Jumlah waktu sehari semalam tidak berubah, tetap saja 24
jam. Namun, mengapa perputaran ini terasa demikian cepat. Baru saja matahari
pagi datang menyapa, sekarang malam datang menjelang, dan tak lama datang lagi sang fajar......bukankah mata ini baru saja terpejam ?
Apatah pula makna usia ? Belum hilang rasanya masa
kanak-kanak, datang masa remaja, dan kini cukup masa untuk menikah, lahirlah kembali
anak-anak kita yang juga memasuki masa kanak-kanak. Dunia berputar bukan hanya tentang soal siang
malam, namun juga masa dan usia. Bukankah ini fatamorgana ? kemana
rasanya pergi kakek dan bapak-ibu kita, padahal baru tahun-tahun yang lalu kita
bercengkerama bersama mereka.
Perputaran-perputaran ini benarkah membosankan ? perputaran
ini benarkah tanpa makna. Kawan saya menjawab “tentu tidak, hidup ini ada
maknanya, ia adalah ibadah, ia adalah kebun akhirat.”
Benarkah perputaran yang berisi rutinitas hidup ini ibadah ?
jangan-jangan yang kita anggap ibadah, ternyata bukan ibadah, jangan-jangan
benih yang kita tanam dan kita siram, yang kita anggap akan berbuah, nyatanya gugur, dan gagal menjadi buah.
Lalu bagaimana kita tahu ? bagaimana kita mengerti bahwa
rutinitas hidup itu ternyata tidak bermakna apa-apa. Lalu haruskah kita kawatir,
jangan-jangan rutinitas hidup kita, bahkan rutinitas ibadah kita juga hal yang
tiada berguna. Jangan-jangan kita GR (Gede Rumangsa) kita sudah beribadah, kita
sudah berniat benar, kita menjadi hamba Tuhan yang ber-iman, padahal tidak,
padahal bukan.
Sebagai dokter misalnya, jangan-jangan seolah-olah pelayanan
kita pada pasien itu ibadah tatkala kita mengobati dan menolong orang lain, padahal itu hanya dalam rangka menolong diri kita sendiri. Agar kita
survive, agar kita dapat bertahan hidup, demi sesuap nasi.
Rutinitas harian yang kita kerjakan ternyata dapat membunuh
kita, yaitu tatkala rutinitas itu tidak memiliki makna. Rutinitas itu tidak
lebih hanya pekerjaan lahiriyah, serupa dengan yang dikerjakan mesin-mesin
produksi, menghasilkan produk tapi tanpa makna dan tujuan.
Dua orang dokter dengan aktivitas rutin harian yang sama
persis, akan menghasilkan makna berbeda di sisi Sang pencipta, hanya karena
motif, niat dan bagaimana keduanya memaknai aktivitasnya. Seorang penuntut ilmu
akan berbeda kedudukan di sisi Tuhan-nya, karena niat dan segala gejolak yang
ada dalam isi hatinya.
Maka, rutinitas itu akan membunuh apabila kita lupa memaknai
dan memperbaharui niat dan motif setiap hari-nya. Rutinitas yang hanya dilalui
dan dihabiskan apa adanya sungguh menakutkan, tatkala Ruh ini di ambil oleh
malaikat maut secara tiba-tiba, maka tiadalah bernilai rutinitas itu kecuali
rutinitas yang dimaksudkan untuk ibadah, dimaksudkan untuk mendekatkan diri
pada Sang Pencipta.
Dimanakah kita dapat menitipkan motif dan cita-cita kita
mendekat kepada-Nya ? Motif dan niat itu kita titipkan pada doa-doa kita, pada
tangan-tangan yang kita angkat, pada wajah yang kita tengadahkan, pada hati
yang penuh harap akan kelemahan dan kejahilan.
Sebagai penuntut ilmu, sungguh kita takut akan sabda
Rasulullah SAW : ” Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah orang
‘alim yang tidak diberi Allah SWT manfaat dengan ilmunya.” (nukilan Kitab Maroqil ‘Ubudiyah)
Sebagai penuntut ilmu, sungguh kita harus terus menerus
berdoa dengan doa yang diajarkan Nabi SAW “ Ya Allah aku berlindung dengan-Mu
dari ilmu yang tidak berguna, dari hati yang tidak khusyuk (tunduk), serta
amal yang tidak diangkat, serta do’a yang tidak diterima.”
Rutinitas adalah amalan sehari-hari. Sungguh itu akan
membunuh kita, apabila amal itu tidak diangkat ke langit dan hanya menjadi
amalan tak berguna, hanya tertinggal dan tergolek di bumi.....
No comments:
Post a Comment