Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday, 4 August 2017

Spiritualitas dan Keluh Kesah Seorang Doktor…..

Teman saya, seorang doktor, berkeluh kesah tentang kegalauan hidupnya. Dia merasa, makin dalam bidang ilmu yang ia pelajari, makin kering dan limbung spiritualitas-nya.

Teman saya, dia bukan hanya seorang dokter spesialis, namun juga doktor dan ilmuwan, sebentar lagi bergelar Profesor. Dia merasa, semakin banyak membaca dan meneliti, makin gelisah jiwa-nya. Kepercayaan akan ajaran agama makin kabur. Makin kebelakang, dominasi rasionalitas-nya, semakin menggerus keimanannya.

Dalam perjalanan keilmuan-nya, semua pernyataan ilmiah haruslah memiliki bukti, semua ungkapan ilmiah memerlukan penalaran yang logis. Ungkapan ilmiah apapun, harus dalam kerangka metodologis yang dapat dipertanggung jawabkan. Lambat-laun, secara sadar atau tersamar, mulailah muncul pertanyaan dalam batin, yaitu menimbang keyakinan agama dengan sudut pandang sains dan rasionalitas yang dimiliki-nya.

Pertanyaan itu berkembang demikian rupa, pertanyaan yang mungkin dia sendiri tak akan pernah mampu menjawab dan menguraikannya.” Apakah malaikat itu benar-benar ada ? Bagaimana sebenarnya malaikat itu berbentuk.” Bagaimana sains bisa membuktikannya ?”…..pertanyaan ini disusul oleh banyak pertanyaan lain yang malah semakin membuat galau jiwanya. Akhirnya, ibadahnya tidak lagi khusyuk dan memberikan-nya ketenangan. Studi bertahun-tahun, pendidikan yang tinggi, dan dominasi rasionalitas-nya hampir melepaskan dia dari agama dan keyakinannya.

Saat ini, dia duduk terpaku. Di tengah gelombang manusia di kota suci Makkah. Persis di depan pintu masjid, di tanah tempat turunnya wahyu Ilahi, matanya menatap pada semua orang yang keluar-masuk Masjidil Haram. Dilihatnya,  mereka melakukan ibadah sepenuh hati, menengadahkan tangan, tampak dihadapannya bagaimana pusaran manusia mengelilingi Baitullah. Dia juga menyaksikan bagaimana air mata tumpah di wajah-wajah para jamaah, dan dia hanya menatap dan masih bertanya, “mengapa dan mengapa ?”

Seorang pemuda berwajah cerah menghampirinya, menyapa dan mengajak berjabatan tangan, dan dengan sabar mulai mendengar kisah sang Bapak, teman akrab saya.

Menanggapi kegalauan sang bapak, pemuda ini berkata pelan dan perlahan.
“Ketika kita memikirkan alam yang lebih besar dari kita, dengan sudut pandang ilmiah dan rasionalitas kita, dengan segala usaha dan daya upaya kita, nyatanya, hanya sedikit saja yang kita ketahui, sungguh, yang ada, malah ternyata kita tak mampu menguraikannya lebih dalam. Saat kita memikirkan alam yang lebih molekuler dan tak terlihat, nyatanya, sangat sedikit saja yang kita ketahui, segala daya upaya kita ternyata terbatas.”

“Apa yang dapat di ungkap oleh otak manusia, sesungguhnya adalah hanya secuil ciptaan Tuhan yang berhasil dijelaskan. Sedang otak yang digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena, juga merupakan ciptaan sang Maha. Maka, lihatlah, bagaimana suatu ciptaan tak mampu secara menyeluruh mengungkapkan dan menjelaskan suatu ciptaan juga. Ilmu pengetahuan telah dengan gamblang menjelaskan bahwa sistem dan ciptaan ternyata memiliki keterbatasan. Bagaimana mungkin makhluk yang penuh keterbatasan dapat mengungkapkan seluruh rahasia Tuhan yang tak terbatas ?”

“Ketika manusia merasa pintar, merasa dapat mengungkap rahasia alam dan pengetahuan, sesungguhnya dia bukanlah penemu, karena apa yang dikatakan “penemuan” sebenarnya fenomena yang sudah ada dan tersedia. Yang disebut-sebut sebagai “Penemu,” ternyata mereka hanya menjelaskan bagaimana fenomena yang secara kebetulan belum pernah diketahui orang lain. “Penemu” sesungguhnya hanya menjelaskan bagaimana hukum alam berlangsung, hukum yang merupakan kreasi Sang Maha Pencipta.”

“Setelah sekian panjang perjalanan penelitian, dengan ratusan bahkan ribuan bukti, maka mungkin akan muncul suatu dogma ilmu pengetahuan, sebagaimana Dogma Sentral dalam ilmu genetika. Dogma dianggap sesuatu yang sudah tak terbantahkan. Maka lihatlah, untuk sebuah dogma saja, tidak dapat diungkap oleh hanya satu ilmuwan, ia memerlukan banyak ilmuwan, bahkan mungkin ilmuwan dari generasi ke generasi berikutnya.”

“Disertasi doktor, yang sangat dibanggakan, ternyata hanya mampu mengungkap satu jalur panah, diantara trilyunan dari trilyunan lagi jalur yang sesungguhnya sudah ada. Namun, alangkah naïf-nya, tatkala banyak manusia demikian angkuhnya merasa pintar dan berusaha merasionalkan semua ajaran agamanya yang bersumber dari Sang Maha.”

“Ajaran agama Islam itu rasional, namun untuk memeluk-nya, tidak dimulai dari rasionalitas. Islam dapat dipahami dan dimengerti dengan keimanan. Keimanan tidak mensyaratkan daya cerna otak. Iman tidak mensyaratkan manusia terlebih dahulu mampu merasionalkan ajaran agamanya.”

“Salah satu komponen keimanan dan ciri orang bertaqwa adalah percaya pada yang ghaib. Ghaib berarti pancaindera manusia tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana mungkin otak yang mampu bekerja dengan sistem indera mampu menjangkau dan menjelaskan hal yang ghaib ?”  

Di akhir penjelasannya, Sang pemuda membuat teman saya terperanjat. Teman saya seolah telah lama mengenalnya. Benar, sosok pemuda itu adalah dirinya sendiri, dirinya sebelum menjadi doktor sebentar lagi Profesor, dirinya sebelum memiliki popularitas, dirinya yang masih polos dan rendah hati, dirinya yang masih berhati jernih dan jauh dari rasa angkuh dan sombong. Jabat tangan itu  ternyata terjadi dalam kontemplasi alam bawah sadarnya. Teman saya mulai memahaminya, dia menemukan dirinya yang dulu.                                                                                                                
Sesungguhnya, kegelisahan teman saya ini, juga dialami oleh seorang Al-Ghazali pada abad ke-11 (lahir di Thus, dekat Iran, pada 1058 M). Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa, “ Apakah pengetahuan yang meyakinkan itu ? Apakah pengetahuan indrawi dapat kita percayai ? Apakah pengetahuan rasional adalah pengetahuan tertinggi ? Apakah seorang muslim harus menolak filsafat ? Bagaimanakah pengetahuan ke-Nabian dan Wahyu itu ?” Bermula dari kegelisahannya, Al-Ghazali kemudian melakukan kontemplasi, melakukan perenungan mendalam atas semua pertanyaan-pertenyaan tersebut, kemudian lahirlah sebuah karya beliau berjudul “ al-Munqidz min adh-Dhalal” yang berarti “ Pembebas dari Kesesatan.”

No comments:

Post a Comment