Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Saturday 23 January 2021

Dokter Sukses

Dalam suatu pertemuan, reuni atau acara ilmiah kedokteran, umumnya akan menjadi tempat silaturrahim sekaligus melepas kangen para kolega. Mereka akan saling bertanya, tentang pekerjaan, apa spesialisasinya, apa jabatannya, sampai pertanyaan spesifik tentang keluarga.

 

Kemudian, secara tak sengaja, mereka saling menilai, ada “dokter sukses” dengan perspektif masing-masing. Mungkin dianggap sukses karena memiliki jabatan tinggi, karena pasiennya banyak, karena berprestasi secara akademis, karena menjadi pengusaha kaya, atau sukses karena berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri . Ada beberapa ukuran sukses yang kemudian muncul dalam benak kebanyakan orang. Secara umum, mereka yang dianggap sukses karena memiliki kelebihan dibanding yang lain, baik secara jabatan struktural, prestasi akademis maupun finansial. Namun, betulkah itu ukuran kesuksesan ?

 

Siapakah manusia sukses ? siapakah sebaik-baik manusia ? jika menggunakan ukuran agama, maka sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Maka bisa jadi seorang dokter umum yang bekerja di perifer adalah dokter sukses, karena dia memberikan banyak manfaat bagi penduduk disekitarnya, dimana disana tidak ada dokter yang berkenan datang, karena jauh dari berbagi macam fasilitas. Bisa jadi seorang dokter sepuh yang tekun mengajar dan membimbing merupakan dokter yang sukses, dibanding dokter muda yang punya banyak sekali publikasi ilmiah namun hanya sibuk menulis dan membesarkan dirinya sendiri. 

 

Maka tanyakanlah pada diri sendiri. Saat menjadi dokter, apakah kita bermanfaat untuk diri kita sendiri, bermanfaat untuk orang lain, atau bermanfaat untuk keduanya ? atau jangan-jangan selama ini, seolah-olah kita bermanfaat untuk orang lain, padahal sebenarnya kita hanya mengambil manfaat dari orang lain.

 

Ukuran seseorang bermanfaat bagi orang lain dapat dinilai tatkala beliau tiada. Beliau dikenang kebaikannya oleh banyak orang. Ada perasaan kehilangan dan pilu bagi yang ditinggalkan. Bukankah sering, kita mendengar wafatnya seorang kolega, namun perasaan kita biasa-biasa saja. Dan di saat kolega lain wafat, ada rasa kehilangan luar biasa, meskipun mungkin secara pribadi kita tidak pernah mengenalnya.

 

Maka, pada akhirnya, apabila kita memang tidak mampu memberikan manfaat pada orang lain, maka, minimal tidak menjadi madharat dan tidak hanya pandai mengambil manfaat dari orang lain. 

2 comments: