Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday, 30 December 2022

Bukan Lagi Puisi

Sepagi ini, 
Jiwa menggelora puisi
Namun mengapa tiada kata

Betapa kuat meluap asa,
Tetap bahasa tiada rasa

Sendu fajar subuh hari 
Sungguh berlebur rasa syukur
Saat hamparan semesta
Sujud tak bertara

Mengapa ? 
Lagi-lagi puisi
Dalamnya tak menyentuh hati

Ada puja puji tak tersampaikan
Ada cinta tak terungkapkan
Dalam diam, redam hati resapkan

Bukan kata,
Tapi rasa
Hanya mahabbah di sini
Bukan basa basi puisi

SBY-JKT, 31 Des 2022.

Tuesday, 27 December 2022

Area Neurologi yang "Terabaikan"

Neurologi berkembang sedemikian rupa dan sedemikian cepat. Namun, ditengah banyaknya diferensiasi ilmu tersebut, ada yang kurang medapat perhatian. Area ini berisi pasien-pasien yang "sangat menderita." Sebut saja cerita seorang pasien denga stroke batang otak dan mengalami hiccup berkepanjangan. Atau seorang pasien dengan retensi/inkontinensia urine sepanjang hidup akibat lesi spinal. Ada banyak kasus lain semacam disfagia menetap dengan sonde, spastisitas berat keempat ekstrimitas yang menyakitkan, malignancy neoplasma serebri tanpa harapan, dan banyak gejala dan penyakit neurologi yang seolah tak memiliki jalan keluar. Ada banyak diantara mereka meningggal karena infeksi atau kekurangan nutrisi setelah mengalami rasa sakit tak bertepian.  Kondisi-kondisi tersebut memerlukan perawatan paliatif yang spesial dan unik karena melibatkan sistem saraf.

Palliative bermakna "the value of holistic support for persons facing death from advanced disease." Kondisi ini perlu kepedulian lebih, karena bukan hanya berhubungan dengan kondisi fisik, namun juga emosional dan spiritual. Mereka mengalami penderitaan berkepanjangan termasuk anggota keluarganya. Ada kecemasan hebat selain beban perawatan yang besar.

Saat neurolog menghadapi pasien-pasien ini, mereka tidak memiliki waktu yang banyak. Pasien demikian perlu pemeriksaan seksama dan komprehensif. Padahal mungkin merekalah yang sangat memerlukan perhatian lebih. Neurolog seringkali tak tahu apa yang harus diperbuat. Advis yang diberikan seringkali normatif, harus begini dan harus begitu, terkadang malah membingungkan keluarga pasien. Sampai suatu waktu pasien dan keluarga pasrah menerima "takdir."

Ada yang mungkin lupa tidak diajarkan saat residensi ditengah maraknya konsep curative neurology, yaitu palliative neurology. Ilmu ini rasanya perlu ditumbuhkan, diasah dan diperdalam di senter-senter pendidikan. Palliative Neurology memerlukan ruang khusus dalam residensi, tidak lagi sekedar dibahas sepintas dalam tiap komponen penyakit. Ada hal-hal spesifik yang tidak diketahui jika area ini tidak ditekuni secara khusus. Sekedar contoh adalah adanya pasien lesi batang otak dengan hiccup berkepanjangan, tidak membaik denga obat-obatan standar semacam clorpromazin, haloperidol atau baclofen. Atau pasien disfagia dengan drooling, saliva yang terus menerus keluar karena tak bisa tertelan dan pasien dengan sweating (hiperhidrosis) akibat disautonomia. Adanya pasien dengan advances neurological conditions, maka neurolog perlu mempersiapkan supporting phase, transision phase dan terminal phase

Ditengah tumpang-tindih area kompetensi yang ramai diperebutkan, palliative neurology adalah area yang perlu ditekuni dan diperdalam. Seandainya bukan semata-mata soal kompetensi, maka urgensinya adalah memenuhi kebutuhan dan keputus-asaan pasien dan keluarga. Akhirnya, mungkin perlu direnungkan perkataan seorang  neurolog P.G.McManis (sebelum kematiannya akibat oesophagela cancer),  "One thing I have learned is that the best thing that anyone can do for the dying individual is to show that you care . As neurologists ... we are obviously providing a lot of comfort for our patients just by seeing and talking to them, even in hopeless cases." 

Saturday, 17 December 2022

Intervensionis (INT): Mendefinisikan Tujuan


Seorang intervensionist, sebut saja INT (Neuro, NS, Radiologi) adalah seorang musafir. Menempuh jalan dan arah. INT adalah variable bebas, dia menuju variable tergantung yang merupakan tujuan akhir, dan melalui beberapa variable antara. Apabila seorang INT melakukan prosedur dengan tujuan akhir agar memiliki banyak pasien, maka kita bisa melihat aktivitasnya dari jenis variable antaranya. Demikian pula apabila seorang INT bertujuan akhir mengembangkan keilmuan neurointervensi, maka bisa dilihat pula jenis variabel antaranya. Variabel antara bisa merupakan gabungan dari banyak variabel, namun variable dominan memiliki efek paling signifikan dalam mewujudkan variabel tergantung. 

