“……Ini seolah seperti kebiasaan membaca yang belum membudaya,
datanglah televisi, maka, untuk mendapatkan informasi, masyarakat kita lebih senang menonton televisi dibanding
membaca………”
Neurointerventional
bubble adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perkembangan jumlah neurointerventionist yang meningkat
pesat, dan dikhawatirkan masing-masing akan mendapat volume kasus yang makin
sedikit.
Namun, ada yang lebih mengkawatirkan dibanding neurointerventional bubble, yaitu neurovascular surgeon extinction. Dari
sini-lah diskusi hangat ini dimulai.
Perkembangan neurointervensi yang demikian pesat menimbulkan
kekhawatiran dikalangan para dokter bedah saraf dan tentu saja neurologist.
Subspesialisasi neurovascular surgeon
yang belum cukup establish di
Indonesia, saat ini volume kasusnya menurun drastis, hal ini berbanding lurus
dengan perkembangan neurointervensi yang demikian pesat. Banyak kasus yang bisa
diselesaikan dengan tindakan kateterisasi tanpa open surgery. Sehingga, skill
neurovascular surgeon yang masih memerlukan jam terbang tinggi menjadi
tumpul, sementara hanya sedikit (atau sangat sedikit) dokter yang terlatih
untuk tindakan ini.
Yang lebih menantang lagi, kasus-kasus yang dikonsulkan pada
mereka bukan lagi kasus yang simpel dan mudah, kasus tersebut adalah kasus yang
notabene tidak bisa diselesaikan oleh tindakan neurointervensi. Kasus kompleks
tersebut semisal giant aneurysm, large intracranial AVM, spinal dural fistula
dll.
Untuk kasus aneurysma misalnya, neurointervensi menjadi
pilihan utama karena angka mortalitas dan morbiditas lebih kecil dibanding
clipping, disamping itu, hampir semua pasien/keluarga lebih memilih tindakan
minimally invasive berupa coiling dengan tehnik neurointervensi.
Untuk tindakan clipping, diperlukan seorang neurosurgeon
dengan load kasus tinggi (definisinya, melakukan >20 prosedur setahun, tentu
saja dengan morbiditas dan mortalitas rendah, lihat ASA/AHA guideline 2015
untuk unrupture aneurysm). Maka, mungkin kita bisa melihat dan menimbang, di
center manakah di Indonesia yang memiliki kualifikasi neurovascular surgeon
demikian ?.........
Maka, kekawatiran akan adanya Neurovascular Surgeon
extinction bukanlah suatu omong kosong, saat ini faktanya ini telah tampak
didepan mata.
Kekawatiran ini makin bertambah dengan banyaknya
neurosurgeon muda yang lebih tertarik mendalami neurointervensi, dan cenderung
menjauhi open neurovascular surgery. Apabila neurosurgeon tidak mau mendalami
ilmu ini, maka siapa lagi yang akan mampu melakukannya ? Sedangkan untuk
neurointervensi, setidaknya neurologi, radiologi telah banyak memiliki pakar,
dan disusul bedah saraf.
Dalam bahasa agama, belajar neurovascular surgery bagi
neurosurgeon dalam tahapan fardhu ‘ain, karena tidak ada orang lain yang mampu
melakukannya, sedang belajar neurointervensi adalah fardhu kifayah, sudah ada
dan banyak dokter-dokter lain yang mampu menguasainya.
Kasus-kasus neurovascular, di samping aneurysma, ada yang
secara epidemiologis cukup jarang, seperti AVM intracranial, spinal dural
fistula, by pass extracranial-intrcranial, dan ini belum mampu ditangani secara
paripurna oleh neurovascular surgeon di Indonesia. Ini adalah tantangan besar
dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Se-expert-apapun seorang
neurointerventionist, dalam kondisi tertentu, dia masih membutuhkan seorang
neurovascular surgeon untuk membantunya, demikian pula sebaliknya. Hubungan
keduanya adalah hubungan yang “Benci Tapi Rindu.”
No comments:
Post a Comment