" Yesterday I was clever, so I want to change the world
Today I am wise, so I am changing myself."
(Jalaluddin Rumi)
Dengan wajah kawatir, seorang ibu masuk ke ruang poli Neurointervensi, diikuti oleh lelaki belasan tahun yang tak lain adalah putranya. Ibu ini langsung saja bercerita bahwa anaknya pernah mengalami perdarahan otak dan dilakukan operasi. Penyebab perdarahannya adalah AVM intrakranial, baru diketahui beberapa hari dari CT angiografi pasca operasi evakuasi hematoma. Sang dokter bedah menyampaikan bahwa AVM tidak akan dapat sembuh dengan sempurna jika tidak dilakukan reseksi dengan open surgery. Modalitas terapi lain seperti embolisasi tidak akan dapat menyembuhkan AVM sampai ke akar-akarnya. Pertanyaan sang ibu, benarkah demikian dokter ?
Today I am wise, so I am changing myself."
(Jalaluddin Rumi)
Dengan wajah kawatir, seorang ibu masuk ke ruang poli Neurointervensi, diikuti oleh lelaki belasan tahun yang tak lain adalah putranya. Ibu ini langsung saja bercerita bahwa anaknya pernah mengalami perdarahan otak dan dilakukan operasi. Penyebab perdarahannya adalah AVM intrakranial, baru diketahui beberapa hari dari CT angiografi pasca operasi evakuasi hematoma. Sang dokter bedah menyampaikan bahwa AVM tidak akan dapat sembuh dengan sempurna jika tidak dilakukan reseksi dengan open surgery. Modalitas terapi lain seperti embolisasi tidak akan dapat menyembuhkan AVM sampai ke akar-akarnya. Pertanyaan sang ibu, benarkah demikian dokter ?
Sang dokter tersenyum, di dalam benaknya, masih basah
teringat beberapa pasien dengan AVM dan dilakukan operasi, dan ketika dilakukan
evaluasi DSA (angiografi) AVM tersebut tetap ada, dan mungkin hanya sebagian
kecil yang terambil. Kasus lain yang masih berkaitan dengan open surgery, ternyata bukan hanya AVM
yang dilakukan reseksi, tetapi juga ikut terambil sebagian jarigan otak (partial
lobectomy ? ), sehingga menimbulkan defisit neurologis baru.
Tentu saja ini bukan soal tindakan open surgery atau neurointervensi pada AVM itu sendiri, namun
terletak pada jam terbang, pengetahuan dan seberapa terampil skill sang operator. Jika kita
berkecimpung sekian lama dengan kasus-kasus AVM, maka kita akan banyak
mendapatkan kasus yang bukan hanya selesai dan bersih dengan open surgery, namun juga bersih dan
sukses dengan embolisasi (kuratif embolisasi).
Ketika dikatakan bahwa AVM dengan Spetzler Martin grade I
dan II memiliki potensi kesuksesan tinggi dengan reseksi open surgery, ini tentu ditangan
neurosurgeon sekelas Spetzler, bukan di tangan neurosurgeon yang baru saja
belajar beberapa bulan dengan kasus minimal. Begitu juga jika dikatakan oleh
Anton Valavanis bahwa angka kuratif embolisasi mencapai 40% dari semua kasus
yang ia kerjakan, baik dengan single step
maupun staged embolization, tentu ini
di tangan Valavanis yang memang master puluhan tahun dalam AVM. Pertanyaannya,
berapakah volume kasus AVM yang ditangani neurosurgeon
per tahun hingga dikatakan adekuat dan bisa dikatakan memiliki jam terbang
tinggi ?
Ambil saja M.G Yasargil dari Zurich, master dan world class neurovascular surgeon, dalam
bukunya Microneurosurgery, beliau rata-rata mengerjakan 22 kasus reseksi AVM
per tahun, artinya 1.8 kasus perbulan, sekitar 1 kasus per 2 minggu. Nah, bagi neurovascular surgeon di Indonesia,
sudahkah mencapai angka ini ? mengingat AVM adalah lesi dengan prevalensi
jarang sekitar 0,2% dari populasi, sepersepuluh dari prevalensi aneurysma
intracranial.
Dalam bidang endovaskuler, dengan perkembangan prosedur dan
device neurointervensi, kuratif embolisasi pada AVM merupakan keniscayaan.
Semakin banyak kita melakukan embolisasi, semakin tinggi angka kuratif
embolisasi tercapai, terutama pada AVM dengan single atau double
nidus/kompartemen.
Dunia yang berubah demikian cepat telah menempatkan teknologi
minimally invasive surgery sebagai
rival sepadan atau bahkan menggantikan peran open surgery dalam banyak kasus.
Setelah berbincang sekian lama, sang ibu akhirnya cukup
mengerti dengan penjelasan dan contoh kasus yang di sampaikan dokter. Sang
dokter juga menunjukkan beberapa kasus pasien yang telah ditanganinya dengan
kuratif embolisasi. Akan cukup bijaksana jika kita menjelaskan semua modalitas
terapi secara seimbang, untung dan ruginya, baik open surgery, embolisasi maupun radiosurgery.