Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Monday, 15 November 2021

Nanti Kau Tahu…

Habiskan saja waktu emasmu,

Menukarnya dengan debu

Kilau indahnya berlalu begitu,

Tatap penuh sadar, masih tega kau lewatkan

 

Pelihara saja lalai, 

Besarkan profan menyelisih keabadian

Biarkan diri terseret jauh,

Singkirkan sauh cinta sehati penuh

 

Nanti kau akan tahu….

Nikmat yang kau anggap,

Tergagap nyata hanya sesaat

 

Nanti kau akan tahu….

Penting yang kau kira,

Tanpa makna di hadapan-Nya

Saturday, 6 November 2021

Harga Dokter

Waktu masih pagi, selepas subuh, seorang dokter senior, tampak memasuki ruangan perawatan. Ruangan ini dipenuhi pasien kelas tiga. Tempat kebanyakan rakyat jelata. Didampingi perawat, disapanya pasien, dijabat tangannya dan diperiksa dengan seksama. Pada pasien yang secara klinis berat dan tak punya banyak harapan, disanalah makin banyak waktu beliau habiskan. Tak tampak terburu-buru, tak tampak tergesa-gesa.

 

Para perawat dan dokter muda banyak bertanya-tanya. Bagi dokter senior, terkenal dan kompeten sekaliber beliau, sesungguhnya sudah waktunya membatasi pasien.  Sudah selayaknya hanya merawat pasien kelas utama, paviliun, VVIP atau apalah namanya. Namun, beliau justru merawat pasien dan menerima pasien dengan status “penerima bantuan iuran,” yang seringkali biaya perawatannya melebihi plafon, dan rumah sakit maupun dokter tidak mendapatkan jasa atas perawatannya. 

 

Tampaknya beliau tak peduli. Rumah sakit tempat beliau mengabdi adalah rumah sakit kelas menengah, penerima pasien Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagian besar pasien adalah rakyat jelata, para kaum lemah, atau kaum dhu'afa. Maka, tentu saja bagi para pasien tersebut, harapan kesembuhannya hanya Allah dengan wasilah rumah sakit ini. 

 

Wajah-wajah pasien dan keluarganya masih segar dalam ingatan. Wajah-wajah pasrah kaum papa. Wajah yang tidak banyak bertanya, tidak banyak mengeluh dan tak berani komplain dengan berbagai macam pelayanan. Maka, kehadiran dokter dan tegur sapa beberapa waktu, penjelasan secukupnya, sungguh merupakan harapan dan tetes embun yang meneduhkan untuk mereka. 

 

Selepas waktu sholat, di sudut musholla kecil rumah sakit. Seorang dokter muda memberanikan diri bertanya, mengapa beliau begitu sabar dan masih memberikan begitu banyak waktu untuk merawat pasien-pasien bangsal itu. Beliau menghela nafas, dan tampak tak ingin bercerita. Lalu beliau berkata “apa yang saya lakukan bukanlah kebaikan.” 

 

Kemudian beliau melanjutkan, “Saya orang yang awam dalam agama, dalam beribadah belum pernah merasakan nikmatnya sujud, tidak memahami kitab suci agama saya sendiri, jauh dari para ulama.” Bagaimana mungkin saya berharap baik? berharap pahala? Saya merasa tak pantas dan malu akan semua itu.” Satu-satunya harapan, semoga senyum dan rasa bahagia mereka, memperingan langkah saya, yang sudah berat dengan dosa. Adakah senyum mereka, bisa menjadikan sekedar temaram di alam kubur saya yang gelap gulita?”

Monday, 1 November 2021

Karena Klaim Setitik, Rusak DSA Sebelanga



Myths and stories are unique to man and powerful for societies to unite around complex ideas to achieve a greater good. But myths should not be confused with lies, or anti-truths (Matthew J Gounis-Neurointervention: a call to science).


Digital Subtraction Angiography (DSA) merupakan suatu modalitas pencitraan untuk melihat pembuluh darah. Ada modalitas pencitraan lain selain DSA, yaitu CT angiography (CTA) dan MR angiography (MRA). DSA memiliki keunggulan dibanding keduanya, memiliki kemampuan deteksi tinggi untuk kelainan pembuluh darah (mendekati 100% apabila dilakukan dengan kombinasi 3D angiografi) dan merupakan gold standard (baku emas).

