Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Sunday, 7 December 2014

Dokter Selebriti, Tokoh Dokter Rekaan Media……


Beberapa tahun silam, dalam setiap diskusi, dokter muda ini begitu terkesima dengan ketajaman analisis seorang dokter senior. Dari keilmuan dan pengalaman klinis-nya, tak ada seorang peserta diskusi-pun yang mampu membantah argumentasinya. Semuanya mengamini, semuanya mengikuti advis-advis yang disampaikannya. Kata-katanya yang tajam dan rasional, sejalan dengan deretan gelar yang disandangnya.

Dokter senior tersebut dikenal luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Para junior yang bekerja bersamanya, memberikan apresiasi tinggi dan sangat menghormatinya. Sejalan dengan itu, namanya dikenal luas dikalangan media maupun neurosaintis.

Dokter muda ini beberapa kali berinteraksi dan berdiskusi dengan sang Tokoh. Mulanya dia bangga bisa berdiskusi dan bersanding dalam forum ilmiah, setidaknya sejajar dengan senior yang ditokohkan banyak orang. Namun, sedikit demi sedikit kekagumannya pudar. Apa yang dicitrakan oleh khalayak dan media ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta yang dilihatnya. Fakta itu mengaduk-aduk perasaannya. Kekaguman itu pecah menjelma menjadi sebuah kekecewaan mendalam.

Dokter muda ini melihat bagaimana ilmu pengetahuan ternyata tidak perlu selalu sejalan dengan etika. Pengambilan keputusan klinis pada pasien ternyata tidak perlu harus selalu menguntungkan pasien dengan sepenuhnya. Hubungan antar kolega dokter tidak perlu selalu dijunjung tinggi dengan alasan “untuk kepentingan pasien,” namun sesungguhnya, sangat kentara, semua bermuara pada kepentingan profan dan materialistik. Ilmu pengetahun tidak lagi semata-mata ilmu, namun juga bergelinjang menjadi suatu permainan politik yang tak lagi elok dirasakan dan dipandang mata.

Ketenaran dan keilmuan, setidaknya pada tokoh ini, sungguh merupakan ujian belaka. Kedua hal ini, apabila ada pada satu individu ternyata potensial menciptakan “kesombongan” intelektual.

Dokter muda ini kini memahami, ketokohan dan ketenaran hanyalah fakta superfisial. Ilmu pengetahuan sungguh serupa pedang, sebagaimana telah disampaikan Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah. Pedang tersebut sangat bergantung pada siapa tuan pemiliknya. Pedang bisa menjadi milik perampok yang bengis, ataupun Raja dan penguasa yang adil.

Tentu ada banyak lagi Tokoh dan Dokter selebriti yang selama ini hanya dikenal masyarakat lewat media. Masyarakat sungguh tidak mengenal secara substansial ketokohan dan kepakarannya. Ditambah lagi, di era dimana para dokter bisa mengiklankan diri mereka dan kelompoknya di media. Kemampuan yang biasa saja disulap menjadi “kepakaran” luar biasa. Penguasaan keilmuan yang standar saja dapat  disulap menjadi terkesan “outstanding expert” tanpa tandingan.

Dalam akhir perenungannya, dia memohon ampun kepada sang Pencipta dan berlindung dari “bermegah-megah” dalam ilmu dan kehidupan dunia.

Ya qawiyyu ya matiin, ikfi asy-syarra ad-dhalimiin.

Tuesday, 11 November 2014

Oklusi Aneu-Risma ala Bu Risma


Bu Risma, siapa tak kenal sosok singa wanita dari Surabaya ini. Menjelang penutupan lokalisasi Dolly, ribuan kritik dan komentar datang dari berbagai penjuru. Konon katanya, efek penutupan itu akan sangat buruk bagi masyarakat sekitarnya. Namun, Bu Risma telah berhitung, beliau melihat efek samping yang jauh lebih besar dan menakutkan apabila Dolly dibiarkan ada. Saat ini, sebagian besar masalah yang ditakutkan akibat penutupan Dolly terbukti dapat teratasi.

