Dalam “Practical Neuroangiography,”Pearse Morris mengatakan bahwa “the most common error among beginners is to perform the pucture too high, above the inguinal ligament.” Namun, pengalaman mengatakan sebaliknya. Adanya ketakutan akan komplikasi high pucture yang berlebihan, pemula justru melakukannya terlalu rendah. Pungsi yang terlalu rendah tentu lebih sulit membidikkan jarum ke dalam arteri karena akan mengarah pada superficial femoral artery bukan pada common femoral artery, disamping itu, pulsasi yang dirasakan saat palpasi juga berkurang, sehingga lebih sering gagal.
Setelah melakukan sekian banyak pungsi, operator akan menemukan beberapa kasus sulit. Misalnya, saat pungsi, insersi jarum hanya mengeluarkan darah vena, meskipun pungsi diulang beberapa kali. Atau saat insersi jarum, darah yang keluar arterial, namun tidak ada pulsasi yang muncul, darah hanya mengalir lambat seperti saat jarum masuk ke pembuluh darah vena, dan jika J-wire tetap diinsersikan hampir selalu gagal. Dalam kasus tertentu, pungsi pada femoral kanan selalu gagal, dan baru berhasil dengan melakukannya pada femoral kontra lateral. Belum lagi pada kasus pediatrik yang memang memerlukan kesabaran ekstra, disamping pembuluh darahnya yang superficial, juga pulsasinya yang lemah.
Kegagalan dalam pungsi akan memberikan pengalaman berharga pada pemula. Seorang fellow yang baru saja hands-on bisa sampai beberapa kali gagal saat pungsi, terutama pada pasien dengan obesitas dan pada pasien wanita yang memang lebih fatty.
Ada tiga marker yang biasanya digunakan oleh operator, yaitu skin creast, maximal pulsation dan bony landmark. Diantara ketiganya yang paling aman adalah bony landmark ( SIAS, Femoral head). Namun, dalam prakteknya kombinasi ketiganya membantu kesuksesan pungsi femoral. Skin creast merupakan marker yang paling banyak dipakai oleh operator. Marker ini biasanya akan menghasilkan low puncture, yaitu pada superficial femoral artery. Namun demikian, insersi sheat pada superficial femoral artery cukup aman, dan ini juga dilakukan pada saat dimana ada kondisi tertentu yang tidak memungkinkan insersi pada common femoral artery, semisal adanya infeksi pada kulit.
Sudut jarum saat diinsersikan juga penting dalam keberhasilan pungsi. Sebagian besar mengatakan 45 derajad, sebagian lain menggunakan 60 derajad, bahkan seorang yang kepakarannya tidak diragukan lagi melakukannya hampir pada sudut 90 derajad. Berapapun sudut yang diambil, sangat tergantung pada pengalaman dan kenyamanan masing-masing operator. Sudut 45 derajad merupakan penanda pungsi ideal, karena saat insersi sheat dan kateter sangat kecil kemungkinan untuk kingking, ada kasus dimana jika sheat tegak lurus, saat navigasi kateter tidak bisa bergerak dengan smooth.
Dalam kasus J tip tidak dapat masuk secara sempurna, menggunakan bagian yang lurus kadang membantu, namun sebaiknya tidak dilakukan tanpa guiding dari fluoroscopy. Menggunakan wire dengan ujung lurus sebaiknya tidak dilakukan pada pasien tua, dimana pembuluh darahnya lebih rapuh dan kemungkinan terjadi diseksi dan trombosis lebih besar.
Anastesi lokal diperlukan saat memulai pungsi. Sebagian operator juga melakukannya pada pasien dengan general anastesi dengan alasan menghindari vasospasme saat pungsi. Vasospasme merupakan salah satu faktor kegagalan pungsi. Apabila insersi needle saat pemberian anastesi lokal sudah menusuk arteri, mungkin ini marker yang baik untuk mengarahkan jarum pungsi, namun disisi lain juga akan memicu vasospasme.
Pemeriksaan pulsasi arteri perifer sangat penting sebelum maupun setelah pungsi. Arteri yang rutin di evaluasi adalah dorsalis pedis, tibialis posterior dan poplitea. Terkadang didapatkan pulsasi perifer yang lemah dan ini mungkin berkaitan dengan penyakit arterosclerosis yang menyeluruh. Terkadang juga diperlukan bantuan doppler untuk mendeteksinya. Namun, apabila pulsasi yang lemah ini terjadi setelah pungsi, maka harus waspada akan terjadinya trombosis pasca pungsi/prosedur.