 

DSA yang digunakan untuk melihat pembuluh darah otak, jamak dikenal dengan sebutan cerebral DSA. Para dokter di senter-senter neurosains seringkali menyebut modalitas diagnostik ini dengan DSA saja. Prosedur ini umumnya dilakukan dengan anastesi lokal di ruangan kateterisasi. Dokter Neurointervensi akan memasukkan kateter melalui pembuuh darah di pangkal paha/atau lengan, kemudian menaikkan kateter tersebut menuju pembuluh darah yang di tuju. Setelah itu, dilakukan injeksi kontras (yang di campur dengan heparin dan cairan fisiologis Nacl 0.9%). Gambar pembuluh darah bisa dilihat secara selektif dengan menghilangkan (mensubtraksi) gambaran jaringan yang lain (otak, tulang dan jaringan ikat). Apabila ditemukan kelainan, maka akan ditindaklanjuti dengan prosedur intervensi sebenarnya, misalnya trombektomi pada stroke akut, coiling pada aneurisma, embolisasi pada AVM, atau stenting pada penyempitan pembuluh darah.

 

Namun apa mau dikata, cerebral DSA yang merupakan modalitas diagnostik gold standard dan sangat diperlukan, saat ini pengajuan prosedur tersebut banyak dipersulit oleh pihak asuransi. Apabila seorang dokter akan melakukan DSA, beberapa asuransi mempertanyakan dan bahkan menolak. Cerebral DSA yang selama ini memiliki makna standar di seluruh dunia, menjadi menyempit maknanya di Indonesia.

 

Mengapa hal ini terjadi? Kisahnya dimulai mungkin pada 27 Juni 2011, saat majalah Tempo memuat berita tentang “Brain Wash” pada stroke. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “Brain Spa” dan DSA trombolitik. Prosedur tersebut sebenarnya adalah cerebral DSA standar, prosedur diagnostik, namun dikemas dengan nama baru agar lebih seksi dan di klaim memiliki nilai terapi atau preventif. Kemudian, isu ini menggelinding sedemikian rupa dan meredup saat ini, karena memang klaim tersebut memiliki dasar ilmiah yang miskin.

 

Sejak saat itu, ketika seorang neurointervensionis merencanakan tindakan cerebral DSA (standar diagnostik), maka pihak asuransi mengkonotasikan dan menganggap bahwa yang dikerjakan adalah bentuk “Brain Wash” atau yang serupa itu. Maka, bisa dibayangkan, urusan birokratis menjadi panjang, dimana dokter harus menjelaskan lagi satu persatu maksud prosedur DSA diagnostik ini pada asuransi. Tentu saja pihak asuransi punya alasan curiga berlebihan, karena mereka hanya mau menerima klaim untuk tindakan yang mengikuti guideline dan konsensus ilmiah yang jelas. Saat ini, menyebut modalitas diagnostik sebagai suatu cerebral/spinal arteriografi lebih di sukai, dibanding menyebut cerebral DSA yang “dicurigai.” 

 

Dalam perjalanan sejarah, makna kata memang bisa meluas, bisa juga menyempit. Namun sejarah terus mencatat, yang memberikan manfaat bagi umat manusia akan dapat bertahan lama dan lebih abadi. Sesuatu yang tampak ramai dan sensasional seringkali hanya fenomena sesaat. Pesta pora media. Bukankah putih melati lebih bermakna abadi dari flamboyan yang merah merona?

Saturday, 16 October 2021

Sleeping by Intention

Usia manusia terbatas. Sedang manusia menggunakan sepertiga usianya untuk tidur. Banyak tidur, mungkin sama buruknya dengan kurang tidur. Kecuali tidur itu akan menghindarkan kita dari perbuatan tercela dan maksiat kepada Allah. Dalam sudut pandang spiritual, tidur memiliki makna penting, karena tujuan tidur adalah untuk bangun kembali, dan saat bangun, tidaklah diniatkan kecuali untuk ibadah. Bisakah tidur bernilai ibadah?