Ini adalah kisah lelaki, 60 tahun dengan SAH dan kesadaran menurun. Dari CT angiografi didapatkan fusiform (dissecting) aneurysma pada middle part of  AICA ( anterior inferior cerebellar artery). Aneurysma ini merupakan aneurysm flow related AVM. Bleeding akibat SAH cukup berat, beberapa hari perawatan GCS membaik.

Hal berikutnya yang sangat menakutkan adalah potensi terjadinya rebleeding. Maka, dipertimbangkan-lah menutup aneurysma. Satu-satunya opsi adalah coiling. Tindakan bedah berupa clipping bukan lagi merupakan pilihan. Sangat sulit mengakses aneurysma pada sirkulasi posterior dengan clipping.
Karena anatomi aneurysma yang fusiform (without neck), maka menutup aneurysma berarti menutup parent vessel dan sirkulasi distalnya, artinya potensial mengakibatkan infarction pada teritori AICA. Keuntungannya, menutup aneurysma mencegah rebleeding sekaligus menutup AVM.

Resiko rebleeding dengan infarction keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Namun, decision making ala Bu Risma bisa diaplikasikan pada kasus ini. Apabila tidak ditutup, akibat rebleeding jauh lebih menakutkan berupa kematian. Jika ditutup, ada kemungkinan infarction pada teritori AICA, tetapi ini bisa saja tidak terjadi, mengingat kolateral pada sirkulasi posterior sangat kaya. Penutupan AICA mungkin akan mendapat kolateral dari SCA (superior cerebellar artery) dan PICA (posterior inferior cerebellar artery).

Mengikuti sudut pandang Bu Risma, fusiform aneurysma ditutup dengan coil (dimasukkan 3 coil) dengan mengorbankan AICA. Menutup aneurysma berarti juga menutup feeding artery menuju AVM. Satu prosedur, dua malformasi vaskuler dapat diterapi. Beli satu dapat Dua. Dan sesuai antisipasi, infarction pada AICA tidak terjadi, kolateral mampu mengisi area oklusi.

Perawatan Post coiling pasien membaik dan saat ini telah pulang dengan GCS penuh.

Monday, 15 September 2014

Coil Cinta untuk Adinda (A True Story)

Malam itu, seorang wanita paruh baya, dengan pakaian sederhana, masuk ruang praktek di sebuah rumah sakit Surabaya. Disampingnya seorang lelaki kurus dengan rambut tak tersisir rapi. Tampak jelas guratan kekawatiran pada wajah wanita tersebut, sedikit menahan sakit dan bicara terbata-bata.
 
Lelaki itu mulai berbicara tentang kondisi istrinya, meski sederhana, cara bicaranya cukup jelas, dan tampak cukup berpendidikan. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto CT Angiografi. Sambil dia tampak tetap mencoba menenangkan istrinya yang sedikit menahan sakit. Dokter yang sejak tadi tertegun mulai tersadar, “ ah…” dia mendesah…inilah pasien yang beberapa hari lalu diceritakan oleh seniornya dari Jakarta.
 
Dua malam sebelumnya, dokter tersebut menerima email, isinya singkat “ tolong dibantu pasien ini mas, kalau dikerjakan di Surabaya pasti lebih murah karena pasien berdomisili di Surabaya…….” di bawah email tersebut, di-forward – juga email dari lelaki yang tak lain adalah orang yang saat ini duduk dihadapannya.
 
Ya….sang istri mengalami SAH dan dirawat sejawat neurolog di salah satu rumah sakit swata. Setelah melakukan CT Angiografi, neurolog tersebut menemukan aneurysma dan menjelaskan dua modalitas yang mungkin dilakukan, coiling atau clipping.
 
Dari sinilah awal ceritanya, sang suami googling tentang prosedur coiling dan clipping. Dia begitu kawatir, dan tidak menginginkan dilakukan clipping yang merupakan prosedur open surgery pada istrinya. Satu-satunya opsi yang dia inginkan adalah coiling. Dia tahu coiling lebih mahal dari clipping. Dengan dana sangat terbatas, dia bersikeras tidak ingin melihat istrinya dilakukan operasi besar di kepala. Apapun, dia ingin istrinya pulih cepat sempurna atau dengan kecacatan minimal.
 
