Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Saturday, 24 December 2016

Lang Tolanga…..

“Lang tolanga, begi Santrena…
Ging deginga, begi Kiai-ena..
Nyaman Kiai-ena…..
Nglotthak Santrena, melo tolanga…..”

“Santapan penuh tulang, untuk sang santri…
Santapan penuh daging, untuk sang Kiai
Enak betul sang Kiai….
Susah benar sang santri,  hanya mendapat tulang-belulang saja...

Anak-anak kampung dengan fasih melafalkan kata-kata serupa syair ini, walaupun syair berbahasa Madura, anak-anak kampung memahami artinya. Kami tinggal di kampung jawa, namun memiliki ikatan kuat dengan kampung Madura yang terletak di tepian pantai.  Anak-anak kedua kampung ini, hampir semua mampu berkomunikasi dengan dua bahasa daerah. Kampung permai ini terletak di pesisir sebelah selatan Banyuwangi.

Syair “Lang tolanga” diatas, sering Kami lagukan saat bermain. Kami dapatkan dari surau, guru Kami di surau-lah yang mengajarkannya.

Haji Mahmud demikian orang kampung mengenalnya, bagi sosok orang dewasa, postur beliau termasuk kecil, namun cepat dan gesit. Di kampung ini, kami biasa memanggil beliau dengan sebutan “Pak Aji” saja. Beliau orang yang sederhana, tidak berpendidikan formal, namun mampu berbaca-tulis latin. Sebagai orang yang di warisi sebuah surau,  oleh sang Ayah beliau di kirim belajar beberapa tahun ke sebuah pesantren di kota lain, dengan harapan akan memakmurkan surau selepas nyantri.

Wajah itu berhias senyum, tatkala beliau meminta salah seorang santrinya untuk menirukan kata-per-kata syair diatas.  Derai tawa yang khas selalu terdengar, setiap kali kami selesai melafalkannya. Derai tawa seorang pejuang, yang tak kenal lelah dalam mengabdi sepanjang hayat.

Sore itu, beberapa tahun lalu, hari kedua hari raya Iedul Fitri,  Saya mengunjungi beliau. Usianya tampak tak muda lagi. Tidak lagi terdengar derai tawa khas beliau. Di ruang tamu yang tidak cukup lebar, dengan dinding rumah yang belum semuanya terbungkus semen, beliau berusaha menemui Saya, masih terlihat senyum, namun tampak kesulitan berjalan dan berbicara dengan terbata-bata. Sudah hampir setahun ini stroke menyerang bagian tubuh kanannya.

“Ayo…dibuka…, demikian beliau meminta Saya menikmati kue kering dalam toples kecil.” “Monggo Pak Aji"….sahut Saya. Beliau mengangguk, dan sayapun bertanya…." Apakah Pak Aji Puasa ? “” Iya…..gawe sangu mati (untuk bekal jika mati)"…..jawab beliau.

Jawaban beliau membuat saya tertegun. Saya menautkan ingatan pada perjuangan beliau tatkala muda. Bisa dikatakan, hampir semua laki-laki dewasa di kampung ini adalah murid beliau. Beliau mengajar mulai alif-ba-ta, bacaan al-Qur’an sampai semua amalan yang mejadi kewajiban seorang muslim, mulai cara berwudhu sampai bacaan sholat.  Sampai saat ini, meskipun Saya orang jawa, niat dalam hati saat berwudhu masih menggunakan bahasa Madura, dan itu ajaran beliau yang melekat erat. Semua aktivitas itu, beliau lakukan tanpa sedikitpun menerima imbalan.

Masih basah dalam ingatan, bagaimana sekelompok laki-laki dewasa yang asyik bermain kartu dan berjudi kecil-kecilan di kampung, semua lari semburat tatkala langkah kecil Pak Aji terdengar mendekat. Bukan karena takut, tapi karena segan. Juga masih hangat dalam benak, tatkala suara beliau membangunkan kami malam-malam untuk berbagai keperluan, mulai dari mengingatkan waktu sahur sampai menyampaikan berita kematian.

Surau kecil itu menjadi pusat aktivitas anak-anak kampung . Sepanjang hidup, Beliau tidak pernah absen sholat berjamaah sekaligus menjadi imamnya. Selepas subuh dan magrib, dengan sepenuh hati membimbing santri belajar mengaji. Hari-hari beliau penuhi dengan menghadiri pengajian di berbagai kampung bukan sebagai penceramah, tetapi sebagai pendengar setia, dan kami para santri sering  di ajak dan di bawa. Mata pencahariannya adalah merawat sawah warisan orangtua dan menyewakan becak. Tak ayal, barisan becak terparkir di depan surau, dan kami para santri sering bergantiaan membawanya.