Dalam situasi pungsi yang sulit dan terkadang sampai beberapa kali tusukan, sempatkan untuk menginjeksikan kontras setelah sheat diinsersikan sebelum tindakan dimulai, mungkin ada kelainan/ variasi pada anatomi pembuluh darah femoral. Satu kasus menjelaskan kepada kita, adanya trombosis atau vasospasme hebat mungkin tidak diikuti oleh keluhan penderita, hal ini karena adanya fungsi kolateral yang baik, namun penting untuk diketahui karena akan membantu kita melakukan manajemen pasca tindakan semisal pemberian LMWH untuk mencegah progresifitas trombus.
Apabila saat insersi, J wire dapat masuk namun dengan tahanan yang “tidak biasanya” (biasanya ada tahanan ringan), perlu diwaspadai, J-wire masuk dalam pembuluh darah cabang, atau wire tertekuk melingkar. Lakukan fluoroscopy sebelum insersi sheat dilakukan.
Terkadang terjadi pula, darah terus keluar dari tempat pungsi setelah prosedur dan sheat dikeluarkan, hal ini mungkin berkaitan dengan faal hemostasis, mungkin berkaitan dengan pemakaian heparin. Evaluasi ACT sebelum dan ditengah dan setelah tindakan merupakan sesuatu yang selayaknya dilakukan. Dalam kondisi ACT diatas 250 dan perdarahan tidak mau berhenti, bisa dipertimbangkan pemberian protamin sulfat (10 mg untuk setiap 1000 U Heparin, 1 cc/ampul=10 mg). Obat ini bekerja sangat cepat sekitar 2-3 menit, dan biasanya membantu menghentikan perdarahan.
Mempelajari neurovaskular hanya dari anatomi dan fisiologi saja, seolah melihat pantai hanya dari lukisan dinding yang indah namun tidak bergerak. Mempelajari neurovaskular dengan melakukan dan memahami angiografi serebral, bukan hanya menikmati keindahannya, namun merasakan hembusan angin laut dan deburan ombak pantai yang dinamis sekaligus menggetarkan.
Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi
idik
Friday, 30 September 2011
STROKE : CUCI OTAK ("Brain Wash"), BENARKAH BERMANFAAT ?
Kalau kita googling dengan password “cuci otak,” maka akan muncul dari majalah Tempo tulisan pada halaman Kesehatan sebagai berikut :
Sehat dengan Cuci Otak. Telah dikembangkan teknik cuci otak berbasis radiologi intervensi. Pasien stroke menahun dan lumpuh bisa kembali jalan.
Jika dibuka artikelnya, ada pengantar sebagai berikut (artikel lengkap tidak bisa diakses) :
Potongan lagu lawas Terlambat Sudah itu dinyanyikan Benny Panjaitan, dengan sedikit modifikasi, di atas ranjang rumah sakit. Suaranya lepas. Wajahnya cerah. Mengenakan kaus-T putih dan celana pendek hitam, vokalis grup zaman baheula, Panbers, itu tak lelah mengumbar senyum.
"Saya bahagia sekali karena sudah bisa mengeluarkan suara yang asli," kata Benny saat ditemui Tempo di Paviliun Kartika, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa pekan lalu. Maklum, sejak dia mengalami stroke-pembuluh darah di otak kanannya pecah-Juni tahun lalu, suaranya tak bisa bebas keluar. "Mau keluarkan suara, tapi tertahan. Kesal," kata pria 64 tahun ini. (Tempo 27 Juni 2011).
Tak ayal, berita ini menyebar secara luas, informasi ini dibaca oleh kalangan awam maupun dokter. Bagi kalangan medis, informasi ini menjadi tanda tanya besar, benarkah pengobatan pasien stroke dengan cuci otak ini begitu hebatnya ? namun mengapa hanya ada di Indonesia dan tidak pernah dirilis dalam jurnal-jurnal ilmiah ? Bagi kalangan awam yang memiliki keluarga dengan stroke, ini merupakan angin segar, mereka segera mencari informasi atau bahkan langsung datang ke tempat bersangkutan.
