Mempelajari neurovaskular hanya dari anatomi dan fisiologi saja, seolah melihat pantai hanya dari lukisan dinding yang indah namun tidak bergerak. Mempelajari neurovaskular dengan melakukan dan memahami angiografi serebral, bukan hanya menikmati keindahannya, namun merasakan hembusan angin laut dan deburan ombak pantai yang dinamis sekaligus menggetarkan.
idik
Wednesday, 26 August 2020
DERAP NEUROINTERVENSI
Tuesday, 18 August 2020
The 24th Zurich Course 2016, no more ?
Dari banyak pertemuan ilmiah tentang interventional neuroradiology, ada satu pertemuan ilmiah yang memiliki kesan sangat mendalam dan belum tergantikan, Zurich Course. Meskipun mungkin ada pertemuan ilmiah serupa, namun tak akan pernah sama. Sejarah neurointervensi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Zurich, awal mula dimana sumber air mengalir. Dalam dunia pesantren dikenal keilmuan yang “bersanad,” yaitu tatkala transmisi ilmu dari satu individu ke individu yang lain diberikan dengan jalan “pendelegasian” kompetensi. Seseorang boleh mengamalkan ilmu yang didapatnya apabila telah dianggap layak dan setelah mendapat ijin dari sang guru.
Cerita tentang “Zurich Phylosophy” selama ini banyak dituturkan oleh Prof. Shakir Husain, guru dari hampir semua neurointervensi Indonesia. Lebih dari itu, filosofi ini juga dituturkan langsung dari presentasi Prof. Valavanis, sang pioneer dan pencetus Zurich course, dalam beberapa kali acara Delhi Course.
Dalam banyak kesempatan Prof. Shakir menyampaikan kesannya tentang Zurich course kepada para fellow beliau. “Ilmu yang di bahas dalam Zurich course adalah ilmu yang tidak kita dapatkan di textbook saat ini, dia baru ada dalam textbook beberapa tahun nanti,” demikian menurut beliau. “ Memang faktanya demikian. Kami mulai membaca banyak konsep yang disampaikan oleh Prof. Valavanis setelah beberapa tahun berikutnya, yaitu tatkala para murid beliau menuliskannya dalam chapter sebuah buku atau dalam artikel di beberapa jurnal.
Apabila kita mengikuti presentasi Prof. Valavanis, hampir tidak pernah kita mendengar analisa statistik yang ‘njilmet’ dan susah dipahami. Beliau menyampaikan konsep secara mengalir bak air jernih yang segar. Meski tanpa angka-angka statistik, tidak ada yang meragukannya, karena semua mengakui bagaimana kualitas kerja beliau, yang tepat, presisi dan tidak bias.
Konsep beliau tentang Brain AVM, belum pernah disampaikan di pertemuan ilmiah oleh pembicara manapun, selain oleh beliau sendiri dan para fellow beliau. Konsep ini akan lebih mudah dipahami apabila kita membaca dengan teliti konsep Prof. Yasargil dalam buku beliau Microneurosurgery.
Prof. George Rodesch, dalam Gala Dinner Delhi Course 2019 mengungkapkan, Zurich Course adalah pertemuan ilmiah yang unik. Memiliki kualitas ilmiah yang sangat berbobot. Beliau bersama Prof. Timo Krings, Prof. Shakir, Prof. Tanaka, Prof. Kollias, Prof. Atlas, dan Prof. Naidich merupakan pembicara yang memberikan materi pada Zurich Course 2016. Pada Zurich course ini, pembahasan didahului dengan aspek diagnostic selama 2,5 hari, dan sisa 3,5 hari diisi dengan aspek interventional.
Prof. Luc Picard juga mengungkapkan dalam pidato penyerahan Medali Anton Valavanis 2019, setidaknya ada tiga pertemuan ilmiah neurointervensi yang merupakan pondasi neurointervensi, yaitu Zurich Course, ABC Win Seminar, dan Master in Neurovascular Mahidol University yang di gagas oleh Prof. Lasjaunias.
Bagi kami, mengunjungi Zurich berarti meneliti fakta, cerita, dan merasakan suasana ilmiah luar biasa. Acara ilmiah yang mungkin sulit dicerna itu, dikemas dengan cara sederhana dan elegan. Masih basah dalam ingatan bagaimana Prof. Valavanis menyampaikan salah satu lecture-nya tentang “Enchephalocentrism dan Cardiocentrism pada stroke.” Gambaran tentang dunia nyata interventional neuroradiology.
Sayangnya, tahun 2016 sepertinya adalah event terakhir Zurich Course. Beruntung sekali berkesempatan hadir, menyaksikan lecture demi lecture, dan menyaksikan bagaimana Prof. Valavanis memberikan sambutan pada Gala Dinner. Sambutan tersebut menandai kiprah beliau yang panjang dan kini memasuki masa usia pensiun.
