Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday, 26 December 2018

Jejak Dua Istana : antara Agra dan Granada

Hari Minggu, pagi masih buta. Kami bergegas, berkemas menuju stasiun Maria Zambrano, berada persis di depan hotel, dimana kami bermalam. Penerbangan dari Amsterdam, dengan pesawat berbiaya murah, Ryan Air, tadi malam, telah membawa ke kota Malaga. Sebuah kota pelabuhan di Andalusia, Spanyol.



Dengan berbekal tas punggung dan selembar tiket kereta, bisa dipesan secara online, kami memasuki stasiun, tidak begitu besar, namun bersih. Menungu beberapa saat, di pojok kantin, cukuplah untuk melahap sepotong sandwich tuna, menyeruput kopi dan menikmati suasana subuh Malaga.

Kereta ini nyaman, hampir tanpa suara, meskipun angka monitor diatas pintu kereta, menunjukkan lajunya amat kencang. Dari jendela, sungguh nikmat, melihat suasana pedesaan pagi hari, tampak lahan dengan tanaman berjajar-jajar, tanaman Olive yang tak pernah haus, karena selang-selang kecil menyembul, menyirami setiap onggok pohonnya. Lahan yang berbukit-bukit, naik turun, tampak sangat indah. Renfe train, melaju menuju Cordoba.

Mengapa Cordoba ? bukankah istana Alhambra yang legendaris ada di Granada ? Sebagaimana mengunjungi Agra-India, menikmati dan menghikmati Taj Mahal, haruslah lebih dahulu mengunjungi Agra Fort. Jika ingin memahami Alhambra di Granada, suatu keharusan mengunjungi Cordoba. Apabila Agra Fort dan Taj Mahal hanya berjarak satu pandangan mata (Taj Mahal dapat dinikmati dari puncak Agra Fort), maka Cordoba dan Granada berbeda kota, terpisah perjalanan sekitar 4 jam, dengan bus dan kereta.

Inilah Cordoba. Inilah Ibukota Andalusia pada masa kekhalifahan Islam, kekhalifahan Umayyah. Destinasi utama adalah Mezquita de Cordoba. Sebuah Masjid legendaris, dengan arsitektur indah. Kini,  bagian tengahnya merupakan Katedral, sedang bangunan sekelilingnya, merupakan bangunan yang dapat dinikmati para pengunjung. Hotel kami persis berada di pojok Mezquite, di bawah menara persegi empat, bukan menara bulat, seperti kebanyakan menara, menara berwarna kuning pucat, khas arsitektur bangsa Moor. Hotel itu bernama Maimonides. Nama seorang filosof Yahudi, satu diantara puluhan filosof terkemuka, di masa keemasan kekhalifahan Islam.

Bus dari stasiun kereta menuju Mezquita de Cordoba,  memerlukan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan, Kami melihat pohon-pohon jeruk segar dan ranum. Pohon yang tumbuh di sepanjang jalan Cordoba. Bus berhenti, tepat di sebarang sungai Guadalquivir. Maka, tampaklah Mezquita berdiri kokoh dari seberang sungai. Menghampiri Mezquita, kaki akan melangkah, menyusuri Roman Bridge, jembatan kokoh yang di bangun pada era Romawi, saat bangsa Visigoth masih berkuasa. Nama Guadalquivir berasal dari bahasa arab “Wadi Al-Kabir, “ yang berarti sungai yang besar. Sungai terbesar kedua di Spanyol yang memanjang dari Cordoba menuju Sevilla dan berkahir di samudra Atlantik.

Menapaki aroma kuno Roman Bridge, mendengarkan gemericik air dibawahnya, memandang pilar tinggi besar menuju Mezquita, membawa ke masa seribu tahun lalu. Seolah tergambar dihadapan mata, lalu lalang para bangsawan, ilmuwan, tentara dan kerumunan rakyat jelata. Beberapa puluh meter ke arah kiri, tampak Alcazar, taman-taman rimbun memukau, dengan kolam dan bunga-bunga bermekaran, sisa peradaban lama, sangat memanjakan mata. 




