Seorang eksekutif muda yang mengalami stroke, mengeluh telah menghabiskan banyak sekali biaya untuk berobat. Segala macam obat dan terapi alternatif sudah di coba. Pasien mengalami serangan kedua dan datang dengan setengah putus asa. Bersamanya, hanya ada CT scan dan hasil laboratorium, serta satu kantong penuh neuroprotektan. Tidak ada pemeriksaan vaskuler imejing (CTA, MRA, Cerebral DSA), tidak ada investigasi lanjut cardiologist, atau laboratorium lain yang berkaitan dengan etiologi stroke.
Dua dekade ini, apabila ada obat yang diberikan melimpah, menghabiskan biaya, namun belum terbukti bermanfaat adalah neuroprotektan. Pemberian neuroprotektan menjadi "Lagu Wajib," meskipun terdengar sumbang.
Tak ayal, "Lagu Wajib" ini melenakan dan menidurkan kreativitas. Neuroprotektan seolah menjadi menu utama. Lebih lagi, apabila keluarga menginginkan penanganan maksimal, kemudian disalahartikan dengan memberikan obat yang mahal. Ada juga dokter yang menawarkan pengobatan pseudoscience atau riset yang tak kalah mahalnya. Tak terhitung lagi terapi alternatif dan pengobatan tradisional.
Ungkapan "Siapa Tahu Jodoh," merupakan mantra pamungkas. Mantra ini terkadang mengabaikan investigasi wajib yang seharusnya dilakukan. Apabila stroke adalah problem vaskuler, sudah selayaknya imejing vaskuler dilakukan pada head and neck. Biaya pengobatan dengan neuroprotektan selama berbulan-bulan tentu sudah melebihi biaya imejing vaskuler.
Selama etiologi stroke belum bisa ditegakkan, pengobatan terhadap etiologi tidak akan bisa dilakukan secara presisi. Serangan stroke berikutnya tinggal menunggu waktu. Untung tak bisa diraih dan malang tak bisa di tolak.
Riset dengan jelas membuktikan, pengobatan yang efektif dan menghemat biaya adalah pengobatan bersandar pada guideline.