Seorang keluarga pasien mengeluh tentang harga obat yang
berlipat-lipat di suatu rumah sakit. Dia membandingkan harga obat tersebut
dengan harga obat di apotik lainnya. Rumah sakit ini ternyata mengambil keuntungan
sangat tinggi. Parahnya, pasien tidak punya pilihan karena harus opname di
rumah sakit tersebut, dan resep tidak bisa dibelikan di apotik luar.
Tidak berhenti disini, sekali lagi dia terkaget-kaget dengan
harga implant (alat) yang dipakai saat tindakan operasi dilakukan. Harga
implant yang berkisar 12 jutaan di rumah sakit pemerintah menjadi 21 jutaan di
rumah sakit ini (ssst, rahasia ya……di India hanya 5 jutaan).
Diskusi tentang harga obat dan alat dikalangan para dokter
sudah sejak lama terjadi. Biaya kesehatan yang mahal di private hospital
terkadang di generalisir sebagai biaya dokter yang mahal. Jasa dokter sebagai
salah satu komponen biaya, sebenarnya mendapatkan porsi kecil dari keseluruhan
biaya yang dikeluarkan pasien. Tentu saja dokter tidak berdaya menekan harga
saat seorang pasien mengeluh kekurangan biaya. Anda mungkin akan terkesima
mendengar cerita, saat seorang dokter yang membebaskan biaya operasi pada
seorang pasien, tetap saja biaya yang harus dibayar pasien berlipat-lipat.
Sesungguhnya, dokter bagi rumah sakit tidak ubahnya hanya
seorang karyawan (baca : buruh) yang bekerja pada sebuah perusahaan. Pembebasan
biaya pengobatan oleh dokter bukan berarti juga pemotongan harga obat, alat dan
ruang perawatan.
Pertanyaannya, mengapa pasien tetap datang ke private
hospital ? mengapa mereka tidak datang saja ke rumah sakit umum pemerintah yang
lebih terjangkau dan rasional ?
Mengunjungi Helsinki Finlandia, akan membuat kita sebagai dokter Indonesia
terkesima. Anda tidak akan menemukan banyak private hospital di sana,
sebagaimana Anda juga tidak menemukan banyak private school. Kesehatan dan
pendidikan dijamin dan dikelola sangat baik oleh pemerintah. Prinsip equality
atau kesetaraan pelayanan, menjadikan masyarakat lebih memilih rumah sakit atau
sekolah yang dikelola pemerintah. Dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit
pemerintah yang baik, tanpa biaya, maka private hospital bukan lagi menjadi
pilihan masyarakat. Apalagi pelayanan di private hospital setara dengan rumah
sakit pemerintah.
Kapitalisasi pelayanan kesehatan sungguh sangat menakutkan
dan terkesan, maaf, tidak berprikemanusiaan. Private hospital menjelma menjadi sebuah
perusahaan yang tampaknya mencari keuntungan semata. Ada target kapital yang
harus diraih, ada target keuntungan yang harus dicapai.
Aspek sosial dan kemanusiaan bisa jadi akan menjadi perhitungan kesekian. Memang benar, private hospital-pun perlu hidup, membayar karyawan, membiayai biaya operasional. Namun, tetap saja ada private hospital yang masih rasional dalam aspek pembiayaan dan ada yang tergolong sangat mahal.
Secara sederhana, dampak kapitalisasi inilah yang
menyebabkan harga obat dan alat berlipat-lipat, sebagaimana tergambar diatas.
Investasi berupa alat dan fasilitas juga ‘memaksa’ rumah sakit untuk segera
mengembalikan modal dalam jangka waktu tertentu. Maka, yang terjadi dan harus
diwaspadai adalah adanya pemeriksaan dan tindakan medis yang tidak diperlukan. Ada
potensi penyalahgunaan. Misalnya, pemeriksaan laboratorium yang banyak dan
diulang-ulang, pemeriksaan imejing yang berlebihan di luar kebutuhan, indikasi
operasi menjadi sangat longgar. Dokter tentu saja berada di garda depan. Akibatnya,
rumah sakit bisa saja mendikte dokter. Pada titik ekstrim, hanya dokter yang
bisa memberikan keuntungan saja yang dimanjakan dan disuplai pasien oleh rumah
sakit
Akan menjadi lebih menyedihkan lagi kalau dokter sebagai
ujung tombak pelayanan juga menjadi agen kapital. Terkadang dokter meminta
rumah sakit untuk menyediakan suatu alat yang mahal, dengan jaminan akan
mengirimkan banyak pasien dan melakukan prosedur tersebut di rumah sakit
bersangkutan, dengan perhitungan dan target tertentu. Maka, sesungguhnya,
dokter tersebut telah “menggadaikan” dirinya sendiri. Dalam kondisi lain, saat dimana
seorang dokter juga menjadi investor alat bersangkutan, maka, jadilah indikasi
medis, etika dan hubungan kesejawatan seringkali terdampak akibat kapitalisasi
ini.
Kondisi demikian hanya dapat ditangani jika pemerintah
benar-benar serius menjadikan rumah sakit umum memiliki kualitas yang baik dan
terjangkau. Mungkin tidak perlu selalu gratis. Masyarakat sebenarnya mau
membayar namun dengan harga rasional dan tidak jatuh dalam putaran kapitalisasi.
Untuk kasus harga obat dan alat di Indonesia, sudah jamak
diketahui bahwa bea cukai obat dan alat kesehatan yang masuk ke Indonesia
relatif tinggi. Hal ini berbeda dengan negara semacam India dan Banglades yang
memberlakukan bea-cukai sangat rendah untuk obat dan alat kesehatan, near zero.
Kita akan terkaget-kaget saat belanja obat dan alat kesehatan di kedua Negara
itu.
Tentu saja private hospital memiliki logika sediri. Di
Indonesia perlu ada rumah sakit yang bagus dan berkualitas, sehingga
pasien-pasien yang mampu membayar tidak pergi ke luar negeri hanya untuk
berobat. Private hospital memiliki pangsa pasar tersendiri. Mereka yang mampu
dan memiliki asuransi kesehatan yang akan datang ke sana. Justru private
hospital membantu pemerintah yang tidak berdaya dan tidak mampu menyediakan
pelayanan sesuai harapan masyarakat yang mampu membayar.
Apapun, sesungguhnya kapitalisasi yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan, dimana pasien tidak memiliki banyak pilihan saat sakit,
seharusnya tidak terjadi. Jangan sampai ada kesan orang sakit semakin dibuat
susah dengan harga pelayanan kesehatan yang melambung tinggi. Hendak berobat ke
private hospital takut dengan biaya tak tergapai, hendak berobat ke rumah sakit
umum takut pula dengan pelayanan yang tidak memuaskan.
Pelayanan kesehatan berhubungan dengan hajat hidup orang
banyak. Bukankah ini tanggung jawab pemerintah ? Regulasi harga obat dan alat
kesehatan saja sudah akan sangat membantu menekan biaya kesehatan menjadi jauh
lebih murah. Karena bukan menjadi rahasia lagi bahwa pemasukan utama rumah
sakit yang terbesar berasal dari obat dan alat kesehatan.
“Ngunu yo ngunu, ning ojok ngunu……”
No comments:
Post a Comment