Beberapa tahun lalu, kampung kami yang cerah dan nyaman itu berangsur-angsur berubah seolah kehilangan warna indahnya. Pak Aji harus pindah ke Kampung lain, karena sang Ibu telah wafat dan rumah dengan surau itu harus di tinggalkannya. Di tempat baru, beliau mewaqafkan sebagian besar tanahnya untuk Masjid, tanah itu cukup besar untuk ukuran beliau yang tidak cukup berada secara ekonomi. Rumah beliau yang tidak terlalu luas, di bangun di samping Masjid.

Pernah selepas liburan kuliah, Saya mengunjungi beliau, saat itu bertepatan hari Jum’at. Dengan wajah cerah beliau menyambut dan meminta Saya untuk menggantikan beliau menjadi Khatib sholat  jum’at. Meskipun merasa tidak pantas, dan masih belum waktunya bagi Saya, beliau meyakinkan bahwa sudah saatnya yang muda tampil menggantikan. Beliau duduk di shaf paling depan, dan dengan khusyuk mendengarkan khutbah jum’at dari santri kecilnya.

Sekian tahun berlalu, syair “Lang tolanga” kembali terngiang di telinga…….mata ini basah mendengar berita kepergian beliau, beliau mengalami stroke serangan kedua. Betapa kami telah kehilangan sosok seorang pejuang, yang lebih banyak bekerja daripada berceramah dan berkata-kata.

Syair "Lang Tolanga....," menggambarkan bahwa ujian bagi Murid dan Guru berbeda, ujian bagi Santri dan Kiai tidaklah sama. Ujian bagi Murid dan Santri adalah melawan ketidaknyamanan dan kesulitan selama belajar. Sedangkan bagi Guru dan Kiai, ujiannya adalah melawan "kenyamanan" dan "kemapanan" serta bujuk rayu yang bersifat duniawi dan profan.

Syair “Lang Tolanga…” warisan beliau, bagi kami para santri,  selalu menjadi pengingat agar tidak pernah putus asa dan selalu bekerja keras dalam menuntut ilmu. Santapan dengan tulang belulang-pun harus kami terima agar menjadi orang yang kuat dan liat untuk menjadi pejuang hebat.

Syair itu bagi Pak Aji sebagai seorang Kiai,  sesungguhnya adalah sindiran dan pengingat bagi beliau sendiri, agar jangan sampai melupakan perjuangan dan terlena dengan kehidupan nyaman. Beliau menyindir dengan halus para guru yang hidup berlebihan dan selalu hidup nyaman dengan kata-kata “ Ging deginga begi Kiai-ena….”, dengan mengabaikan santri yang sedang bekerja keras belajar dan memerlukan bimbingan. Beliau telah membuktikan dengan kesederhanaan beliau sepanjang hidup, bukan hanya mewaqafkan hartanya, namun juga mewaqafkan seluruh usianya untuk manusia di sekitarnya.

Semoga Allah terus melimpahkan rahmat buat Pak Aji, do’a santri-santri kecil dan amal jariyahmu yang berlimpah akan selalu menemanimu di alam barzakh…..Amiin. 

“Lang tolanga………..


Sunday, 4 December 2016

Neurointervensi dalam Praktis Klinis

Awalan

Neurointervensi merupakan salah satu bidang kajian dalam neurologi. Area neurointervensi meliputi prosedur diagnostik dan intervensi. Prosedur ini dilakukan pada pasien dengan kelainan pembuluh darah otak dan medula spinalis. Prosedur dilakukan dengan insersi kateter dalam pembuluh darah (endovaskuler).

Bidang neurointervensi berkembang sangat pesat. Perkembangan ini sejalan dengan pesatnya perkembangan neuroimejing. Keduanya membantu neurolog dalam melakukan tatalaksana penyakit neurologis dalam praktek sehari-hari.

Dengan semakin banyaknya pilihan modalitas diagnostik dan prosedur neurointervensi, dan dengan adanya sistem jaminan kesehatan (BPJS) dengan segala kurang lebihnya, maka klinisi di tuntun kreatif dan efektif dalam memilih modalitas imejing sebagai dasar terapi selanjutnya.