 

Dalam sudut pandang Bidayatul Hidayah, karya Imam Al-Ghazali, tidur perlu dipersiapkan, tidak semata-mata terlelap menutup mata.

 

Tidur malam hari dilakukan selepas melaksanakan sholat isya’. Membaca kitab ilmu pengetahuan adalah anjuran menghabiskan waktu antara sholat isya’ dan waktu tidur. Beliau, memberikan nasihat,” Sibukkanlah dirimu dengan mempelajari kitab. Jangan bermain-main; sehingga kegiatan mempelajari kitab itu menjadi penutup semua kegiatanmu sebelum engkau tidur.”

 

Beginilah cara tidur yang baik menurut Al-Ghazali:

“Bila engkau hendak tidur, hadapkanlah tempat tidurmu ke arah kiblat, dan tidurlah dengan memiringkan badan ke sebelah kanan, sebagaimana letak mayat di liang lahad. Ketahuilah bahwa tidur itu bagaikan mati, sedangkan bangun itu bagaikan bangkit dari mati. Bisa jadi Allah SWT mencabut ruhmu di kala engkau tertidur di malam hari. Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk menemui-Nya. 

 

Bertobatlah sebelum tidur, memohon ampunan kepada Allah dan beniat untuk berbuat kebajikan jika Allah masih membangunkanmu dari tidurmu. Dan ingatlah bahwa seperti itulah engkau akan terbaring di dalam liang lahad seorang diri, hanya amalmulah yang akan menemanimu, dan pahala bagimu hanyalah amalanmu.

 

Berniatlah bangun sebelum fajar, menunaikan dua rakaat sebelum shubuh, ini merupakan kebajikan para sholeh dan ini adalah amalan untuk menghadapi keadaan di kala miskin (hari pengadilan). 

 

Sebelum tidur, berdoalah, diantara doa tersebut berbunyi ”Ya Allah bangunkanlah aku di saat yang paling Engkau senangi, sehingga Dikau dekatkan aku pada Dirimu sendiri, dan jauhkanlah aku sejauh-jauhnya dari murka-Mu.”

 

Kemudian Membaca Ayat Kursi, surat Al-Ikhlas, dan dilanjutkan surat Al Falaq dan An Naas, dengan dua surat ini orang berlindung pada Allah. Kemudian membaca surat yang diawali dengan ayat “ Mahasuci Dia  yang ditangan-Nya berada segala kerajaan.” Tidurlah dalam keadaan bersih karena berwudlu. Imam Al Ghazali menyampaikan, “barangsiapa berlaku begini, maka naiklah jiwanya ke arsy Allah dan dia ditulis sebagai menunaikah shalat hingga dia bangun. 

 

Bagaimanakah sudut pandang neurosains terhadap tata cara tidur menurut Bidayatul Hidayah ini? Demikianlah, cara tidur ini telah diajarkan di pesantren sebagai amalan praktis, dari generasi ke generasi. 

 

Saturday, 9 October 2021

Peringatan Hari Stroke: Menambah Karung Baru?

Tema World Stroke Day (WSD) tahun 2021 ini adalah “Minutes Can Save Lives.” Tema yang sebenarnya sudah jamak diketahui dan berulang-ulang dikampanyekan, semacam “Time is Brain,” atau “Time is Neuron.” Tentu bukan jargon dan kampanye yang salah, tapi lebih pada munculnya pertanyaan besar di kepala, “masih perlukan WSD diperingati?” Sementara dengan banyak dan meriahnya peringatan tahun ke tahun, survey ke survey, angka kematian akibat stroke tetap saja tertinggi di Indonesia, tetap nomor wahid. 

Berapa banyak pasien datang cepat ke rumah sakit, mengejar fase hiperakut, tak mendapat terapi seharusnya, baik trombolisis atau trombektomi. Atau, berapa banyak pasien dengan stroke akut tidak mendapat terapi yang ideal sesuai guideline, konsensus atau PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran) Stroke 2019.