Dari internet pula, sang suami kemudian mengenal neurointerventionist senior di Jakarta, dan terjadilah komunikasi email tersebut.
 
Sejak awal dokter berjumpa kedua pasangan ini, dia melihat betapa keduanya saling menyayangi. Cara sang suami berbicara dan menenangkan dan memperlakukan sang istri, cukuplah menjadi tanda rasa cintanya.
 
Sambil agak terbata-bata karena kawatir, sang suami menanyakan kira-kira biaya yang akan dihabiskan untuk prosedur coiling. Dokter menunjukkan ukuran aneurysma yang cukup besar dan jumlah coil yang kira-kira akan digunakan serta taksiran biayanya. Dia terdiam dan memandang dokter dalam-dalam. Sang dokter memahami, biaya itu sangat besar untuk ukuran dia dan istrinya. Kemudian dokter menyampaikan bahwa istrinya bisa opname di kelas paling rendah, dokter berjanji akan membantunya. Namun dokter menekankan bahwa untuk coil yang akan dipakai, dia tidak bisa membantu apa-apa, karena itu di luar jangkauannya. Namun, ternyata penjelasan dokter tersebut tetap tidak dapat  menenangkannya.
 
Akhirnya, dokter menyarankan untuk menjadi peserta BPJS, ada beberapa device yang bisa dibantu BPJS termasuk sewa cathlab kecuali coil. Lelaki itu terdiam, …dan berjanji akan datang lagi apabila sudah siap.
 
Lebih dari sebulan sang dokter tidak mendengar kabar. Dokter berpikir mungkin akhirnya opsi clipping yang dipilih, atau……..pikiran buruk sudah muncul di otaknya…..ya…..Rebleeding ! Mungkin saja pasien meninggal akibat rebleeding, karena angka mortalitas rebleeding adalah 50%. Dokter tersebut mencoba menghilangkan pikiran buruknya, “Ah…..sudahlah, mudah-mudahan baik-baik saja,” ungkapnya.
 
Malam itu sangat cerah, bunga-bunga didepan rumah sakit tampak bermekaran, menambah indahnya malam. Tak disangka, lelaki kurus itu, masih bersama istrinya, datang masih dengan wajah kawatir. Dia bercerita harus berjuang mendapatkan uang untuk persiapan coiling. Dia kemudian menyebutkan jumlah uang yang dia persiapkan. Dokter terdiam,……dalam hati berguman…..” uang sejumlah itu masih belum cukup”. Kemudian lelaki tersebut juga antusias mengatakan sudah menjadi peserta BPJS.
 
Dokter tidak mungkin mematahkan harapannya, sudah lebih sebulan dia berjuang, dan malam ini sudah kembali dan masih bersama istrinya. Dokter segera menyarankannya untuk segera opname agar prosedur segera dikerjakan.
 
Sampai di IRD, pasien dikirim ke ruangan. Agar dapat memilih dokter yang telah merawatnya, pasien naik kelas perawatan dari hak BPJS-nya. Dan akhirnya pasien bisa dirawat oleh dokter tersebut. Sehari menjelang prosedur, pasien minta turun kelas, sesuai kelas perawatan, bahkan dia tidak mampu membayar selisih kelas tersebut. Sedangakan prosedur coiling telah dijadwalkan.
 
Pagi esok harinya, dokter melakukan DSA dengan 3D untuk melihat morfologi aneurysmanya. Dokter memanggil lelaki tersebut masuk ruang operasi. Tampak sang istri masih terbaring diatas meja cathlab dan masih dalam pegaruh obat anastesi. Dokter menjelaskan kembali prosedur coiling. Dokter menyampaikan mungkin coil yang dimasukkan lebih banyak dari perkiraan semula. Dia kembali terdiam, tidak menjawab. Ucapan dokter yang pelan dan jelas itu, tentu saja seperti halilintar baginya. Bagaimana mungkin ? untuk jumlah coil sesuai perkirakan saja, dia harus berjuang untuk mendapatkan uang, apalagi jika jumlah coil lebih dari itu.
 
