Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Wednesday, 28 August 2013

Kultur Hibrida : Dua Pendekar Neurointervensi

Siapakah Pendekar Neurointervensi terkemuka di dunia ? mungkin ada banyak pendapat, dan akan menyisakan banyak perdebatan. Namun, setidaknya ada dua nama yang patut di catat. Keduanya memiliki kontribusi besar bagi Neurointervensi. Keduanya lahir dari kultur hibrida.

Hibrida merupakan hasil dari dua buah persilangan yang menghasilkan sesuatu yang unggul. Kultur Hibrida dalam Neurointervensi memberikan pengertian bahwa ilmu ini dikembangkan dari dua latar belakang keilmuan yang berbeda dan menghasilkan ilmu atau pemahaman baru yang mencerahkan. 

Pierre Lasjaunias, merupakan pendekar neurointervensi yang menggabungkan dua keunggulan ini. Seorang anatomist murni yang juga pakar dalam interventional neuroradiology. Kepakarannya akan anatomi begitu “dahsyat,” sehingga mampu menjelaskan bagaimana evolusi dan embriologi vaskuler terjadi, bagaimana dampak terhadap perjalanan alamiah suatu penyakit. Semua neurointerventionist dunia berhutang pada Lasjaunias. Bukunya “Surgical Neuroangiography” dalam tiga volume merupakan masterpiece yang kontribusinya bagi neurointervensi tidak terbantahkan. Lihatlah, bagaimana kultur hibrida ini mampu “menciptakan” konsep, filosofi dan jika tidak berlebihan adalah suatu “ilmu” baru. Lasjaunias adalah pembaharu dalam Neurointervensi. Wafat pada tahun 2008, menjadikan neurointerventionis dunia benar-benar kehilangan sosok seorang guru, teman dan sejawat yang mengagumkan.

Adnan I. Qureshi, adalah nama pendekar berikutnya. Latar belakangnya sebagai seorang Neurolog membuat Qureshi memahami persis bagaimana kondisi klinis dan tatalaksana yang diperlukan oleh seorang pasien. Ketertarikannya akan Neuroimejing, membuat dia menjadi salah satu pioneer dalam bidang ini. Kontribusinya dan kepakarannya dalam Neuroimejing menempatkan Qureshi sebagai salah seorang Neurolog yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Neuroimejing, terutama di USA. Lihatlah Journal of Neuroimaging yang merupakan salah satu journal unggulan, telah begitu banyak kontribusi telah diberikan Qureshi untuk journal tersebut.

Ketertarikannya akan Neuroimejing mengantarkan Qureshi untuk menekuni Neurointervensi. Dan disinilah dia menemukan dunianya. Qureshi menemukan konsep dan klasifikasi baru dalam penanganan pasien-pasien stroke (Qureshi grading scale) dan juga klasifikasi baru untuk spinal vascular malformation. Dua bukunya yang saat ini dijadikan acuan oleh neurointerventionist adalah “Textbook of Interventional Neurology” dan “Atlas of Interventional Neurology.” Disamping sangat produktif menulis dalam berbagai journal, Qureshi juga mencetak banyak neurointerventionist baru. Journal Vascular and Interventional Neurology (JVIN) serta annual meeting International Congress of Interventional Neurology (ICINEURO) yang digagasnya merupakan kontribusi besarnya yang diberikan untuk Neurointerventionist dunia. 

Qureshi menggabungkan kemampuan klinisi, kepakaran neuroimaging dan keterampilan intervensi. Hal ini menjadikannya seorang Neurointervensionist terkemuka dan merupakan inspirasi bagi neurolog-neurolog muda yang tertarik dengan Neuroimaging dan Neurointervensi.

Akan kita tunggu pakar Neurointervensi dengan kultur Hibrida lainnya, yang diharapkan akan mampu menggambar dunia neurointervensi secara lebih berwarna. Terimakasih dan salam penghormatan patut diberikan pada dua Pendekar diatas atas semua kontribusinya pada ilmu pengetahuan dan umat manusia.

Tuesday, 13 August 2013

Nostalgia Prosedur Perdana

Bagi dokter muda ini, pagi itu bukan pagi biasanya. Pagi yang masih buta, 15 Maret 2012, dia harus bergegas memacu pedal mobilnya sedikit kencang. Hari itu adalah prosedur pertamanya sebagai seorang neurointervensionist yang telah tiga bulan berjuang menembus tebalnya “otoritas.”  Otoritas yang tampaknya hampir mustahil di urai. Namun, akhirnya otoritas itu lumer dengan diplomasi dan keteguhan hati.

Pagi buta yang sama dua bulan sebelumnya, dia harus meyakinkan banyak pihak didepan forum bahwa dia memiliki kompetensi. Dari forum pertama ini, mengalirlah forum-forum berikutnya, forum yang terkadang disertai dengan “kernyitan kening” orang-orang yang menghadirinya.

Kompetensi kala itu menjadi kata-kata suci. Pertanyaan siapakah yang kompeten ? atau apakah Anda kompeten ? merupakan pertanyaan pamungkas yang harus di jawab secara tuntas. Menjadi tidak begitu penting sertifikat fellow yang didapatnya selama setahun dari senter Neurointervensi terkemuka diluar negeri yang ada ditangannya, dan seolah menjadi tidak penting juga bahwa prosedur ini dapat dilakukan oleh siapa saja di luar negeri oleh lintas profesi.