 

Seorang INT yang memiliki tujuan akhir “memiliki banyak pasien,” akan melakukan aktivitas dengan variabel antara berupa: aktif berpraktek di beberapa rumah sakit, membentuk jejaring dengan dokter lain, “publikasi personal” melalui media sosial, atau melakukan investasi agar pasien tertarik datang. Asalkan semuanya dilakukan secara etis, hal itu tentu boleh dilakukan.

 

Dalam atmosfer pelayan INT di Indonesia, investasi berupa klaim keilmuan mungkin bisa merupakan bentuk variabel antara. Meskipun bisa jadi klaim tersebut bertentangan dengan kaidah keilmuan atau guideline. Variabel antara yang berupa testimoni cukup marak terjadi di Indonesia, meskipun banyak diantara mereka memiliki kaidah ilmiah yang miskin. 

 

Seorang INT yang memiliki tujuan akhir mengembangkan keilmuan, akan melakukan banyak aktivitas seperti koleksi kasus, laporan kasus, menulis buku, membuat acara-acara ilmiah, bahkan membuat senter agar banyak INT yang bisa belajar dan melakukan prosedur. Seorang INT yang demikian, malahan bisa jadi memiliki banyak pasien dan juga berpraktik di banyak rumah sakit. Memiliki banyak pasien mungkin bagi sebagian INT menjadi tujuan akhir, namun bagi INT tertentu merupakan tujuan antara.

 

Variabel tergantung yang merupakan variabel akhir, bisa berubah, bisa didefinisikan kembali di dada masing-masing INT. Adanya prosedur yang di luar indikasi, adanya pasien yang mengeluhkan biaya selangit pada prosedur standar, adanya kegiatan-kegiatan tidak etis, adanya pelanggaran norma dan hubungan kesejawatan, seringkali berhubungan dengan variabel tergantung ini. 

 

Variabel tergantung ini perlu terus didefinisikan ulang. Adanya tujuan akhir yang selaras dengan tujuan kehidupan abadi (husnul khatimah), tentu merupakan cita-cita semua INT yang memiliki iman dan kecintaan kepada Tuhan-nya. Mungkin syair lagu Bimbo ini bisa membantu meredefinisi variabel tergantung, "Yang mencari akhirat mendapat akhirat dan dunia, yang mencari dunia hanya mendapat dunia."

Wednesday, 14 December 2022

Akademisi dan Publikasi: Dulu dan Sekarang

Berjalan di lorong-lorong sekitar Mezquita Cordoba, serasa kembali ke masa lampau. Seolah terdengar lirih alunan bait-bait syair kitab Alfiyah Ibnu Malik. Alfiyah adalah kitab legendaris pesantren tentang tata bahasa arab berlagu 1000 syair, ditulis 1274 M. Mezquita tampak berwarna klasik, kuno dengan aroma masa lalu yang sangat terasa. Ada banyak ilmuwan dan ulama masa itu. Mereka lahir dan menulis karyanya. Bagaimana mungkin kitab yang berasal dari masa lampau itu masih bertahan hingga sekarang? masih di kaji dan didendangkan. 

 

Dari belahan bumi lain, Damaskus, Syiria. Seorang santri dari Indonesia tampak berdoa di zawiyah sisi barat Masjid Umawi. Doa itu dia panjatkan setelah selesai mengkaji kitab legendaris yang juga dikaji diberbagai pesanten di Indonesia, Ihya' Ulumuddin (sekitar 1097 M). Dia mengirimkan doa kepada Al-Ghazali sang penulis. Al-Ghazali menulis puluhan kitab yang sampai saat ini menjadi rujukan dan bahan ajar di pesantren. Selain Ihya' ulumuddin, kitab Bidayatul Hidayah dan Minhajul Abidin merupakan kita pegangan bagi santri-santri di penjuru nusantara, mengkaji tentang akhlaq dan penyucian jiwa. Bagi yang hanya membaca, namun belum pernah berguru dalam mengkajinya, akan merasakan nikmat dan sensasi yang berbeda, tatkala menyelami kata perkata kalimatnya. Bagaimana mungkin, kitab tersebut bisa bertahan demikian lama dan masih memberikan manfaat sampai saat ini ?

 

Ribuan lagi kitab di perpustakaan pesantren, atau saat ini tersimpan dalam file-file komputer dalam bentuk e-book atau maktabah syamilah, berasal dari ratusan tahun lalu dan masih bertahan. Mengapa bisa demikian? Adakah buku-buku, penelitian, ilmu pengetahuan yang saat ini di kaji dan diproduksi oleh akademisi kontemporer, akan mampu bertahan seperti kitab-kitab tersebut? 