Berdasarkan informasi yang menyebar dalam beberapa mailing list, dokter yang melakukan prosedur “brain wash” ini menggunakan Heparin dan Integrilin (Eptifibatide) dalam prosedur cerebral DSA. Prosedur DSA dengan menggunakan heparin jamak dilakukan diseluruh belahan dunia, interventionist menggunakan dosis antara 3000-5000 U (40-60 U/kg). Sedangkan Eptifibatide adalah antiplatelet injeksi semacam Abciximab dan Tirofiban, dan memang banyak laporan diberikan untuk kasus stroke akut.
Bagaimana sesungguhnya pengobatan a la “Brain wash” ini dari sudut pandang dunia kedokteran dan neurointervensi ?
Telah disebutkan, bahwa penggunaan heparin dalam dunia neurointervensi merupakan sesuatu yang rutin dilakukan, hal ini dikarenakan saat tindakan dokter menggunakan kateter dan guidewire serte material lainnya (sesuai penyakit pasien) kedalam pembuluh darah. Heparin biasanya diberikan berupa flushing pada awal prosedur diagnostic, dan dapat dilanjutkan dengan continous infusion (heparinized saline) pada prosedur intervensi terapeutik. Sedangkan penggunaannya bersama antiplatelet injeksi secara bersamaan diberikan oleh operator dalam kondisi yang sangat khusus, biasanya pada kasus emergensi, misalnya terjadi komplikasi trombosis berulang saat tindakan dilakukan. Penggunaan kombinasi heparin dan antiplatelet injeksi tidak diberikan secara rutin dalam prosedur neurointervensi. Penggunaan kombinasi kedua obat ini pada prosedur intervensi dilaporkan memiliki komplikasi perdarahan intracranial yang fatal (Qureshi et.al, Journal Stroke 2002). Namun penggunaan masing-masing obat ini tanpa dikombinasi memberikan manfaat pada pasien.
Kutipan dari majalah Tempo diatas perlu dilihat kembali dengan dasar ilmiah yang memadai. Kutipan bahwa dengan “brain wash” pasien stroke menahun dan lumpuh bisa berjalan kembali adalah menyesatkan. Ditambah lagi ungkapan bahwa Benny Panjaitan mengalami stroke berupa pecahnya pembuluh darah otak sebelah kanan. Apabila faktanya memang demikian (karena apa yang sesungguhnya dilakukan pada “brain wash” tidak pernah dipublikasikan secara ilmiah), ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, pemberian heparin dan antiplatelet injeksi tidak dapat mengobati stroke yang sudah lama terjadi, apalagi megembalikan kelumpuhan. Heparin dan antiplatelet bekerja untuk mencegah terjadinya penyumbatan baru, bukan menghancurkan penyumbatan pada pembuluh darah. Jadi sifatnya preventif bukan kuratif. Kedua, penggunaannya pada kasus stroke perdarahan tidak pada tempatnya, kombinasi keduanya malah akan meningkatkan resiko perdaran otak, apa yang terjadi pada Benny Panjaitan mungkin hanyalah tindakan cerebral DSA (digital substraction angiography) rutin yang biasa dilakukan untuk mengetahui kelainan/ penyebab dari perdarahannya.
Namun, apapun, adanya isu ini harus disikapi secara bijak. Memang dalam dunia kedokteran selalu ada inovasi-inovasi yang terus dikembangkan untuk kepentingan perbaikan kualitas hidup, tetapi inovasi itu dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tanpa mengikuti kaidah ilmiah, pengobatan baru yang dianggap fenomenal tidak ubahnya seperti pengobatan “alternatif” yang banyak beredar di masyarakat.
Diakui atau tidak, pengobatan stroke masih merupakan tantangan bagi dunia kedokteran. Banyak sekali neuro-intervensionist dunia yang saat ini konsen pada penatalaksanaan penyakit ini. Belum ada satupun laporan (setidaknya sampai saat ini) mengenai efektifitas kombinasi terapi diatas untuk stroke, yang ada justru laporan negatif tentang efek sampingnya.
Tulisan ini setidaknya dapat memberikan tambahan informasi bagi siapapun yang ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya “brain wash” yang fenomenal itu, terutama bagi masyarakat, yang awam akan dunia kedokteran.
Sehat dengan Cuci Otak. Telah dikembangkan teknik cuci otak berbasis radiologi intervensi. Pasien stroke menahun dan lumpuh bisa kembali jalan.
