Waktu masih pagi, selepas subuh, seorang dokter senior, tampak memasuki ruangan perawatan. Ruangan ini dipenuhi pasien kelas tiga. Tempat kebanyakan rakyat jelata. Didampingi perawat, disapanya pasien, dijabat tangannya dan diperiksa dengan seksama. Pada pasien yang secara klinis berat dan tak punya banyak harapan, disanalah makin banyak waktu beliau habiskan. Tak tampak terburu-buru, tak tampak tergesa-gesa.
Para perawat dan dokter muda banyak bertanya-tanya. Bagi dokter senior, terkenal dan kompeten sekaliber beliau, sesungguhnya sudah waktunya membatasi pasien. Sudah selayaknya hanya merawat pasien kelas utama, paviliun, VVIP atau apalah namanya. Namun, beliau justru merawat pasien dan menerima pasien dengan status “penerima bantuan iuran,” yang seringkali biaya perawatannya melebihi plafon, dan rumah sakit maupun dokter tidak mendapatkan jasa atas perawatannya.
Tampaknya beliau tak peduli. Rumah sakit tempat beliau mengabdi adalah rumah sakit kelas menengah, penerima pasien Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagian besar pasien adalah rakyat jelata, para kaum lemah, atau kaum dhu'afa. Maka, tentu saja bagi para pasien tersebut, harapan kesembuhannya hanya Allah dengan wasilah rumah sakit ini.
Wajah-wajah pasien dan keluarganya masih segar dalam ingatan. Wajah-wajah pasrah kaum papa. Wajah yang tidak banyak bertanya, tidak banyak mengeluh dan tak berani komplain dengan berbagai macam pelayanan. Maka, kehadiran dokter dan tegur sapa beberapa waktu, penjelasan secukupnya, sungguh merupakan harapan dan tetes embun yang meneduhkan untuk mereka.
Selepas waktu sholat, di sudut musholla kecil rumah sakit. Seorang dokter muda memberanikan diri bertanya, mengapa beliau begitu sabar dan masih memberikan begitu banyak waktu untuk merawat pasien-pasien bangsal itu. Beliau menghela nafas, dan tampak tak ingin bercerita. Lalu beliau berkata “apa yang saya lakukan bukanlah kebaikan.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Saya orang yang awam dalam agama, dalam beribadah belum pernah merasakan nikmatnya sujud, tidak memahami kitab suci agama saya sendiri, jauh dari para ulama.” Bagaimana mungkin saya berharap baik? berharap pahala? Saya merasa tak pantas dan malu akan semua itu.” Satu-satunya harapan, semoga senyum dan rasa bahagia mereka, memperingan langkah saya, yang sudah berat dengan dosa. Adakah senyum mereka, bisa menjadikan sekedar temaram di alam kubur saya yang gelap gulita?”
No comments:
Post a Comment