Malam itu, seorang wanita paruh baya, dengan pakaian
sederhana, masuk ruang praktek di sebuah rumah sakit Surabaya. Disampingnya
seorang lelaki kurus dengan rambut tak tersisir rapi. Tampak jelas guratan
kekawatiran pada wajah wanita tersebut, sedikit menahan sakit dan bicara
terbata-bata.
Lelaki itu mulai berbicara tentang kondisi istrinya, meski
sederhana, cara bicaranya cukup jelas, dan tampak cukup berpendidikan. Dia
mengeluarkan beberapa lembar foto CT Angiografi. Sambil dia tampak tetap mencoba
menenangkan istrinya yang sedikit menahan sakit. Dokter yang sejak tadi
tertegun mulai tersadar, “ ah…” dia mendesah…inilah pasien yang beberapa hari lalu
diceritakan oleh seniornya dari Jakarta.
Dua malam sebelumnya, dokter tersebut menerima email, isinya
singkat “ tolong dibantu pasien ini mas, kalau dikerjakan di Surabaya pasti
lebih murah karena pasien berdomisili di Surabaya…….” di bawah email tersebut,
di-forward – juga email dari lelaki yang tak lain adalah orang yang saat ini
duduk dihadapannya.
Ya….sang istri mengalami SAH dan dirawat sejawat neurolog di
salah satu rumah sakit swata. Setelah melakukan CT Angiografi, neurolog tersebut menemukan
aneurysma dan menjelaskan dua modalitas yang mungkin dilakukan, coiling atau
clipping.
Dari sinilah awal ceritanya, sang suami googling tentang
prosedur coiling dan clipping. Dia begitu kawatir, dan tidak menginginkan
dilakukan clipping yang merupakan prosedur open surgery pada istrinya.
Satu-satunya opsi yang dia inginkan adalah coiling. Dia tahu coiling lebih
mahal dari clipping. Dengan dana sangat terbatas, dia bersikeras tidak ingin
melihat istrinya dilakukan operasi besar di kepala. Apapun, dia ingin istrinya
pulih cepat sempurna atau dengan kecacatan minimal.
Dari internet pula, sang suami kemudian mengenal neurointerventionist
senior di Jakarta, dan terjadilah komunikasi email tersebut.
Sejak awal dokter berjumpa kedua pasangan ini, dia melihat
betapa keduanya saling menyayangi. Cara sang suami berbicara dan menenangkan
dan memperlakukan sang istri, cukuplah menjadi tanda rasa cintanya.
Sambil agak terbata-bata karena kawatir, sang suami
menanyakan kira-kira biaya yang akan dihabiskan untuk prosedur coiling. Dokter
menunjukkan ukuran aneurysma yang cukup besar dan jumlah coil yang kira-kira
akan digunakan serta taksiran biayanya. Dia terdiam dan memandang dokter
dalam-dalam. Sang dokter memahami, biaya itu sangat besar untuk ukuran dia dan
istrinya. Kemudian dokter menyampaikan bahwa istrinya bisa opname di kelas
paling rendah, dokter berjanji akan membantunya. Namun dokter menekankan bahwa
untuk coil yang akan dipakai, dia tidak bisa membantu apa-apa, karena itu di
luar jangkauannya. Namun, ternyata penjelasan dokter tersebut tetap tidak
dapat menenangkannya.
Akhirnya, dokter menyarankan untuk menjadi peserta BPJS, ada
beberapa device yang bisa dibantu BPJS termasuk sewa cathlab kecuali coil.
Lelaki itu terdiam, …dan berjanji akan datang lagi apabila sudah siap.
Lebih dari sebulan sang dokter tidak mendengar kabar. Dokter
berpikir mungkin akhirnya opsi clipping yang dipilih, atau……..pikiran buruk
sudah muncul di otaknya…..ya…..Rebleeding ! Mungkin saja pasien meninggal akibat rebleeding, karena angka mortalitas rebleeding adalah 50%. Dokter
tersebut mencoba menghilangkan pikiran buruknya, “Ah…..sudahlah, mudah-mudahan
baik-baik saja,” ungkapnya.
Malam itu sangat cerah, bunga-bunga didepan rumah sakit
tampak bermekaran, menambah indahnya malam. Tak disangka, lelaki kurus itu,
masih bersama istrinya, datang masih dengan wajah kawatir. Dia bercerita harus
berjuang mendapatkan uang untuk persiapan coiling. Dia kemudian menyebutkan
jumlah uang yang dia persiapkan. Dokter terdiam,……dalam hati berguman…..” uang
sejumlah itu masih belum cukup”. Kemudian lelaki tersebut juga antusias
mengatakan sudah menjadi peserta BPJS.