Dokter tahu kekawatirannya, dan mencoba menenangkan, “nanti saya bantu Pak….” Lelaki tersebut hanya mengangguk ragu….sambil melirik sang istri yang terbaring di meja operasi.
 
Setelah satu jam berlalu…..lelaki tersebut kembali dipanggil memasuki ruang cathlab. Dokter mengulurkan tangannya “Selamat Pak….prosedur coiling berlangsung baik tanpa komplikasi apapun….” , dokter menyambung “ saya memasukkan 6 coil…”
 
Rasa terharu campur takut menyelimuti perasaan lelaki tersebut. Dia tidak tahu, dari mana dia harus membayar tambahan 2 coil, dokter semula hanya memperkirakan 4 coil. Akhir ditengah kebingungannya yang tak terpecahkan, dia berguman “ ah…yang penting istri saya selamat, biarlah saya berhutang pada rumah sakit…. meski tak tahu bagaimana membayarnya”.
 
Pagi itu, cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman, bunga yang kemarin kuncup kini sudah mekar. Diruang perawatan, dokter melihat kedua pasangan ini tampak tersenyum menyambutnya visite. Keduanya tampak bahagia, demikian juga sang dokter. Wajah-wajah sederhana itu bersinar bahagia, sinar bahagianya bahkan mengalahkan pendar cahaya dari balik jendela kamar perawatannya.
 
Sang lelaki berusaha mendekati dokter tersebut, sambil berbisik, …”terimaksih banyak dok, dokter telah membantu saya…” Sang dokter hanya tersenyum, dia masih belum mengerti, apakah lelaki tersebut telah mendapatkan uang untuk melunasi sejumlah coil dengan harga lumayan banyak tersebut. Sepertinya tak ada lagi beban pada dirinya.
 
Lelaki itu kembali tersenyum, dalam hati dia berkata "dokter tidak tahu bahwa dia baru saja seolah mendapat “mukjizat.” Pagi itu…tatkala dia membereskan semua biaya pengobatan ke bagian administrasi, petugas mengatakan bahwa dia tidak perlu membayar semua biaya pengobatan, tidak ada tambahan apapun yang perlu dibayarnya……!
 
Seminggu telah berlalu, sang dokter terkesima menerima email sejawatnya dari Jakarta, email tersebut juga memforward sebuah email dengan judul email GOD’S INTERVENTION, email cukup panjang, dan inilah bagian akhir email tersebut :
 
“Sampai saat ini saya tidak habis fikir bagaimana bisa terjadi, dan sampai saat ini saya tidak berani tanya soal ini.
Saya hanya percaya this is God' Intervention, some kind of miracle for my wife. Saya hanya bisa ucapkan terima kasih sebesar besarnya atas kerja dokter berdua for this big work (for me at least).
Saya akan coba bercerita soal neurointervention the fact, the truth and the controversy.”…….

Tuesday, 12 August 2014

Ada Rotan-pun, Akar masih Berguna...................................

Manifestasi aneurysmal rupture sebagian besar berupa SAH, namun dapat berupa ICH atau kombinasi keduanya. Ketika diagnosa intracranial ruptured aneurysma telah ditegakkan dengan MRA, CTA, maupun DSA, maka pilihannya adalah melakukan terapi/oklusi pada aneurysma tersebut as soon as possible. Jika tidak, kemungkinan re-rupture dalam 6 bulan pertama sebesar 40%, dan mortalitas akibat re-rupture adalah 50%.

Dikotomi terapi aneurysma yang umum kita ketahui adalah Coiling Vs Clipping, Coiling dengan teknik neurointervensi atau Clipping dengan open surgery. Dalam neurointervensi, prosedur coiling dianggap prosedur yang masih relatif mahal. Namun, oklusi aneurysma dengan teknik neurointervensi tidak selalu menggunakan coil, dalam kondisi tertentu dapat digunakan glue (NBCA:Lipiodol), yang lazim digunakan untuk embolizasi AVM atau Dural Fistula.