Sudah tak terhitung berapa kali acara ilmiah tentang stroke diselenggarakan, berapa banyak program di kampanyekan. Apabila di cetak semua makalah seminar, simposium atau workshop, mungkin sudah berkarung-karung makalah teronggok di sudut ruangan.

Sudah waktunya pemerintah dengan segala otoritasnya, bersama perhimpunan profesi dokter terkait menyelesaikan persoalan secara kongkrit, tidak berhenti pada wacana. Sudah sangat lama problem stroke tercatat sebagai masalah utama kesehatan nasional, namun tak ada perubahan dari waktu ke waktu. 

Dimanakah akar masalahnya? Semua sebenarnya sudah tahu dan jawaban tersebut ada pada makalah yang berkarung-karung di sudut ruangan itu. Akankan peringatan WSD tahun ini akan menambah karung-karung baru? Ah…sudahlah!

Monday, 12 July 2021

Akhir Hari di Bangsal Neurologi

Banyak kali kami temui, pasien sakaratul maut di bangsal neurologi. Inilah tempat pasien tak sadarkan diri, baik karena stroke maupun infeksi. Ada pula pula tumor, trauma, dan ensefalopati.

Kala mulai tak sadarkan diri, kala itu tak ada yang dapat mereka ucap lagi, kecuali yang lama tertanam dalam memori. Saat kesadaran mulai menurun, hilanglah atensi, pudarlah konsentrasi, terucaplah apa yang biasa terucap. Adakah terucap dzikir dan puji, ataukah umpatan caci maki. 

Banyak kami saksikan, saat menurun kesadaran, pasien tak berhenti membaca Al Qur'an. Banyak kami lihat, dalam kondisi amat berat, yang terucap hanyalah sholawat.

Namun, sering pula kami jumpai, dalam gelapnya akhir hayat, tak ada tasbih, tak ada puji, hanya teriakan tiada henti.

Sakaratul maut demikian beratnya. Terkadang hanya terucap kata, tak mampu terucap kalimat. Lidah kelu, otak beku. Tatkala ada bisikan menuntun, menyebut nama Allah, tidak juga dapat terucap asma-Nya, kecuali yang biasa mengucapkannya, tak juga terucap lafadz-Nya, kecuali yang biasa mengingat-Nya.

Ya Allah, Ya Rabbi....Anugerahilah kami, orang tua kami, keluarga kami....akhir hayat husnul khatimah....Aamiin.


Saturday, 3 July 2021

Yang berdaya, hanya Dia

Juli 2021,
Ruang reguler sepi,
Ruang covid mengantri,
IGD sesak pasien infeksi

Tak perduli,
Ulama atau Pendosa
Pejabat atau Jelata rakyat
Dokter atau Penderita
Kaya atau Miskin papa
Sama saja

Jabatan tak berperan,
Ganti menunggu giliran,
Harta tanpa guna,
Gagal tunda nafas sehela

Kala Dia ambil kembali,
Nafas panjang berpamit pergi
Hidup ini yang selama,
Adakah sungguh punya makna ?

Sudut Rumah Sakit Surabaya,
4 Juli 2021


Sunday, 27 June 2021

Menjemput Janji

Kemarin dan Esok apa bedanya ?
Semua akan kembali
Bila ada rizki nafas hari ini
Esok pasti berpamit pergi

Kenapa ada ragu ?
Jangan jemu merangkai kisah
Amal sujud masa usia
Tercatat rapi di alam sana

(Untuk sahabat yang mendahului pergi, 27 Juni 2021)

Thursday, 24 June 2021

PASTI (Prevensi After Stroke dan TIA) AHA/ASA 2021

DR SIAP LAB

 

Diagnostik (cari subtype stroke infark yang mana ?) 