 

Mungkin ada banyak diskusi dan sudut pandang, tentang panjangnya usia karya-karya ini. Tapi mari coba di lihat dari satu aspek saja, yaitu motivasi sang akademisi saat karya itu di tulis. Cerita dan motivasi dari pengantar buku atau kitab, biasanya di tulis pada mukaddimah, sebelum konten utama tulisan.

 

Sebelum itu, mari beralih pada suasana akademis di Indonesia. Bagi dosen atau akademisi, saat ini mereka mendapat tuntutan melakukan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Apa yang mereka kerjakan akan dinilai oleh perguruan tinggi. Bukan hanya berhenti disitu, mereka akan mendapat apresiasi dan reward apabila mampu menghasilkan karya dan penelitian yang dianggap berbobot dan memiliki standar kualifikasi internasioanal tertentu. Sehingga, ada guyonan, mereka akan mendapatkan KUM (angka kredit) dan KAM (bahasa arab berarti 'berapa'), sejumlah apresiasi finansial.

 

Maka, bisa dibilang, apresiasi ini meningkatkan semangat para akademisi untuk mendapatkan dana penelitian, menulis tulisan bereputasi, dan melakukan berbagai upaya akademis (seperti HAKI), yang memiliki nilai KUM dan KAM. Memang dalam beberapa tahun, jumlah publikasi di universitas tertentu naik drastis, rangking universitas juga naik menurut lembaga perangkingan di dalam maupun luar negeri. Namun pertanyaannya, adakah produk akademis tersebut akan bertahan lama? mampu diwariskan dari generasi ke generasi? ataukah hanya memiliki efek sepintas, sebatas habisnya masa KUM dan KAM?

 

Berapa banyak disertasi dan tesis mahasiswa S2 dan S3 teronggok di perpustakaan? Saat seseorang lulus doktor, semua orang mengucapkan selamat, tanpa ingin tahu apa sebenarnya karya dan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan. Apakah waktu, biaya dan tenaga yang dia habiskan memang sebanding dengan gelar dan kebanggaan yang dia dapat.

 

Menimbang dan membandingkan, mungkin tidak selalu sepadan. Bagaimana bisa membandingkan akademisi dunia dengan akademisi Indonesia saat ini. Tapi paling tidak kita bisa merujuk pada niat dan motivasi. Dibelahan dunia sana dan sini, masa lalu dan sekarang, motivasi dapat dibandingkan, karena ia adalah pendorong dihasilkannya suatu karya.

 

Berkaitan dengan motivasi, maka lihatlah Imam Al-Ghazali pada tulisan pengantar bagian awal kitab Minhajul 'Abidin. " Saya memohon taufiq dan bimbingan kepada Allah swt. agar saya mampu menyusun sebuah kitab yang kiranya dapat diterima oleh banyak orang dan dapat memberi manfaat bagi pembacanya. Alllah mengabulkan permohonanku, seperti terpenuhinya permintaan orang yang dalam kesulitan ketika memohon kepada-Nya. Dia mengajariku rahasia penulisan kitab tersebut serta mengilhamiku susunan penulisan yang sangat menakjubkan."

 

Kemudian, dalam muqaddimah Sullamut Taufiq, Syaikh Nawawi Al-Bantani, ulama nusantara yang bermukim di tanah suci, pengarang puluhan kitab, menyampaikan," Aku memohon kepada Allah swt. semoga kitab ini mendapat ridha-Nya. Ia jadikan sebagai amal sholeh yang dapat meraih pahala yang ada di sisi-Nya dan menjadi sebab untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya serta mendapat tempat di haribaan-Nya kelak." Kitab Sullamut Taufiq merupakan kitab Fiqh dan Akhlaq yang juga banyak di kaji di pesantren hingga saat ini.

 

Para akademisi dan ulama terdahulu dalam menulis suatu karya, tidak memperdulikan KUM dan KAM. Ada tujuan hakiki dari hanya sekedar itu. Imam Az-Zarnuji, penulis kitab Ta'limul Muta'allim, menekankan pada penuntut ilmu akan pentingnya adab sebelum ilmu. Beliau menulis dalam mukaddimah bahwa Kitab Ta'limul Muta'allim ditulis karena gelisah melihat banyak penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh, namun tidak mendapatkan yang diinginkan, atau ilmu tersebut tidak menghasilkan buah. Kemudian beliau menulis kitab tersebut setelah beristikharah, memohon petunjuk kepada Allah. Maka, adakah akademisi kontemporer yang menulis karena kegelisahan serupa? yang kemudian menulis karyanya dengan terlebih dahulu beristikharah? 

 

Setidaknya, motivasi para akademisi, ilmuwan dan ulama terdahulu dapat menjadi cermin, bagaimana kitab dan karya yang dihasilkan merasuk dalam hati zaman. Karya mereka tak lekang oleh waktu, tetap menjadi rujukan hingga sekarang. Mereka sesungguhnya tidak sedang menulis suatu karya, meraka sedang menanam niat dan motivasi, untuk di panen pada hari akhir nanti. 

