Tatalaksana endovaskuler Brain AVM dengan tehnik transarterial telah lazim dan cukup mapan dilakukan. Penggunaan bahan embolan Glue vs EVOH telah menjadi perdebatan dan preferensi individual. Namun, alih-alih memperdebatkan pendekatan transarterial mana yang terbaik, di Essen, menggunakan transvenous sebagai rute alternatif dan rute ini dianggap efektif. "Transvenous is Marvelous," demikian tulisan di ruang workstation dipampangkan.
Sesungguhnya substansinya sederhana, siapapun yang akan melakukan prosedur transvenous, dia haruslah "mastering" trans-arterial terlebih dahulu. Lebih dari itu, dia harus sudah sangat familier dan nyaman dengan penggunaan Glue dan EVOH.
Ada perbedaan konsep mendasar, antara transarterial dan transvenous. Hambatan terbesar dari tehnik prosedur endovaskuler Brain AVM transvenous adalah tidak bisa di duplikasi di semua tempat, wajib menggunakan Bi Plane angiografi dengan fasilitas 6D atau 7D dan dengan fasiltas long DSA saat injeksi EVOH. Ada perbedaan prosedur trans-arterial dan transvenous , berikut perbedaannya secara singkat:
| Trans Arterial | Trans Venous |
Akses | Arterial | Arterial dan Venous (Vena jugularis dengan direct puncture) |
Guiding | 6F or 7F | 8F & intermediate catheter untuk transvenous |
Tehnik | Bisa dengan atau tanpa pressure cooker technique | harus dengan pressure cooker technique |
Embolan | Bisa Glue dengan berbagai konsentrasi, Squid/Onyx dengan berbagai konsentrasi | Squid 12 dan dengan coil/glue sebagai fondasi pressure cooker tehnique |
Microcatheter | Detachable/non Detachable | harus menggunakan detachable catheter |
Biaya | lebih murah terutama jika menggunakan Glue | mahal dengan multiple devices |
Risiko | lebih rendah ditangan yang kompeten | sangat tinggi di tangan yang tidak kompeten |
Result | Angiographically cure with respected to angiomatous changes | Angiographically cure, not really respected angiomatous changes |
Di Essen, tidak ada dikotomi rupture dan unrupture AVM. Konsep ARUBA dan high risk serta low risk AVM tidak begitu diperhatikan. Tampaknya, asalkan simptomatis akan dilakukan terapi. Terapi AVM di Essen memiliki filosofi berbeda dengan yang selama ini dipahami oleh fellow dari berbagai belahan dunia. Terutama senter yang menggunakan pendekatan transarterial.
Untuk kondisi Indonesia, pendekatan transvenous bisa mulai dipikirkan penggunaanya, namun hanya pada subtipe AVM tertentu yang mustahil diakses dengan transarterial, seperti pada insular AVM atau gyral AVM dengan feeder yang sangat kecil. Bagi yang belum "mastering" transarterial, jangan coba-coba menggunakan rute transvenous.
Di Essen, prosedur dilakukan tanpa rasa takut, namun terukur oleh Prof. Rene Chapot. Ada plan A dan plan B dengan devices yang ready dan melimpah. Mesin angiografi dengan set up cathlab yang excellent. Hasil prosedur yang sempurna di Essen, tidak serta merta dapat di duplikasi jika dilakukan di tempat lain dengan set-up berbeda dan apalagi operator yang berbeda. Ini serupa dengan grading Spletzer Martin, yang dianggap aman untuk prosedur bedah jika grading AVM adalah I sampai III, namun terminologi "aman" ini hanya jika dilakukan oleh expert seperti Dr. Spletzer dan di senter dengan jumlah kasus adekuat.
Apapun, terapi endovaskuler AVM masih menjadi tantangan. Area sangat menarik bagi neurointervensionist yang menikmati setiap kasus BAVM yang didapatkannya. Menghadapi Brain AVM tanpa rasa takut adalah kunci pertama. Kedua, "mastering" berbagai tehnik adalah seperti seorang petarung yang menguasai berbagai ilmu bela diri. Seorang pesilat akan menonjolkan jurus silatnya. Seorang ahli kungfu, akan membanggakan jurus kungfunya. Apapun jurus yang dipakai, tujuan utama adalah melumpuhkan musuh. Namun, banyak senjata yang dipakai justru membunuh sang petarung sendiri, hanya karena tidak ahli dalam menguasai perilaku alat bertarung yang dipakai nya.
Kuasai sepenuhnya satu tehnik, baru beralihlah ke tehnik lain atau mengkombinasi tehnik pertama dengan tehnik yang lain. Demikianlah hasil kontemplasi selama di Essen.