Jika dibuka artikelnya, ada pengantar sebagai berikut (artikel lengkap tidak bisa diakses) :
Potongan lagu lawas Terlambat Sudah itu dinyanyikan Benny Panjaitan, dengan sedikit modifikasi, di atas ranjang rumah sakit. Suaranya lepas. Wajahnya cerah. Mengenakan kaus-T putih dan celana pendek hitam, vokalis grup zaman baheula, Panbers, itu tak lelah mengumbar senyum.
"Saya bahagia sekali karena sudah bisa mengeluarkan suara yang asli," kata Benny saat ditemui Tempo di Paviliun Kartika, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa pekan lalu. Maklum, sejak dia mengalami stroke-pembuluh darah di otak kanannya pecah-Juni tahun lalu, suaranya tak bisa bebas keluar. "Mau keluarkan suara, tapi tertahan. Kesal," kata pria 64 tahun ini. (Tempo 27 Juni 2011).
Tak ayal, berita ini menyebar secara luas, informasi ini dibaca oleh kalangan awam maupun dokter. Bagi kalangan medis, informasi ini menjadi tanda tanya besar, benarkah pengobatan pasien stroke dengan cuci otak ini begitu hebatnya ? namun mengapa hanya ada di Indonesia dan tidak pernah dirilis dalam jurnal-jurnal ilmiah ? Bagi kalangan awam yang memiliki keluarga dengan stroke, ini merupakan angin segar, mereka segera mencari informasi atau bahkan langsung datang ke tempat bersangkutan.
Berdasarkan informasi yang menyebar dalam beberapa mailing list, dokter yang melakukan prosedur “brain wash” ini menggunakan Heparin dan Integrilin (Eptifibatide) dalam prosedur cerebral DSA. Prosedur DSA dengan menggunakan heparin jamak dilakukan diseluruh belahan dunia, interventionist menggunakan dosis antara 3000-5000 U (40-60 U/kg). Sedangkan Eptifibatide adalah antiplatelet injeksi semacam Abciximab dan Tirofiban, dan memang banyak laporan diberikan untuk kasus stroke akut.
Bagaimana sesungguhnya pengobatan a la “Brain wash” ini dari sudut pandang dunia kedokteran dan neurointervensi ?
Telah disebutkan, bahwa penggunaan heparin dalam dunia neurointervensi merupakan sesuatu yang rutin dilakukan, hal ini dikarenakan saat tindakan dokter menggunakan kateter dan guidewire serte material lainnya (sesuai penyakit pasien) kedalam pembuluh darah. Heparin biasanya diberikan berupa flushing pada awal prosedur diagnostic, dan dapat dilanjutkan dengan continous infusion (heparinized saline) pada prosedur intervensi terapeutik. Sedangkan penggunaannya bersama antiplatelet injeksi secara bersamaan diberikan oleh operator dalam kondisi yang sangat khusus, biasanya pada kasus emergensi, misalnya terjadi komplikasi trombosis berulang saat tindakan dilakukan. Penggunaan kombinasi heparin dan antiplatelet injeksi tidak diberikan secara rutin dalam prosedur neurointervensi. Penggunaan kombinasi kedua obat ini pada prosedur intervensi dilaporkan memiliki komplikasi perdarahan intracranial yang fatal (Qureshi et.al, Journal Stroke 2002). Namun penggunaan masing-masing obat ini tanpa dikombinasi memberikan manfaat pada pasien.
Kutipan dari majalah Tempo diatas perlu dilihat kembali dengan dasar ilmiah yang memadai. Kutipan bahwa dengan “brain wash” pasien stroke menahun dan lumpuh bisa berjalan kembali adalah menyesatkan. Ditambah lagi ungkapan bahwa Benny Panjaitan mengalami stroke berupa pecahnya pembuluh darah otak sebelah kanan. Apabila faktanya memang demikian (karena apa yang sesungguhnya dilakukan pada “brain wash” tidak pernah dipublikasikan secara ilmiah), ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, pemberian heparin dan antiplatelet injeksi tidak dapat mengobati stroke yang sudah lama terjadi, apalagi megembalikan kelumpuhan. Heparin dan antiplatelet bekerja untuk mencegah terjadinya penyumbatan baru, bukan menghancurkan penyumbatan pada pembuluh darah. Jadi sifatnya preventif bukan kuratif. Kedua, penggunaannya pada kasus stroke perdarahan tidak pada tempatnya, kombinasi keduanya malah akan meningkatkan resiko perdaran otak, apa yang terjadi pada Benny Panjaitan mungkin hanyalah tindakan cerebral DSA (digital substraction angiography) rutin yang biasa dilakukan untuk mengetahui kelainan/ penyebab dari perdarahannya.