 

Tuesday, 13 December 2022

Apakah DSA Serebral Ada Risikonya?

Demikianlah yang sering ditanyakan oleh pasien saat dokter menganjurkan prosedur serebral DSA (Digital Substraction Angiografi). Tentu saja semua prosedur medis memiliki risiko. Namun, prosedur medis tidak akan dilakukan jika manfaat prosedur tersebut tidak lebih besar dari risikonya. 

 

Serebral DSA adalah prosedur angiografi dengan memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah, umum-nya dari pangkal paha (arteri femoralis). Pasien terlebih dahulu dilakukan injeksi anastesi lokal, sehingga saat kateter dimasukkan dalam pembuluh darah, pasien tidak lagi merasa nyeri. Pada beberapa kondisi, insersi kateter dapat menggunakan pembuluh darah pada lengan. Terkadang diperlukan anastesi umum pada pasien yang gelisah, anak-anak, atau pasien dengan penurunan kesadaran.

 

Kateter kemudian dimasukkan dalam pembuluh darah dengan bantuan guide wire. Apabila sudah berada pada pembuluh darah yang sesuai, maka diinjeksikan kontras yang telah dicampur dengan cairan fisiologis NaCl 0.9% dan heparin (umum-nya 500 cc Nacl 0,9 % dengan heparin 3000 IU). Setelah semua pembuluh darah selesai digambar dengan kontras, kateter dikeluarkan dari pembuluh darah pangkal paha, dan semua alat dikeluarkan. Luka tersisa hanya sebesar tusukan jarum. Selama injeksi kontras, pasien akan merasa sensasi hangat dan seolah melihat kerlipan bintang saat kontras masuk ke pembuluh darah mata.

 

Dari anastesi lokal sampai selesai prosedur, memakan waktu sekitar 30-45 menit. Risiko yang mungkin (tidak sering terjadi) adalah lebam ditempat suntikan (hematoma), alergi kontras, terbentuknya bekuan darah karena device yang dimasukkan, diseksi atau robekan arteri, perdarahan, serta efek kontras yang dapat menimbulkan keluhan lain. Semua risiko ini sebesar < 3%,artinya 97% merupakan prosdur yang aman untuk dilakukan. Risiko tersebut mungkin terjadi pada usia tua, hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus yang tidak teregulasi dan faktor risiko lainnya.

 

Prosedur serebral DSA ini sangat penting untuk mengetahui anatomi pembuluh darah otak. Kepekaannya mendekati 100% jika dibanding dengan CT angiografi atau MR angiografi. Apabila diperlukan, prosedur DSA ini akan dilanjutkan dengan prosedur intervensi yang merupakan prosedur terapi. Prosedur terapi bisa berupa angioplasty, stenting, coiling atau embolisasi. 

Thursday, 3 November 2022

Sadar Menjelang Ajal

Bergumul hari, menyandera diri sendiri

Terhempas gelombang masa

Maksud agung menjelang, tiada daya condong ketepian

Hampir hilang, terhuyung melayang

 

Sadar menjelang ajal

Terpekur, tepian masa berpamit nyawa dari badan

Sungguh tak bisa kembali

Manakah mungkin berputar lagi

 

Jika tak peduli kini

Kau akan memahami nanti,

Saat sahabat datang

Beritakan akhir kehidupan 

 

Jumat, 4 November 2022

Thursday, 20 October 2022

Kemasan, Rumah Ibunda

Riuh celoteh Osing Kemasan
Teriak jenaka bocah terngiang
Kata perkata sudahlah paham
Tutur Ibunda, rapi tersimpan

Masa kecil masalah lalu
Hidup dalam rindu menderu
Jika masa menghapus rasa
Tidak dengan tutur Ibunda

Andai Kemasan telah berbeda
Ada celoteh masih tersisa
Tapi Kemasan tetaplah sama
Saat merindu peluk Ibunda

Banyuwangi, Bandara Blimbingsari,
21 Oktober 2022

Monday, 17 October 2022

Ibu, Mana Lagi Pesanmu Itu

Nak…

Nanti saat guru meminta bertanya,

Angkatlah tanganmu……

 

Nak…

Belajarlah sungguh-sungguh

Tak banyak harta,

Ibu membekalimu ilmu….

 

Nak....

Nanti saat bertamu,

Pada saudara Ibu yang berilmu

bertanyalah tentang ini,

bertanyalah tentang itu...


Nak…

Doakanlah…

Semoga ilmu Ibu yang sedikit,

Dapat berguna untuk orang lain…

 

Pesan-pesan serupa itu,

Terus terucap sepanjang waktu,

Terekam dalam otak masa kecil kami

Pesan dari Perempuan sederhana

Yang perhiasannya bukan taburan emas,

Hanya bulir permata dalam kata

 

Ibu telah pergi…

Permatanya tertinggal disini,

Mengalir bersama denyut nadi

 

Surabaya, 18 Oktober 2022

 

 

Ibu dan Bunga Warna Warni

Nak...Kemarilah
Jangan jauh-jauh dari Ibu..
Demikian sapa beliau lirih...