‘Ala kulli haal, persyaratan “birokratis “  telah terpenuhi. Kini saatnya menunjukkan bahwa kompetensi itu bukan hanya goresan diatas secarik kertas yang tak bermakna, tetapi sertifikat kompetensi tersebut didapat dengan kesungguhan, deraian keringat dan do’a dalam setahun hari-harinya.

Dengan baju kamar operasi yang masih melekat di tubuhnya, dengan kepala tertunduk, dia bersyukur prosedur diagnostik pertamanya sukses. Dia sepenuhnya menyadari bahwa prosedur pertama merupakan pijakan utama untuk prosedur-prosedur berikutnya. Wajah wanita tua diatas meja cathlab masih tergambar dibenaknya hingga saat ini. Seorang wanita dengan SAH, dia temukan aneurysma pada P.com kiri, dan kemudian sukses diterapi beberapa hari setelahnya. 

Short Message Service (SMS) segera dikirimnya, menyampaikan terimakasih pada sang guru atas segala bimbingan yang selama ini didapatnya. Sang guru membalasnya dengan salam dan do’a keberkahan.

Kini, saat begitu banyak prosedur telah ia kerjakan, rasa syukur itu semakin bertambah, karena bukan hanya dirinya, namun sejawat seprofesi lainnya juga dengan cara dan jalan yang hampir serupa telah berhasil pula melakukan prosedur-prosedurnya. Kiranya inilah jawaban dari do’a yang senantiasa ia panjatkan dalam munajatnya. Do’a itu pun saat ini masih sering dibacanya diam-diam : “ Allahummanfa’na bimaa ‘allamtanaa, wa ‘allimna maa yanfaunaa, subhaanaka la ‘ilma lanaa illa maa ‘allamtana, innaka antal Al-‘Aliimul Hakiim......”

Tuesday, 6 August 2013

Dzikir Keselamatan Sang Neurointerventionist

Semakin tinggi jam terbang seorang Neurointerventionist, dia akan semakin menyadari bahwa ilmu-nya hanyalah setetes air di lautan. Ada “Tangan” lain selain tangan terampil-nya dalam setiap kesuksesan prosedur yang ia lakukan. Selalu ada kejutan diluar perkiraannya, ada “Kekuatan” lain dan  itu bukanlah berasal dari tangan-nya sendiri.

Misteri otak yang seolah bisa terkuak dengan modalitas imejing modern, ternyata hanyalah sebagian saja membantu sang Neurointerventionist dalam prosedur-prosedur yang tiap hari di jalaninya. Selalu saja ada “surprise” saat navigasi device neurointervensi memasuki lorong-lorong kecil pembuluh darah otak.

Dalam renung-nya, ada yang lebih penting dari pada kesuksesan suatu prosedur yaitu tidak terjadinya komplikasi pasca prosedur neurointervensi. Betapapun suksesnya suatu prosedur, betapapun sempurnanya hasil suatu tindakan, jika setelah prosedur terjadi komplikasi, seolah semuanya sia-sia.  Taruhlah suatu prosedur coiling aneurysma, dimana untuk suatu packing yang sempurna memerlukan waktu berjam-jam. Begitu packing telah menjadi sempurna, di ujung prosedur, microwire tanpa sengaja menembus aneurysma, maka terjadilah perforasi dan perdarahan kembali. Perdarahan yang lebih hebat dari perdarahan sebelumnya. Maka.....dimanakah keterampilan tangan sang Neurointerventionist ?

Dalam renung-nya, yang lebih penting dari mengobati penyakit pasien adalah tidak menimbulkan komplikasi selama proses pengobatan. Maka bagaimana sedapat mungkin menghindari prosedur yang semula dimaksudkan mengobati, malah menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas bagi pasien.

Di balik semua kesuksesan prosedur pasti ada AS-SALAM, Tuhan Maha Pemberi Keselamatan. Tidak satu detik prosedur-pun yang lepas dari pengawasan-Nya. Prosedur yang tampaknya sangat sulit, ternyata hanya membutuhkan waktu yang sama dengan prosedur diagnostik. Prosedur diagnostik yang tampaknya berlangsung singkat-pun bisa menjadi berjam-jam saat menemui variasi anatomis sulit.
Maka dzikir dan do’a yang kiranya paling sesuai untuk Neurointerventionist adalah dzikir keselamatan, dzikir yang senantiasa dikumandangkan setelah sholat. Memuji Sang Pemberi Keselamatan dan memohon kehidupan yang terselamatkan.

Dzikir yang tidak hanya dimaksudkan untuk memuji Dia Pemberi Keselamatan, namun juga merupakan ikrar akan kelemahan diri sendiri, dengan sepenuh hati menyadari, ilmu ini bukan ilmunya, namun ilmu Tuhan-Nya.

“ Allahumma anta As-Salam, waminka As-Salam, Wa ilaika ya’uddu As-Salam, fa hayyina Rabbana Bi As-Salam, wa adkhilna al-jannata dar As-Salam............”