Dokter tidak mungkin mematahkan harapannya, sudah lebih
sebulan dia berjuang, dan malam ini sudah kembali dan masih bersama istrinya.
Dokter segera menyarankannya untuk segera opname agar prosedur segera
dikerjakan.
Sampai di IRD, pasien dikirim ke ruangan. Agar dapat memilih
dokter yang telah merawatnya, pasien naik kelas perawatan dari hak BPJS-nya. Dan
akhirnya pasien bisa dirawat oleh dokter tersebut. Sehari menjelang prosedur,
pasien minta turun kelas, sesuai kelas perawatan, bahkan dia tidak mampu membayar
selisih kelas tersebut. Sedangakan prosedur coiling telah dijadwalkan.
Pagi esok harinya, dokter melakukan DSA dengan 3D untuk melihat
morfologi aneurysmanya. Dokter memanggil lelaki tersebut masuk ruang operasi.
Tampak sang istri masih terbaring diatas meja cathlab dan masih dalam pegaruh
obat anastesi. Dokter menjelaskan kembali prosedur coiling.
Dokter menyampaikan mungkin coil yang dimasukkan lebih banyak dari perkiraan
semula. Dia kembali terdiam, tidak menjawab. Ucapan dokter yang pelan dan jelas
itu, tentu saja seperti halilintar baginya. Bagaimana mungkin ? untuk jumlah
coil sesuai perkirakan saja, dia harus berjuang untuk mendapatkan uang, apalagi
jika jumlah coil lebih dari itu.
Dokter tahu kekawatirannya, dan mencoba menenangkan, “nanti
saya bantu Pak….” Lelaki tersebut hanya mengangguk ragu….sambil melirik sang
istri yang terbaring di meja operasi.
Setelah satu jam berlalu…..lelaki tersebut kembali dipanggil
memasuki ruang cathlab. Dokter mengulurkan tangannya “Selamat Pak….prosedur
coiling berlangsung baik tanpa komplikasi apapun….” , dokter menyambung “ saya
memasukkan 6 coil…”
Rasa terharu campur takut menyelimuti
perasaan lelaki
tersebut. Dia tidak tahu, dari mana dia harus membayar tambahan 2 coil,
dokter semula hanya memperkirakan 4 coil. Akhir ditengah kebingungannya
yang tak
terpecahkan, dia berguman “ ah…yang penting istri saya selamat, biarlah
saya
berhutang pada rumah sakit…. meski tak tahu bagaimana membayarnya”.
Pagi itu, cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman, bunga
yang kemarin kuncup kini sudah mekar. Diruang perawatan, dokter melihat kedua
pasangan ini tampak tersenyum menyambutnya visite. Keduanya tampak bahagia,
demikian juga sang dokter. Wajah-wajah sederhana itu bersinar bahagia, sinar
bahagianya bahkan mengalahkan pendar cahaya dari balik jendela kamar
perawatannya.
Sang lelaki berusaha mendekati dokter tersebut, sambil
berbisik, …”terimaksih banyak dok, dokter telah membantu saya…” Sang dokter
hanya tersenyum, dia masih belum mengerti, apakah lelaki tersebut telah
mendapatkan uang untuk melunasi sejumlah coil dengan harga lumayan banyak
tersebut. Sepertinya tak ada lagi beban pada dirinya.
Lelaki itu kembali tersenyum, dalam hati dia berkata "dokter tidak tahu bahwa dia
baru saja seolah mendapat “mukjizat.” Pagi itu…tatkala dia membereskan semua
biaya pengobatan ke bagian administrasi, petugas mengatakan bahwa dia tidak
perlu membayar semua biaya pengobatan, tidak ada tambahan apapun yang perlu
dibayarnya……!
Seminggu telah berlalu, sang dokter terkesima menerima
email sejawatnya dari Jakarta, email tersebut juga memforward sebuah email
dengan judul email GOD’S INTERVENTION, email cukup panjang, dan inilah bagian
akhir email tersebut :
“Sampai saat ini saya tidak habis fikir
bagaimana bisa terjadi, dan sampai saat ini saya tidak berani tanya soal ini.
Saya hanya percaya this is God'
Intervention, some kind of miracle for my wife. Saya hanya bisa ucapkan terima
kasih sebesar besarnya atas kerja dokter berdua for this big work (for me at
least).
Saya akan coba bercerita soal
neurointervention the fact, the truth and the controversy.”…….