Berikut adalah contoh oklusi aneurysma menggunakan glue. Oklusi aneurysma dengan glue dapat dilakukan pada aneurysma yang berlokasi pada cabang perifer, dimana oklusi pembuluh darah distal dari aneurysma diprediksi tidak menyebabkan disabilitas berat. Keuntungan oklusi aneurysma dengan glue adalah biaya yang murah dan occlusion rate mendekati 100%.

Seorang wanita, 33 tahun dengan ICH pada temporo-parietal dengan minimal SAH. Pasien mengalami sligth hemiparesis, dan hemisipestesi ringan serta nyeri kepala berdenyut yang masih sering muncul. Setelah perawatan fase akut, dikirim untuk DSA karena curiga adanya etiologi vaskuler. Pada DSA ditemukan distal dissecting (fusiform) aneurysma pada cabang posterior parietal dengan ukuran sekitar 11 x 8 mm.  Pada dissecting (fusiform) aneurysm, neck tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, sehingga oklusi aneurysma berarti oklusi pada cabang pembuluh darah distalnya dengan tehnik apapun.

Diputuskan embolisasi dengan glue (NBCA:Lipiodol) dengan pertimbangan biaya. Apabila dilakukan coiling, coil yang dibutuhkan bisa 8-10 coil mengingat ukuran aneurysma yang cukup besar. Biaya yang dibutuhkan cukup mahal. Dengan menggunakan glue, biaya hanya sekitar seperlima dari biaya coiling. Efek disabilitas pasca oklusi juga tidak akan banyak berbeda antara coiling dan glue-ing, mengingat keduanya mengorbankan pembuluh darah distalnya, yaitu berupa hemihipestesi akibat oklusi pada pembuluh darah posterior parietal, dimana teritori ini sebagian telah mengalami kerusakan akibat ICH. Evaluasi angiografi setelah oklusi tampak kolateral dari ACA mengisi teritori a.posterior parietal (cabang MCA) yang mengalami oklusi.
Ada Rotan-pun, Akar masih Berguna...................................

Pasca embolisasi tidak ada defisit neurologis yang signifikan, hemihipestesi sedikit bertambah, nyeri kepala sama sekali menghilang.

Wednesday, 28 May 2014

Interventional Neurology In Indonesia


Interventional neurology is a subspecialty of neurology that uses catheter technology, radiological imaging, and clinical expertise to diagnose and treat diseases of the central nervous system (Qureshi AI, 2004).  The term Interventional neurology is described first time by Dr. Kori in  his article on  the Neurology journal. According to this article, interventional neurology is a subspecialty that performs interventional procedure including computed tomographic and magnetic resonance imaging guided for nerve blocks, biopsies, aspirations, and destructive procedures; intra-arterial procedures including carotid angioplasty, carotid thrombolysis, embolizations, chemotherapy, and bloodbrain barrier modification; interventional neurosonology; eletromyographic guided procedure including Botulinum toxin injections, trigger point injections; and  nerve finder guided procedures to be included in this subspecialty (Kori SH, 1993).

However, the term interventional neurology in the last two decades is more focused and limited to the procedures that are recognized as part of the training requirements of the Endovascular Surgical Neuroradiologyfellowship according to Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME). According to ACGME, endovascular surgical neuroradiology is a subspecialty that uses minimally invasive catheter-based technology, radiologic imaging, and clinical expertise to diagnose and treat diseases of the central nervous system, head, neck, and spine (www.agme.com).

Historically,  interventional neurology has a long journey before arriving at this point.  Actually, neurologists have already had a long history of involvement in the cerebral angiography. However, the roots of neurologist involvement in therapeutic endovascular procedures have not been previously documented.  The cerebral angiography was done first time by Egas Moniz from Portugal. He is a Professor of Medicine and subsequent Chair of  Neurology at University of Lisbon in Portugal. Dr. Egas Moniz performed cerebral angiography since 1927 through direct carotid puncture and publish his paper  at the First International Neurology congress in Bern in 1931. The role of neurologists in diagnostic imaging was further enhanced by Karl Theodore Dussik who was a neurologist at Allgemeine Poliklinik (General Polyclinic) and University of Vienna Medical School. He was the first to propose the use of ultrasound as a diagnostic device in a paper he wrote in 1941 (Qureshi AI, 2011).

