terapi, dan ternyata tidak membantu pemulihan.
Kedua, saat
melakukan prosedur diagostik. Untuk pilihan modalitas diagnostik yang dipilih,
adakah benar memberikan keuntungan bagi penderita atau keuntungan bagi dirinya
sendiri. Peluang bias akan semakin besar, apabila seorang dokter mampu
melakukan prosedur diagnostik yang mampu memberikan keuntungan bagi dirinya
secara finansial. Misalnya seorang dokter yang dapat melakukan prosedur
angiografi, kecenderungan untuk melakukan tindakan angiografi pada semua kasus
yang datang kepadanya merupakan bias, di saat masih ada pilihan modalitas lain
yang mungkin lebih murah dan non- invasif. Adanya referral fee pada beberapa kasus juga akan menurunkan derajad
obyektivitas seorang dokter dalam mengirimkan pasien untuk prosedur diagnostik.
Ketiga, saat
memilih modalitas terapi. Disinilah tampaknya ujian paling berat itu nyata. Dia
dapat memilihkan terapi yang menguntungkan pasien saja, menguntungkan dokter
saja, atau menguntungkan kedua-duanya. Pertanyaanya, adakah dokter yang
melakukan terapi pada pasien hanya menguntungkan dirinya sendiri dan tidak
menguntungkan pasiennya ? ternyata jawabannya ada !!!. Lihatlah banyaknya
prosedur atau terapi yang sebenarnya tidak memiliki dasar ilmiah dan guideline
yang jelas, namun meski mahal dengan harga puluhan juta tetap diberikan dan
dilakukan pada pasien, dengan dalih “siapa tahu” membaik.
Kebebasan seorang dokter untuk ber”ijtihad” medis terkadangan disalah gunakan. Namun, tepat tidaknya indikasi suatu pengobatan dapat ditimbang dan dibenturkan dengan guideline yang ada. Apabila tidak ada dalam guideline atau bahkan berbenturan dengan guideline, maka keputusan sang dokter perlu ditanyakan dengan tanda tanya besar. Meskipun, tidak selalu yang diluar guideline salah, ada perkecualian pada beberapa kasus dengan kriteria ketat, dan dapat dijelaskan secara akademis/ilmiah.
Maka, pasien sebagai bagian transaksi kesehatan ini, perlu kritis dan setidaknya menanyakan pada dokter dengan pertanyaan yang dengan garis tebal, Apakah prosedur diagnostik/terapi yang dokter lakukan memang sudah sesuai dengan guideline yang ada ? Jika tidak mengapakah prosedur ini harus dilakukan ?
Kebebasan seorang dokter untuk ber”ijtihad” medis terkadangan disalah gunakan. Namun, tepat tidaknya indikasi suatu pengobatan dapat ditimbang dan dibenturkan dengan guideline yang ada. Apabila tidak ada dalam guideline atau bahkan berbenturan dengan guideline, maka keputusan sang dokter perlu ditanyakan dengan tanda tanya besar. Meskipun, tidak selalu yang diluar guideline salah, ada perkecualian pada beberapa kasus dengan kriteria ketat, dan dapat dijelaskan secara akademis/ilmiah.
Maka, pasien sebagai bagian transaksi kesehatan ini, perlu kritis dan setidaknya menanyakan pada dokter dengan pertanyaan yang dengan garis tebal, Apakah prosedur diagnostik/terapi yang dokter lakukan memang sudah sesuai dengan guideline yang ada ? Jika tidak mengapakah prosedur ini harus dilakukan ?