Namun, apapun, adanya isu ini harus disikapi secara bijak. Memang dalam dunia kedokteran selalu ada inovasi-inovasi yang terus dikembangkan untuk kepentingan perbaikan kualitas hidup, tetapi inovasi itu dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Tanpa mengikuti kaidah ilmiah, pengobatan baru yang dianggap fenomenal tidak ubahnya seperti pengobatan “alternatif” yang banyak beredar di masyarakat.
Diakui atau tidak, pengobatan stroke masih merupakan tantangan bagi dunia kedokteran. Banyak sekali neuro-intervensionist dunia yang saat ini konsen pada penatalaksanaan penyakit ini. Belum ada satupun laporan (setidaknya sampai saat ini) mengenai efektifitas kombinasi terapi diatas untuk stroke, yang ada justru laporan negatif tentang efek sampingnya.
Tulisan ini setidaknya dapat memberikan tambahan informasi bagi siapapun yang ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya “brain wash” yang fenomenal itu, terutama bagi masyarakat, yang awam akan dunia kedokteran.
Sunday, 25 September 2011
OBROLAN RINGAN SEPUTAR SAMMPRIS
Dokter yang berkecimpung dalam bidang neurointervensi tentu akan terus mengikuti perkembangan ilmu ini yang semakin lama semakin menggeliat. Adanya studi-studi terbaru mengenai manfaat suatu prosedur adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sebagaimana CREST untuk carotid stenting , hasil SAMMPRIS (the Stenting and Aggressive Medical Management for Preventing Recurrent stroke in Intracranial Stenosis) juga ditunggu oleh ratusan neurointervensionist di dunia. SAMMPRIS dipublikasikan secara online pertama kali oleh NEJM pada 7 September 2011.
SAMMPRIS memberikan kesimpulan bahwa “ aggresive medical therapy” lebih superior dibanding stenting pada intracranial stenosis atau dikenal dengan PTAS (percutaneus transluminal angioplasty and stenting). Hasil ini tak ayal membuat para dokter menyampaikan komentar yang berbeda. Sebagian Neurologist menyebut hasil ini dengan suatu pertanyaan retoris “ is intracranial stenting dead ?”, sedangkan sebagian lain berusaha menganalisa, apa yang sesungguhnya terjadi dengan hasil studi ini, mengapa hasil studi ini lebih buruk dari studi-studi sebelumnya berkenaan dengan intracranial stenting.
SAMMPRIS dimulai pada November 2008 dan the trial’s independent data and safety monitoring board merekomendasikan menghentikan studi ini pada 5 April 2011, dengan pertimbangan cukup tingginya resiko periprocedural stroke dan kematian pada kelompok PTAS. Hasil SAMMPRIS saat dihentikan menunjukkan angka kematian dan stroke pada 30 hari pertama sebesar 14.7% pada PTAS dan 5.8% pada medical management group, perbedaan yang cukup signifikan (p=0.002).
Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya, SAMMPRIS memberikan rapor merah pada intracranial stenting. Studi yang dilakukan oleh Jiang yang dipublikasikan juni 2011 (setelah SAMMPRIS dihentikan), menyatakan resiko stroke dan kematian dalam 30 hari pertama dan 1 tahun pasca stenting sebesar 7.3% dan ini lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada pasien yang hanya dilakukan “medical therapy” pada WASID (the Warfarin and Aspirin for Symptomatic Intracranial Atherosclerotic Disease) sebesar 18%. Atau jika dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya, yaitu SSYLVIA (Stenting of Symptomatic Atherosclerotic Lesions in the Vertebral or Intracranial Arteries) dan Wingspan Study, yang menyatakan morbiditas dan mortalitas intracranial stenting dalam 30 hari pertama sebesar 6.6% dan 4.5%. Sedangkan untuk medical therapy, angka pada SAMMPRIS jelas menunjukkan perbaikan fenomenal, dari angka 22.5% resiko kematian dan stroke dalam 1 tahun menjadi hanya 5.8% dalam 30 hari pertama.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa pada SAMMPRIS angka morbiditas dan mortalitasnya sampai lebih dari dua kali lipat (2.8 kali) penelitian sebelumnya ? Adakan ini berhubungan dengan operator, dengan device, dengan seleksi pasien ataukah ada faktor lain ? Diskusi semakin hangat dengan celotehan sana-sini yang menyinggung adanya faktor politis dan bisnis dalam suatu studi, ditambah lagi dengan komentar yang menyebut salah seorang anggota peneliti studi ini yang selalu memberikan laporan hasil studi negatif pada beberapa penelitiannya. Namun apapun, studi ini adalah studi yang well designed dan muatan ilmiahnya bisa dipertanggung jawabkan.
