Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Sunday, 23 November 2025

Menentukan Brain Death: Cerebral DSA Sebagai Standar Baru?


Di ruang-ruang ICU, saat mesin berbunyi monoton dan waktu seakan berhenti, dokter sering dihadapkan pada satu pertanyaan paling berat dalam dunia medis: apakah otak pasien ini masih bekerja?

Menentukan brain death, atau kematian berdasarkan kriteria neurologis, bukan sekadar pemeriksaan rutin. Itu adalah keputusan besar, menyangkut keluarga, etika, dan masa depan pasien.

Selama ini, pemeriksaan klinis dan beberapa tes penunjang sudah menjadi standar. Namun, semuanya punya keterbatasan. Ada yang tidak cukup sensitif, ada yang sulit dilakukan pada kondisi tertentu, ada pula yang hasilnya bisa membingungkan.

Cerebral DSA adalah gold standard untuk vascular imejing. Namun dalam konteks brain death, fungsinya lebih spesifik: menilai apakah aliran darah ke otak benar-benar sudah berhenti total.

Dalam laporan terbaru dari Society of Vascular and Interventional Neurology (SVIN), para ahli menegaskan bahwa DSA memiliki akurasi yang mendekati 100% dalam memastikan ketiadaan aliran darah tersebut, ini adalah indikator utama brain death . Secara sederhana, apabila DSA menunjukkan tidak ada aliran darah yang mencapai otak, besar kemungkinan bahwa fungsi otak memang telah berhenti sepenuhnya.

Ini berbeda dengan beberapa pemeriksaan lain seperti CTA, MRA, EEG, atau Doppler, yang hasilnya bisa bervariasi tergantung kondisi pasien. DSA lebih “hitam-putih”—ada aliran, atau tidak ada sama sekali.

Teknologi ICU semakin canggih. Pasien yang dulu mungkin tidak bisa dipertahankan hidup kini bisa “disupport” dengan berbagai alat. Akibatnya, menentukan brain death menjadi lebih menantang, karena jantung dan paru masih mungkin tampak bekerja meski otak tidak berfungsi. Dalam situasi seperti itu, dokter dan keluarga butuh kepastian.

Pertanyaannya, apakah sudah saatnya DSA menempati posisi utama dalam evaluasi brain death? Para ahli yang yang tergabung dalam SVIN menyebut DSA sebagai prosedur yang paling akurat, paling tegas, dan paling bisa diandalkan—asal dilakukan dengan standar yang baik.

Pada akhirnya, percakapan tentang brain death bukan sekadar soal medis. Ia menyangkut keluarga, harapan, keputusan, dan martabat umat manusia. 

 

(Referensi: Stroke Vasc Interv Neurol. 2025;6:e002091)

Saturday, 22 November 2025

Babak Baru Prevensi Stroke: Stenting Saja!

Sudah lama menjadi pertanyaan tak terjawab di kalangan Neurologist, pasien dengan severe carotid stenosis (>70%) namun asimptomatik, apa yang sebaiknya dilakukan ? best medical management (BMM) atau intervensi (stenting/endarterectomy)?

Baru saja dipublikasikan CREST-2, di NEJM (21 November 2025), hasil yang mengejutkan sekaligus segera mengubah peta praktik klinis neurologi. Studi ini melibatkan lebih dari 2.400 pasien dari lima negara dan secara khusus menilai mana yang lebih efektif: BMM saja, operasi endarterektomi, atau stenting.

Dalam empat tahun, stroke pada kelompok stenting hanya 2,8%, sedang pada kelompok BMM 6,0%. Ini perbedaan besar, dua kali lipat risiko stroke lebih tinggi, bila tidak dilakukan stenting 

Menariknya, pilihan operasi lama—carotid endarterectomy—tidak menunjukkan keunggulan signifikan dibanding BMM. Dalam studi ini, angka kejadian stroke pada kelompok endarterektomi hanya sedikit lebih rendah, namun secara statistik tidak bermakna (3,7% vs 5,3%) 

Dunia Neurologi memasuki babak baru. Pasien dengan stenosis karotis berat, meskipun tanpa gejala, kini tidak lagi dianggap “baik-baik saja”. Justru kelompok inilah yang paling bisa diuntungkan dari intervensi dini—agar stroke bisa dicegah sejak awal. Bagi rumah sakit, dan senter neurointervensi, studi ini menjadi fondasi baru dalam menyusun panduan praktik klinis prevensi stroke. 

