Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada tindakan bedah saraf dan neurointervensi, mungkin akibat suatu skill yang lupa diajarkan selama residensi. Skill tersebut berupa pengetahuan tentang kapan sebaiknya operasi tersebut tidak perlu dilakukan, dan kapan harus dihentikan.
Ungkapan seorang neurosergeon bijaksana dibawah ini, memiliki sejuta makna :
"Knowing when not to operate is just important as knowing how to operate, and is more difficult skill to acquire."
(Henry Marsh, Do No Harm : stories of life, death and brain surgery)
Tingkat kematangan seorang neurointerventionist atau neurosurgeon mungkin bisa di ukur dari kemampuannya untuk mengatakan "tidak" saat suatu operasi memang tidak memiliki manfaat atau malahan membahayakan pasien. Sayangnya, skill berupa decision making ini tidak bisa didapatkan secara instant, ia memerlukan beberapa waktu untuk menjelma dalam diri seorang dokter.
Dalam kehidupan praktis, kita akan menghadapi banyak dokter bedah yang dengan gagah perkasa melakukan operasi pada kasus-kasus sulit, sedang dokter lain menyarankan agar tidak dikerjakan. Tetapi nyatanya, hasil yang didapatkan adalah kematian atau angka kecacatan yang tinggi.
Motif dibalik agresifitas seorang surgeon adalah kata kuncinya. Ada banyak motif, mengapa sang dokter demikian menggebu melakukan tindakan yang oleh sejawatnya yang lebih senior dianggap tidak perlu.
Maka patutlah di tata kembali motif tersebut dengan merenungkan apa yang dikatakan Henry Marsh diatas.
Dan cukuplah kita renungkan hadis berikut saat ini menata motivasi dan niat kita :
"Manusia yang paling dicintai Allah Ta’ala ialah
manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Amal yang paling utama adalah
memasukkan rasa bahagia kedalam hari orang yang beriman, mengenyangkan yang
lapar, melepaskan kesulitan atau membayarkan hutang."
(H.R. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Nashaihul
Ibad).
No comments:
Post a Comment