Menarik untuk mengikuti ulasan yang diberikan oleh Alex Abou-Chebl (Stroke, 2 juni 2011) yang memberikan catatan penting sebagai berikut :
1. Melihat dari hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh Fiorella (USA) dan Jiang (China), Wingspan stent merupakan device yang highly deliverable dan associated with low risk of perioperative complication, namun bagaimanapun device ini berhubungan dengan angka restenosis sebesar 30% dalam 1 tahun pertama, sebagian besar terjadi dalam 6 bulan pertama dan berhubungan dangan penghentian dual terapi antiplatelet pada 3 bulan pertama.
2. Studi yang dilakukan oleh Jiang lebih favorable karena memiliki kriteria yang tidak disebutkan dalam studi Fiorella, misalnya memberikan kriteria eksklusi pada lesi yang panjangnya > 15 mm, diameternya < 2 mm dan adanya sumber emboli jantung. Dalam protocol intervensionalnya, Jiang juga memberikan IV nimodipin periprocedural dan memberikana fraxiparen pasca prosedur.
3. Banyaknya operator juga berpengaruh pada hasil studi ini, studi Fiorella dilakukan oleh 13 operator (168 lesi) dan Jiang oleh 2 operator (105 lesi).
4. Anastesi saat prosedur juga mungkin berpengaruh, dimana Jiang menggunakan anastesi local sedang Fiorella tidak mengungkapkan jenis anastesi dalam laporannya, namun tampaknya menggunakan general anastesi. Penggunaan general anastesi selama prosedur juga memberikan pengaruh pada outcome, dua laporan sebelumnya yang berkaitan dengan trombolisis pada stroke menguatkan hal ini (Abou-Chebl A, Lin R, Hussain MS, Jovin TG, Levy EI, Liebeskind DS, et al. Conscious sedation versus general anesthesia during endovascular therapy for acute anterior circulation stroke: preliminary results from a retrospective, multicenter study. Stroke. 2010;41:1175–1179, dan dalam tulisan Mazighi M, Yadav JS, Abou-Chebl A. Durability of endovascular therapy for symptomatic intracranial atherosclerosis. Stroke. 2008;39:1766 –1769.)
5. Adanya ketidakcocokan hasil dalam penelitian sebelumya dengan SAMMPRIS haruslah menjadi pertanyaan besar dan dilakukan analisa mendalam, ditambah lagi selama ini penatalaksanaan ICAD (intracranial artery sclerosis disease) baik secara endovascular maupun medical sama-sama tidak memuaskan.
6. Data yang tidak tersedia/didapatkan dalam laporan tentang intracranial stenting adalah tentang definisi yang sama tentang TIA dan status simtomatik, seleksi pasien apakah termasuk yang hipoperfusi ataukah artery to artery emboli dan keduanya, yang terakhir ini penting untuk dibedakan dimana artery to artery emboli atau keduanya, cara terbaik adalah dengan medical theraphy sedangkan hipoperfusi (“pressure dependent”) dengan stenting. Demikian juga dengan kasus dimana stroke disebabkan oleh perforator stroke yang secara kebetulan diikuti oleh adanya stenosis pada parent arterinya, misalnya stroke pada pontine perforator atau lenticulostriate artery yang kebetulan terdapat stenosis pada basiler atau MCA, ini bukanlah kandidat ideal untuk stenting. Kriteria eksklusi diatas tidak disebutkan dalam penelitian Jiang, Fiorella maupun SAMMPRIS.
