“Lang tolanga, begi
Santrena…
Ging deginga, begi
Kiai-ena..
Nyaman Kiai-ena…..
Nglotthak Santrena,
melo tolanga…..”
“Santapan penuh tulang,
untuk sang santri…
Santapan penuh daging,
untuk sang Kiai
Enak betul sang Kiai….
Susah benar sang
santri, hanya mendapat tulang-belulang
saja...
Anak-anak kampung dengan fasih melafalkan kata-kata serupa
syair ini, walaupun syair berbahasa Madura, anak-anak kampung memahami artinya.
Kami tinggal di kampung jawa, namun memiliki ikatan kuat dengan kampung Madura
yang terletak di tepian pantai. Anak-anak
kedua kampung ini, hampir semua mampu berkomunikasi dengan dua bahasa daerah.
Kampung permai ini terletak di pesisir sebelah selatan Banyuwangi.
Syair “Lang tolanga” diatas, sering Kami lagukan saat
bermain. Kami dapatkan dari surau, guru Kami di surau-lah yang mengajarkannya.
Haji Mahmud demikian orang kampung mengenalnya, bagi sosok orang
dewasa, postur beliau termasuk kecil, namun cepat dan gesit. Di kampung ini, kami
biasa memanggil beliau dengan sebutan “Pak Aji” saja. Beliau orang yang
sederhana, tidak berpendidikan formal, namun mampu berbaca-tulis latin. Sebagai
orang yang di warisi sebuah surau, oleh
sang Ayah beliau di kirim belajar beberapa tahun ke sebuah pesantren di kota
lain, dengan harapan akan memakmurkan surau selepas nyantri.
Wajah itu berhias senyum, tatkala beliau meminta salah
seorang santrinya untuk menirukan kata-per-kata syair diatas. Derai tawa yang khas selalu terdengar, setiap
kali kami selesai melafalkannya. Derai tawa seorang pejuang, yang tak kenal
lelah dalam mengabdi sepanjang hayat.
Sore itu, beberapa tahun lalu, hari kedua hari raya Iedul Fitri, Saya mengunjungi beliau. Usianya tampak tak
muda lagi. Tidak lagi terdengar derai tawa khas beliau. Di ruang tamu yang tidak
cukup lebar, dengan dinding rumah yang belum semuanya terbungkus semen, beliau
berusaha menemui Saya, masih terlihat senyum, namun tampak kesulitan berjalan
dan berbicara dengan terbata-bata. Sudah hampir setahun ini stroke menyerang
bagian tubuh kanannya.
“Ayo…dibuka…, demikian beliau meminta Saya menikmati kue
kering dalam toples kecil.” “Monggo Pak Aji"….sahut Saya. Beliau mengangguk,
dan sayapun bertanya…." Apakah Pak Aji Puasa ? “” Iya…..gawe sangu mati (untuk
bekal jika mati)"…..jawab beliau.
Jawaban beliau membuat saya tertegun. Saya menautkan ingatan
pada perjuangan beliau tatkala muda. Bisa dikatakan, hampir semua laki-laki
dewasa di kampung ini adalah murid beliau. Beliau mengajar mulai alif-ba-ta,
bacaan al-Qur’an sampai semua amalan yang mejadi kewajiban seorang muslim,
mulai cara berwudhu sampai bacaan sholat. Sampai saat ini, meskipun Saya orang jawa,
niat dalam hati saat berwudhu masih menggunakan bahasa Madura, dan itu ajaran
beliau yang melekat erat. Semua aktivitas itu, beliau lakukan tanpa sedikitpun
menerima imbalan.
Masih basah dalam ingatan, bagaimana sekelompok laki-laki
dewasa yang asyik bermain kartu dan berjudi kecil-kecilan di kampung, semua
lari semburat tatkala langkah kecil Pak Aji terdengar mendekat. Bukan karena
takut, tapi karena segan. Juga masih hangat dalam benak, tatkala suara beliau
membangunkan kami malam-malam untuk berbagai keperluan, mulai dari mengingatkan
waktu sahur sampai menyampaikan berita kematian.
Surau kecil itu menjadi pusat aktivitas anak-anak kampung .