Risiko Vaskuler (utamanya DM, HT, Dyslipidemi, Smoking)

Stenosis- 

Intracranial dan Extracranial (pilih best medical/intervensi)

Atrial Fibrilasi (monitoring irama jantung dan antikoaguan)

Patent Foramen Ovale (pertimbangan oklusi pada pasien yang tepat)

 

Life Style (Low salt, diet, activity)

Antitrombotik (antiplatelet/antikoagulan)

Behaviour (minum obat teratur, olah raga terstruktur)



Guideline ini menunjukkan bahwa tidak semua stroke infark itu sama. Ada subtipe-subtipe stroke yang memerlukan strategi prevensi berbeda. Dalam guideline ini misalnya, sudah muncul rekomendasi untuk Carotid Web dan Dolichoectasia yang sebelumnya tidak pernah dibahas. Jembatan keledai diatas hanya simplifikasi dari guideline yang berlembar-lembar. Selamat membaca naskah aslinya!

 

Thursday, 25 February 2021

Stroke, “Harga Otak,” dan Harapan pada Jajaran Direksi Baru BPJS

Stroke merupakan gangguan pembuluh darah yang mengenai susunan saraf pusat, utamanya otak. Stroke menjadi penyebab kecacatan pertama dan menjadi penyebab kematian kedua di dunia. Stroke di Indonesia masih merupakan penyebab kematian utama penyakit tidak menular, berdasarkan riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan.

Stroke menjadi momok yang menakutkan, karena pasien stroke seringkali mengalami kecacatan seumur hidupnya. Banyak pasien usia produktif tak mampu kembali bekerja seperti semula. Stroke menyebabkan kematian 2 juta sel otak per menit, dan akan menyebabkan penuaan otak dini 3.6 tahun per jam.

Lalu, benarkah pasien stroke tidak dapat diobati? benarkah pasien stroke tidak dapat pulih kembali? Saat ini, penatalaksanaan stroke telah mengalami kemajuan sangat pesat, “Stroke is Treatable,” demikian bunyi kampanye hari stroke sedunia beberapa tahun lalu. Panduan pengobatan stroke, rutin diperbaharuai setiap waktu. Bukti ilmiah menunjukkan hasil meyakinkan dan tak terbantahkan. Namun, sayangnya, panduan pengobatan stroke yang meyakinkan ini, belum diaplikasikan di Indonesia secara komprehensif. Padahal, Indonesia telah memiliki Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) stroke yang di tandatangani Menteri Kesehatan pada tahun 2019. Seharusnya, PNPK menjadi acuan utama penatalaksanaan stroke di setiap rumah sakit yang melayani pasien stroke. Faktanya, jauh panggang dari api. Tentu ada banyak faktor mengapa demikian. Namun jika diringkas dengan satu kalimat pendek, biang keladi dari semua itu adalah soal pembiayaan. Pembiayaan yang mana? uraian berikut mungkin akan sedikit menjelasakannya.

Stroke penyumbatan merupakan 85% dari semua jenis stroke. Hanya ada dua terapi yang saat ini terbukti efektif dan direkomendasikan di seluruh dunia. Pemberian peluruh bekuan secara intra vena (trombolisis intravena, selanjutnya disebut TIV) dan prosedur pengeluaran bekuan dengan kateter melalui pembuluh darah arteri besar yang disebut trombektomi mekanis (TM). TIV pemberiannya terbatas waktu, yaitu tidak boleh melebihi 4.5 jam, dan hanya efektif untuk sumbatan pada pembuluh darah kecil. Keberhasilannya meluruhkan bekuan darah tidak lebih dari 30% untuk stroke penyumbatan. Sementara TM, memiliki rentang waktu pemberian lebih lama sampai 24 jam. Tetapi, TM memerlukan peralatan khusus, ahli neurointervensi dan tersedianya ruang kateterisasi. TM telah menjadi standar terapi stroke pada penyumbatan pembuluh darah besar sejak tahun 2015.

Bagi rakyat Indonesia, sebagian besar pembiayaan pasien stroke menggunakan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebagian kecil menggunakan asuransi swasta atau biaya pribadi. Sayangnya, paket biaya perawatan stroke masih sangat kurang dibandingkan biaya seharusnya. Pasien stroke akut memerlukan biaya rawat inap, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan imejing berupa CT scan atau MRI, dan memerlukan tim multidisiplin apabila memiliki beberapa penyakit dasar, seperti hipertensi, kelainan jantung atau diabetes mellitus. Belum lagi, apabila stroke tersebut memerlukan tindakan bedah, dimana pasien memerlukan juga perawatan dokter bedah, dokter anastesi dan perawatan di ruangan ICU. Biaya perawatan stroke seringkali melebihi paket, terutama untuk stroke sedang sampai berat.

