Teman saya, seorang doktor, berkeluh kesah tentang kegalauan
hidupnya. Dia merasa, makin dalam bidang ilmu yang ia pelajari, makin kering
dan limbung spiritualitas-nya.
Teman saya, dia bukan hanya seorang dokter spesialis, namun
juga doktor dan ilmuwan, sebentar lagi bergelar Profesor. Dia merasa, semakin
banyak membaca dan meneliti, makin gelisah jiwa-nya. Kepercayaan akan ajaran
agama makin kabur. Makin kebelakang, dominasi rasionalitas-nya, semakin
menggerus keimanannya.
Dalam perjalanan keilmuan-nya, semua pernyataan ilmiah haruslah
memiliki bukti, semua ungkapan ilmiah memerlukan penalaran yang logis. Ungkapan
ilmiah apapun, harus dalam kerangka metodologis yang dapat dipertanggung
jawabkan. Lambat-laun, secara sadar atau tersamar, mulailah muncul pertanyaan
dalam batin, yaitu menimbang keyakinan agama dengan sudut pandang sains dan
rasionalitas yang dimiliki-nya.
Pertanyaan itu berkembang demikian rupa, pertanyaan yang
mungkin dia sendiri tak akan pernah mampu menjawab dan menguraikannya.” Apakah
malaikat itu benar-benar ada ? Bagaimana sebenarnya malaikat itu berbentuk.” Bagaimana
sains bisa membuktikannya ?”…..pertanyaan ini disusul oleh banyak pertanyaan
lain yang malah semakin membuat galau jiwanya. Akhirnya, ibadahnya tidak lagi
khusyuk dan memberikan-nya ketenangan. Studi bertahun-tahun, pendidikan yang
tinggi, dan dominasi rasionalitas-nya hampir melepaskan dia dari agama dan
keyakinannya.
Saat ini, dia duduk terpaku. Di tengah gelombang manusia di kota
suci Makkah. Persis di depan pintu masjid, di tanah tempat turunnya wahyu Ilahi,
matanya menatap pada semua orang yang keluar-masuk Masjidil Haram. Dilihatnya, mereka melakukan ibadah sepenuh hati, menengadahkan
tangan, tampak dihadapannya bagaimana pusaran manusia mengelilingi Baitullah.
Dia juga menyaksikan bagaimana air mata tumpah di wajah-wajah para jamaah, dan
dia hanya menatap dan masih bertanya, “mengapa dan mengapa ?”
Seorang pemuda berwajah cerah menghampirinya, menyapa dan
mengajak berjabatan tangan, dan dengan sabar mulai mendengar kisah sang Bapak,
teman akrab saya.
Menanggapi kegalauan sang bapak, pemuda ini berkata pelan
dan perlahan.
“Ketika kita memikirkan alam yang lebih besar dari kita, dengan
sudut pandang ilmiah dan rasionalitas kita, dengan segala usaha dan daya upaya
kita, nyatanya, hanya sedikit saja yang kita ketahui, sungguh, yang ada, malah ternyata
kita tak mampu menguraikannya lebih dalam. Saat kita memikirkan alam yang lebih
molekuler dan tak terlihat, nyatanya, sangat sedikit saja yang kita ketahui,
segala daya upaya kita ternyata terbatas.”
“Apa yang dapat di ungkap oleh otak manusia, sesungguhnya
adalah hanya secuil ciptaan Tuhan yang berhasil dijelaskan. Sedang otak yang digunakan
untuk menjelaskan berbagai fenomena, juga merupakan ciptaan sang Maha. Maka,
lihatlah, bagaimana suatu ciptaan tak mampu secara menyeluruh mengungkapkan dan
menjelaskan suatu ciptaan juga. Ilmu pengetahuan telah dengan gamblang
menjelaskan bahwa sistem dan ciptaan ternyata memiliki keterbatasan. Bagaimana
mungkin makhluk yang penuh keterbatasan dapat mengungkapkan seluruh rahasia Tuhan
yang tak terbatas ?”