Perempuan tangguh itu kini lemah..
Yang dulu dekapan hangatnya erat,
Tak mampu lagi menggenggam  kuat
Yang seluruh jiwanya adalah kasih sayang,
Tersisa doa lirih dan harapan...

Nak...kemarilah
Apakah ibu ini akan pergi ?..
Wajah sayu lemah itu bertanya
Tatapannya dalam, masih dipenuhi kasih sayang...

Aku sampaikan...
Ibu tidak akan pergi,
Tunas-tunas yang ibu semai ada disini
Semua telah mekar berkembang...
Bunga bunga itu sekuat Ibu,
Telah menjadi buah seperti ibu harapkan

Ibu tidak pergi,
Ibu tetap ada dalam aliran darah dan nadi kami
Terus menyemai manfaat dan kebaikan,
Seperti yang selalu Ibu ajarkan...

Banyuwangi, Senin, 3 Okt 2022.

Monday, 15 August 2022

Ada Saatnya….

Tubuhmu kuat, liat, gesit, teronggok tak berdaya

Sendi layu, tak mampu meyangga tubuh

Mata nanar, kepala melayang

Hidangan, tak mampu lewati kerongkongan

 

Manakah kata hebatmu, kau tampilkan 

Manakah kata pintarmu, kau pamerkan

 

Sehat bukan milikmu

Berdiri tegakpun kau tak mampu,

 

Kala kau lemah,

Dia menyadarkanmu

Nyata,

Dunia seisinya tiada 

 

Sujudmu,

Nikmat-kan syukur

Sadar-kan lemah

Cintakan pada-Nya

 

Tetes bulir airmata sujud

Telah lama berhenti mengalir

Tesumbat keangkuhan nafsu

Nikmati, hikmati….

Syukuri Cinta-Nya tak pernah pergi

 

Banyuwangi, Rumah Ibu, 12 Agustus 2022.

Thursday, 7 April 2022

“Brain Charging,” Metode Baru Terapi Epilepsi dan Stroke

Dokter muda dari Surabaya ini begitu percaya diri dengan temuan barunya. Bagaimana tidak, beberapa pasien epilepsi yang telah ditanganinya, menyatakan bahwa badannya lebih nyaman dan kejangnya mengalami perbaikan. Dia yakin, temuannya ini akan menjadi berita fenomenal, dan pasti akan mendapat respons positif dari rakyat Indonesia. Bangsa ini merindukan inovasi baru dari dokter-dokter cerdas. Temuan itu dia namakan metode “Brain Charging.”

 

“Brain Charging,” merupakan metode terapi dengan menggunakan elektrode yang ditempel di permukaan kepala. Penempatan elektrode tersebut diukur dengan seksama sehingga sesuai dengan lokasi tertentu dan menjangkau area otak yang luas. Elektrode tersebut dihubungkan dengan monitor. Dari monitor tersebut tampak gelombang dari setiap area otak. Supaya hasil lebih optimal, pasien diminta tidur selama prosedur 30 menit ini. Makin dalam tidurnya, maka makin baik efeknya. “Brain Charging” mampu menyerap gelombang otak yang abnormal, dan akhirnya otak hanya akan memelihara gelombang yang normal saja. 

 

Agar metode ini dikenal luas, dia sudah berencana untuk mengaplikasikannya pada public figure yang memiliki pengaruh luas. Kemungkinan, media massa akan meliputnya dengan headline besar. Ternyata, cukup sulit mencari public figure yang mau berterus terang bahwa dia menderita epilepsi. 

 

Setelah melakukan pengkajian ulang, ternyata, temuannya ini dapat diaplikasikan pada pasien stroke. Pasien stroke juga mengalami kelainan pada gelombang otak. Gelombang otak yang abnormal pada pasien stroke akan di serap oleh elektrode dan dialihkan ke monitor. Bukankah banyak public figure, pejabat, pengusaha dan orang-orang berada yang menderita stroke? Atau metode ini bisa juga diaplikasikan pada pasien yang takut dirinya menjadi stroke, metode ini bisa sebagai prevensi stroke, tampaknya akan makin banyak yang berminat jika berhubungan dengan stroke.

 

Dia sangat menyadari, semua temuan dan inovasi baru pasti kontroversial. Apalagi di Indonesia. Apabila ada akademisi yang melawan dengan argumen ilmiah dan mengkritik habis temuan barunya ini, dia sudah siap. Makin kuat penolakan kalangan profesional medis, akan makin deras dukungan untuk penemuan ini, baik dari para khalayak maupun netizen dunia maya. Dia sangat yakin argumen ilmiah yang dibangunnya rasional, memiliki dasar teori kuat dan akan menjadi terapi masa depan.

