Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday, 26 February 2014

Sikap Wara’ : antara Sufi dan Nevi

Dari dunia pesantren, kita sering mendengar tentang ilmu Tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang akhlaq, cara membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang mengamalkan tasawuf disebut sebagai Sufi. Mungkin kita pernah mendengar nama Jalaluddin Rumi, orang barat mengenalnya sebagai The Dancing Sufi.

Salah satu yang dilakukan oleh para Sufi adalah bersikap Wara’. Sikap wara adalah sikap hati-hati, menjaga diri dari sesuatu yang belum jelas (kehalalan-nya) dan meninggalkan sesuatu yang meragukan (syubhat). Contoh sederhana adalah tatkala seorang Sufi menghindari dan meninggalkan makanan yang tidak jelas kehalalannya, baik dzat-nya maupun cara memperolehnya. Ini dilakukan untuk menjaga diri dari dosa dan perbuatan yang dilarang oleh Tuhan. Bersikap Wara’ berarti bersikap sangat hati-hati, mengambil jalan yang aman dari dosa, meninggalkan yang meragukan, mengambil yang pasti, agar semakin dekat dengan Tuhan.

Dalam neurointervensi, seorang Nevi juga harus bersikap “Wara.” Sikap tersebut harus melekat pada dirinya tatkala menghadapi pasien dengan problem neurovaskuler. Saat menghadapi suatu kasus, seorang Nevi harus memilih untuk melakukan suatu prosedur neurointervensi atau meninggalkannya. Pertimbangan yang harus selalu diingat adalah “apakah tindakan yang dilakukan memiliki manfaat lebih besar dibanding dengan tidak melakukannya.” Dengan kata lain “ apakah tindakan neurointervensi memiliki manfaat lebih besar dari terapi konservatif.” Apabila seorang nevi memiliki sikap “Wara”, maka dia hanya akan memilih kasus-kasus yang memang memiliki indikasi untuk dilakukan intervensi. Dan prosedur-prosedur yang dia lakukan akan memiliki angka keberhasilan tinggi dan komplikasi yang rendah. Dan bersikap wara seperti ini menjadikannya lebih “selamat.” Meninggalkan prosedur intervensi terkadang tidak semata-mata berkaitan dengan kasus itu sendiri, namun juga berkaitan dengan ketersediaan device.

Contohnya, apabila mendapatkan pasien dengan wide-neck aneurysma (neck >4mm) dan rasio neck to dome tidak ideal (<1:2), maka  tindakan yang seharusnya dilakukan adalah stent-asisted coiling atau baloon asisted-coiling. Apabila dia hanya memiliki coil, dan tidak memiliki stent/baloon, maka sikap “Wara” adalah memilih tidak melakukan prosedur coiling, karena angka kegagalan coiling tanpa stent/baloon cukup tinggi dan potensial mengakibatkan komplikasi lebih lanjut pada pasien. Pemilihan kasus yang tepat kita kenal sebagai “case selection,” “proper case for proper intervention.”

Maka, melihat sikap “Wara”dapat dilakukan oleh Sufi dan Nevi, mungkinkan seorang Nevi menjadi Sufi ? atau mungkinkah seorang Sufi menjadi Nevi ?

Friday, 14 February 2014

Modern Neurointervention : Pindah “Stasiun”

Sudah jamak diketahui, bahwa prosedur pertama neurointerevensi dilakukan oleh seorang neurologist. Kini, nama sang neurologist diabadikan menjadi nama salah satu program pendidikan fellowship di India, Egas Moniz Fellowship.  Beliau mengenalkan prosedur angiografi cerebral untuk pertama kali pada 1926.

Egas Moniz adalah orang pertama yang membangun “stasiun” neurointervensi. Beliau membangun dan mengenalkannya pada dunia. Namun sayangnya, saat ini stasiun tersebut ditinggalkan oleh para neurointervensionist. Stasiun tersebut sepi peminat, hanya dikunjungi pada kondisi tertentu yang darurat. Berikut ini adalah kisahnya.

Catheter yang digunakan untuk prosedur neurointerevensi harus pergi menuju destinasi yang dimaksudkan. Apakah menuju neck vessel ataukah intracranial vessel. Catheter seumpama kereta yang harus berangkat melalui stasiun.

Egas Moniz membangun stasiun pertama di pembuluh darah leher, yaitu common carotid artery (CCA). Dari CCA inilah catheter di berangkatkan, mengantar kontras menuju pembuluh darah intra dan extracranial.
Namun lihatlah, stasiun Egas Moniz ini ternyata tidak cukup aman dan efektif. Untuk menciptakan suatu gambar pembuluh darah otak kanan dan kiri, perlu membangun dua stasiun, yaitu di CCA kanan dan CCA kiri. Sedangkan untuk menuju otak belakang, harus melalui stasiun lainnya, lebih sulit dan lebih beresiko, yaitu vertebral artery (VA) yang ukurannya cukup kecil.