Dua standar terapi yang di sebutkan diatas, yaitu TIV dan TM, memerlukan biaya besar, dan paket perawatan dipastikan tidak mencukupi untuk keduanya. Maka sebagai konsekuensi, TIV dan TM yang merupakan modalitas terapi utama, sulit dilakukan di rumah sakit dengan pembiayaan BPJS. Hanya pasien dengan asuransi swasta tertentu atau pasien mampu saja yang dapat dikerjakan terapi ini. Adanya PNPK stroke dari Kemenkes tidak serta merta dapat diaplikasikan dilapangan, dan BPJS kesehatan belum menaikkan biaya perawatan stroke meskipun sudah ada PNPK tersebut.

Terapi stroke dengan TIV dan TM akan banyak menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia dari kematian dan kecacatan akibat stroke. “Harga Otak” rakyat Indonesia, dalam hal ini berkaitan dengan penyelamatan kematian sel otak akibat stroke, masih tidak memadai. Paket perawatan tak mampu menjangkau biaya, apabila terapi TIV dan TM dikerjakan pada semua kasus stroke akut yang memang diindikasikan. Telah banyak upaya yang tampaknya dilakukan, namun problem pembiayaan belum teratasi. Salah satu jalan keluar untuk permasalahan ini adalah dengan memberikan pembiayaan terpisah (top-up) untuk TIV dan TM, sebagai tambahan dari paket yang sudah ada. 

Timbul pertanyaan, benarkah tindakan TIV dan TM pada stroke itu merugikan dan tidak menghemat biaya? Ternyata tidak. Tindakan TIV dan TM menghemat biaya. Namun, penghematan ini tidak bisa dilihat dalam jangka pendek, yaitu selama perawatan fase akut di rumah sakit. Penghematan biaya akan terlihat signifikan dalam satu tahun pertama, dan tahun-tahun berikutnya. Dalam satu tahun pertama, pasien paska stroke memerlukan biaya pengobatan dan rehabilitasi. Terbukti, pasien stroke yang dilakukan TIV dan TM, menghabiskan biaya yang lebih rendah dalam setahun pertama. Data tentang penghematan biaya jangka panjang ini berasal dari semua negara, mulai Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Asia. Data ini ditulis secara detail pada buku putih Misi Trombektomi 2020+ (MT2020+) yang di prakarsai oleh Society of Vascular and Interventional Neurology (SVIN). MT2020+ merupakan aktivitas nirlaba yang mengkampanyekan penatalaksanaan trombektomi mekanis agar dapat dilakukan secara merata di seluruh dunia.

Apa mau dikata? meskipun PNPK stroke sudah ditandatangani, konsensus nasional dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSSI) juga sudah tersedia, namun tidak tampak aplikasi di lapangan secara nyata, karena terbentur pada soal pembiayaan. Dokter sesungguhnya mengerti standar terapi ini, khususnya TIV dan TM, namun tak berdaya. Kalau kita sendiri tidak menghargai secara layak “Harga Otak” rakyat Indonesia, lalu siapa lagi? Semoga jajaran direksi baru BPJS periode 2021-2026 dapat memberikan prioritas pada tatalaksana stroke akut, utamanya tindakan pengobatan dengan menggunakan TIV dan TM.

Saturday, 30 January 2021

Hormesis Kultural & Neurointervensi

" Hidup yang terus menerus senang bukanlah hidup yang baik,

kebahagiaan hakiki kadang tumbuh dari lahan ketidaksenangan."



Hormesis merupakan istilah dalam toksikologi, dimana jika suatu bahan toksik yang diberikan dalam dosis kecil akan memberikan efek yang bermanfaat, sedangkan jika diberikan dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan atau toksisitas.