Berjalan menapaki area Mezquita, mencari para guru dan ilmuwan dunia. Tampak Averroes (Ibnu Rusyd) duduk mematung, mencoba menjelaskan kembali konsep Arestotelian, agar bisa dipahami banyak orang, menuliskan kembali ide-idenya yang hampir punah.  Beliau bukan hanya ahli agama, namun juga dokter dan filosof. Disudut taman yang lain, Ibnu Hazm berdiri tegak, membacakan syair-syair melegenda, seorang ulama dan filosof kontroversial pada masa itu, dimana, pemujanya sebanyak pencelanya. Akhir hayatnya, akhirnya pergi meninggalkan riuhnya kota, menyendiri , sambil terus mengajar para murid yang setia mengikuti. 

Siapa tak kenal Abulcassis (Abul Qasim Az Zahrawi), ahli bedah, peletak dasar ilmu bedah modern. Buku legendarisnya, Al-Tasrif, setebal 30 jilid, menjadi rujukan ilmuwan Eropa. Seorang ahli bedah Perancis, Guy de Chauliac, mengutip Al-Tasrif hampir lebih dari 200 kali. Kitab Al-Tasrif terus menjadi pegangan para dokter hingga terciptanya era Renasissance. Sampai abad ke -16 M, ahli bedah berkebangsaan Perancis, Jaques Delechamps (1513 M-1588 M), masih menjadikan Al-Tasrif sebagai rujukan.

Menapaki gang-gang sempit, diantara gedung-gedung antik disekitar Mezquita, sungguh asyik. Tak disangka, kaki memasuki University of Cordoba. Universitas dengan bangunan tua, setua kisah dan sejarahnya. Di seberang gerbang kampus, seolah mengamati para pengunjung, duduk diantara rimbun pohon jeruk yang ranum. Dialah Al-Ghafiqi, pakar farmasi dan ophthalmologist termasyhur Andalusia. Namanya juga diabadikan di rumah sakit Cordoba.

Empat tersebut, beberapa diantara ratusan ilmuwan. Mereka seolah berkumpul pada satu era, menuliskan karya-karya besarnya di Cordoba. Karya yang menjadi landasan pengetahuan Eropa. Karya yang masih dapat ditelusuri, dinikmati hingga kini, dari generasi ke generasi.

Saat Cordoba runtuh, kekhalifahan masih bertahan di Granada. Mari coba menelusurinya. Kereta api meninggalkan Cordoba, transit di Atequera Santa Ana, tersambung bus menuju Granada. Sepanjang jalan, yang tampak hanya kebun Olive dan dataran tinggi yang berbukit-bukit, inilah alasan, mengapa tak ada kereta ke Granada. Mendatangi Granada berarti menghampiri Alhambra.

Alhambra, sebuah istana megah nan indah mempesona. Berdiri diatas bukit menjulang, memasukinya akan melewati taman-taman indah menawan. Gerbang “the tower of justice” ramah menyambut, gerbang yang dibangun pada 1348 M, masih tampak kokoh berdiri. Alhambra tampak merah merona dari kejauhan, lebih-lebih di kala senja, sesuai namanya, “Al-Hamra” dalam bahasa arab berarti merah. Dari Alcazaba, benteng yang berdiri kokoh, kaki melangkah memasuki Nasrid Palace, istana sesungguhnya, seolah tercium aroma masa lalunya. Untainan manik-manik dan interior kaca yang detail, dengan kaligrafi didinding yang menawan, bertuliskan “La Ghaaliba illa-Allah” (there is no victor but Allah). Bentukan langit-langit istana, menyerupai sarang lebah, membiru, terlihat berkelip, berpendar, terkena pantulan cahaya dari balik jendela.



Memasuki ruangan-ruangan di istana ini, akan mengingatkan pada Agra Fort, sebuah perpaduan benteng dan istana di Agra, India. Beberapa ornamen dan detail interior mirip atau hampir serupa. Agra Fort, tuntas dibangun pada 1573 M, dua ratus tahun setelah Alhambra.

Agra Fort hanya berjarak 2.5 km dari Taj Mahal, mahakarya agung, white marble berbalut ukiran, ornament, dan lukisan amat detail, untaian kaligafi menyelimutinya. Suasana makin sendu jika dinikmati dari tepian sungai Yamuna. Tak terbayang bagaimana mereka membangunnya. Konon, Taj Mahal merupakan sebuah monumen, lambang cinta suami akan istrinya. Namun, ada banyak cerita dan kisah dibaliknya, sehingga ungkapan cinta, ternyata tidak sesederhana yang dipahami, oleh banyak manusia. Monumen ini dibangun selama 22 tahun, untuk Mumtaz Mahal, sang istri ketiga, wanita Persia, setelah melahirkan anak ke-14, putri mereka.