Meskipun telah berlalu 4 tahun lalu, dalam hati kecil masih ada harapan agar Zurich Course kembali hadir. Semoga kehadiran Prof. Shakir Husain di Zurich, dimana beliau saat ini menjadi salah seorang klinisi di University Hospital Zurich, akan mampu mewujudkan kembali pertemuan ilmiah bersejarah itu.
Tuesday, 11 August 2020
“Prosedur Kosmetik” dalam Neurointervensi
Dalam suatu presentasi di Delhi Course beberapa tahun silam, Prof. Anton Valavanis mengungkapkan tentang istilah “Cosmetic Embolization” pada Brain AVM (BAVM). “Cosmetic Embolization” merujuk pada pengertian bahwa prosedur embolisasi BAVM yang dilakukan, hanya sekedar terlihat bagus secara angiografi. Namun, tujuan embolisasi, yaitu oklusi nidus tidak tercapai. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, BAVM seperti ini akan recurrent dan kembali muncul saat angiografi evaluasi. BAVM seperti ini juga memiliki angioarsitektur yang jauh lebih sulit, apabila dilakukan embolisasi ulang. Hal ini karena semua feeder yang sebelumnya indirect menjadi dilatasi dan lebih prominen. Sedang feeder direct telah tertutup oleh “cosmetic embolization.”
"Prosedur Kosmetik" dapat dimaknai secara substantif, yaitu semua prosedur yang seolah-olah memberikan manfaat, namun sebenarnya tidak.
“Prosedur Kosmetik” juga dapat ditemui dalam beberapa kasus neurointervensi lainnya. Misalnya stenting carotis pada stenosis yang sebenarnya tidak berat. Atau stenting pada pembuluh darah yang berkelok-kelok tanpa proses aterosklerosis. Keduanya dilakukan pada pasien tanpa gejala dan tanpa indikasi klinis yang jelas.
“Prosedur Kosmetik” juga ditemui pada aneurysma yang dilakukan coiling dengan packing yang longgar dan tidak adekuat karena alasan biaya, sedang kemungkinan ini sudah dapat diprediksi sebelumnya.
Termasuk dalam kategori “Prosedur Kosmetik” adalah melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang disepakati konsensus ilmiah. Misalnya embolisasi incidental finding unruptured BAVM. Atau coiling unruptur aneurysma yang sebenarnya tidak diperlukan, karena memiliki resiko ruptur sangat rendah, setara dengan perjalanan alamiahnya. Sehingga, jika ditimbang resiko ruptur tanpa intervensi versus resiko terjadinya komplikasi akibat tindakan, adalah sama atau lebih tinggi resiko tindakan.
Pada kasus yang ekstrim, yaitu tatkala saat seorang neurointervensionis mengkampanyekan prosedur diagnostik sebagai terapi. Dia secara terbuka memberikan harapan pada pasien dan masyarakat dengan fondasi ilmiah yang rapuh. Ini adalah puncak dan contoh nyata dari suatu kecenderungan “Prosedur Kosmetik” dalam neurointervensi.
Mengapa seorang neurointerventionis melakukan “Prosedur Kosmetik ?“ Pertanyaan ini setidaknya dapat dirunut dari niat dan motivasi sang operator. Apakah motivasinya membantu pasien ataukah untuk keuntungan kapital dirinya sendiri.
Hubungan dokter pasien adalah hubungan professional saling menguntungkan. Kepercayaan pasien pada dokter diimbangi dengan keahlian dan profesionalitas tinggi, termasuk dalam memutuskan suatu prosedur medis. Semua prosedur medis yang dilakukan, haruslah memiliki manfaat bagi pasien, atau dalam kondisi dilema medis, harus memiliki manfaat lebih besar dibandingkan resikonya.
Namun, dalam dunia yang penuh agenda kapital ini, hal tersebut tidak selalu terjadi. Sehingga, ada prosedur medis yang menguntungkan pasien, sekaligus menguntungkan dokter. Dokter mendapat imbalan atas profesionalitasnya. Ada pula prosedur yang tidak memberikan banyak manfaat bagi pasien, namun pasien harus membayar tindakan dokter yang “terkesan profesional.” Mungkin “Prosedur Kosmetik” yang “disengaja” termasuk kelompok ini. Apakah ada “Prosedur Kosmetik” yang tidak disengaja ? tentu saja ada. Ini adalah bagian dari resiko prosedur, dimana tujuan awal suatu prosedur tak dapat tercapai karena suatu hal. Misalnya dalam prosedur embolisasi BAVM dengan tujuan oklusi nidus, ternyata yang terjadi saat prosedur adalah tertutupnya feeding artery secara dini, namun ini terjadi secara tidak sengaja.
Kategori terakhir adalah tatkala prosedur medis itu hanya menguntungkan dokter. Pasien diminta membayar upah pada dokter atau rumah sakit, sedangkan prosedur yang didapatnya sama sekali tidak menguntungkannya. Jika ini terjadi, sungguh sang dokter tersebut telah melanggar kode etik dan sumpah dokter secara terang-terangan. Maka, bersiaplah sang dokter menerima balasan setimpal, dari masyarakat berupa sanksi sosial dan hukum, maupun dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.