Friday, 21 November 2025

Hari Stroke Yang Tak Kurayakan



Di negeri seberang aku belajar—
setahun penuh, menanam harap, menajamkan tangan, membawa pulang ilmu yang kutimba dari jantung peradaban.

Kupikir, sekembalinya aku, nasib pasien akan berubah, pembuluh darah yang buntu akan kembali mengalir.  
Kupikir aku akan menjadi jawaban atas persoalan,
Ternyata aku hanya pulang pada sunyi.

Cathlab itu berdiri megah di sudut rumah sakit— kilau logamnya masih perak, lampunya masih bening, nyaris tak pernah menyala.
Mesin mahal itu,  bersolek seperti monumen harapan yang nyaris tak pernah disentuh takdir.
Sementara pasien menunggu, dengan mata penuh tanya: “Dok, kapan?” Pertanyaan yang tak sanggup kujawab, karena asuransi negeri tak sanggup membiayai.

Aku satu-satunya yang terlatih di kota ini, namun kedua tanganku seperti diikat janji-janji yang tak ditepati.
Beasiswa yang dulu membuatku terbang, kini terasa seperti sayap patah yang menusuk punggung sendiri.
Apa gunanya kecakapan bila tak berdaya membantu mereka?

Tahun ini, Hari Stroke Sedunia tak kutandai, tak kusambut, tak kusapa.
Merayakannya hanya membuatku menabur garam ke luka yang belum kering.
Setiap mendengar kabar sejawat di kabupaten lain melakukan prosedur demi prosedur, hatiku mengisut, mengecil, seperti daun yang kehilangan musim.

Memberi beasiswa, menyediakan Cathlab tanpa memastikan utilitasnya, adalah menaikkanku ke pucuk pohon tertinggi, hanya untuk kemudian mendorongku jatuh ke tanah paling keras di bawahnya.
Maka jangan sebut stroke akut dan aneurisma, jangan ceritakan keberhasilan prosedur di kota lain, lupakanlah saja.
Itu hanya menoreh luka yang lebih dalam, melingkari batin dengan kawat berduri.

Kini yang runtuh bukan hanya Cathlab itu, bukan hanya besi dan perangkat otomatis itu
Yang runtuh adalah asa, semangat yang dulu menyala seperti obor,
kini hanyut tanpa rasa, tanpa suara.

(World Stroke Day 2025)

Monday, 10 November 2025

Neuron Tanpa Sinaps

Di ruang sunyi antara pikiran dan getar nadi,

berdiri neuron-neuron yang kehilangan genggamannya.

Mereka menyala sendiri, tanpa jembatan, tanpa arus hangat sesama,
membiarkan makna menguap dalam listrik yang dingin.
Ilmu tumbuh, tetapi jiwa layu —
karena nalar tanpa sentuhan hanyalah algoritma yang sopan

 

Kita, para penjaga kesadaran,
menjadi mesin dalam kulit manusia.
Setiap keputusan terukur, setiap emosi teredit,
seakan simpati hanyalah artefak kimia yang usang.
Koneksi yang dulu menghidupkan —
kini diganti protokol, rapat, dan skor kinerja.

 

Neuron tanpa sinaps, begitulah kita berjalan,
berderap dalam sistem yang meniru denyut kehidupan,
namun kehilangan degupnya.
Antara satu kepala dengan kepala lain,
tak lagi mengalir arus empati,
hanya sisa tegangan profesional yang steril

 

Dan di akhir hari,
kita bertanya pada diri sendiri —
adakah makna dalam kesempurnaan tanpa rasa?
Sebab bahkan otak yang paling brilian pun membeku,
jika tiap neuron memilih berdiri sendiri,
dan lupa bahwa berpikir pun membutuhkan cinta.

Friday, 7 November 2025

Sendiri Tanpa Sepi

Sunyi menghantam 

Mencari makna rindu

Lama tak tertumpahkan

 

Hamparkan kain

Hening, senyap, sepi

Lama sungguh, 

Tak beresap rasa

Rasai sujud penuh makna

 

Dekatlah, 

Dekaplah

Hampakan jiwa raga 

Adalah Dia saja 

‘Azza Wa Jalla

Hati luluh menghamba