Taj Mahal mengundang banyak manusia. Semua datang menikmati keindahannya, semua terpukau, semua terbuai. Ratusan juta jepretan kamera mengabadikan bangunannya, tak terkira jumlah yang berswafoto, dengan berbagai macam gaya. Tampaknya ada yang terlupa. Taj Mahal adalah sebuah makam, sebuah pekuburan. Tak tampak ada satupun menengadahkan tangan,  atau diam untuk berdoa, sebagaimana lazimnya peziarah kubur. Seolah jenazah Shah Jahan dan Mumtaz Mahal tak lagi ada disana. Apakah mungkin mereka melakukannya,  dengan cara diam-diam ?

Alhambra, Agra Fort dan Taj Mahal, adalah monumen, tanda kejayaan peradaban. Semua mata mengaguminya. Namun, ada yang berbeda akan Cordoba. Ada suasana haru terbalut rindu saat mengunjunginya. Saat itu, bukan hanya menikmati bangunan, arsitektur dan suasana kotanya, namun, seolah menghirup gairah para ilmuwan kelas dunia, yang meneliti, menuliskan dan menghasilkan banyak karya. Karya itu, mungkin tanpa sadar, telah memasuki relung-relung otak kita, otak umat manusia. Pengetahuan itu diwariskan dari generasi-ke generasi, lebih abadi, mungkin tak terlihat, namun ia sungguh nyata adanya.

Friday, 7 December 2018

Neurointervensi Madzhab Delhi

Hari itu senin, 7 Februari 2011. Menjelang musim semi. Bulan kedua fellowship. Datang seorang laki-laki muda, dosen di sebuah universitas negara tetangga. Lelaki ini mula-mula masuk di sebuah rumah sakit lain, namun tak menemukan yang dicarinya, ternyata dokter yang dimaksudkan, telah berpindah ke rumah sakit dimana sekarang dia dirawat. Pasien ini mengeluh kejang dan nyeri kepala berulang. 

Prosedur angiografi serebral dilakukan. Seperti biasa, beliau asyik cukup lama di depan workstation, sambil melihat satu-persatu gambaran MRI secara detail, seolah tak memperdulikan kami para fellow yang selalu mengikuti dibelakangnya. Akhirnya, beliau berjalan menuju HDC (high dependence care), tempat evaluasi pasien pasca prosedur, dan menjelaskan bahwa Brain AVM pada sang dosen tidak perlu dilakukan embolisasi, cukup observasi dan terapi simptomatik. Pasien mulanya agak terkejut atas penjelasan ini, bagaimana tidak ? jauh-jauh dari Negara tetangga, berharap dilakukan suatu tindakan untuk mengobati sakitnya, mengapa hanya di observasi saja ?

Sebagai fellow yang masih dalam tahap obsevership, tentu kami keheranan, beberapa waktu lalu, pasien dengan ukuran AVM yang sama, dan di lokasi yang hampir serupa, beliau lakukan prosedur embolisasi. Mengapa pada pasien ini berbeda ? Kami berdiskusi dengan sesama fellow, namun belum berani bertanya, mengapa decision making pada dua pasien yang tampaknya mirip, kok bisa berbeda.

Besok harinya, kembali seorang pasien Brain AVM dari Negara tetangga, kali ini lebih jauh, Timur Tengah. Sudah pernah dilakukan embolisasi di rumah sakit lain. Pasien dilakukan prosedur dengan general anastesi. Tak disangka, prosedur ini begitu lama, kami heran, satu microcatheter yang kami sangka sudah masuk dalam nidus dan siap diinjeksikan glue (NBCA), ternyata ditarik kembali, begitu terjadi beberapa kali. Apa yang kami anggap nidus AVM, ternyata menurut beliau bukan. Microcatheter diarahkan ke feeder yang lain. Sampai akhirnya injeksi glue benar-benar dilakukan, dan membuat kami lega, artinya prosedur panjang akan segera selesai, karena telah cukup lama sekali, hari ini bermandi radiasi.

Selepas prosedur, sambil menikmati secangkir kopi, beliau bertanya tentang AVM tadi. How many compartements?  Para fellow saling berpandangan, bagaimana kami tahu ? membedakan nidus dengan angiomatous changesaja kami belum mampu. Beliau tersenyum, dan berkata, “ada dua kompartemen, dengan dua draining vein.” Pada kesempatan lain beliau berkata, “We are not a plumber,” bukan tukang ledeng, yang hanya menutup kebocoran disini dan disana, ada angioarchitecture yang perlu dipertimbangkan, ada topografi AVM yang perlu dipelajari. 