 

Hormesis banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan adaptasi tubuh. Sesuatu yang jika banyak akan merusak, namun jika ringan (mild stress) akan menguntungkan. Kelaparan memiliki efek merugikan, namun “lapar” dalam kadar tertentu, ternyata memberikan banyak kemanfaatan, misalnya puasa. Kelelahan akan merugikan, namun “lelah” dalam kadar tertentu juga akan memberikan kemanfaatan, misalnya olah raga. Maka kemudian banyak intervensi medis yang memiliki nilai positif berawal dari konsep hormesis ini.

 

Dalam dunia neurointervensi, operator akan terkena radiasi setiap hari. Namun, apabila dalam kadar ringan “konon” memiliki efek positif. Kerusakan akibat radiasi pada sel akan menjadikan sel beradaptasi den melakukan repair DNA. Hipotesa adanya manfaat pada radiasi dosis kecil, didasarkan penelitian pada hewan seperti serangga, mamalia, dan juga tumbuhan. Manfaat sesungguhnya pada manusia mungkin saat ini masih menjadi perdebatan. Pada senter neurointervensi yang baik, setiap paparan radiasi akan direkam dan diukur, agar operator tidak terpapar radiasi melebihi dosis semestinya.

 

Dalam fenomena keseharian, banyak dokter spesialis yang secara status sosial atau ekonomi sudah cukup mapan, seringkali mencari stressor lain. Misalnya dengan mengambil pelatihan yang lama atau sekolah lagi ke jenjang akademis yang lebih tinggi. Selama stressor itu bukan stressor besar, tentu tidak mengakibatkan distress. Stressor tersebut akan memberikan efek yang positif. 

 

Dalam pendidikan, anak diberikan stressor ringan, agar berkembang dan terpacu untuk belajar. “Marah” dalam kadar tertentu mungkin dibutuhkan untuk mereka. Namun, terus menerus memarahi mereka, akan menjadikan mereka kehilangan kepercayaan diri. Memberikan target tertentu, akan mengajarkan mereka belajar mencapai tujuan, namun terlalu banyak target, malah akan membebani dan menghambat proses belajar.

 

Dalam sudut pandang agama, sebenarnya konsep hormesis ini merupakan bagian integral dari ajaran agama itu sendiri. Puasa adalah bentuk hormesis, zakat dan sedekah adalah bentuk hormesis, mengurangi tidur untuk beribadah adalah bentuk hormesis. Konsep hormesis yang dikemukakan Paracelcus (1493-1541), dokter dan bapak toksikologi dari Switzerland, jika ditransformasi menjadi hormesis kultural, sebenarnya telah menjadi bagian integral ajaran agama samawi. 

Saturday, 23 January 2021

Dokter Sukses

Dalam suatu pertemuan, reuni atau acara ilmiah kedokteran, umumnya akan menjadi tempat silaturrahim sekaligus melepas kangen para kolega. Mereka akan saling bertanya, tentang pekerjaan, apa spesialisasinya, apa jabatannya, sampai pertanyaan spesifik tentang keluarga.

 

Kemudian, secara tak sengaja, mereka saling menilai, ada “dokter sukses” dengan perspektif masing-masing. Mungkin dianggap sukses karena memiliki jabatan tinggi, karena pasiennya banyak, karena berprestasi secara akademis, karena menjadi pengusaha kaya, atau sukses karena berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri . Ada beberapa ukuran sukses yang kemudian muncul dalam benak kebanyakan orang. Secara umum, mereka yang dianggap sukses karena memiliki kelebihan dibanding yang lain, baik secara jabatan struktural, prestasi akademis maupun finansial. Namun, betulkah itu ukuran kesuksesan ?

 

Siapakah manusia sukses ? siapakah sebaik-baik manusia ? jika menggunakan ukuran agama, maka sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Maka bisa jadi seorang dokter umum yang bekerja di perifer adalah dokter sukses, karena dia memberikan banyak manfaat bagi penduduk disekitarnya, dimana disana tidak ada dokter yang berkenan datang, karena jauh dari berbagi macam fasilitas. Bisa jadi seorang dokter sepuh yang tekun mengajar dan membimbing merupakan dokter yang sukses, dibanding dokter muda yang punya banyak sekali publikasi ilmiah namun hanya sibuk menulis dan membesarkan dirinya sendiri. 

