Usianya sudah tidak muda lagi. Sudah hampir memasuki dekade ke-enam.
Seorang dokter senior dengan popularitas yang tak terbantahkan. Dengan gelar
akademis panjang serta pasien antri berjajar tiap malam, tak perlu ditanya
sebarapa banyak pemasukan yang beliau dapatkan.
Malam itu beliau begitu gelisah, seolah baru tersadar bahwa
perjalannya telah demikian panjang. Mulai muncul pertanyaan dalam dirinya,
apakah rutinitas yang menghabiskan waktunya puluhan tahun, siang-malam, memiliki
nilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya.
Ingatannya kembali berputar, betapa beliau habiskan banyak
masa dan tenaga untuk menuntut ilmu, akhirnya tersandanglah gelar
berjajar-jajar, bukan hanya dari dalam negeri, namun juga gelas prestisius dari
luar negeri. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya
nanti ?
Terbayang betapa banyak pasien yang telah beliau tangani,
hari-harinya habis untuk praktek dan visite di berbagai rumah sakit, tenaga dan
waktunya didedikasikan untuk penderita.
Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?
Dilihatnya, tumpukan karya ilmiah dan disertasi para
mahasiswa yang telah ia bimbing, tak terkira banyak waktu yang beliau habiskan
untuk mengajar dan mengarahkan, dan tak terhitung banyaknya mahasiswa yang
telah berhasil, di bawah asuhan tangan dinginnya. Namun, apakah ini cukup
bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?
Sang dokter tak mampu menjawab kegelisahannya selama
berhari-hari. Dan malam ini adalah puncaknya. Akhirnya, datanglah sang dokter
menemui seorang Guru Sufi, yang sungguh hanya dari memandang wajahnya saja,
sejuk rasa menusuk hati.
Sang dokter bercerita panjang tentang kisah perjalanan
hidupnya, dan diakhiri dengan pertanyaan, “ Apakah semua amalan yang telah saya
lakukan adalah amalan dunia, apakah
amalan tersebut memiliki nilai di akhirat kelak ?”
Sang Guru memandang wajah gelisah itu, dan kemudian menjawab,
“ Ada amalan yang tampaknya merupakan amalan dunia, tapi sebenarnya merupakan
amalan akhirat.” Namun, “Ada pula amalan yang tampaknya merupakan amalan
akhirat, tapi sebenarnya hanya sekedar amalan dunia.” Sang dokter tertegun, beliau
masih belum sepenuhnya mengerti.
Sang Guru Sufi melanjutkan, “ Amalan apapun yang dapat
mendekatkan Anda kepada Allah, itulah amalan akhirat”. “Amalan apapun yang dapat
menjauhkan Anda dari Allah, itulah amalan dunia”
“Sehingga, hanya Anda sajalah yang tahu nilai amalan Anda,
apakah amalan dan kegiatan Anda menjadikan Anda lebih dekat kepada Allah,
ataukah semakin menjauhkan Anda dari-Nya. Itulah batas amalan dunia dan
akhirat.” Demikian sang Guru Sufi mengakhiri.
Sang dokter duduk terpekur, menundukkan kepala, beliau
menyadari, sebagian besar amalan yang beliau kerjakan berpuluh-puluh tahun,
menghabiskan waktu siang malam, nyatanya, tidak menjadikan beliau lebih dekat
pada Allah, namun sering melupakan-Nya. Tak terbilang betapa sholatnya amat
singkat dan sering lalai, karena terburu kesibukan dan tugas yang tak terbatas.
Betapa gelar yang panjang berderet-deret tidak membuatnya lebih dekat ke tempat
sujud, namun lebih sering membuatnya mendongakkan kepala, dan berbangga- bangga
di hadapan manusia.
Air mata mengalir deras di wajah sang dokter, sungguh waktu
siang malam merawat pasien, tidak menjadikannya ingat dan bersyukur, hingga
semakin dekat dengan Allah. Motivasinya semata, lebih hanya untuk mengumpulkan
harta dunia. Masih terbayang basah dalam ingatannya, bagaimana hatinya enggan
merawat pasien dari kalangan bawah, karena tak mampu memberikan jasa medis layak
untuk dokter sekaliber dirinya. Namun, dengan serta merta dengan senang hati
merawat pasien kelas atas, dengan asuransi tak terbatas.
Suasana sesaat hening, kemudian Sang Guru Sufi meraih
tangannya, membimbingnya untuk berdoa berulang-ulang, “ Ya Allah, jadikanlah
seluruh amalan kami, menjadi amal sholih yang Engkau terima, dan bukan amalan
yang sia-sia, yang Engkau lemparkan kembali ke wajah-wajah kami pada hari
perhitungan, hanya Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
No comments:
Post a Comment