“Ketika manusia merasa pintar, merasa dapat mengungkap
rahasia alam dan pengetahuan, sesungguhnya dia bukanlah penemu, karena apa yang
dikatakan “penemuan” sebenarnya fenomena yang sudah ada dan tersedia. Yang
disebut-sebut sebagai “Penemu,” ternyata mereka hanya menjelaskan bagaimana
fenomena yang secara kebetulan belum pernah diketahui orang lain. “Penemu” sesungguhnya
hanya menjelaskan bagaimana hukum alam berlangsung, hukum yang merupakan kreasi
Sang Maha Pencipta.”
“Setelah sekian panjang perjalanan penelitian, dengan
ratusan bahkan ribuan bukti, maka mungkin akan muncul suatu dogma ilmu
pengetahuan, sebagaimana Dogma Sentral
dalam ilmu genetika. Dogma dianggap sesuatu yang sudah tak terbantahkan. Maka
lihatlah, untuk sebuah dogma saja, tidak dapat diungkap oleh hanya satu
ilmuwan, ia memerlukan banyak ilmuwan, bahkan mungkin ilmuwan dari generasi ke
generasi berikutnya.”
“Disertasi doktor, yang sangat dibanggakan, ternyata hanya
mampu mengungkap satu jalur panah, diantara trilyunan dari trilyunan lagi jalur
yang sesungguhnya sudah ada. Namun, alangkah naïf-nya, tatkala banyak manusia
demikian angkuhnya merasa pintar dan berusaha merasionalkan semua ajaran
agamanya yang bersumber dari Sang Maha.”
“Ajaran agama Islam itu rasional, namun untuk memeluk-nya, tidak
dimulai dari rasionalitas. Islam dapat dipahami dan dimengerti dengan keimanan.
Keimanan tidak mensyaratkan daya cerna otak. Iman tidak mensyaratkan manusia terlebih
dahulu mampu merasionalkan ajaran agamanya.”
“Salah satu komponen keimanan dan ciri orang bertaqwa adalah percaya pada yang ghaib. Ghaib
berarti pancaindera manusia tidak dapat menjangkaunya. Bagaimana mungkin otak
yang mampu bekerja dengan sistem indera mampu menjangkau dan menjelaskan hal
yang ghaib ?”
Di akhir penjelasannya, Sang pemuda membuat teman saya
terperanjat. Teman saya seolah telah lama mengenalnya. Benar, sosok pemuda itu
adalah dirinya sendiri, dirinya sebelum menjadi doktor sebentar lagi Profesor, dirinya sebelum
memiliki popularitas, dirinya yang masih polos dan rendah hati, dirinya yang
masih berhati jernih dan jauh dari rasa angkuh dan sombong. Jabat tangan itu ternyata terjadi dalam kontemplasi alam bawah
sadarnya. Teman saya mulai memahaminya, dia menemukan dirinya yang dulu.
Sesungguhnya, kegelisahan teman saya ini, juga dialami oleh
seorang Al-Ghazali pada abad ke-11 (lahir di Thus, dekat Iran, pada 1058 M).
Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa, “ Apakah pengetahuan
yang meyakinkan itu ? Apakah pengetahuan indrawi dapat kita percayai ? Apakah
pengetahuan rasional adalah pengetahuan tertinggi ? Apakah seorang muslim harus
menolak filsafat ? Bagaimanakah pengetahuan ke-Nabian dan Wahyu itu ?” Bermula dari
kegelisahannya, Al-Ghazali kemudian melakukan kontemplasi, melakukan perenungan
mendalam atas semua pertanyaan-pertenyaan tersebut, kemudian lahirlah sebuah
karya beliau berjudul “ al-Munqidz min adh-Dhalal” yang
berarti “ Pembebas dari Kesesatan.”