Prosedur neurointervensi terdiri dari modalitas diagnostik (neurovaskuler) dan terapi. Peran neurointervensi sebagai modalitas diagnostik telah banyak digantikan oleh neuroimejing non-invasive yang saat ini semakin canggih dan memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi. Sehingga, prosedur intervensi dapat dilakukan dengan hanya berdasarkan pada modalitas neuroimejing non-invasive. Namun, prosedur neurointervensi diagnostik (DSA) tetap tidak tergantikan untuk beberapa penyakit neurovaskuler seperti pada kasus AVM dan Dural AVF.

Anatomi Neurovaskuler : Target Prosedur Neurointervensi

Target prosedur neurointervensi adalah restorasi anatomi neurovaskuler yang patologis, baik berupa tindakan embolisasi (dengan liquid embolan, coil, balon) maupun tindakan revaskularisasi (thrombectomy, angioplasty, stenting). Untuk tujuan tersebut hal pertama yang harus dilakukan adalah menegakkan adanya kelainan anatomis pembuluh darah (head and neck) pasien yang bersangkutan. Kelainan pada anatomi pembuluh darah hanya bisa diketahui dengan pemeriksaan neurovaskuler pada head, neck maupun spinal (gambar).


Gambar. Kelainan anatomis neurovaskuler sebagai target prosedur neurointervensi

Dalam klinis praktis, neurolog seringkali berhenti pada pemeriksaan CT scan kepala dan MRI. Pada banyak kasus stroke, membedakan adanya stroke perdarahan atau iskemik saja tidaklah cukup, lebih dari itu, perlu dicari etiologi yang mendasari terjadinya stroke. Ditemukannya etiologi stroke sangat penting dalam strategi penatalaksanaan dan prevensi sekunder setelah fase akut.

Dalam mencari etiologi, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pemeriksaan neurovaskuler imejing. Modalitas diagnostic neurovaskuler yang ada, dimulai dari yang kurang ke paling sensitive adalah TCD, MRA, CTA dan DSA. Modalitas ini dapat dilakukan sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing. Apabila diyakini ada suatu penyakit neurovaskuler, dan pada modalitas imejing yang telah dilakukan tidak ditemukan adanya kelainan, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan modalitas diagnostik yang memiliki sensitivitas paling tinggi sebagai baku emas.

Apabila kelainan vaskuler telah teridentifikasi dengan modalitas diagnostik diatas, maka prosedur neurointervensi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada kelainan tersebut (dengan berdasar evidence base dan manfaat).

Pada prinsipnya, hanya ada 2 prosedur neurointervensi yaitu menutup pembuluh darah patologis (embolisasi) atau membuka /memperlancar aliran darah (revaskularisasi). Embolisasi bisa menggunakan berbagai device mulai dari bahan liquid embolan, coil maupun balon. Sedangkan revaskularisasi dapat berupa trombektomi, trombolisis, angioplasty, stenting dan pemberian obat semacam spasmolysis pada kasus vasospasme.

Pertanyaan tersering berkenaan dengan neurointervensi

Neurointervensi merupakan ranah neurosains yang relatif baru. Perkembangan neurointervensi sangat signifikan dan banyak hal yang berkaitan dengan diagnose maupun terapi dalam praktis sehari-hari yang memerlukan jawaban. Berikut beberapa hal yang sering menjadi pertanyaan para klinisi :

Pertanyaan berkaitan dengan diagnostik neurovaskuler :
Manakah yang lebih baik CTA atau MRA ?
Apabila sudah ada CTA, perlukah dilakukan Carotid Doppler dan TCD ?
Apabila sudah dilakukan CTA, masih perlukan MRA (dan sebaliknya) ?
Apakah DSA perlu dilakukan pada pasien saya ini (case by case) ?

Pertanyaan berkaitan dengan terapi intervensi :
Apakah semua AVM dilakukan terapi ?
Apakan aneurisma unrupture perlu di lakukan coiling ?
Kapankah Intracranial steting dilakukan, apakah bermanfaat ?
Kapan carotid stenosis dilakukan terapi ?
Kapan pasien SAH sebaiknya dirujuk ?
Apakah AVM yang rupture harus segera dilakukan embolisasi ?