 

Maka tanyakanlah pada diri sendiri. Saat menjadi dokter, apakah kita bermanfaat untuk diri kita sendiri, bermanfaat untuk orang lain, atau bermanfaat untuk keduanya ? atau jangan-jangan selama ini, seolah-olah kita bermanfaat untuk orang lain, padahal sebenarnya kita hanya mengambil manfaat dari orang lain.

 

Ukuran seseorang bermanfaat bagi orang lain dapat dinilai tatkala beliau tiada. Beliau dikenang kebaikannya oleh banyak orang. Ada perasaan kehilangan dan pilu bagi yang ditinggalkan. Bukankah sering, kita mendengar wafatnya seorang kolega, namun perasaan kita biasa-biasa saja. Dan di saat kolega lain wafat, ada rasa kehilangan luar biasa, meskipun mungkin secara pribadi kita tidak pernah mengenalnya.

 

Maka, pada akhirnya, apabila kita memang tidak mampu memberikan manfaat pada orang lain, maka, minimal tidak menjadi madharat dan tidak hanya pandai mengambil manfaat dari orang lain. 

Tuesday, 12 January 2021

Neurointervensi dan Dunia Sufi : Meruntuhkan Batu Bata

Di sebuah kampung gersang, seorang pemuda merindukan air. Dia mendapat kabar, bahwa di tepian kampung terdapat tembok tinggi, yang dibaliknya ada air mengalir dalam telaga jernih. Penduduk kampung ini, hanya bisa mendengar gemericik air, namun tak pernah melihat dan merasakan kesegaran airnya. 

 

Suara air yang terdengar, menjadikan sang pemuda ini ingin menghampirinya. Tak seorangpun pernah mencoba mendatanginya. Karena mereka merasa tak akan mampu melewatinya. 

 

Pemuda ini seorang perindu. Meskipun hanya mendengar suara air dari balik tembok, tak menyurutkan niatnya untuk berkunjung setiap hari. Suatu saat, karena kerinduan yang besar, sang pemuda mendekatkan telinganya, makin mendekat, makin keras bunyi aliran air, makin besar keinginannya untuk mencapainya.

 

Sang pemuda tahu, tak mungkin dia meruntuhkan tembok tebal ini. Maka, dia hanya mencoba meruntuhkan satu batu bata tembok yang paling atas. Saat batu bata itu jatuh di balik tembok, jatuh ke dalam telaga, terdengar suara air yang makin nyaring. Pemuda ini makin bersemangat menjatuhkan batu bata berikutnya. Makin banyak batu bata terjatuh, makin keras suara air terdengar, mengobati kerinduannya.

 

Suatu hari, semua batu bata itu akhirnya runtuh. Dengan mata berbinar ia menghambur menuju telaga. Kini, bukan hanya mendengar suaranya, ia meneguk dalam-dalam air telaga itu. Kesegarannya melebihi kesegaran air yang selama ini pernah diminumnya. Kesegaran yang terasa berlipat-lipat.

 

Demikianlah. Neurointervensi adalah kisah sebuah telaga. Telaga yang kala itu hanya terdengar cerita dan suaranya saja. Untuk mencapainya, ada tembok tebal menghalanginya. Namun, dengan kesungguhan dan keinginan kuat, tembok itu sudah dapat diruntuhkan. Kini, semua penduduk kampung dapat menikmatinya.

 

Dalam dunia sufi, indahnya kecintaan pada Tuhan telah disampaikan dalam kitab suci. Para Nabi dan ulama mengajarkannya. Namun, ada banyak manusia masih tidak merasakan indah dan nikmatnya cinta, walaupun mereka telah mendengar gemericik air cinta itu. Mereka enggan meruntuhkan tembok tebal, mereka enggan bersusah payah. Tembok tebal itu adalah gambaran nafsu pada diri manusia. Apabila satu persatu batu nafsu dijatuhkan, satu persatu keinginan duniawi dan profan dirobohkan, niscaya manusia akan dapat menghampiri Tuhan dan merasakan indahnya cinta dan manisnya keimanan. Demikianlah para sufi mengibaratkan.