Sepanjang hidup, Beliau tidak pernah absen sholat berjamaah sekaligus menjadi
imamnya. Selepas subuh dan magrib, dengan sepenuh hati membimbing santri belajar mengaji. Hari-hari beliau penuhi dengan menghadiri pengajian di berbagai
kampung bukan sebagai penceramah, tetapi sebagai pendengar setia, dan kami para
santri sering di ajak dan di bawa. Mata
pencahariannya adalah merawat sawah warisan orangtua dan menyewakan becak. Tak
ayal, barisan becak terparkir di depan surau, dan kami para santri sering
bergantiaan membawanya.
Beberapa tahun lalu, kampung kami yang cerah dan nyaman itu
berangsur-angsur berubah seolah kehilangan warna indahnya. Pak Aji harus pindah
ke Kampung lain, karena sang Ibu telah wafat dan rumah dengan surau itu
harus di tinggalkannya. Di tempat baru, beliau mewaqafkan sebagian besar
tanahnya untuk Masjid, tanah itu cukup besar untuk ukuran beliau yang tidak
cukup berada secara ekonomi. Rumah beliau yang tidak terlalu luas, di bangun di
samping Masjid.
Pernah selepas liburan kuliah, Saya mengunjungi beliau, saat
itu bertepatan hari Jum’at. Dengan wajah cerah beliau menyambut dan meminta Saya
untuk menggantikan beliau menjadi Khatib sholat
jum’at. Meskipun merasa tidak pantas, dan masih belum waktunya bagi Saya,
beliau meyakinkan bahwa sudah saatnya yang muda tampil menggantikan. Beliau
duduk di shaf paling depan, dan dengan khusyuk mendengarkan khutbah jum’at dari
santri kecilnya.
Sekian tahun berlalu, syair “Lang tolanga” kembali terngiang
di telinga…….mata ini basah mendengar berita kepergian beliau, beliau mengalami
stroke serangan kedua. Betapa kami telah kehilangan sosok seorang pejuang, yang
lebih banyak bekerja daripada berceramah dan berkata-kata.
Syair "Lang Tolanga....," menggambarkan bahwa ujian bagi Murid dan Guru berbeda, ujian bagi Santri dan Kiai tidaklah sama. Ujian bagi Murid dan Santri adalah melawan ketidaknyamanan dan kesulitan selama belajar. Sedangkan bagi Guru dan Kiai, ujiannya adalah melawan "kenyamanan" dan "kemapanan" serta bujuk rayu yang bersifat duniawi dan profan.
Syair "Lang Tolanga....," menggambarkan bahwa ujian bagi Murid dan Guru berbeda, ujian bagi Santri dan Kiai tidaklah sama. Ujian bagi Murid dan Santri adalah melawan ketidaknyamanan dan kesulitan selama belajar. Sedangkan bagi Guru dan Kiai, ujiannya adalah melawan "kenyamanan" dan "kemapanan" serta bujuk rayu yang bersifat duniawi dan profan.
Syair “Lang Tolanga…” warisan beliau, bagi kami para santri,
selalu menjadi pengingat agar tidak
pernah putus asa dan selalu bekerja keras dalam menuntut ilmu. Santapan dengan
tulang belulang-pun harus kami terima agar menjadi orang yang kuat dan liat
untuk menjadi pejuang hebat.
Syair itu bagi Pak Aji sebagai seorang Kiai, sesungguhnya adalah sindiran dan pengingat bagi
beliau sendiri, agar jangan sampai melupakan perjuangan dan terlena dengan kehidupan
nyaman. Beliau menyindir dengan halus para guru yang hidup berlebihan dan
selalu hidup nyaman dengan kata-kata “ Ging deginga begi Kiai-ena….”, dengan mengabaikan
santri yang sedang bekerja keras belajar dan memerlukan bimbingan. Beliau telah
membuktikan dengan kesederhanaan beliau sepanjang hidup, bukan hanya mewaqafkan
hartanya, namun juga mewaqafkan seluruh usianya untuk manusia di sekitarnya.
Semoga Allah terus melimpahkan rahmat buat Pak Aji, do’a
santri-santri kecil dan amal jariyahmu yang berlimpah akan selalu menemanimu di
alam barzakh…..Amiin.
“Lang tolanga………..