In the next two decades afterward, there is an ongoing transition in the approach ; from the direct carotid puncture to femoral approach. The changing patterns also resulted in a great change where neurologists are excluded from performing these procedures. By the early 1970s, cerebral angiography through direct carotid puncture by neurologists was an obsolete practice.

In United State of America, the first procedure done by Dr. Gomez, an interventional neurologist, is in 1993 at the cardiac cathlab. However, on June 2000, the ACGME had officially approved the Guidelines for Training in endovascular surgical neuroradiology. Subsequently, the program requirements for neurology were approved by the ACGME in May 2003 (Qureshi AI, 2011).

Interestingly, Dr. Shakir Husain, who joined the fellowship in Interventional Neuroradiology at the Institute of Neuroradiology, University Hospital  Zurich, Switzerland, has completed his fellowship in 1999. His fellowship is under the supervision of Prof. Valavanis. This shows us that Dr. Shakir, a neurologist, has completed the interventional neuroradiology program one year before the ACGME in the USA had officially approved neurology to enter the field (www.acgme.org). Since then, he has designed a fellowship program in Stroke & Interventional Neurology and started it in the year 2004 at Sir Ganga Ram Hospital, New Delhi. He has now joined Max Super Specialty Hospital, Saket, New Delhi and has taken the Fellowship program with him (www.delhicorse.com).

In Indonesia, interventional neurology evolved after dr. Fritz Sumantri Usman completed his fellowship in  2008 from Sir Ganga Ram Hospital New Delhi, India. The Director of the program is  Dr. Shakir Husain. After dr Fritz begun his journey in neurointerventional procedures, many Indonesian neurologists are interested in that area. In almost every year, there are several Indonesian neurologists join that fellowship program. Currently, there are twenty one Indonesian interventional neurologist have completed the program. They are spread in several cities in Indonesia, mostly in Java. There are three of them in Surabaya (Tabel 1).

        Table 1. The spread of Interventional Neurologist in Indonesia (May, 2014)


City
Province
Number of Interventional Neurologist
Jakarta
DKI Jakarta
4
Tangerang
Banten
2
Bogor
West java
1
Bandung
West Java
1
Solo
Central java
1
Surabaya
East Java
3
Makasar
South Sulawesi
1
Bukit Tinggi
West Sumatra
1
Medan
North Sumatra
2
Lokshumawe
Aceh
1
Denpasar
Bali
1
Pekan Baru
Riau
1
Semarang
Middle Java
1
Jayapura
Papua
1
Total

21

Just like in other countries, there are some political issues in Indonesia regarding the development of neurointervention, the relatively new subspecialty of neurology, in Indonesia. The Issue is centered at the intriguing question whether neurologist have the competence to perform neurointerventional procedure. Fortunately, in 2006, the Indonesian collegiums of neurology stated clearly that neurologist  have the competence to perform in this field. Meanwhile, the first neurologist start studying this subspecialty started his program in 2007, exactly after the collegiums approved.

Recent development of neurointervention in Indonesia shows that there are a considerable number of neurointerventional procedures performed by neurologist. In fact, the neurointerventional procedures performed by neurologist is proved to be safe and show a very low complication (Usman FS et.al, 2012). Almost all the interventional procedures have been performed  including carotid and vertebral artery stenting, coiling aneurysm, tumor embolization, embolization of the dural and carotid fistula and brain arteriovenous malformation. This is undeniably a promising development in the area of neurointervention in Indonesia.

To sum up, the title of Dr. Kori’s article : "Interventional Neurology, a subspecialty whose time has come" very fits  to illustrate the situation in Indonesia.  Furthermore, it is also very relevant to quote Edgell RC et. al., to describe the potential of neurointervention in the future Indonesia, as they said that “currently, Interventional neurology is  subspecialty that is here to stay and thrive. “ (Kori SH, 1993; Edgell RC et.al., 2012).