 

Untuk menguji argumen ilmiahnya, dia berdiskusi dengan seorang neurolog. Dengan membawa data beberapa pasien, dia mempresentasikan temuannya ini. Neurolog ini kemudian menyampaikan bahwa temuannya itu bukan barang baru. Itu adalah prosedur EEG (Electro-Enchephalograpy) yang biasa dipakai untuk merekan gelombang otak, untuk mencari gelombang kejang, hanya untuk diagnostik saja. Bagaimana mungkin bisa menjadi prosedur terapi dan menyembuhkan kejang serta stroke? 

 

Alih-alih menjawab dan menerima argumen neurolog tersebut, dia kemudian memutuskan berdiskusi dengan wartawan senior, dan menyampaikan bahwa temuannya ini baru dan inovasi anak bangsa. Entah mengapa ditentang banyak kalangan medis. Wartawan tersebut memang sangat tertarik dengan hal-hal baru yang fenomenal. Wartawan tersebut terkagum-kagum, kemudian menulis dengan bahasa awam seputar temuan ini. Tulisan wartawan tersebut berdampak luas, metode “Brain Charging” kemudian meledak, mendapat dukungan masyarakat, pejabat, sampai anggota DPR, dan metode ini benar-benar menjadi terapi alternatif untuk stroke dan epilepsi. Metode tersebut booming tepat di tahun 2022 Hijriah. 

Friday, 25 March 2022

Dokter Radikal, Dokter Liberal

Dokter, apabila berpegang secara literal pada teks, tanpa memahami substansi dari teks tersebut akan menyebabkan radikalisme dalam mengambil keputusan dan tatalaksana. Teks tersebut bisa berupa konsensus, guideline ataupun PNPK (Pedoman Nasional Penanganan Kedokteran). Namun sebaliknya, apabila mengabaikan teks dan terlalu fokus pada tujuan dan substansi, menggebu-gebu dalam melakukan tatalaksana, seringkali akan menjadi liberal dalam pengambilan keputusan. Dokter diajarkan selama pendidikan untuk selalu berpegang pada “teks” namun juga harus bijaksana dalam memberikan keputusan terapi dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan spiritualitas. Ada kasus yang dapat diputuskan secara hitam-putih, namun ada kasus yang memiliki nuansa luas, sehingga perlu pemikiran substantif, “beyond the guideline.”

 

Contoh radikalisme tekstual adalah kasus pada seorang laki-laki dengan rupture mycotic aneurysm dengan dugaan kuat endocarditis. Pasien memiliki small multiple aneurysma. Setelah embolisasi pada aneurysma yang mengalami rupture, maka pemberian antibiotik untuk aneurisma yang lain tentu sangat diperlukan. Namun, adanya keputusan yang menunda pemberian antibiotik hanya karena menunggu kultur adalah radikalisme. Disamping perjalanan penyakit terus berjalan, seberapa canggih kultur darah di Indonesia mampu mendeteksi kuman pada pasien yang secara klinis baik dan tidak tampak tanda-tanda sepsis?




 

Dokter memiliki tingkat kepakaran yang berbeda-beda. Saat ini ada spesialis, subspesialis (konsultan), masih ada lagi guru dari para subspesialis tersebut, expert of the expert, yang pendapatnya legal dan dalam guideline disebut level C. Nah, aksi dan keputusan klinis di luar payung guideline ini, hanya boleh dilakukan dan dikerjakan oleh mereka yang dalam level tersebut. Maka, bisa dilihat bagaimana kasus dengan prosedur-prosedur tertentu dikerjakan oleh expert, walaupun tidak terdapat dalam guideline, mengunakan tehnik baru, atau menggunakan device yang “off label”. 

 

Suatu device atau tehnik yang baru, belum tentu membahayakan dan tidak bermanfaat. Banyak tehnik dan device yang kemudian terbukti sangat bermanfaat dan kemudian menjadi standar terapi, ditulis tebal dalam guideline. Namun, pemakaian device dan tehnik baru ini tidak boleh dilakukan oleh semua orang. Hanya dokter dengan tingkat expertise tertinggi yang boleh melakukannya. Yaitu dokter yang menggunakan device dan tehnik yang sudah ada, dengan tingkat kesalahan dan komplikasi minimal, bahkan mendekati zero. Karena bagaimana mungkin seseorang yang belum expert dengan device dan tehnik yang sudah ada akan mengaplikasikan device dan tehnik baru? Contoh tehnik baru dalam neurointervensi yang kemudian menjadi standar adalah pressure cooker technique oleh Rene Chapot, untuk embolisasi Brain AVM.  Atau contoh lain adalah penggunaan stent retriever untuk stroke yang sebelumnya hanya dipakai untuk stenting intrakranial.