Dapat dibayangkan, komplikasi akibat prosedur neurointervensi generasi pertama memiliki angka yang cukup tinggi. Selain diseksi pada arteri, juga stroke. Prosedur melalui CCA dilakukan sampai akhir tahun 1960.

Kemudian, datanglah era modern neurointervention, awal tahun 1970-an. Era ini ditandai dengan dibangunnya stasiun baru. Lokasinya di Common Femoral Artery (CFA) dan dalam kondisi darurat pada Brachial atau Radial artery.  Stasiun baru ini lebih aman dan efektif. Memiliki komplikasi prosedur sangat rendah dan mudah diakses oleh berbagai macam device.

Berpindahnya carotid approach to femoral approach diikuti pula secara signifikan oleh berkembangnya device dan tehnik neurointervensi. Prosedur intervensi yang memerlukan ketelitian tinggi dan waktu cukup lama dapat diberangkatkan dengan aman melewati stasiun baru.

Sayangnya, pembangunan stasiun baru dan pemanfaatannya tidak diikuti oleh para neurologist. Setelah era tahun 1970-an tersebut, prosedur neurointervensi oleh neurologist merupakan “obsolete practice.” Prosedur neurointevensi berikutnya dikembangkan oleh spesialis lainnya.

Menyadari telah cukup lama ketinggalan kereta, para neurologist mulai mengunjungi kembali “stasiun baru” ini. Pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, neurologist dunia mulai masuk kembali ke area neurointervensi, bersanding kembali dengan spesialis yang lain.

Prosedur pucture femoral merupakan “craniotomy of neurointervention.” Dari pucture site inilah dilakukan semua prosedur neurointervensi dan dengan luka hanya sebesar jarum. Saat ini, melaui stasiun baru,  beberapa studi menunjukkan bahwa prosedur neurointervensi terbukti lebih superior dari prosedur Neurosurgery dalam beberapa kasus, atau paling tidak merupakan rival yang sepadan.


Stasiun Balapan, Solo, 7 Februari 2014

Saturday, 1 February 2014

Kisah Guide Wire

Kesuksesan suatu prosedur neurointervensi tidak hanya tergantung pada operator, namun juga tergantung pada device yang dipakai. Device memiliki peran besar dan menentukan hasil akhir tindakan neurointervensi. Dengan semakin berkembangnya teknologi, device yang tersedia semakin canggih dan mengagumkan. Ambillah contoh microcatheter flow guided untuk embolisasi AVM. Microcatheter ini memiliki ukuran sangat kecil dan sangat fleksibel. Microcath ini dapat melewati pembuluh darah kecil, dan hebatnya mampu berjalan mengikuti aliran darah (flow guided), mengikuti lekuk-lekuk pembuluh darah sampai ke nidus AVM. Apabila ada embolisasi AVM yang sukses dilakukan, pertanyaan yang di tujukan pada sang neurointerventionist adalah “ microcatheter apa yang digunakan ? ”

Demikian juga dengan prosedur coiling pada aneurysma. Coil diproduksi oleh banyak “company,” masing-masing coil memiliki behavior yang berbeda. Tak pelak, saat seorang neurointerventionist berhasil melakukan coiling pada kasus aneurysma yang cukup sulit, dia akan berguman pada asistennya “ what a coil, it had a very good behavior.”

Lihatlah pula sanjungan yang ditujukan pada Stent, pada prosedur stenting Carotid.  Atau sanjungan pada  Balloon pada prosedur embolisasi CCF. Semua device tersebut mendapat sanjungan setinggi lagit, seolah tanpa devices diatas, prosedur tersebut tidak berlangsung sukses.

Maka tengoklah Guide Wire. Usianya cukup tua dan panjang,  dia adalah  suatu device yang paling rajin bekerja, tanpa pamrih dan tanpa sanjungan. Semua prosedur neurointevensi pasti memerlukan Guide Wire. Tidak satu prosedur neurointervensi-pun yang tidak menggunakan jasanya.

Guide Wire berfungsi menuntun diagnostic catheter maupun guiding catheter memasuki arteri femoralis, kemudian menuju ke lorong-lorong pembuluh darah leher. Setelah memasuki pembuluh darah leher,dia memberikan kesempatan pada microwire dan microcatheter untuk menggantikannya. Perannya sangat vital, menunjukkan kemana diagnostic/guiding catheter harus pergi dan menempatkan diri. Tanpa Guide wire, komplikasi neurointervensi berupa diseksi arteri sangat besar. Tanpa Guide wire, prosedur neurointervensi secanggih apapun tidak akan terlaksana.

Sehingga, seandainya para device neurointervensi pada masuk surga, maka Guide Wire telah menunggu mereka semua, karena dialah yang masuk surga pertama disana.