Demikianlah, setiap hari fellow belajar dari ketidakmengertian. Belajar membuat keputusan klinis. Pasien-pasien yang tampak sama, ternyata bisa memiliki decision yang berbeda. Hubungan fellow dan mentor sangatlah dekat, bukan sekedar guru dan murid yang formal, namun seperti seorang anak dengan orangtua. Kemanapun beliau pergi, kami mengikuti. Setiap keputusan klinis pada pasien hari per hari, kami mengetahui “mengapa” dan apa alasannya.

Ada yang unik dari “Madzhab Delhi.” India tidak banyak berbeda dengan Indonesia. Baik kondisi ekonomi pasien, juga ragam prosedurnya. Jangan pernah berharap berganti microwire dan microcatheter selama prosedur dengan mudah, seperti di negara maju semacam Jepang dan Korea. Meskipun, bisa jadi, itu adalah prosedur sulit dan mungkin saja memerlukannya. Ada banyak trik dan tips bagaimana shaping serta reshaping microcatheter dan microwire. Ada usaha tak kenal lelah, memodifikasi tehnik dalam prosedur, yang mungkin di negara maju lebih memilih berganti device baru, meski berkali-kali tanpa peduli, karena pembiayaan bukan masalah lagi.

Dari “Madzhab Delhi,” kami belajar, bukan semata-mata mengandalkan kecanggihan tekhnologi device neurointervensi,  seperti flow diverter, atau menanam kombinasi implant sekian banyak dalam pembuluh darah otak. Kami belajar, bagaimana menyelesaikan masalah pasien se-ekonomis mungkin, namun dengan hasil maksimal serta komplikasi minimal.

Beliau selalu menekankan “mastering in neuroanatomy,” karena “It’s a cheapest way of being safe,” sebagaimana yang disampaikan Prof. Lasjaunias. Ungkapan yang sesungguhnya lebih mudah diucapkan dari pada diaplikasikan. Terutama, bagi neurointervensionis muda, yang hanya berharap short-cut, belajar kalau bisa dua-tiga bulan saja dan langsung bekerja, tak perlu berlama-lama.

Ada banyak hal yang kami rindukan akan “Madzab Delhi.” Terkadang, dalam alam bawah sadar, kami mungkin rindu “dimarahi” dengan teguran keras model India. Jika saat prosedur, kami melakukan kesalahan, jangan kira apa yang terjadi, sungguh saat itu mungkin rasa sakit menyayat hati, namun kini menjadi kenangan abadi tiada terganti.

Wednesday, 5 December 2018

Stroke Infark dan “Gua Hantu”

Satu-satunya mantra yang paling manjur untuk terapi stroke infark saat ini adalah “take the clot.” Entah bagaimanapun caranya, apakah dengan menghancurkannya (trombolisis) atau dengan mengeluarkannya (trombektomi). Trombolisis bisa dilakukan pada < 4.5 jam dan pada large vessel occlusion (LVO), trombektomi dilakukan pada < 6 jam. Selebihnya, saat waktu tak memenuhi syarat, atau waktu tak bisa ditentukan (pada wake up stroke), trombolisis dan trombektomi hanya boleh dilakukan berdasarkan kriteria imejing, bukan lagi waktu. 

Maka lihatlah studi DAWN serta DEFUSE-3 untuk trombektomi, mereka menggunakan kriteria imejing (diffusion/perfusion) untuk menentukan core dan penumbra, jika mismatch tak lagi ada, atau sangat minimal, maka tidak direkomendasikan melakukan trombektomi pada pasien tersebut. Namun, belakangan, beberapa neurolog baru menyadari, bahwa core yang secara konseptual adalah area infark yang severely hypo-perfused, kemungkinan irreversible, dan ini terlihat pada CT perfusi, ternyata bukanlah gambaran infark yang sesungguhnya. CT perfusi ternyata overestimate dalam menentukan infark. Akibatnya, sangat mungkin, banyak pasien yang selama ini tidak dilakukan terapi reperfusi, karena tidak adanya mismatch atau hanya ada mismatch minimal, seharusnya masih mendapat manfaat dari terapi reperfusi.