 

Bukti keberhasilan atas tehnik dan device baru tersebut, kemudian dipublikasikan berupa artikel pada jurnal bereputasi dan dalam pertemuan ilmiah tingkat dunia. Konsep tersebut diuji dan dikritisi oleh para peserta. Tehnik yang “dianggap baru,” dilakukan oleh dokter, hanya disosialisasikan melaui media massa, hanya berupa testimony, tanpa melaui diskusi dalam forum expert dunia, maka tentu hanya akan menjadi klaim ilmiah dan pseudoscience. Dapat diduga, kemudian akan hilang tertiup angin.

 

Pasien adalah individu yang harus dijaga oleh dokter. Kewajiban dokter adalah sejalan dengan kewajiban agama dalam menjaga jiwa (nafs), harta (maal), agama (diin), keturunan/kehormatan (nasl) dan akal (‘aql), atau dikenal dengan maqhashid syari’ah, maksud-maksud substansial dari ajaran agama. Suatu prosedur medis yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dan angka keberhasilan sangat kecil, misalnya pasien dengan GCS<5, sebaiknya tidak dilakukan (menjaga nafs). Suatu prosedur medis dengan biaya mahal dan belum terbukti bermanfaat sebaiknya tidak dikerjakan (menjaga maal). Seseorang yang berkeyakinan kuat bahwa dirinya tidak mau menerima obat dengan bahan tertentu yang diharamkan dalam agamanya, sebaiknya tidak diberikan (menjaga diin). Seseorang yang menginginkan keturunan dari bank sperma suaminya sendiri yang sudah meninggal, sebaiknya ditolak dan tidak dipenuhi (menjaga nasl). Atau adanya suatu bahan obat yang diminta oleh pasien dan dapat menyebabkan kerusakan fungsi kognitif atau menyebabkan adiksi harus dihindari dan diberikan pengertian (menjaga ‘aql).

 

Seorang dokter, sesungguhnya memahami dan merasakan saat akan memutuskan suatu terapi. Apabila dia ragu-ragu, apakah akan memberikan terapi tertentu atau tidak, umumnya kasus tersebut tidak secara spesifik tertulis di guideline. Untuk keputusan besar (tentu saja tidak pada semua kasus) yang menyangkut kelima aspek tersebut diatas, ada baiknya didiskusikan dengan expert atau dalam suatu forum diskusi pakar. Adanya diskusi pakar menyiratkan bahwa dokter memiliki keterbatasan, dan memerlukan pendapat dokter lain yang sangat mungkin memiliki sudut pandang berbeda. Tatkala ragu-ragu, cobalah kembali pada lima prinsip diatas, adakah menyalahi kelima prinsip tersebut atau tidak. 

Monday, 21 March 2022

Neurointervensionis (Nevi) Koboi

“If you want to find out the true worth of a man, give him a little power.” (Aristotle) 

Dalam suatu diskusi hangat di sebuah pertemuan ilmiah, Prof. Shakir Husain, guru dari para Nevi, menyampaikan bahwa, adanya ledakan jumlah Nevi saat ini, potensial memunculkan Neurointervensionis Koboi. Dalam kamus oxford, coboy di artikan sebagai a person who is reckless or careless, especially when driving an automobile. Dalam arti sederhana, seseorang yang sembrono atau ceroboh dalam berkendara. Dalam konteks prosedur Nevi, koboi adalah operator yang melakukan prosedur secara serampangan dan tidak mengikuti konsensus, guideline atau evidences base. Atau seorang operator yang melakukan prosedur di luar prasayarat kompetensi, melakukan prosedur mandiri dengan tingkat kesulitan tinggi yang belum pernah dilakukannya, hanya observasi atau asistensi selama pendidikan fellowshipnya.

 

Contoh paling sederhana adalah soal pemilihan dan indikasi prosedur. Apabila sudah di kemukakan dalam evidences base bahwa melakukan prosedur intracranial stenting pada lesi dengan kualifikasi Mori C memiliki kemungkinan komplikasi yang tinggi, dan prosedur tersebut tetap “nekad” dilakukan, inilah Koboi. Lebih-lebih yang bersangkutan belum pernah melakukan prosedur stenting intracranial. 

 

Contoh lain adalah pada prosedur coiling aneurysma. Tidak semua prosedur coiling aneurysma sama. Coiling memiliki kesulitan yang bertingkat-tingkat. Tergantung morfologi aneurysma, lokasi, ukuran dan apakah memerlukan assisted stent/balloon atau tidak. Dimulai dari tingkat kesulitan terendah adalah coiling pada aneurysma dengan neck kecil dan akses mudah, seperti aneurisma pada P.com atau Basiler Top. Kemudian meningkat kesulitannya pada aneurysma pada A.com atau MCA dengan neck kecil. Selanjutnya, tingkat kesulitan lebih tinggi pada coiling yang memerlukan device lain seperti stent/balon atau tehnik double microcatheter. Makin banyak device dimasukkan, makin tinggi tingkat kesulitan dan risiko komplikasi. Level kesulitan lebih tinggi lagi pada giant aneurysma yang memerlukan flow diverter, terutama yang berlokasi pada distal vessel, seperti pada cabang MCA atau ACA.

