Deru pesawat mulai berhenti, terdengar lelah, setelah mengepakkan sayap
selama hampir 13 jam, burung besi itu akhirnya hinggap di flughafen Zurich. Dari jendela pesawat tampak perbukitan hijau
mengelilingi area bandara. Langkah kaki sesosok pemuda terdengar tak sabar,
melangkah cepat menuruni tangga pesawat, setengah berlari menuju stasiun kereta
di lantai bawah bandara. Segera, setelah tiket di tangan, disambarnya koper
memasuki gerbong. Dia tampak tak hendak mencari tempat duduk, lebih memilih berdiri
di pinggiran pintu, sambil memandang tajam keluar. “ Inilah kota itu,”
gumannya.
Zürich Hauptbahnhof, tulisan di monitor kereta itu telah berkedip, dan keretapun berhenti. Pemuda itu meloncat mengikuti arus penumpang, menaiki escalator dan menuju arah kanan keluar dari main station Zurich. Sambil terus berjalan, diliriknya Bahnhofstrasse, lokasi belanja dengan barang branded terkemuka tampak di sepanjang mata memandang. Namun, itu semua saat ini tidaklah cukup menarik hatinya.
Zürich Hauptbahnhof, tulisan di monitor kereta itu telah berkedip, dan keretapun berhenti. Pemuda itu meloncat mengikuti arus penumpang, menaiki escalator dan menuju arah kanan keluar dari main station Zurich. Sambil terus berjalan, diliriknya Bahnhofstrasse, lokasi belanja dengan barang branded terkemuka tampak di sepanjang mata memandang. Namun, itu semua saat ini tidaklah cukup menarik hatinya.
Kaki itu terus melangkah, menyebrangi jalan menuju jembatan yang menjulur
di atas Limmat, sungai yang membelah
panjang kota. Dari atas jembatan dilihatnya dari kejauhan minaret Fraumunster church, warna hijaunya
menusuk langit, bangunan legendaris yang selalu muncul hampir disemua gambar
tentang kota ini. Begitu melewati pemberhentian tram central, tampak Sorell
Rutli, berjajar diantara banyak hotel di area old town Zurich. Sekedar
memasukkan koper di kamar, segeralah ia berlari menyusuri trotoar, mengikuti
arah peta menuju “sumber mata air.” Entahlah, pagi itu rasa dahaga seolah tak
tertahankan.
“Mata air” itu ternyata berada di puncak bukit. Kaki yang mulai lelah tak
begitu dirasakannya. Setapak demi setapak anak tangga di pijaknya, sesekali
terdengar nafas tersengal, namun tak membuatnya berhenti. Sekarang, persis
didepannya, institute teknologi, ETH Zurich kokoh berdiri. Tampak dalam
bayangnya Albert Einstein muda meliriknya dari teras kubah kampus yang
menjulang. Bangunan kokoh dengan aroma dan suasana masa lampau. Inilah “mata
air” pertama yang ditemukannya. Tempat dimana inspirator bom nuklir, genius
tingkat dunia, pernah mengabiskan waktu sampai jenjang doktoral. Di tempat yang
sama, Wilhelm Conrad Rontgen, penemu sinar X, menghabiskan masa studi. Keduanya,
seolah sedang duduk berhadapan, tersenyum dan menikmati secangkir kopi
menikmati suasana pagi.
Di seberang jalan, dibelakang zoological museum, tampak kubah kedua yang
tak kalah indah dengan warna coklat kehijauan, university central Zurich, tidak
cukup ramai, namun mulai banyak pecinta ilmu berdatangan memasuki pintu-pintu
gerbangnya.
Puncak bukit masih belum dicapainya, kaki itu terus melangkah, kini ia
memasuki area university hospital. Area ini tak tampak seperti rumah sakit,
lebih mirip taman-taman bunga yang menawan. Konon, rumah sakit ini berusia
lebih tua dari usia negara Switzerland sendiri.
Setelah melewati beberapa departemen, kini ia telah memasuki area utama.
Inilah “mata air” kedua.
Di jantung university hospital, Mahmut Gazi Yasargil, penerima
penghargaan “Neurosurgery’s man of the century 1950-1999,” mendedikasikan
hidupnya untuk neuroscience. Buku fenomenal, microneurosurgery setebal 4 jilid,
bukan hanya membahas tentang aspek neurosurgical, dimana beliau merupakan
pioneer-nya, namun lebih dari itu, Yasargil meletakkan dasar-dasar filosofi clinical
neuroscience yang menginspirasi banyak orang. Ditempat ini juga, Anton
Valavanis mengembangkan interventional neuroradiology, mengkomunikasikan
filosofi Yasargil dengan “bahasa” nya sendiri. Pemikiran dan kolaborasi kedua
orang yang berbeda bangsa (Yasargil -Turki, Valavanis -Yunani) benar-benar
menjadi sumber air yang mengalir deras ke seluruh dunia, air yang kini kita
rasakan kesegarannya.
Menghampiri “mata air,” bukan hanya hendak meneguk air sepuas-puasnya,
namun juga merasakan atmosfir, hembusan angin yang menghidupkan, mencari
berjuta alasan, bagaimanakah “mata air” ini bisa tercipta.
Dari puncak gedung tertinggi university hospital, kedamaian Zurich amat
nyata dalam hela, tempat para pecinta ilmu yang begitu produktif menuliskan karya-karyanya.
Inilah satu diantara sekian sumber “mata air,” yang terkadang kita tidak pernah
menyadarinya, meskipun setiap saat meneguk kenikmatan dan kesegarannya.
No comments:
Post a Comment