Singkatnya, gambaran mismatch dari studi CT perfusi bisa jadi tidak menggambarkan kondisi infark yang sebenarnya. Konsep ini dipopulerkan sebagai “the ghost infarct core.” Ternyata, infarct core yang gelap pada CT perfusi seolah “Gua Hantu,” dimana ukuran gua yang terlihat oleh mata bukanlah ukuran gua yang sebenarnya. Ukurannya yang besar dan gelap mungkin berbeda dengan aslinya, menakutkan untuk dimasuki dan menakutkan untuk dilakukan terapi reperfusi.

Inilah kemudian yang mendasari sebagian neurointervensionis mulai berpendapat bahwa untuk LVO langsung saja dilakukan trombektomi tanpa perlu CT perfusi, tapi aplikasinya masih menunggu konfirmasi studi berikutnya. Sehingga ada guyonan diantara mereka mengenai topik ini “CT perfusion or CT confusion?”

Saturday, 1 December 2018

Warung Kopi Neurologi

Di setiap sela pertemuan ilmiah Neurologi, mungkin bagian paling dinanti oleh para peserta adalah mojok di warung kopi. Ngopi informal dengan teman seangkatan, sesama alumni dan dengan para senior, membuat suasana cair, gayeng, dengan tawa lepas. Seolah oase, diantara penatnya tugas sehari-hari yang tak berkesudahan. Kopi tak perlu mahal ala tongkrongan anak muda di sudut mall berkelas, warung kopi tradisional makin mengenangkan susah-senang saat sekolah atau semasa kuliah. Suasana temaram malam, makin lama makin mengasyikkan. Ada banyak hal yang bisa diselesaikan di warung kopi. Hubungan beku dapat cair seketika. Masalah pelik dapat terurai sempurna. Dunia yang penuh persoalan seolah sirna sementara, lupakan saja, dan saat kembali, otak sudah dipenuhi dengan berbagai alternatif solusi.

Namun, warung kopi kita belakangan tampaknya sudah berubah. Warung kopi ramai di saat acara ilmiah masih berlangsung. Cukup datang registrasi saat awal acara, membuat janji dengan dengan teman-teman lama, pergi ngopi dan kembali diakhir sesi untuk  menjemput sertifikat ber-SKP. 

Mengapa bisa demikian ? teman saya bilang mulai jenuh dengan acara ilmiah neurologi….........lho ??? Katanya begini “ topik-topik yang ditampilkan banyak membahas produk farmasi, sudah sering disampaikan dan diulang-ulang lagi.” Beliau bilang “ saya mengalami neurological fatique,” lelah mengikuti acara ilmiah yang seperti itu. Saya menimpali,”bukankah topik dengan konten produk farmasi hanya sebagian saja dari presentasi ?” Teman saya menyahut ” Apakah tidak bisa panitia mendatangkan pakar dibidangnya, pembicara asing yang tajam dan qualified tanpa embel-embel farmasi, ataukah panitia tidak mampu mendatangkannya karena biaya ? acara ilmiah ini milik siapa ? milik kami yang yang membayar registrasi ataukah milik produk farmasi ?” Teman saya berbicara panjang soal topik ilmiah, dan contoh seminar di luar negeri.

Mendengarkan semua keluh-kesah teman saya ini, saya terdiam, saya mengerti, walaupun tidak semuanya dapat diterima. Penyelenggaraan acara ilmiah yang high cost, menuntut panitia bekerja keras mencari sponsor, dan tentu saja berkompromi dalam topik-topiknya. Di akhir diskusi teman saya berkata “ sebenarnya panitia bisa mendatangkan pembicara pakar luar negeri yang qualified dan tajam, seandainya tidak terlalu takut keuntungan dari kepanitian berkurang, bukankah kami telah membayar dari registrasi ?” Nah….yang terakhir ini saya tak lagi dapat berkomentar……..dalam hati saya berkata,” bukankah registrasi peserta sebagian besar juga mungkin dibayar oleh farmasi….?”Kita butuh acara ilmiah berkualitas, namun kita juga perlu support sponsorship, namun menuurut teman saya ini, sponsor adalah kendaraan saja, bukan tujuan penyelenggaraan acara ilmiah. Saya manggut-manggut saja, seolah mengerti.

Ah….memang warung kopi kita kini tak lagi sama…..barangkali kopinya haruslah nasgitel (panas, legi lan kenthel). Ayo ngopi….