Yang menarik
adalah melihat proses belajar hingga mereka mendapat kompetensi sebagai
neurointerventionist tersebut. Pertanyaannya mendasar, berapa lama standar
fellowship yang diperlukan sehingga seseorang dapat disebut sebagai neurointerventionist
? Nyatanya, beberapa dokter telah menyebut
dirinya neurointerventionist dengan hanya mengikuti training dalam beberapa
bulan. Maka, banyak kemudian yang mempertanyakan dengan tanda tanya besar,
cukupkan dengan training tiga bulan seseorang sudah merasa kompeten dan
layak melakukan prosedur neurointervensi ? Lebih-lebih jika training itu hanya
dilakukan di Indonesia yang trainer dan
volume kasusnya belum adekuat untuk terselenggaranya sebuah fellowship
neurointervensi.
Maka lihatlah
senter-senter penddidikan di luar negeri, baik di Eropa, Amerika atau Asia
(India, Korea, China, Thailand), berapa lamakah seorang dokter harus mengikuti
fellow sehingga mereka dianggap kompeten ? Bukan hanya dalam durasi, seseorang juga dianggap kompeten sebagai
neurointerventionist berkaitan dengan jumlah dan ragam kasus yang pernah di
tanganinya. Kalau dilihat dari lama-nya saja, senter-senter tersebut
mensyaratkan minimal satu tahun pendidikan fellowship. Senter yang dianggap adekuat untuk melakukan
training memiliki volume kasus minimal 350 kasus per-tahun.
Maka,
lihatlah di Indonesia, beberapa dokter menyatakan dirinya sebagai
neurointerventionist dengan hanya mengikuti training beberapa bulan, dan lebih-lebih
training tersebut diikutinya di Indonesia. Kasus yang didapatkannya-pun tidak
adekuat. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar dan mendasar, mengingat
prosedur neurointervensi adalah prosedur yang high risk dan memerlukan
jam terbang tinggi. Seorang neurointerventionist yang baik bukan hanya mampu
dan terampil dalam melakukan prosedur, namun juga mengetahui dengan jelas
indikasi suatu prosedur, meramalkan komplikasi yang mungkin tejadi dan tentu
saja dapat mengatasi komplikasi yang terjadi saat atau setelah prosedur
dilakukan. Komplikasi prosedur neurointervensi adalah sesuatu yang jelas ada didepan mata, dimana prosentase-nya akan menurun drastis
ditangan seseorang yang kompeten.
Maka, jika di
Amerika para neurointerventionist sudah cukup kawatir dengan banyak-nya jumlah
neurointerventionist (meskipun dengan training yg terstandar dan adekuat), maka bagaimana dengan
di Indonesia ? Istilah “Neurointerventional Bubble” yang menggambarkan
banyaknya neurointerventionist dan
semakin sedikitnya volume prosedur, akan terjadi di Indonesia dengan tambahan semakin
banyak (yg mengaku) neurointerventionist dengan training ala kadar-nya.
Memecahkan
masalah ini tentu tidak mudah. Perlu adanya kesepakatan kolegial dari tiga
spesialisasi diatas. Membuat standar, sebagaimana dilakukan oleh ACGME (Accreditation Council
for Graduate Medical Education) di
Amerika, dimana mereka membuat batasan tentang training Endovascular Surgical
Neuroradiology. Di Indonesia, sekali lagi hal ini tidak mudah. Menyatukan
ketiga kolegium untuk membahas satu masalah ini tentu saja seperti menegakkan
benang basah. Ketika masing-masing masih berdiri dengan ego-nya dan merasa diri
paling berhak dan paling kompeten dengan menegasikan yang lain, maka sesungguhnya
yang paling dirugikan adalah pasien.
Lihatlah
prosedur “Brain washing” yang
menjamur dengan indikasi dan dasar
keilmuan yang tidak jelas. Senter yang
melakukan “Brain washing,” saat ini yang
justru menerima cukup banyak fellow, dan meng-klon prosedurnya di beberapa
daerah. Sedangkan “BrainWashing” adalah prosedur diagnostik semata yang diklaim
dapat menyembuhkan segala penyakit otak (stroke,vertigo, migrain, autis dll),
malahan “konon” dapat mencegah serangan stroke. Mengulang pertanyaan diatas,
siapakah yang dirugikan ? tentu saja
masyarakat. Kompetensi yang bagaimanakah yang bisa diharapkan dari senter
fellow semacam ini ?
Semoga ini bisa
menjadi bahan kontemplasi bagi semua dokter yang terlibat dan bersinggungan
dengan ilmu ini, tidak seorang dokter-pun yang sempurna, semua tentu memiliki
kekurangan dan keterbatasan. Namun, usaha untuk melakukan suatu standar
pelayanan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan perlu terus dilakukan. Setelah
semua ikhtiar itu, kemudian hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan
pertolongan.
Referensi :
J Neurointerv Surg. 2012 Sep 1;4(5):315-8.
Should neurointerventional fellowship training be suspended indefinitely?
Fiorella D, Hirsch JA, Woo HH, Rasmussen PA, Shazam Hussain M, Hui FK, Frei D, Meyers PM, Jabbour P, Gonzalez LF, Mocco J, Turk A, Turner RD, Arthur AS, Gupta R, Cloft HJ.
Should neurointerventional fellowship training be suspended indefinitely?
Fiorella D, Hirsch JA, Woo HH, Rasmussen PA, Shazam Hussain M, Hui FK, Frei D, Meyers PM, Jabbour P, Gonzalez LF, Mocco J, Turk A, Turner RD, Arthur AS, Gupta R, Cloft HJ.
Cloft HJ . 2010 Aug;31(7):1162-4.
The Neurointerventional bubble. AJNR Am J Neuroradiol
Salam Kenal,
ReplyDeletePak Ahsan, saya tertarik degan ulasan dalam blog ini yang sangat detail, step by step, teliti dan wise. Untuk itu bagaimana cara saya dapat berkonsoltasi/bertemu langsung dengan bapak?. Terima kasih.