Akhiran
Prosedur neurointervensi pada dasarnya adalah restorasi anatomis pada kelainan yang ditemukan pada neurovaskuler imejing. Sehingga, menemukan kelainan tersebut dengan modalitas neurovaskuler imejing yang tersedia merupakan langkah pertama yang penting. Namun, keputusan terapi intervensi bukan hanya didasarkan pada temuan kelainan anatomi semata, tetapi juga didasarkan pada perjalanan alamiah penyakit dan mempertimbangkan risk and benefit . Dengan kata lain, ditemukannya kelaian anatomi tidak serta merta harus dilakukan tindakan intervensi. Evidence base dan manfaat klinis bagi pasien merupakan pertimbangan utama bagi setiap prosedur yang akan dilakukan.

(Topik diskusi, Banyuwangi, 17 Desember 2016)

Wednesday, 9 November 2016

Memaknai suatu hari

Kesedihan itu nyata
Katakutan benar melanda
Tentang integritas pribadi
Yang tiada sungguh luluh mengabdi

Apakah arti jauhnya perjalanan
Jika ia tanpa makna, miskin tujuan
Jalanan terjal membuat limbung
Tak lagi kukuh dalam berhitung

Berhitunglah…..
Bacalah buku catatan, catatan-mu sendiri
Malukah engkau
Tersipukah engkau
Baru tersadar dan bersandar penuh menyesal

Setiap engkau pasti akan ditanya
Saat ini engkau perlu bertanya
Sudah pantaskan jika ditanya ?

Tersungkurlah sekarang…..
Jangan tunggu akan dan akan
Ratakan tempat sujudmu dengan ratapan
Ikuti jalan setiap, setiap kekasih-Nya
Sujudkan hatimu dengan selalu
Bukan karena meminta baik
Bukan karena mengharap mulya

Sujudmu karena lalaimu begitu kontinyu
Sungguh menakutkan jika ia terus berlalu
Mengikuti hari-harimu, sedang hatimu makin membeku
Sekarang, hanya tersisa beberapa waktu ….

Carilah lagi bening tetes air
Dan itu pernah kau rasakan
Jadilah telaga jernih dengan kumpulan embun-nya
Alirkan ia ke setiap arah
Teruslah bergerak, menuju cinta-Nya
Cinta sejati abadi, cinta yang tiada fana

Saturday, 15 October 2016

Rutinitas yang membunuh...

Jumlah waktu sehari semalam tidak berubah, tetap saja 24 jam. Namun, mengapa perputaran ini terasa demikian cepat. Baru saja matahari pagi datang menyapa, sekarang malam datang menjelang, dan tak lama datang lagi sang fajar......bukankah mata ini baru saja terpejam ?

Apatah pula makna usia ? Belum hilang rasanya masa kanak-kanak, datang masa remaja, dan kini cukup masa untuk menikah, lahirlah kembali anak-anak kita yang juga memasuki masa kanak-kanak.  Dunia berputar bukan hanya tentang soal siang malam, namun juga masa dan usia. Bukankah ini fatamorgana ? kemana rasanya pergi kakek dan bapak-ibu kita, padahal baru tahun-tahun yang lalu kita bercengkerama bersama mereka.

Perputaran-perputaran ini benarkah membosankan ? perputaran ini benarkah tanpa makna. Kawan saya menjawab “tentu tidak, hidup ini ada maknanya, ia adalah ibadah, ia adalah kebun akhirat.”

Benarkah perputaran yang berisi rutinitas hidup ini ibadah ? jangan-jangan yang kita anggap ibadah, ternyata bukan ibadah, jangan-jangan benih yang kita tanam dan kita siram, yang kita anggap akan berbuah, nyatanya gugur, dan gagal menjadi buah.

Lalu bagaimana kita tahu ? bagaimana kita mengerti bahwa rutinitas hidup itu ternyata tidak bermakna apa-apa. Lalu haruskah kita kawatir, jangan-jangan rutinitas hidup kita, bahkan rutinitas ibadah kita juga hal yang tiada berguna. Jangan-jangan kita GR (Gede Rumangsa) kita sudah beribadah, kita sudah berniat benar, kita menjadi hamba Tuhan yang ber-iman, padahal tidak, padahal bukan.

Sebagai dokter misalnya, jangan-jangan seolah-olah pelayanan kita pada pasien itu ibadah tatkala kita mengobati dan menolong orang lain, padahal itu hanya dalam rangka menolong diri kita sendiri. Agar kita survive, agar kita dapat bertahan hidup, demi sesuap nasi.

Rutinitas harian yang kita kerjakan ternyata dapat membunuh kita, yaitu tatkala rutinitas itu tidak memiliki makna. Rutinitas itu tidak lebih hanya pekerjaan lahiriyah, serupa dengan yang dikerjakan mesin-mesin produksi, menghasilkan produk tapi tanpa makna dan tujuan.

Dua orang dokter dengan aktivitas rutin harian yang sama persis, akan menghasilkan makna berbeda di sisi Sang pencipta, hanya karena motif, niat dan bagaimana keduanya memaknai aktivitasnya. Seorang penuntut ilmu akan berbeda kedudukan di sisi Tuhan-nya, karena niat dan segala gejolak yang ada dalam isi hatinya.

Maka, rutinitas itu akan membunuh apabila kita lupa memaknai dan memperbaharui niat dan motif setiap hari-nya. Rutinitas yang hanya dilalui dan dihabiskan apa adanya sungguh menakutkan, tatkala Ruh ini di ambil oleh malaikat maut secara tiba-tiba, maka tiadalah bernilai rutinitas itu kecuali rutinitas yang dimaksudkan untuk ibadah, dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Dimanakah kita dapat menitipkan motif dan cita-cita kita mendekat kepada-Nya ? Motif dan niat itu kita titipkan pada doa-doa kita, pada tangan-tangan yang kita angkat, pada wajah yang kita tengadahkan, pada hati yang penuh harap akan kelemahan dan kejahilan.

Sebagai penuntut ilmu, sungguh kita takut akan sabda Rasulullah SAW : ” Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah orang ‘alim yang tidak diberi Allah SWT manfaat dengan ilmunya.” (nukilan Kitab Maroqil ‘Ubudiyah)

Sebagai penuntut ilmu, sungguh kita harus terus menerus berdoa dengan doa yang diajarkan Nabi SAW “ Ya Allah aku berlindung dengan-Mu dari ilmu yang tidak berguna, dari hati yang tidak khusyuk (tunduk), serta amal yang tidak diangkat, serta do’a yang tidak diterima.”

Rutinitas adalah amalan sehari-hari. Sungguh itu akan membunuh kita, apabila amal itu tidak diangkat ke langit dan hanya menjadi amalan tak berguna, hanya tertinggal dan tergolek di bumi.....


Sunday, 18 September 2016

Mata Air, bukan Air Mata

“ Berburu ke padang datar, dapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi.”

Dosen muda itu masih duduk terpekur di pojok perpustakaan universitas, hatinya galau, gundah gulana. Matanya menatap tajam pada tumpukan disertasi, produk intelektual mahasiswa tingkat doktoral. Perpustakaan ini menjadi saksi bisu, betapa banyak jerih payah ilmiah strata tertinggi ini hanya teronggok tak bersuara, tak dikenal, bahkan oleh masyarakat kampusnya sendiri.

Tak terperi usaha yang dilakukan oleh para doktor dari berbagai kampus, sebelum disertasinya resmi menjadi bagian koleksi perpustakaan. Waktu, tenaga dan biaya, habis sudah untuk membayarnya selama rata-rata tiga sampai lima tahun. Adakah harga yang mahal ini sudah memberikannya manfaat ? memberikannya nilai tambah, baik dihadapan Allah apalagi hanya sekedar dihadapan manusia ?

Masih lekat dalam bayangnya, dari dunia pesantren, tumpukan kitab-kitab referensi berwarna kekuningan yang di pegang erat oleh para santri. Kitab-kitab itu sebagian besar berasal dari abad lampau, namun masih abadi, menjadi rujukan para santri mengaji dan mengkaji. Kitab-kitab ini menjadi mata air.

Serupa itu, dalam dunia kedokteran, ada banyak buku-buku induk yang saat ini menjadi referensi, dijadikan bahan rujukan, pengaruhnya melekat tak terbantahkan, di sitasi oleh banyak buku dan penelitian-penelitian lain. Buku-buku ini juga menjadi mata air.

Mengapa ada produk ilmiah yang menjadi mata air, dan mengapa ada produk lainnya hanya menjadi “air mata” ?

Tuesday, 30 August 2016

Menghampiri Mata Air



Deru pesawat mulai berhenti, terdengar lelah, setelah mengepakkan sayap selama hampir 13 jam, burung besi itu akhirnya hinggap di flughafen Zurich. Dari jendela pesawat tampak perbukitan hijau mengelilingi area bandara. Langkah kaki sesosok pemuda terdengar tak sabar, melangkah cepat menuruni tangga pesawat, setengah berlari menuju stasiun kereta di lantai bawah bandara. Segera, setelah tiket di tangan, disambarnya koper memasuki gerbong. Dia tampak tak hendak mencari tempat duduk, lebih memilih berdiri di pinggiran pintu, sambil memandang tajam keluar. “ Inilah kota itu,” gumannya.