 

Contoh berikutnya prosedur embolisasi Brain AVM. Komplikasi yang ditimbulkan selama prosedur embolisasi kebanyakan akibat kurang pahamnya operator akan angioarsitektur dan penggunaan bahan embolan. Perdarahan durante prosedur dan defisit neurologis akibat iskemia paska prosedur adalah hal yang tidak jarang ditemui. Georges Rodesch, fellow dari Prof. Lasjaunias, interventional neuroradiologist dari Paris, selalu mengingatkan: “Adapt the technique/devices to the disease, not disease to the technique/devices.” Maka, janganlah hanya karena “bahan embolan tertentu” yang secara tidak etis “harus” dipakai operator, lalu segala bentuk Brain AVM di embolisasi dengan bahan tersebut. Selanjutnya, Rodesch mengingatkan bagaimana seorang Nevi bersikap terhadap inovasi device baru, agar melihat Luc Picard," If he was interested in new technological innovations, he used them in a reasoned way so as to adapt them to the disease he had decided to treat, without ever letting himself be overtaken by them."

 

Pesan paling akhir untuk Nevi dari para senior tersebut adalah,”Jangan sekali-kali melakukan prosedur dengan indikasi pertimbangan kapital.” Jangan hanya karena soal jasa yang menguntungkan operator lalu indikasi prosedur dilonggarkan, semua prosedur dilakukan pada pasien dengan pertimbangan menguntungkan operator dan rumah sakit. Maka, jika ini dilakukan, akan menjadi bencana dikemudian hari. Seandainya ada prosedur yang sebenarnya bukan indikasi, kemudian terjadi komplikasi, lalu menjadi masalah hukum yang disidangkan, tentu akan menjadi beban berat bagi yang bersangkutan maupun organisasi profesi. Jika tidak terjadi komplikasi, bahaya ada pada sisi spiritualias, dimana rizki yang didapatkan menjadi tidak berkah, dan tentu ukuran ini adalah ukuran yang sebenarnya jauh lebih penting dan substansial bagi insan beriman. Bukankah “Ad-dun-ya, ra’su kulli khatii’aat?” Cinta dunia merupakan biang setiap kerusakan.

 

Maka, adalah sebaiknya kita mengikuti nasihat dan jalan para senior, guru-guru yang sudah malang melintang di dunia neurointervensi. Menjadi Koboi adalah pilihan individual. Tetapi, membangun neurointervensi dalam koridor keilmuan dan kemanusiaan universal adalah kewajiban semua Nevi.

Wednesday, 2 February 2022

Siapakah Saya ?

Apabila ditanya apa peran penting saya saat ini, agak sulit menjawabnya. Namun, peran saya baru bisa dikenali apabila saya sudah tidak mampu bertugas. Bukankan ada ungkapan yang mengatakan, “menilai seseorang bermanfaat bagi sekitarnya atau tidak, lihatlah saat ia tiada. Jika semua orang mencari dan menyesali kepergiannya, dia adalah orang yang bermanfaat bagi lingkungannya. Jika tidak ada yang meributkan kepergian-nya, maka sesungguhnya dia selama ini ada, namun seolah tiada”

Jika saya meninggalkan tugas saya, maka seorang individu akan mengalami gejala kelumpuhan separo tubuh, gangguan lapang penglihatan, gangguan perasa. Pada beberapa kasus, akan muncul gejala gangguan kognitif, atau gejala “typical pure vascular parkinsonism.” Gejala parkinsonism yang sesungguhnya.

Saat saya tak mampu bertugas, masih ada yang akan berusaha mengambil peran saya, saudara kembar saya, yang berasal dari kamar belakang, menjulurkan tangan, berusaha membantu agar peran saya tidak hilang. Ukuran saya bisa pendek (short and dysplastic) atau panjang (long and hyperplastic).

Apabila bersama saya ada aneurisma, maka aneurisma ini umumnya kecil saja, sering tak tampak pada CT angiografi, namun jika pecah, gambaran perdarahan tampak diffuse pada CT scan. Kalau bersama saya ada AVM, maka lokasi AVM-nya dalam (deep), sulit dijangkau oleh tindakan bedah, dan seringkali berada disekitar ventrikel. Kalau saya bersama tumor, maka tumor itu adalah choroid papilloma, lebih jarang meningioma dan glioma.

Pernah satu ketika saya diabaikan. Pada seorang pasien dengan aneurisma pada P.com (posterior communicating artery). Aneurisma yang cukup besar ini menutupi tubuh saya yang mungil. Saat dokter bedah melakukan clipping pada aneurisma, saya ikut mati terjepit, uh…betapa sakitnya..! Maka, pasien yang mulanya tanpa defisit sebelum operasi, hanya nyeri kepala saja, sontak setelah operasi menjadi hemiplegi, hemianiopsia, dan hipestesia, ditambah gangguan kognitif signifikan.…….

Maka, please…., ingat-ingatlah, “Siapakah Saya…..?”