7. Dari sudut prosedur catatan yang perlu diberikan adalah tentang dilatasi dengan menggunakan balloon post stenting. Wingspan adalah self expandable stent dan dalam instruksinya diminta menghindari dilatasi pasca stent untuk menghindari rupture stent dan terjadinya oclusi/restenosis. Namun dalam laporan prosedur ini tetap dilakukan. Jika belajar dari cardiologist yang sudah kenyang dengan kasus dan literature, mereka menggunakan stent mounted balloon dalam tindakannya.
8. Literatur cardiology juga menganalisa respon pasien terhadap pemberian aspirin dan clopidogrel karena berhubungan dengan restenosis, sedang dalam SAMMPRIS hal ini tidak dilakukan.
Pada akhirnya, SAMMPRIS mungkin memberikan hasil negatif bagi para neurointervenstionist, namun sesungguhnya justru memberikan pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana intracranial stenting dilakukan secara aman dan dalam koridor yang tepat. Tindakan endovaskuler tentunya tidak dilakukan secara membabi buta pada semua pasien, namun dengan dasar ilmiah yang memadai, pasien berhak mendapatkan terapi yang memang baik atau jauh lebih baik baginya.
SAMMPRIS memberikan kesimpulan bahwa “ aggresive medical therapy” lebih superior dibanding stenting pada intracranial stenosis atau dikenal dengan PTAS (percutaneus transluminal angioplasty and stenting). Hasil ini tak ayal membuat para dokter menyampaikan komentar yang berbeda. Sebagian Neurologist menyebut hasil ini dengan suatu pertanyaan retoris “ is intracranial stenting dead ?”, sedangkan sebagian lain berusaha menganalisa, apa yang sesungguhnya terjadi dengan hasil studi ini, mengapa hasil studi ini lebih buruk dari studi-studi sebelumnya berkenaan dengan intracranial stenting.
SAMMPRIS dimulai pada November 2008 dan the trial’s independent data and safety monitoring board merekomendasikan menghentikan studi ini pada 5 April 2011, dengan pertimbangan cukup tingginya resiko periprocedural stroke dan kematian pada kelompok PTAS. Hasil SAMMPRIS saat dihentikan menunjukkan angka kematian dan stroke pada 30 hari pertama sebesar 14.7% pada PTAS dan 5.8% pada medical management group, perbedaan yang cukup signifikan (p=0.002).
Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya, SAMMPRIS memberikan rapor merah pada intracranial stenting. Studi yang dilakukan oleh Jiang yang dipublikasikan juni 2011 (setelah SAMMPRIS dihentikan), menyatakan resiko stroke dan kematian dalam 30 hari pertama dan 1 tahun pasca stenting sebesar 7.3% dan ini lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada pasien yang hanya dilakukan “medical therapy” pada WASID (the Warfarin and Aspirin for Symptomatic Intracranial Atherosclerotic Disease) sebesar 18%. Atau jika dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya, yaitu SSYLVIA (Stenting of Symptomatic Atherosclerotic Lesions in the Vertebral or Intracranial Arteries) dan Wingspan Study, yang menyatakan morbiditas dan mortalitas intracranial stenting dalam 30 hari pertama sebesar 6.6% dan 4.5%. Sedangkan untuk medical therapy, angka pada SAMMPRIS jelas menunjukkan perbaikan fenomenal, dari angka 22.5% resiko kematian dan stroke dalam 1 tahun menjadi hanya 5.8% dalam 30 hari pertama.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa pada SAMMPRIS angka morbiditas dan mortalitasnya sampai lebih dari dua kali lipat (2.8 kali) penelitian sebelumnya ? Adakan ini berhubungan dengan operator, dengan device, dengan seleksi pasien ataukah ada faktor lain ? Diskusi semakin hangat dengan celotehan sana-sini yang menyinggung adanya faktor politis dan bisnis dalam suatu studi, ditambah lagi dengan komentar yang menyebut salah seorang anggota peneliti studi ini yang selalu memberikan laporan hasil studi negatif pada beberapa penelitiannya. Namun apapun, studi ini adalah studi yang well designed dan muatan ilmiahnya bisa dipertanggung jawabkan.
Menarik untuk mengikuti ulasan yang diberikan oleh Alex Abou-Chebl (Stroke, 2 juni 2011) yang memberikan catatan penting sebagai berikut :
1. Melihat dari hasil studi sebelumnya yang dilakukan oleh Fiorella (USA) dan Jiang (China), Wingspan stent merupakan device yang highly deliverable dan associated with low risk of perioperative complication, namun bagaimanapun device ini berhubungan dengan angka restenosis sebesar 30% dalam 1 tahun pertama, sebagian besar terjadi dalam 6 bulan pertama dan berhubungan dangan penghentian dual terapi antiplatelet pada 3 bulan pertama.
