Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Saturday, 16 May 2015

Kapitalisasi Pelayanan Kesehatan di Indonesia


Seorang keluarga pasien mengeluh tentang harga obat yang berlipat-lipat di suatu rumah sakit. Dia membandingkan harga obat tersebut dengan harga obat di apotik lainnya. Rumah sakit ini ternyata mengambil keuntungan sangat tinggi. Parahnya, pasien tidak punya pilihan karena harus opname di rumah sakit tersebut, dan resep tidak bisa dibelikan di apotik luar.

Tidak berhenti disini, sekali lagi dia terkaget-kaget dengan harga implant (alat) yang dipakai saat tindakan operasi dilakukan. Harga implant yang berkisar 12 jutaan di rumah sakit pemerintah menjadi 21 jutaan di rumah sakit ini (ssst, rahasia ya……di India hanya 5 jutaan).

Diskusi tentang harga obat dan alat dikalangan para dokter sudah sejak lama terjadi. Biaya kesehatan yang mahal di private hospital terkadang di generalisir sebagai biaya dokter yang mahal. Jasa dokter sebagai salah satu komponen biaya, sebenarnya mendapatkan porsi kecil dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan pasien. Tentu saja dokter tidak berdaya menekan harga saat seorang pasien mengeluh kekurangan biaya. Anda mungkin akan terkesima mendengar cerita, saat seorang dokter yang membebaskan biaya operasi pada seorang pasien, tetap saja biaya yang harus dibayar pasien berlipat-lipat.

Sesungguhnya, dokter bagi rumah sakit tidak ubahnya hanya seorang karyawan (baca : buruh) yang bekerja pada sebuah perusahaan. Pembebasan biaya pengobatan oleh dokter bukan berarti juga pemotongan harga obat, alat dan ruang perawatan.

Pertanyaannya, mengapa pasien tetap datang ke private hospital ? mengapa mereka tidak datang saja ke rumah sakit umum pemerintah yang lebih terjangkau dan rasional ?

Mengunjungi Helsinki Finlandia,  akan membuat kita sebagai dokter Indonesia terkesima. Anda tidak akan menemukan banyak private hospital di sana, sebagaimana Anda juga tidak menemukan banyak private school. Kesehatan dan pendidikan dijamin dan dikelola sangat baik oleh pemerintah. Prinsip equality atau kesetaraan pelayanan, menjadikan masyarakat lebih memilih rumah sakit atau sekolah yang dikelola pemerintah. Dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah yang baik, tanpa biaya, maka private hospital bukan lagi menjadi pilihan masyarakat. Apalagi pelayanan di private hospital setara dengan rumah sakit pemerintah.

Kapitalisasi pelayanan kesehatan sungguh sangat menakutkan dan terkesan, maaf, tidak berprikemanusiaan. Private hospital menjelma menjadi sebuah perusahaan yang tampaknya mencari keuntungan semata. Ada target kapital yang harus diraih, ada target keuntungan yang harus dicapai. Aspek sosial dan kemanusiaan bisa jadi akan menjadi perhitungan kesekian. Memang benar, private hospital-pun perlu hidup, membayar karyawan, membiayai biaya operasional. Namun, tetap saja ada private hospital yang masih rasional dalam aspek pembiayaan dan ada yang tergolong sangat mahal.

Secara sederhana, dampak kapitalisasi inilah yang menyebabkan harga obat dan alat berlipat-lipat, sebagaimana tergambar diatas. Investasi berupa alat dan fasilitas juga ‘memaksa’ rumah sakit untuk segera mengembalikan modal dalam jangka waktu tertentu. Maka, yang terjadi dan harus diwaspadai adalah adanya pemeriksaan dan tindakan medis yang tidak diperlukan. Ada potensi penyalahgunaan. Misalnya, pemeriksaan laboratorium yang banyak dan diulang-ulang, pemeriksaan imejing yang berlebihan di luar kebutuhan, indikasi operasi menjadi sangat longgar. Dokter tentu saja berada di garda depan. Akibatnya, rumah sakit bisa saja mendikte dokter. Pada titik ekstrim, hanya dokter yang bisa memberikan keuntungan saja yang dimanjakan dan disuplai pasien oleh rumah sakit

Akan menjadi lebih menyedihkan lagi kalau dokter sebagai ujung tombak pelayanan juga menjadi agen kapital. Terkadang dokter meminta rumah sakit untuk menyediakan suatu alat yang mahal, dengan jaminan akan mengirimkan banyak pasien dan melakukan prosedur tersebut di rumah sakit bersangkutan, dengan perhitungan dan target tertentu. Maka, sesungguhnya, dokter tersebut telah “menggadaikan” dirinya sendiri. Dalam kondisi lain, saat dimana seorang dokter juga menjadi investor alat bersangkutan, maka, jadilah indikasi medis, etika dan hubungan kesejawatan seringkali terdampak akibat kapitalisasi ini.

Kondisi demikian hanya dapat ditangani jika pemerintah benar-benar serius menjadikan rumah sakit umum memiliki kualitas yang baik dan terjangkau. Mungkin tidak perlu selalu gratis. Masyarakat sebenarnya mau membayar namun dengan harga rasional dan tidak jatuh dalam putaran kapitalisasi.

Untuk kasus harga obat dan alat di Indonesia, sudah jamak diketahui bahwa bea cukai obat dan alat kesehatan yang masuk ke Indonesia relatif tinggi. Hal ini berbeda dengan negara semacam India dan Banglades yang memberlakukan bea-cukai sangat rendah untuk obat dan alat kesehatan, near zero. Kita akan terkaget-kaget saat belanja obat dan alat kesehatan di kedua Negara itu.

Tentu saja private hospital memiliki logika sediri. Di Indonesia perlu ada rumah sakit yang bagus dan berkualitas, sehingga pasien-pasien yang mampu membayar tidak pergi ke luar negeri hanya untuk berobat. Private hospital memiliki pangsa pasar tersendiri. Mereka yang mampu dan memiliki asuransi kesehatan yang akan datang ke sana. Justru private hospital membantu pemerintah yang tidak berdaya dan tidak mampu menyediakan pelayanan sesuai harapan masyarakat yang mampu membayar.

Apapun, sesungguhnya kapitalisasi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, dimana pasien tidak memiliki banyak pilihan saat sakit, seharusnya tidak terjadi. Jangan sampai ada kesan orang sakit semakin dibuat susah dengan harga pelayanan kesehatan yang melambung tinggi. Hendak berobat ke private hospital takut dengan biaya tak tergapai, hendak berobat ke rumah sakit umum takut pula dengan pelayanan yang tidak memuaskan.

Pelayanan kesehatan berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Bukankah ini tanggung jawab pemerintah ? Regulasi harga obat dan alat kesehatan saja sudah akan sangat membantu menekan biaya kesehatan menjadi jauh lebih murah. Karena bukan menjadi rahasia lagi bahwa pemasukan utama rumah sakit yang terbesar berasal dari obat dan alat kesehatan.

“Ngunu yo ngunu, ning ojok ngunu……”

No comments:

Post a Comment