Zürich Hauptbahnhof, tulisan di monitor kereta itu telah berkedip, dan keretapun berhenti. Pemuda itu meloncat mengikuti arus penumpang, menaiki escalator dan menuju arah kanan keluar dari main station Zurich. Sambil terus berjalan, diliriknya Bahnhofstrasse, lokasi belanja dengan barang branded terkemuka tampak di sepanjang mata memandang. Namun, itu semua saat ini tidaklah cukup menarik hatinya.

Kaki itu terus melangkah, menyebrangi jalan menuju jembatan yang menjulur di atas Limmat, sungai yang membelah panjang kota. Dari atas jembatan dilihatnya dari kejauhan minaret Fraumunster church, warna hijaunya menusuk langit, bangunan legendaris yang selalu muncul hampir disemua gambar tentang kota ini. Begitu melewati pemberhentian tram central, tampak Sorell Rutli, berjajar diantara banyak hotel di area old town Zurich. Sekedar memasukkan koper di kamar, segeralah ia berlari menyusuri trotoar, mengikuti arah peta menuju “sumber mata air.” Entahlah, pagi itu rasa dahaga seolah tak tertahankan.

“Mata air” itu ternyata berada di puncak bukit. Kaki yang mulai lelah tak begitu dirasakannya. Setapak demi setapak anak tangga di pijaknya, sesekali terdengar nafas tersengal, namun tak membuatnya berhenti. Sekarang, persis didepannya, institute teknologi, ETH Zurich kokoh berdiri. Tampak dalam bayangnya Albert Einstein muda meliriknya dari teras kubah kampus yang menjulang. Bangunan kokoh dengan aroma dan suasana masa lampau. Inilah “mata air” pertama yang ditemukannya. Tempat dimana inspirator bom nuklir, genius tingkat dunia, pernah mengabiskan waktu sampai jenjang doktoral. Di tempat yang sama, Wilhelm Conrad Rontgen, penemu sinar X, menghabiskan masa studi. Keduanya, seolah sedang duduk berhadapan, tersenyum dan menikmati secangkir kopi menikmati suasana pagi.

Di seberang jalan, dibelakang zoological museum, tampak kubah kedua yang tak kalah indah dengan warna coklat kehijauan, university central Zurich, tidak cukup ramai, namun mulai banyak pecinta ilmu berdatangan memasuki pintu-pintu gerbangnya.

Puncak bukit masih belum dicapainya, kaki itu terus melangkah, kini ia memasuki area university hospital. Area ini tak tampak seperti rumah sakit, lebih mirip taman-taman bunga yang menawan. Konon, rumah sakit ini berusia lebih tua dari usia negara Switzerland sendiri.
Setelah melewati beberapa departemen, kini ia telah memasuki area utama. Inilah “mata air” kedua.

Di jantung university hospital, Mahmut Gazi Yasargil, penerima penghargaan “Neurosurgery’s man of the century 1950-1999,” mendedikasikan hidupnya untuk neuroscience. Buku fenomenal, microneurosurgery setebal 4 jilid, bukan hanya membahas tentang aspek neurosurgical, dimana beliau merupakan pioneer-nya, namun lebih dari itu, Yasargil meletakkan dasar-dasar filosofi clinical neuroscience yang menginspirasi banyak orang. Ditempat ini juga, Anton Valavanis mengembangkan interventional neuroradiology, mengkomunikasikan filosofi Yasargil dengan “bahasa” nya sendiri. Pemikiran dan kolaborasi kedua orang yang berbeda bangsa (Yasargil -Turki, Valavanis -Yunani) benar-benar menjadi sumber air yang mengalir deras ke seluruh dunia, air yang kini kita rasakan kesegarannya.

Menghampiri “mata air,” bukan hanya hendak meneguk air sepuas-puasnya, namun juga merasakan atmosfir, hembusan angin yang menghidupkan, mencari berjuta alasan, bagaimanakah “mata air” ini bisa tercipta.


Dari puncak gedung tertinggi university hospital, kedamaian Zurich amat nyata dalam hela, tempat para pecinta ilmu yang begitu produktif menuliskan karya-karyanya. Inilah satu diantara sekian sumber “mata air,” yang terkadang kita tidak pernah menyadarinya, meskipun setiap saat meneguk kenikmatan dan kesegarannya.