2. Studi yang dilakukan oleh Jiang lebih favorable karena memiliki kriteria yang tidak disebutkan dalam studi Fiorella, misalnya memberikan kriteria eksklusi pada lesi yang panjangnya > 15 mm, diameternya < 2 mm dan adanya sumber emboli jantung. Dalam protocol intervensionalnya, Jiang juga memberikan IV nimodipin periprocedural dan memberikana fraxiparen pasca prosedur.
3. Banyaknya operator juga berpengaruh pada hasil studi ini, studi Fiorella dilakukan oleh 13 operator (168 lesi) dan Jiang oleh 2 operator (105 lesi).
4. Anastesi saat prosedur juga mungkin berpengaruh, dimana Jiang menggunakan anastesi local sedang Fiorella tidak mengungkapkan jenis anastesi dalam laporannya, namun tampaknya menggunakan general anastesi. Penggunaan general anastesi selama prosedur juga memberikan pengaruh pada outcome, dua laporan sebelumnya yang berkaitan dengan trombolisis pada stroke menguatkan hal ini (Abou-Chebl A, Lin R, Hussain MS, Jovin TG, Levy EI, Liebeskind DS, et al. Conscious sedation versus general anesthesia during endovascular therapy for acute anterior circulation stroke: preliminary results from a retrospective, multicenter study. Stroke. 2010;41:1175–1179, dan dalam tulisan Mazighi M, Yadav JS, Abou-Chebl A. Durability of endovascular therapy for symptomatic intracranial atherosclerosis. Stroke. 2008;39:1766 –1769.)
5. Adanya ketidakcocokan hasil dalam penelitian sebelumya dengan SAMMPRIS haruslah menjadi pertanyaan besar dan dilakukan analisa mendalam, ditambah lagi selama ini penatalaksanaan ICAD (intracranial artery sclerosis disease) baik secara endovascular maupun medical sama-sama tidak memuaskan.
6. Data yang tidak tersedia/didapatkan dalam laporan tentang intracranial stenting adalah tentang definisi yang sama tentang TIA dan status simtomatik, seleksi pasien apakah termasuk yang hipoperfusi ataukah artery to artery emboli dan keduanya, yang terakhir ini penting untuk dibedakan dimana artery to artery emboli atau keduanya, cara terbaik adalah dengan medical theraphy sedangkan hipoperfusi (“pressure dependent”) dengan stenting. Demikian juga dengan kasus dimana stroke disebabkan oleh perforator stroke yang secara kebetulan diikuti oleh adanya stenosis pada parent arterinya, misalnya stroke pada pontine perforator atau lenticulostriate artery yang kebetulan terdapat stenosis pada basiler atau MCA, ini bukanlah kandidat ideal untuk stenting. Kriteria eksklusi diatas tidak disebutkan dalam penelitian Jiang, Fiorella maupun SAMMPRIS.
7. Dari sudut prosedur catatan yang perlu diberikan adalah tentang dilatasi dengan menggunakan balloon post stenting. Wingspan adalah self expandable stent dan dalam instruksinya diminta menghindari dilatasi pasca stent untuk menghindari rupture stent dan terjadinya oclusi/restenosis. Namun dalam laporan prosedur ini tetap dilakukan. Jika belajar dari cardiologist yang sudah kenyang dengan kasus dan literature, mereka menggunakan stent mounted balloon dalam tindakannya.
8. Literatur cardiology juga menganalisa respon pasien terhadap pemberian aspirin dan clopidogrel karena berhubungan dengan restenosis, sedang dalam SAMMPRIS hal ini tidak dilakukan.
Pada akhirnya, SAMMPRIS mungkin memberikan hasil negatif bagi para neurointervenstionist, namun sesungguhnya justru memberikan pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana intracranial stenting dilakukan secara aman dan dalam koridor yang tepat. Tindakan endovaskuler tentunya tidak dilakukan secara membabi buta pada semua pasien, namun dengan dasar ilmiah yang memadai, pasien berhak mendapatkan terapi yang memang baik atau jauh lebih baik baginya.
Subscribe to:
Posts (Atom)